"Ada apa sih, Bu? Mengapa masih saja bertengkar di saat keinginan Ibu sudah terpenuhi?" tanya Aris dengan heran. Pria itu sudah bosan mendengar pertengkaran. Saat Maya berada di rumah ini, tidak ada perasaan tenang. Hani terus saja memojokkan Maya dan mengatakan bila perempuan itu tidak pantas untuk menjadi menantunya. Kini, Maya sudah dia talak karena memang wanita itu menginginkannya. Tidak ada lagi seharusnya yang membuat Hani bertengkar. Wulan adalah menantu kesayangannya. Tentu saja, Aris berpikir bila Hani tidak mungkin bertengkar dengan Wulan. "Kamu masih bertanya alasannya, Aris? Bukankah sudah jelas, Wulan itu sama sekali tidak ingin belajar menjadi seorang istri yang baik! Seharusnya, dia dapat membuatkan sarapan yang layak untukmu, bukan hanya mengoleskan roti!" jawab Hani menatap tajam sang menantu."Sudahlah Bu, jangan selalu bertengkar dengan Wulan. Aku berangkat sekarang," ucap Aris kemudian pergi bekerja tanpa mempedulikan panggilan Wulan. Aris tahu dirinya mulai
Maya tidak bisa mengabaikan perasaan canggung yang mengisi hari-harinya di kantor. Setiap kali ia berpapasan dengan Gilang, ada semacam ketegangan yang menyelimuti mereka. Mereka sudah berbagi banyak momen, tetapi kini semua terasa berbeda. Maya mencoba berkonsentrasi pada pekerjaan, tetapi pikiran tentang Gilang seringkali mengganggu fokusnya. Pagi itu, Maya duduk di mejanya, menyusun beberapa dokumen yang harus diserahkan kepada Gilang. Saat ia sedang memeriksa berkas-berkas itu, Putri, sahabat sekaligus adik Gilang, mendekat. “Hai, Maya! Apa kabar?” tanya Putri dengan senyum lebar di wajahnya. “Baik, Put. Kamu?” Maya menjawab, berusaha menampilkan senyum yang tulus meskipun hati di dalamnya bergetar. “Biasa saja. Tapi, aku lihat kamu dan Kak Gilang belakangan ini lebih sering terlihat... canggung,” Putri berkata, mengedipkan mata. Maya tersentak. “Canggung? Maksudmu?” Putri mendekat, suara bisiknya membangkitkan rasa ingin tahu Maya. “Aku hanya merasa ada sesuatu yang tidak b
Beberapa minggu setelah perceraian, Aris duduk di kantornya, mengamati foto-foto yang terpajang di meja kerjanya. Salah satunya adalah foto dirinya bersama Maya, diambil pada saat pernikahan mereka. Kenangan itu sekarang terasa seperti bayangan yang menyakitkan. Wajah ceria Maya seolah mengingatkannya akan semua kebahagiaan yang pernah mereka bagi dan bagaimana semuanya kini hancur. “Hari ini, aku harus berbicara dengan Maya,” Aris berpikir sambil meremas kertas di tangannya. Kecemasan menyelimuti hatinya, tetapi dia tahu itu harus dilakukan. Dia tidak bisa terus hidup dalam penyesalan tanpa mencoba memperbaiki kesalahan yang telah dia buat. Setelah berpikir panjang, Aris memutuskan untuk menemui Maya di kantornya. Saat melangkah keluar, dia merasa beban berat di pundaknya. Dia harus menghadapi kenyataan bahwa pernikahannya dengan Maya telah berakhir, dan kini dia harus menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihannya. Sementara itu, Maya sedang asyik bekerja di mejanya ketika dia
Hari-hari berikutnya di kantor dihabiskan dengan canda tawa antara Maya dan Gilang. Meskipun ada kekhawatiran di dalam hati Maya mengenai masa lalu, dia merasa semakin nyaman dengan kehadiran Gilang. Mereka mulai berbagi cerita dan pengalaman, menjalin hubungan yang lebih dalam. “Jadi, apa yang kamu lakukan saat tidak di kantor?” tanya Gilang suatu sore ketika mereka sedang istirahat di pantry. “Aku suka membaca dan menulis. Sebenarnya, aku punya beberapa cerita yang sudah kutulis, tetapi aku masih ragu untuk membagikannya,” Maya menjawab dengan sedikit gugup. Gilang terlihat tertarik. “Oh, kamu harus membagikannya! Aku pasti ingin membacanya. Menulis adalah cara yang bagus untuk mengekspresikan diri.” Maya tersenyum, merasa dihargai. “Terima kasih. Aku akan memikirkan untuk membagikannya suatu hari nanti.” Setelah beberapa hari berlalu, Maya merasa dirinya semakin dekat dengan Gilang. Namun, di malam harinya, saat dia berbaring di tempat tidur, bayangan Aris terus mengganggunya.
