Mungkin karena merasa tidak ada yang perlu dibahas lagi, daripada hanya duduk dalam diam dan saling memandang, akhirnya mereka memutuskan pergi."Kalau begitu kami pulang, ya, Aisyah?"pamit Mas Hamdan kepadaku."Ya ... silakan. Tapi dengar Mas jangan lupa pembagian waktu yang akan kau habiskan bersamaku dan dengannya. Mungkin aku harus mengambil jatah empat hari karena kita harus membimbing anak dan menghabiskan waktu dengan mereka. Tapi karena kau pengantin baru yang harus bulan madu ... aku akan memaklumi kau ingin tinggal lebih lama dengan Maura. Pergilah, keberadaan kalian di sini juga membuatku risih," ungkapku.Mas Hamdan mengangguk dan mengajak istri barunya menjauh dariku, mereka berjalan beriringan menuju pintu sambil saling menggenggam tangan. Melihat kemesraan itu aku hanya bisa tertawa sinis,"Hah, mau keluar saja bergandengan, berlebihan sekali," gumamku.Mungkin benar aku iri, tapi perasaan yang dominan lebih kepada jijik."Saya tidak mengira, bahwa Mbak Aisyah a
Tanpa berpikir panjang, kukendarai motor menuju ke rumah mertua, kuparkirkan kendaraan itu sembarangan saja di bagian pelataran depan, kuseret gamis yang konon berharga mahal lalu mencari Maura ke dalam."Assalamualaikum, Ibu," ucapku pada mertua yang kebetulan duduk di kursi depan."Walaikum salam, ada apa terburu-buru, Nak, apa terjadi sesuatu?""Aku ingin bicara pada Istri Mas Hamdan," jawabku tegas.Tanpa menunggu lagi aku langsung masuk ke dalam dan memburu wanita itu di kamarnya.Brak!Kubuka pintu kamar dan mereka yang ada di dalam sana tertegun, juga aku yang langsung kehilangan kata-kata menyaksikan mereka sedang bercanda di atas tempat tidurnya. Posisi Maura berada di atas tubuh Mas Hamdan, sedang tangan suamiku melingkar di pinggangnya, mereka bercanda tawa tanpa sungkan dan suaranya terdengar sampai ke luar kamar mereka."A-ada apa?" tanya Mas Hamdan seraya menjauhkan Maura dari hadapannya.Aku yang berdiri terpaku sambil menetralisir kemarahanku, ingin berusaha tetap
Kubuka mata dan sadar bahwa kini aku sudah terbaring di tempat tidur, ternyata aku pingsan dan keluarga suamiku membawaku pulang."Kamu sudah bangun?""Iya, siapa yang membawaku pulang, Bu?""Kami semua, kenapa kamu sampai pingsan, apa kamu lupa menjaga kesehatanmu?""Aku terlalu sakit hati, Bu," jawabku sambil berusaha bangun dari tempat tidur, tapi kepalaku berdenyut bukan main, aku bahkan tidak sanggup membuka mata."Aduh, ada apa denganku, ya?" gumamku sambil memijiti kepala."Jangan-jangan kau hamil lagi wajahmu pucat dan tubuhnya jadi kurus.""Ah, mana mungkin, Bu, aku sudah berumur, nyaris empat puluh," gumamku."Kamu kan masih subur, apa selama ini kamu masih menggunakan kontrasepsi KB?""Sebenarnya tidak lagi karena intensitas hubungan intim kami juga tidak sesering dulu," jawabku meringis pelan."Tapi, tetap saja, kau telah melakukannya bukan? Jadi, aku juga tak mau menampik kemungkinan itu," jawab Ibu sambil memutar bola matanya."Semoga tidak .....""Berharap saja, tapi
Nampaknya Maura tidak mau kalah dengan perang di sosial media terbukti ketika Mas Hamdan pulang, pria itu langsung mencariku di kamar dan kembali menatapku lekat sambil menarik nafasnya dalam-dalam."Ada apa lagi?" tanyaku pasang badan."Apa maksud pertengkaran di sosial media yang kalian lakukan? apa kamu tidak menimbang rasa malu yang akan kualami? Kalian perempuan hanya diam dirumah sementara pria akan keluar mencari nafkah, aku tidak mau dilecehkan atau ditertawakan oleh teman-temanku karena pertengkaran istri istriku." Dia memprotes sambil berkacak pinggang dengan kesal."Kalau begitu kondisikan agar situasinya kondusif, cari cara agar kami tidak bertengkar, kau bisa kan, Mas?"Sekali lagi ia menggeleng, berkali-kali mengais udara, sekuat tenaga menelan ludah dan nampak menyusun kata-kata."Aisyah ... kalau begini aku semakin tidak betah denganmu, aku merasa rumah ini sudah bukan rumahku lagi, kau berubah menjadi istri yang pemarah dan suka menimbulkan masalah. Tidakkah kamu
