"Tidak! Tarik kembali ucapanmu, Maya. Sampai kapan pun aku tidak akan berpisah darimu!" balas Aris terkejut dengan ucapan Maya. "Lalu, untuk apa mempertahankan pernikahan ini, Mas? Kamu pun tidak bisa bersikap adil seperti yang kamu janjikan. Semua ucapanmu hanya isapan belaka, manis di bibir. Namun, kenyataannya aku hanya menjadi istri pajanganmu atau bahkan babu di rumah ini," ujar Maya dengan menggebu-gebu. Maya sudah berusaha bersabar empat bulan ini dengan semua perlakukan Aris. Pria yang berjanji untuk bersikap adil itu tidak dapat menepati janjinya. Jadi, dia memilih untuk pergi saja dari rumah tangga penuh derita ini. Lebih baik sendiri, dibandingkan berdua tetapi selalu merasa sendirian. "Maya, jangan gegabah seperti itu! Kamu harus bisa mengerti kondisiku. Saat ini aku tidak mungkin bisa membagi nafkah dengan adil karena satu dan lain hal. Apa yang bisa aku lakukan agar kamu tidak meminta berpisah?" ujar Aris dengan wajah memelas. "Sudahlah Aris! Bukankah lebih baik
"Kabulkan saja permohonannya yang menginginkan perpisahan. Bukan kamu yang menginginkannya, Aris! Ibu rasa sudah cukup jelas bila dia tidak lagi memiliki perasaan yang sama denganmu!" ucap Hani mulai mengompori Aris. "Mbak Maya yakin ingin bercerai dari Mas Aris?" tanya Wulan. Pertanyaan Wulan memang terdengar biasa, tetapi Maya tahu perempuan itu menginginkan jawaban yang pasti. Mungkin, inilah yang ditunggu-tunggu Wulan. Ucapan pisah dari Maya dengan penuh suka cita. Tidak menampik bila Wulan menunggu Maya menyerah dengan rumah tangganya dan Aris. Pun Maya telah bertahan selama ini merupakan sesuatu yang melebihi ekspektasi. Bahkan, Wulan awalnya yakin bila Maya tidak akan mengizinkan Aris berpoligami. Maya menatap Wulan dengan senyum di wajah. "Bukankah ini yang kamu inginkan? Bila aku bercerai dari Mas Aris, kamu akan menjadi istri satu-satunya. Belum lagi kamu dapat mengurus surat pernikahan kalian untuk memberikan status pada anakmu!" jawab Maya membuat Wulan tersentak. S
Maya menatap penuh permohonan pada pria yang sudah lima tahun membersamainya. Dia sudah tidak sanggup menahan semua perasaannya. Tidak ada lagi yang dapat membuatnya bertahan menjadi istri Aris. "Kamu yakin ingin berpisah denganku, Maya? Aku makan sangat mencintaimu. Tolong jangan memaksaku untuk melakukan hal ini," ucap Aris memandang sendu istri pertamanya itu. "Semua yang dikatakan Ibu benar, Mas. Tidak ada yang dapat kamu banggakan dariku. Bukankah aku tidak bisa memberikan anak? Tidak pula membantumu dalam keuangan rumah tangga. Hal itu dapat dilakukan oleh Wulan. Jadi, mungkin lebih baik kamu hanya memiliki seorang istri saja," ujar Maya dengan tenang. Cinta memang masih ada dalam hati Maya, tetapi semuanya telah terkikis dengan perilaku Aris. Lebih baik dia menjelaskan statusnya sebagai seorang janda. Dari pada hidup bersama dengan Aris sebagai istrinya, terapi diperlakukan layaknya janda. Tidak diberikan nafkah lahir maupun batin adalah salah satu alasan dari Maya u