“Siapa yang kamu ajak bicara?” tanya Aris, matanya tertuju pada Wulan yang sedang asyik dengan ponselnya. Wulan menoleh, terlihat sedikit terkejut. “Oh, hanya teman lama. Dia ingin menanyakan kabar.” “Teman lama? Kenapa kamu tidak pernah cerita tentang dia sebelumnya?” Aris mempertanyakan, nada suaranya mengandung kecurigaan. Wulan terlihat ragu sejenak. “Ah, cuma teman biasa. Dia sudah lama tidak menghubungi, jadi aku tidak terpikir untuk membahasnya.” Aris mengerutkan dahi, merasa ada yang aneh. “Kamu tidak terkesan sangat bersemangat untuk berbicara dengan teman biasa.” “Aris, ini hanya percakapan biasa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” Wulan menjawab, tetapi ada ketegangan dalam suaranya. Aris ingin percaya, tetapi hatinya meragukan. “Aku harap begitu. Mungkin kita bisa berbagi lebih banyak tentang teman-teman kita?” “Ya, mungkin,” Wulan menjawab, berusaha tersenyum, tetapi senyumnya tampak dipaksakan. Malam itu, Wulan pergi ke kamar mandi, dan Aris melihat kesempatan
“Kenapa kamu selalu memandangi aku seperti itu, Gilang?” Maya tiba-tiba bertanya, sambil menata berkas-berkas di meja kerja Gilang. Suasana di ruang kantor penerbitan itu begitu hening, meskipun jarum jam terus berdetak. Gilang tersenyum kecil, menatap Maya dengan pandangan lembut. “Aku memandangi kamu karena aku suka melihat kamu. Apakah itu salah?” Maya merasa pipinya memanas. Ia menundukkan kepala, mengalihkan pandangannya dari Gilang. “Aku... tidak tahu. Kamu membuatku canggung.” “Aku tidak berniat membuatmu canggung, Maya. Aku hanya ingin jujur dengan perasaanku,” jawab Gilang dengan nada tenang. Namun, kesungguhan terpancar jelas di setiap kata yang ia ucapkan. Maya terdiam, bibirnya sedikit bergetar. Sejak bekerja bersama Gilang, hubungan mereka menjadi semakin akrab. Bukan hanya sekadar antara atasan dan bawahan, tetapi ada perasaan yang tumbuh tanpa mereka sadari. Namun, Maya masih takut membuka hati, terutama karena bayangan masa lalunya dengan Aris masih menghantuinya.
Maya masih memegang ponselnya, menatap pesan ancaman yang baru saja diterimanya. Pesan itu terus berulang di kepalanya, membuatnya semakin bimbang. Siapa orang ini? Kenapa dia begitu marah dengan kedekatannya bersama Gilang?Saat pikirannya terus berputar, suara ketukan pintu terdengar dari ruang tamu. Maya terkejut, seolah terbangun dari lamunannya. Ia melangkah perlahan menuju pintu, dan ketika ia membukanya, Gilang sudah berdiri di sana dengan senyuman hangat di wajahnya.“Maya, aku kebetulan lewat di dekat sini. Aku pikir, mungkin aku bisa mampir sebentar,” kata Gilang sambil tersenyum. Namun, senyuman itu segera memudar ketika melihat raut wajah Maya yang cemas.“Ada apa? Kamu terlihat tidak baik-baik saja,” tanya Gilang dengan nada khawatir, melangkah lebih dekat ke Maya.Maya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Aku... Aku baru saja menerima pesan aneh.”Gilang mengerutkan kening. “Pesan aneh? Dari siapa?”Maya menyerahkan ponselnya kepada Gilang, menunjukkan
Aris pulang lebih awal dari biasanya. Pekerjaan di kantor selesai lebih cepat, tetapi perasaannya justru semakin gelisah. Sudah beberapa hari ini dia merasa ada yang tidak beres dengan Wulan. Semua bermula dari panggilan telepon yang sering diterima istrinya. Wulan tampak gugup setiap kali telepon berbunyi, terutama ketika Aris sedang di dekatnya. Semakin hari, kecurigaan Aris semakin kuat.Setibanya di rumah, Aris membuka pintu dengan perlahan. Sepi. Rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. “Wulan?” panggilnya. Tidak ada jawaban.Aris melangkah ke ruang tengah, namun Wulan tak tampak di sana. Dia mendengar suara samar dari kamar. Penasaran, Aris berjalan mendekat, dan mendapati pintu kamar setengah tertutup. Dari balik pintu, terdengar suara Wulan yang berbicara dengan seseorang di telepon.“Pandu, kamu tidak perlu khawatir. Aku bisa mengendalikan Aris,” suara Wulan terdengar pelan namun jelas.Aris tertegun di tempatnya. Nama Pandu yang disebut-sebut Wulan langsung menusuk hatinya. P