Pria yang kuteriaki langsung terbangun, terkesiap sembari mengumpulkan ruh dan kesadarannya. Dia mengucak mata, lamat lamat menyaksikan diriku di depannya. "Mas Hamdan, Mas melalaikan salat subuh hanya karena menikmati percintaan dengan wanita ini?"Suamiku hanya melongo saja mendengar aku bertemu memarahinya. Si wanita terkejut malu lalu menutupi dirinya dengan selimut, canggung sekali."Mbak, rasanya gak perlu gitu deh, gak enak sama mertua, beliau sekarang adalah suami saya," ucap wanita itu mendekatiku sambil tetap memegang selimut di dadanya.Plak!Kutampari wanita itu sampai dia terkejut, Mas Hamdan kaget dan mengulurkan tangannya tapi tak tergapai."Sebagai istri, harusnya kamu mengajak suami kearah kebaikan, mengingatkan ke jalan yang benar. Mas Hamdan menikahimu karena dia ingin menyempurnakan agama dan melindungi dari orang-orang yang ingin menghinakanmu! Mengapa kamu tidak membangunkannya?"Aku memang terkesan membuat buat drama, tapi biarkan saja. Aku ingin mereka jadi p
Tahukah kamu bila seseorang membuat dosa besar, dan menunjukkan rasa bersalah dan penyesalan, sebaiknya jangan mudah memberikan mereka maaf. Biarkan waktu berjalan, jaga 'image' tetap elegan, agar mereka bisa lebih banyak belajar untuk berusaha mengambil hati dan memperoleh pengampunan. Biar mereka menyadari bahwa nilai dari kata maaf itu tidak semudah dengan pengucapannya. Ya, 'maaf' satu kata dengan sejuta makna. Sekali hati tersakiti lalu berdarah karena luka, maka akan sulit menyembuhkan. Kalaupun sembuh maka, tidak akan semudah itu untuk menghilangkan bekasnya. Itu yang sedang kualami saat ini.Setelah selesai membantu semua orang, memastikan bahwa rumah orang yang sudah kuanggap seperti ayah dan ibu sendiri rapi kembali, aku segera mengambil jeda untuk beristirahat dan duduk di meja makan. Selagi aku sedang duduk dan meneguk airku, tiba-tiba Maura masuk ke dapur, mengambil piring, dia tidak menyadari kehadiranku di meja makan karena terus menunduk. Gadis itu membuka lemari m
Siang hari aku kembali dari rumah mertua, ku buka pintu kalau mengedarkan pandanganku pada rumah yang memiliki banyak jendela kaca dan desain interior kayu klasih yang dibuat sehangat mungkin. Ada sofa besar, karpet bulu di ruang keluarga sebuah perapian dan TV besar melengkapi suasana kami membangun kebahagiaan keluarga.Kututup kembali pintu, suaranya menggema, memantul ke dinding merefleksikan suasana yang memiliki sensasi ketakutan tersendiri. Semuanya sepi dan kesepian itu terasa menusuk di dalam dada ini. Pukul 12 lewat dua puluh siang anak-anak belum kembali dari sekolah mereka, jadi kuputuskan untuk pergi berwudhu dan membentangkan sajadah menunaikan salat zuhur.Selepas salat, banyak kuucapkan istigfar dan doa memohon pengampunan atas sikapku pagi tadi pada dua pasangan pengantin baru yang berbahagia.Sebenarnya dari lubuk hati terdalam aku bukanlah tipe wanita kejam dan suka cari masalah seperti tadi, tapi tidak tahu mengapa, hati ini tergerak untuk membalaskan dendam d
Mungkin karena merasa tidak ada yang perlu dibahas lagi, daripada hanya duduk dalam diam dan saling memandang, akhirnya mereka memutuskan pergi."Kalau begitu kami pulang, ya, Aisyah?"pamit Mas Hamdan kepadaku."Ya ... silakan. Tapi dengar Mas jangan lupa pembagian waktu yang akan kau habiskan bersamaku dan dengannya. Mungkin aku harus mengambil jatah empat hari karena kita harus membimbing anak dan menghabiskan waktu dengan mereka. Tapi karena kau pengantin baru yang harus bulan madu ... aku akan memaklumi kau ingin tinggal lebih lama dengan Maura. Pergilah, keberadaan kalian di sini juga membuatku risih," ungkapku.Mas Hamdan mengangguk dan mengajak istri barunya menjauh dariku, mereka berjalan beriringan menuju pintu sambil saling menggenggam tangan. Melihat kemesraan itu aku hanya bisa tertawa sinis,"Hah, mau keluar saja bergandengan, berlebihan sekali," gumamku.Mungkin benar aku iri, tapi perasaan yang dominan lebih kepada jijik."Saya tidak mengira, bahwa Mbak Aisyah a