Maya tidak merasa sebagai wanita paling merana karena telah diceraikan. Justru ada perasaan lega lepas dari belenggu pernikahan yang dihadirkan Aris. Selama menikah dengan Aris, dia memang bahagia. Namun, ada yang membuatnya tidak menerima kebahagiaan itu dengan semestinya. Kehadiran anak menjadi momok yang menakutkan untuk Maya. Budaya di Indonesia masih sangat memvalidasi kehadiran anak sebagai tolok ukur sebuah keluarga. Jadilah, Maya menerima poligami yang membuat hatinya kian terluka. "Selamat tinggal, Mas Aris," ucap Maya pada mantan suaminya itu. Tadinya, Aris bersikeras untuk mengantarkan Maya menuju rumahnya. Perjalanan menuju rumah Maya mamakan waktu tiga jam. Namun, Maya menolak, dia tidak ingin keteguhan hatinya goyah. "Ini sudah malam, Maya. Aku tidak tega membiarkanmu seorang diri pulang ke rumah," ujar Aris mencegah kepergian Maya. "Mas, kamu tenang saja. Aku duga memesan kendaraan online. Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku," balas Maya dengan senyuman. Wanita
Kepergian Maya memberikan kesedihan pada Aris. Pria itu melihat Hani dan Wulan bersuka cita atas kepergian istri pertamanya itu. Lebih tepatnya telah menjadi mantan istri. "Jangan terlalu lama dalam mengurus perceraian. Maya tidak berhak mendapatkan apa pun karena dia tidak memiliki anak denganmu. Ibu bersyukur kamu lepas dari dirinya," ucap Hani. Wulan yang berada di samping Hani ikut tersenyum. Dia merasa sangat puas dan bangga menjadi istri satu-satunya bagi Aris. Tanpa campur tangannya, Maya menyerah hanya dalam kurun waktu beberapa bulan. Hal itu membuat Wulan di atas angin. Keberpihakan Hani juga merupakan yang sangat diinginkan oleh Wulan. Setiap menantu pasti ingin agar disukai oleh ibu mertua. Aris menatap Hani dengan sendu. Dia tidak habis pikir dengan sang ibu yang dapat mengucapkan hal tersebut dengan mudah. Ibunya itu seolah tidak memiliki hati dengan memintanya untuk segera mengurus perceraiannya dengan Maya. "Iya, Mas. Aku setuju dengan Ibu. Bila kalian telah
"Ke mana adikku? Mengapa ada wanita lain di rumah ini? Aku tahu dia bukan keluargamu. Jadi, jangan berbohong padaku!" ujar Rendra dengan mengepalkan tangan. "Maafkan aku, Mas. Wulan adalah istri keduaku, aku melakukan poligami dengan persetujuan Maya. Jadi, Mas jangan marah padaku. Aku melakukan pernikahan keduaku seizin Maya," ucap Aris melirik pada Rendra yang matanya dipenuhi kilat kemarahan. "Persetan dengan ucapanmu. Tidak mungkin Maya menyetujui begitu saja pernikahanmu! Pasti kamu yang menginginkan hal ini!" Rendra langsung memukul pipi Aris. Wulan berteriak ketika Rendra memukul suaminya. Baru saja dia terbebas dari Maya, ternyata Kakak dari mantan madunya itu datang dengan penuh amarah. "Hentikan! Kamu telah membuat suamiku terluka,," ucap Wulan yang terkejut. Rendra mengabaikan ucapan Wulan, tak lama datang Hani yang terkejut dengan kedatangan Rendra. Belum lagi, dia menghajar Aris dengan bertubi-tubi. "Tidak!!! Apa yang kamu lakukan pada anakku?" Kali ini, Rendr
Setelah menerima panggilan dari Maya, bergegas Rendra pulang ke rumah orang tuanya. Perjalanan melelahkan tidak dia hiraukan. Yang terpenting baginya adalah segera bertemu dengan Maya. Sang adik tidak pernah menceritakan tentang kelakuan suaminya. Rendra tidak pernah menyangka bila Maya dipoligami dan menjalani hari-hari beratnya seorang diri. Kesal karena sebagai seorang Kakak dia tidak dapat menjadi orang pertama yang membela Maya. Sesampainya di rumah orang tuanya, dia segera memasuki rumah. "Assalamualaikum, Maya. Kamu di mana, Dek?" Tanpa basa basi, dia memeluk Maya yang menghampiri Rendra. "Mengapa kamu tidak menceritakan pada Mas tentang kelakukan si brengsek itu? Seharusnya, kamu menceritakannya padaku!" ucap Rendra. Maya menggeleng, dia tidak bisa menahan tangisnya. Hal yang paling dia takutkan adalah Rendra mengetahui pernikahan Aris. Namun, semua itu tampaknya tidak perlu dia khawatirkan. Pernikahannya dengan Aris telah kandas. Dia tidak dapat mempertahankan pe
