Setelah menerima panggilan dari Maya, bergegas Rendra pulang ke rumah orang tuanya. Perjalanan melelahkan tidak dia hiraukan. Yang terpenting baginya adalah segera bertemu dengan Maya. Sang adik tidak pernah menceritakan tentang kelakuan suaminya. Rendra tidak pernah menyangka bila Maya dipoligami dan menjalani hari-hari beratnya seorang diri. Kesal karena sebagai seorang Kakak dia tidak dapat menjadi orang pertama yang membela Maya. Sesampainya di rumah orang tuanya, dia segera memasuki rumah. "Assalamualaikum, Maya. Kamu di mana, Dek?" Tanpa basa basi, dia memeluk Maya yang menghampiri Rendra. "Mengapa kamu tidak menceritakan pada Mas tentang kelakukan si brengsek itu? Seharusnya, kamu menceritakannya padaku!" ucap Rendra. Maya menggeleng, dia tidak bisa menahan tangisnya. Hal yang paling dia takutkan adalah Rendra mengetahui pernikahan Aris. Namun, semua itu tampaknya tidak perlu dia khawatirkan. Pernikahannya dengan Aris telah kandas. Dia tidak dapat mempertahankan pe
"Maya itu kemungkinan tidak bisa hamil. Dia bercerita padaku kalau sudah lima tahun dia belum juga hamil. Itu juga alasan Maya setuju dipoligami. Apa Kakak akan menerima kondisi Maya?" tanya Putri. Gilang terdiam, bagaimana pun dia memiliki perusahaan keluarga. Pasti orang tuanya menuntut agar dia memiliki seorang anak. Perasaannya senang yang tadinya dia rasakan jadi surut. Mampukah dia meyakinkan sang ibu untuk memberikan restu padanya untuk mendekati Maya. Belum tentu juga, Maya akan langsung menerimanya. Dia yakin, wanita itu sedang dilanda kesedihan akibat perceraiannya dengan Aris. Pria yang membuatnya kalah karena dipilih oleh Maya. Kini, dia tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan yang diajukan oleh Putri. Dilema melanda Gilang, dia tidak bisa egois dan hanya mementingkan dirinya sendiri. "Aku bisa menerima kondisi Maya, tetapi Mama belum tentu menerimanya. Aku harus meyakinkan Mama terlebih dahulu. Kalau memang dia tidak merestui kami, mungkin aku akan mundur d
Maya dan Rendra memutuskan untuk pindah ke kontrakan yang dekat dengan kantor Maya. Wanita itu sudah izin dua hari untuk mengurus keperluannya. Tidak mungkin dia terus izin untuk keperluan pribadi. Walau Gilang dan Putri adalah temannya tidak mungkin dia memanfaatkan hal itu untuk mangkir dari pekerjaan yang baru saja dia dapatkan. "Aku pamit bekerja, ya, Mas!" ucap Maya pada Rendra ketika dia selesai sarapan. "Ya, hati-hati. Berikan kabar bila kamu mau dijemput. Aku akan menjemputmu," balas Rendra. "Tidak perlu, aku bisa memesan kendaraan online," tolak Maya kemudian bangkit dari tempat duduk lalu mencium tangan kakaknya. Rendra memandang Maya dengan sendu. Dia sangat prihatin dengan semua hal yang menimpa adiknya. Berharap akan ada kebahagiaan yang menghampiri sang adik. Pun Rendra kesal dengan semua tuduhan keluarga Maya yang mengatakan adiknya mandul. Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan Maya mengungkapkan bila adiknya itu tidak memiliki masalah dengan kandungannya. Jad
"Ada apa sih, Bu? Mengapa masih saja bertengkar di saat keinginan Ibu sudah terpenuhi?" tanya Aris dengan heran. Pria itu sudah bosan mendengar pertengkaran. Saat Maya berada di rumah ini, tidak ada perasaan tenang. Hani terus saja memojokkan Maya dan mengatakan bila perempuan itu tidak pantas untuk menjadi menantunya. Kini, Maya sudah dia talak karena memang wanita itu menginginkannya. Tidak ada lagi seharusnya yang membuat Hani bertengkar. Wulan adalah menantu kesayangannya. Tentu saja, Aris berpikir bila Hani tidak mungkin bertengkar dengan Wulan. "Kamu masih bertanya alasannya, Aris? Bukankah sudah jelas, Wulan itu sama sekali tidak ingin belajar menjadi seorang istri yang baik! Seharusnya, dia dapat membuatkan sarapan yang layak untukmu, bukan hanya mengoleskan roti!" jawab Hani menatap tajam sang menantu."Sudahlah Bu, jangan selalu bertengkar dengan Wulan. Aku berangkat sekarang," ucap Aris kemudian pergi bekerja tanpa mempedulikan panggilan Wulan. Aris tahu dirinya mulai
