Bagaimana tidak marah jika setelah melukaiku dengan santainya mereka bersenang-senang ke kebun ini. Andai tempat ini adalah hasil warisan yang diberikan kedua mertuaku untuk anaknya mungkin aku tidak akan murka. Namun kebun dan sawah yang membentang luas ini adalah hasil tabungan kami selama bertahun-tahun, aku rela mengencangkan ikat pinggang hanya untuk membeli lunas lahan yang akan jadi harapan hidup kami di hari tua. Tempat kami mengais rezeki ketika Mas Hamdan sudah tidak menerima gaji lagi."Alangkah lancangnya," geramku dengan gigi bergeluk keras."Kenapa mereka diizinkan, tanpa memberitahu saya?""Masalahnya tidak enak, Bu kebetulan ada Pak Hamdan juga," balasnya.Tunggu ... tunggu ... ada hal yang tidak kupahami, kemarin aku pingsan dan sakit di rumah, lalu Mas Hamdan mengantarku pulang dan sempat memberikan makan. Setelah itu kami sempat berdebat panjang sampai lelah, kemudian dia minta izin pergi karena punya urusan mendadak, lalu pulang malam dan kudapati dia pagi tadi
Sekembalinya ke rumah aku langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu. Tanpa memperdulikan sakit hati, kutumpahkan uang yang ada dalam tasku, lalu menghitungnya dengan seksama. Kutelpon setugas LKP yang selalu datang menjemput tagihan dan tabungan untuk datang esok hari, agar uang ini bisa kuamankan.Setelah menyimpan uang tersebut, aku lalu mandi dan berganti pakaian. Kemudian bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan malam."Lagi sibuk mengaduk hidangan kedua anakku datang ke dapur untuk menyapaku.""Bunda seharian kemana aja?""Bunda di kebun, mengawasi panen," jawabku."Kok harus Bunda, biasanya ayah?" tanya Raihan."Sekarang Bunda yang mengurus semuanya," jawabku tersenyum.Di saat bersamaan, Mas Hamdan terlihat membuka pintu dan masuk ke rumah."Kalian teruskan PR-nya ya, Bunda akan menyiapkan meja dan kita akan makan malam bersama,_"pintaku pada kedua putra putriku sambil menyentuh pipi mereka. Mereka mengangguk lalu beranjak ke kamarnya.Lama Mas Hamdan yang berdiri di ambang
Melihat bagaimana suamiku meniduri istri barunya membuatku gemetar, dadaku berdentam dentam menunggu kemarahan dan emosi yang ingin meledak begitu saja.Kucengkeram sisi tilam berusaha menetralisir emosi lalu dengan tangan bergetar kumatikan ponsel karena sudah tidak sanggup menahan adegan menjijikan di depan mata."Sayang ... tidak berjumpa denganmu sehari saja membuatku begitu rindu," ucap Mas Hamdan sambil mengecup telapak tangan istri barunya.Gadis itu merasa dicintai sehingga dia tersenyum dengan bahagia, mereka kembali saling bercumbu dengan penuh gairah. Kupalingkan wajah karena sudah tidak kuasa menahan perasaan hancur yang tidak terkira.Aku ingin menangis, ingin sekali meraung dengan keras, menumpahkan kekesalan di dalam dada tapi air mataku air mataku seakan tidak mau keluar setitikpun. Yang kulakukan hanya duduk membeku sembari menatap nanar rembulan yang sedang bertengger di balik awan.Kurasa dia juga merasakan sakitnya hati ini.Karena tidak mampu meredakan perasaa
"Hei, kau tak tahu bahwa selalu mengancam suami dengan cerai adalah dosa?" tanyanya dengan nada yang direndahkan dari tadi."Aku tidak main-main Mas, ketika situasinya sudah tidak nyaman lagi untuk kita berdua ada baiknya kita berpisah, aku lelah Mas. Dan ya, kau bicarakan dosa, apa kabar dosa semalam? Percintaan yang kau tunjuk-tunjukkan?""Maaf, aku minta maaf, aku khilaf, setan mengendalikan nafsu dan diriku," ucapnya."Ya ampun ...." Menyalahkan setan katanya, Aku kehabisan kata-kata."Tapi kenapa reuni harus harus secantik itu, kenapa kau wangi sekali, apa kau berencana memikat seseorang?" Astaghfirullah! Jelas sekali dia cemburu."Aku hanya ingin bahagia dengan diriku sendiri," jawabku santai."Jangan alasan!""Baiklah, aku sedang cari laki-laki, barangkali bisa kudapatkan pria yang lebih baik dan bisa membahagiakanku, kau puas Mas?""Keterlaluan!"Pria itu membanting kunci motor ke lantai, ia masuk ke kamar kerjanya lalu membanting pintu dengan keras.Pria yang sepertinya te