"Maya itu kemungkinan tidak bisa hamil. Dia bercerita padaku kalau sudah lima tahun dia belum juga hamil. Itu juga alasan Maya setuju dipoligami. Apa Kakak akan menerima kondisi Maya?" tanya Putri. Gilang terdiam, bagaimana pun dia memiliki perusahaan keluarga. Pasti orang tuanya menuntut agar dia memiliki seorang anak. Perasaannya senang yang tadinya dia rasakan jadi surut. Mampukah dia meyakinkan sang ibu untuk memberikan restu padanya untuk mendekati Maya. Belum tentu juga, Maya akan langsung menerimanya. Dia yakin, wanita itu sedang dilanda kesedihan akibat perceraiannya dengan Aris. Pria yang membuatnya kalah karena dipilih oleh Maya. Kini, dia tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan yang diajukan oleh Putri. Dilema melanda Gilang, dia tidak bisa egois dan hanya mementingkan dirinya sendiri. "Aku bisa menerima kondisi Maya, tetapi Mama belum tentu menerimanya. Aku harus meyakinkan Mama terlebih dahulu. Kalau memang dia tidak merestui kami, mungkin aku akan mundur d
"Jadi, Maya hamil?"Suara Hani bergema di ruang tamu yang sepi. Aris duduk di kursi, pandangannya lurus ke depan, namun hatinya seolah terguncang oleh kabar yang baru saja dia dengar. Dia tak bisa mempercayai bahwa Maya—wanita yang pernah ia cintai dan gagal dia pertahankan—sekarang sedang mengandung anak dari Gilang."Iya, Bu. Maya akan punya anak," Aris menjawab lirih, menundukkan kepalanya.Hani yang duduk di sampingnya terdiam sesaat, mencoba memahami perasaan anaknya. Ia tahu, kabar ini bukan hal yang mudah diterima oleh Aris. Bagaimanapun, meski mereka telah lama berpisah, Maya masih meninggalkan jejak yang mendalam di hati Aris. Kini, kenyataan bahwa Maya akan menjadi ibu dari anak pria lain mungkin terasa seperti pukulan telak bagi Aris."Aris," kata Hani lembut, "kamu harus kuat. Kita sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Maya sudah memilih jalan hidupnya, dan kita harus menghormatinya. Apapun yang terjadi, hidupmu harus terus berjalan."Aris mengangguk pelan, meskipun di dalam
Pagi itu, udara terasa hangat dan tenang di rumah Gilang dan Nissa. Maya sedang sibuk di dapur, menyiapkan sarapan. Suara pisau yang bergerak cepat di atas talenan mengiringi aktivitas paginya. Dia tersenyum sambil memikirkan hari-harinya bersama Gilang, terutama bulan madu mereka yang penuh kebahagiaan dan tawa. Gilang, dengan segala cinta dan perhatian, selalu membuat Maya merasa seperti wanita paling beruntung di dunia.Namun, di balik kebahagiaan itu, ada satu perubahan besar yang Gilang inginkan. Suatu malam setelah mereka kembali dari bulan madu, di atas ranjang mereka yang nyaman, Gilang memeluk Maya erat dan berbisik, “Sayang, aku ingin kamu berhenti bekerja. Aku ingin kamu lebih fokus pada kita, keluarga yang akan kita bangun.”Maya tertegun sesaat, menatap Gilang. "Apa kamu benar-benar menginginkannya, Gilang?"“Iya,” jawab Gilang dengan penuh keyakinan. “Aku ingin kamu tidak perlu lagi pusing dengan pekerjaan. Biarkan aku yang menafkahi kita. Kamu bisa beristirahat dan meni