Maya tidak bisa mengabaikan perasaan canggung yang mengisi hari-harinya di kantor. Setiap kali ia berpapasan dengan Gilang, ada semacam ketegangan yang menyelimuti mereka. Mereka sudah berbagi banyak momen, tetapi kini semua terasa berbeda. Maya mencoba berkonsentrasi pada pekerjaan, tetapi pikiran tentang Gilang seringkali mengganggu fokusnya. Pagi itu, Maya duduk di mejanya, menyusun beberapa dokumen yang harus diserahkan kepada Gilang. Saat ia sedang memeriksa berkas-berkas itu, Putri, sahabat sekaligus adik Gilang, mendekat. “Hai, Maya! Apa kabar?” tanya Putri dengan senyum lebar di wajahnya. “Baik, Put. Kamu?” Maya menjawab, berusaha menampilkan senyum yang tulus meskipun hati di dalamnya bergetar. “Biasa saja. Tapi, aku lihat kamu dan Kak Gilang belakangan ini lebih sering terlihat... canggung,” Putri berkata, mengedipkan mata. Maya tersentak. “Canggung? Maksudmu?” Putri mendekat, suara bisiknya membangkitkan rasa ingin tahu Maya. “Aku hanya merasa ada sesuatu yang tidak b
Beberapa minggu setelah perceraian, Aris duduk di kantornya, mengamati foto-foto yang terpajang di meja kerjanya. Salah satunya adalah foto dirinya bersama Maya, diambil pada saat pernikahan mereka. Kenangan itu sekarang terasa seperti bayangan yang menyakitkan. Wajah ceria Maya seolah mengingatkannya akan semua kebahagiaan yang pernah mereka bagi dan bagaimana semuanya kini hancur. “Hari ini, aku harus berbicara dengan Maya,” Aris berpikir sambil meremas kertas di tangannya. Kecemasan menyelimuti hatinya, tetapi dia tahu itu harus dilakukan. Dia tidak bisa terus hidup dalam penyesalan tanpa mencoba memperbaiki kesalahan yang telah dia buat. Setelah berpikir panjang, Aris memutuskan untuk menemui Maya di kantornya. Saat melangkah keluar, dia merasa beban berat di pundaknya. Dia harus menghadapi kenyataan bahwa pernikahannya dengan Maya telah berakhir, dan kini dia harus menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihannya. Sementara itu, Maya sedang asyik bekerja di mejanya ketika dia
Hari-hari berikutnya di kantor dihabiskan dengan canda tawa antara Maya dan Gilang. Meskipun ada kekhawatiran di dalam hati Maya mengenai masa lalu, dia merasa semakin nyaman dengan kehadiran Gilang. Mereka mulai berbagi cerita dan pengalaman, menjalin hubungan yang lebih dalam. “Jadi, apa yang kamu lakukan saat tidak di kantor?” tanya Gilang suatu sore ketika mereka sedang istirahat di pantry. “Aku suka membaca dan menulis. Sebenarnya, aku punya beberapa cerita yang sudah kutulis, tetapi aku masih ragu untuk membagikannya,” Maya menjawab dengan sedikit gugup. Gilang terlihat tertarik. “Oh, kamu harus membagikannya! Aku pasti ingin membacanya. Menulis adalah cara yang bagus untuk mengekspresikan diri.” Maya tersenyum, merasa dihargai. “Terima kasih. Aku akan memikirkan untuk membagikannya suatu hari nanti.” Setelah beberapa hari berlalu, Maya merasa dirinya semakin dekat dengan Gilang. Namun, di malam harinya, saat dia berbaring di tempat tidur, bayangan Aris terus mengganggunya.
“Siapa yang kamu ajak bicara?” tanya Aris, matanya tertuju pada Wulan yang sedang asyik dengan ponselnya. Wulan menoleh, terlihat sedikit terkejut. “Oh, hanya teman lama. Dia ingin menanyakan kabar.” “Teman lama? Kenapa kamu tidak pernah cerita tentang dia sebelumnya?” Aris mempertanyakan, nada suaranya mengandung kecurigaan. Wulan terlihat ragu sejenak. “Ah, cuma teman biasa. Dia sudah lama tidak menghubungi, jadi aku tidak terpikir untuk membahasnya.” Aris mengerutkan dahi, merasa ada yang aneh. “Kamu tidak terkesan sangat bersemangat untuk berbicara dengan teman biasa.” “Aris, ini hanya percakapan biasa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” Wulan menjawab, tetapi ada ketegangan dalam suaranya. Aris ingin percaya, tetapi hatinya meragukan. “Aku harap begitu. Mungkin kita bisa berbagi lebih banyak tentang teman-teman kita?” “Ya, mungkin,” Wulan menjawab, berusaha tersenyum, tetapi senyumnya tampak dipaksakan. Malam itu, Wulan pergi ke kamar mandi, dan Aris melihat kesempatan