Pagi kembali menyapa dengan nuansa berbeda, hujan semalam meninggalkan titik embun di kelopak bunga, cahaya jingga di ufuk timur, memaksa diri ini untuk bangkit dari balik hangatnya selimut, melawan rasa dingin lalu bangun menyiapkan sarapan untuk anak.Kusibak selimut lalu membenahi rambutku dan mengikatnya, kulirik punggung suamiku yang ternyata tidur di dekatku juga semalam.Aku hanya mendesah sambil menggelengkan kepala, mengingat apa yang sudah dibahasnya semalam, tentang uang, hasil kebun dan segala hal mengenai cara dia ingin memanjakan sang istri muda. Aku malas sekali dengan itu."Selamat pagi, Bunda," sapa Raihan ketika melihatku menata piring di meja."Selamat pagi, Nak, ayo langsung sarapan," jawabku menuangkan susu ke gelasnya."Semalam Ayah ada disini? aku lihat sandalnya," ucap Raihan menarik kursi dan duduk di sana."Iya, ada di sini.""Syukurlah."Entah apa yang disyukuri anakku tapi aku tak hendak memperpanjang percakapan dengannya aku hanya ingin dia fokus pada sek
Bagaimana tidak marah jika setelah melukaiku dengan santainya mereka bersenang-senang ke kebun ini. Andai tempat ini adalah hasil warisan yang diberikan kedua mertuaku untuk anaknya mungkin aku tidak akan murka. Namun kebun dan sawah yang membentang luas ini adalah hasil tabungan kami selama bertahun-tahun, aku rela mengencangkan ikat pinggang hanya untuk membeli lunas lahan yang akan jadi harapan hidup kami di hari tua. Tempat kami mengais rezeki ketika Mas Hamdan sudah tidak menerima gaji lagi."Alangkah lancangnya," geramku dengan gigi bergeluk keras."Kenapa mereka diizinkan, tanpa memberitahu saya?""Masalahnya tidak enak, Bu kebetulan ada Pak Hamdan juga," balasnya.Tunggu ... tunggu ... ada hal yang tidak kupahami, kemarin aku pingsan dan sakit di rumah, lalu Mas Hamdan mengantarku pulang dan sempat memberikan makan. Setelah itu kami sempat berdebat panjang sampai lelah, kemudian dia minta izin pergi karena punya urusan mendadak, lalu pulang malam dan kudapati dia pagi tadi
Sekembalinya ke rumah aku langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu. Tanpa memperdulikan sakit hati, kutumpahkan uang yang ada dalam tasku, lalu menghitungnya dengan seksama. Kutelpon setugas LKP yang selalu datang menjemput tagihan dan tabungan untuk datang esok hari, agar uang ini bisa kuamankan.Setelah menyimpan uang tersebut, aku lalu mandi dan berganti pakaian. Kemudian bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan malam."Lagi sibuk mengaduk hidangan kedua anakku datang ke dapur untuk menyapaku.""Bunda seharian kemana aja?""Bunda di kebun, mengawasi panen," jawabku."Kok harus Bunda, biasanya ayah?" tanya Raihan."Sekarang Bunda yang mengurus semuanya," jawabku tersenyum.Di saat bersamaan, Mas Hamdan terlihat membuka pintu dan masuk ke rumah."Kalian teruskan PR-nya ya, Bunda akan menyiapkan meja dan kita akan makan malam bersama,_"pintaku pada kedua putra putriku sambil menyentuh pipi mereka. Mereka mengangguk lalu beranjak ke kamarnya.Lama Mas Hamdan yang berdiri di ambang
Melihat bagaimana suamiku meniduri istri barunya membuatku gemetar, dadaku berdentam dentam menunggu kemarahan dan emosi yang ingin meledak begitu saja.Kucengkeram sisi tilam berusaha menetralisir emosi lalu dengan tangan bergetar kumatikan ponsel karena sudah tidak sanggup menahan adegan menjijikan di depan mata."Sayang ... tidak berjumpa denganmu sehari saja membuatku begitu rindu," ucap Mas Hamdan sambil mengecup telapak tangan istri barunya.Gadis itu merasa dicintai sehingga dia tersenyum dengan bahagia, mereka kembali saling bercumbu dengan penuh gairah. Kupalingkan wajah karena sudah tidak kuasa menahan perasaan hancur yang tidak terkira.Aku ingin menangis, ingin sekali meraung dengan keras, menumpahkan kekesalan di dalam dada tapi air mataku air mataku seakan tidak mau keluar setitikpun. Yang kulakukan hanya duduk membeku sembari menatap nanar rembulan yang sedang bertengger di balik awan.Kurasa dia juga merasakan sakitnya hati ini.Karena tidak mampu meredakan perasaa