Sebulan kemudian, persiapan pernikahan berjalan dengan cepat. Maya dan Gilang sudah tidak sabar untuk menghalalkan hubungan mereka. Gilang memastikan segala sesuatu tertangani dengan baik, dari dekorasi hingga undangan. Ia ingin hari pernikahannya menjadi momen terbaik dalam hidup mereka.Maya sendiri sibuk dengan persiapan pribadi, memilih gaun dan merencanakan acara bersama sahabat-sahabatnya, termasuk Putri yang selalu setia mendampinginya. Dalam hati, Maya merasa bahagia, meskipun ada rasa takut yang kadang muncul. Bagaimana jika pernikahan ini tidak berjalan sesuai harapan? Bagaimana jika masa lalunya kembali menghantui?Namun, setiap kali rasa khawatir itu muncul, Gilang selalu ada untuk menenangkannya. “Percayalah, Maya. Kita akan bahagia. Ini adalah awal baru untuk kita.”Hari pernikahan semakin dekat, dan semua orang sibuk dengan persiapan. Maya sering kali tenggelam dalam tumpukan pekerjaan, baik di kantor maupun dalam persiapan acara, tetapi itu membuatnya merasa lebih tena
Matahari bersinar cerah ketika Maya tiba di rumah Nissa, perasaan gugup menghiasi langkahnya. Meski hubungan mereka sudah lebih baik, tetap saja, restu dari calon mertuanya adalah langkah besar yang harus ia lewati. Gilang, yang berjalan di sampingnya, meraih tangan Maya dengan lembut, seolah memberikan kekuatan. “Tenang saja, Maya,” bisik Gilang seraya tersenyum. “Ibu pasti akan merestui kita. Aku yakin.” Maya mengangguk perlahan, meskipun kegelisahan itu masih ada. Dia tahu, restu dari Nissa adalah kunci utama untuk melangkah ke tahap berikutnya dalam hubungannya dengan Gilang. Restu yang selama ini belum sepenuhnya ia dapatkan. Ketika mereka masuk, Nissa sudah menunggu di ruang tamu. Senyuman ramah terulas di wajahnya, namun Maya tetap bisa merasakan ketegangan. Ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka. Nissa memang lebih bersikap terbuka belakangan ini, tetapi masalah masa lalu Maya sebagai seorang janda masih menyisakan sedikit kekhawatiran dalam benak ibu Gilang. “Du
"Ibu akan memberitahukannya setelah waktunya tepat" ucap Nissa.Nissa meminta Maya dan Gilang untuk bersabar. Dia harus meyakinkan dirinya sendiri untuk menerima Maya. Oleh karena itu, Nissa masih meminta waktu untuk berpikir tentang restu untuk Maya dan Gilang. Akhirnya, Maya dan Gilang mencoba untuk bersabar. Hingga ada seseorang yang kembali mengusik ketenangan Maya.Langit senja terlihat suram ketika Aris berdiri di depan pintu kontrakan Maya. Dengan napas tertahan, dia menekan bel pintu, berharap Maya akan menerimanya kembali. Meski banyak hal yang telah terjadi, Aris masih merasa ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Dia tahu betul hubungannya dengan Wulan berakhir tragis, dan kini, pikirannya kembali teringat pada Maya—wanita yang pernah dia cintai dan biarkan pergi. Pintu terbuka perlahan, dan Maya berdiri di sana, terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Aris?" tanyanya, suaranya terdengar datar, meski matanya menunjukkan sedikit keraguan. Aris m
Wulan duduk di atas ranjang rumah sakit, matanya kosong menatap keluar jendela. Hujan deras mengguyur kota, seolah mencerminkan kekosongan di dalam hatinya. Tidak ada lagi yang tersisa. Kandungannya yang dulu menjadi harapan kini telah tiada. Semua telah lenyap, meninggalkannya dalam kehampaan yang menyakitkan.Pintu kamar perlahan terbuka. Pandu melangkah masuk, wajahnya tampak tegang dan penuh dengan penyesalan. Wulan menoleh pelan, tatapannya bertemu dengan mata Pandu yang muram."Pandu..." suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Pandu mendekat, berdiri di sisi ranjang, namun ia tidak segera bicara. Hanya keheningan yang terjalin di antara mereka. Tatapan penuh luka di mata Wulan membuat dada Pandu terasa sesak."Aku tidak tahu harus berkata apa," Pandu akhirnya memecah kesunyian, suaranya rendah dan berat. "Aku... sangat menyesal."Wulan menundukkan kepala, mencoba menahan tangis yang sudah tak terhitung jumlahnya. "Kita semua melakukan kesalahan, Pandu," katanya lirih. "Aku ta