Tanpa berpikir panjang, kukendarai motor menuju ke rumah mertua, kuparkirkan kendaraan itu sembarangan saja di bagian pelataran depan, kuseret gamis yang konon berharga mahal lalu mencari Maura ke dalam."Assalamualaikum, Ibu," ucapku pada mertua yang kebetulan duduk di kursi depan."Walaikum salam, ada apa terburu-buru, Nak, apa terjadi sesuatu?""Aku ingin bicara pada Istri Mas Hamdan," jawabku tegas.Tanpa menunggu lagi aku langsung masuk ke dalam dan memburu wanita itu di kamarnya.Brak!Kubuka pintu kamar dan mereka yang ada di dalam sana tertegun, juga aku yang langsung kehilangan kata-kata menyaksikan mereka sedang bercanda di atas tempat tidurnya. Posisi Maura berada di atas tubuh Mas Hamdan, sedang tangan suamiku melingkar di pinggangnya, mereka bercanda tawa tanpa sungkan dan suaranya terdengar sampai ke luar kamar mereka."A-ada apa?" tanya Mas Hamdan seraya menjauhkan Maura dari hadapannya.Aku yang berdiri terpaku sambil menetralisir kemarahanku, ingin berusaha tetap
Kubuka mata dan sadar bahwa kini aku sudah terbaring di tempat tidur, ternyata aku pingsan dan keluarga suamiku membawaku pulang."Kamu sudah bangun?""Iya, siapa yang membawaku pulang, Bu?""Kami semua, kenapa kamu sampai pingsan, apa kamu lupa menjaga kesehatanmu?""Aku terlalu sakit hati, Bu," jawabku sambil berusaha bangun dari tempat tidur, tapi kepalaku berdenyut bukan main, aku bahkan tidak sanggup membuka mata."Aduh, ada apa denganku, ya?" gumamku sambil memijiti kepala."Jangan-jangan kau hamil lagi wajahmu pucat dan tubuhnya jadi kurus.""Ah, mana mungkin, Bu, aku sudah berumur, nyaris empat puluh," gumamku."Kamu kan masih subur, apa selama ini kamu masih menggunakan kontrasepsi KB?""Sebenarnya tidak lagi karena intensitas hubungan intim kami juga tidak sesering dulu," jawabku meringis pelan."Tapi, tetap saja, kau telah melakukannya bukan? Jadi, aku juga tak mau menampik kemungkinan itu," jawab Ibu sambil memutar bola matanya."Semoga tidak .....""Berharap saja, tapi
Nampaknya Maura tidak mau kalah dengan perang di sosial media terbukti ketika Mas Hamdan pulang, pria itu langsung mencariku di kamar dan kembali menatapku lekat sambil menarik nafasnya dalam-dalam."Ada apa lagi?" tanyaku pasang badan."Apa maksud pertengkaran di sosial media yang kalian lakukan? apa kamu tidak menimbang rasa malu yang akan kualami? Kalian perempuan hanya diam dirumah sementara pria akan keluar mencari nafkah, aku tidak mau dilecehkan atau ditertawakan oleh teman-temanku karena pertengkaran istri istriku." Dia memprotes sambil berkacak pinggang dengan kesal."Kalau begitu kondisikan agar situasinya kondusif, cari cara agar kami tidak bertengkar, kau bisa kan, Mas?"Sekali lagi ia menggeleng, berkali-kali mengais udara, sekuat tenaga menelan ludah dan nampak menyusun kata-kata."Aisyah ... kalau begini aku semakin tidak betah denganmu, aku merasa rumah ini sudah bukan rumahku lagi, kau berubah menjadi istri yang pemarah dan suka menimbulkan masalah. Tidakkah kamu
Pagi kembali menyapa dengan nuansa berbeda, hujan semalam meninggalkan titik embun di kelopak bunga, cahaya jingga di ufuk timur, memaksa diri ini untuk bangkit dari balik hangatnya selimut, melawan rasa dingin lalu bangun menyiapkan sarapan untuk anak.Kusibak selimut lalu membenahi rambutku dan mengikatnya, kulirik punggung suamiku yang ternyata tidur di dekatku juga semalam.Aku hanya mendesah sambil menggelengkan kepala, mengingat apa yang sudah dibahasnya semalam, tentang uang, hasil kebun dan segala hal mengenai cara dia ingin memanjakan sang istri muda. Aku malas sekali dengan itu."Selamat pagi, Bunda," sapa Raihan ketika melihatku menata piring di meja."Selamat pagi, Nak, ayo langsung sarapan," jawabku menuangkan susu ke gelasnya."Semalam Ayah ada disini? aku lihat sandalnya," ucap Raihan menarik kursi dan duduk di sana."Iya, ada di sini.""Syukurlah."Entah apa yang disyukuri anakku tapi aku tak hendak memperpanjang percakapan dengannya aku hanya ingin dia fokus pada sek