Wulan duduk terpaku di ranjang rumah sakit, tangannya memeluk erat perutnya yang kosong. Air matanya mengalir deras, seolah tidak pernah akan berhenti. Di dalam tubuhnya, bayi yang selama enam bulan ia kandung kini tidak lagi bernyawa. Tidak ada lagi denyut kehidupan yang dulu selalu ia rasakan setiap hari.Seorang perawat masuk ke kamar dan memberikan kabar yang sudah ia tahu sejak tadi, namun masih terlalu menyakitkan untuk didengar lagi. “Maaf, Bu Wulan... Kami sudah berusaha, tapi bayinya tidak bisa diselamatkan. Kondisinya terlalu lemah setelah pendarahan hebat tadi.”Wulan hanya mengangguk lemah, tidak ada tenaga untuk berkata apa-apa. Hatinya hancur, lebih dari yang pernah ia bayangkan. Bayangan masa depan bersama anaknya, yang ia yakini bisa menjadi harapan satu-satunya di tengah kekacauan hidupnya, kini lenyap seketika.Tidak lama setelah perawat keluar, kedua orang tuanya, Sari dan Arif, datang dengan wajah tegang. Sari langsung menghampiri Wulan dan menatap putrinya dengan
"Sudah cukup, Wulan!" Aris berdiri tegak di hadapan istrinya, wajahnya memerah karena amarah yang selama ini dipendam. Dia tidak bisa lagi menahan kemarahan setelah semua yang terjadi. "Aku tidak mau mendengar alasan apa pun lagi. Kamu harus pergi dari rumah ini sekarang juga."Wulan terdiam, tak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut Aris. Mata gelapnya membelalak, hatinya berdegup kencang. "Aris... kamu tidak serius, kan?"Aris menggelengkan kepalanya. "Aku sangat serius. Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu pikir aku bodoh tidak menyadari semua kebohonganmu? Aku sudah cukup bersabar, tapi tidak ada yang tersisa lagi. Aku menceraikanmu, Wulan. Sekarang!"Wulan tersentak mendengar kata-kata tajam itu. Bibirnya bergetar, air mata mulai menetes dari sudut matanya. "Aris, jangan... Kumohon... Jangan lakukan ini." Suaranya penuh dengan kepanikan."Aku sudah katakan, ini sudah selesai." Aris menatap Wulan dengan dingin. "Kita hanya menikah secara siri, dan aku tidak ingin melanjutkan hubung
Aris duduk di ruang tamu dengan wajah tegang. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna kejadian yang baru saja ia ketahui. Ponsel Wulan yang selalu berdering di tengah malam, telepon dari Pandu yang disembunyikan, dan semua tanda-tanda yang ia abaikan selama ini. Semua mulai masuk akal sekarang.Wulan duduk di sofa seberang, wajahnya pucat pasi. Dia tahu saat ini adalah akhir dari kebohongannya, tapi dia tetap mencoba bertahan.“Aku tidak bisa lagi menutup mata, Wulan,” kata Aris dingin, nadanya penuh kepahitan. “Sudah cukup. Aku sudah tahu semuanya.”Wulan memandang Aris dengan mata berair, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Semua kebohongan dan sandiwara yang dia jalani selama ini runtuh dengan cepat. Dia mencoba mencari cara untuk membela diri, tetapi tak ada lagi yang bisa disangkal.“Pandu adalah ayah dari anak yang kamu kandung, kan?” Aris akhirnya menembak dengan pertanyaan langsung. Suaranya begitu tajam, membuat Wulan menunduk tanpa bisa berkata-kata.“K