Kupikir karena hari ini jatah waktu untukku bersama suami sudah habis, jadi, daripada kesepian kuputuskan untuk pergi jalan-jalan dan belanja bersama teman-teman arisanku.Kuhubungi mereka satu persatu, lalu berjanji untuk bertemu di salah satu mall yang cukup besar dan terkenal.Kami bertemu dan langsung menyerbu outlet pakaian dan kosmetik yang sedang sale dengan diskonnya.Usai memuaskan diri belanja, kami lanjutkan kegiatan untuk makan bakso dan kwetiau di food court yang lumayan ramai dan strategis lokasinya."Eh, tahu, gak, belakangan ini, gairahku untuk mempercantik diri makin memuncak, kurasa suamiku yang mulai lemah dan menua harus diganti," ucap temanku Nyonya Lola, wanita yang terkenal centil dan selalu modis dari dulunya. Kutanggapi candaannya itu dengan tertawa kecil."Mau diganti brondong, apa lu benaran tertarik pada instruktur zumba yang ada di pusat kebugaran itu?" pancing sahabat kami yang lain, Lola yang cat rambutnya diwarnai merah tersipu-sipu tanpa menjawabny
Kemudikan mobil 25 km menuju rumah. Ketika memasuki perkampungan aku melewati rumah mertua dan terlihat ada Ira dan ibu Mas Hamdan di sana, mereka kebetulan duduk di teras dan melihat aku dan Mas Hamdan di atas mobil."Ibumu melihatmu, Mas, dia pasti penasaran kemana kau pergi," ucapku pelan."Ah, tidak juga.""Pengantin menantimu, dia pasti akan kesal sekali karena menunggu sepanjang hari dan lebih geram lagi kalau tahu kalau bahwa kau bersamaku," gumamku tersenyum jahat."Dia tidak akan tahu karena dia tidak melihatku," jawabnya ketus."Kenapa kamu, Mas?" tanyaku yang masih melihatnya ketus dengan wajah judesnya."Aku masih sebel karena perbuatanmu di mall tadi, siapa pria yang berusaha menyalamimu, terus menatapmu dan selalu mengajakmu mengobrol?""Temannya Lola.""Sebentar lagi pria itu akan berusaha jadi temanmu!" gumamnya mendecak sebal."Memangnya kenapa, kau dan Maura juga bermula dari perkenalan, lalu berteman dan kau kerap membantu, benih benih cinta itu kemudian tumbuh da
Usai memberikan tamparan lewat kata-kata, kututup ponsel dengan tawa bahagia, kuletakkan benda itu ke atas meja lalu merebahkan diri ke tempat tidur. Berbaring di atas tumpukan baju sutra, di antara paper belanja yang berisi tas mahal serta brokat bertule indah, rasanya menyenangkan mencium aroma baju baru dan uang yang akhirnya kupakai bersenang-senang.Rasanya, setelah dipoligami sedih dan menangis berkepanjangan, aku seakan menemukan titik cerah dan makna hidup yang baru. Aku bisa menikmati uang yang selama ini kutabungkan, menahan diri bersenang senang demi kebahagiaan keluarga. Nyatanya uang yang kusimpan berbulan-bulan akhirnya dipakai juga oleh Mas Hamdan untuk menikahi wanita lain.Ada rasa miris, terlebih jika terlalu sering dipikirkan itu akan menimbulkan depresi dan kebencian yang mendalam. Aku mencoba menerima kenyataan dan berlapang dada, karena aku masih ingin waras, belum ingin terjebak di poli kejiwaan dan harus mendapatkan therapi psikiatri. Daripada terus memeras
Tentu saja wanita itu akan mengeluhkan betapa arogannya aku dan betapa tidak ramahnya diri ini padanya. Aku yakin setelah menutup telepon dia akan langsung pergi menangis ke pangkuan ibu mertua dan mengadukan betapa serakahnya aku ingin menguasai suaminya.Padahal manusia yang serakah sesungguhnya adalah dia.Maura bekas orang kaya yang kini sudah menggembel, jika dia tidak bisa mengalah dan mengambil hatiku, maka kupastikan tak lama lagi wanita itu akan kembali ke asalnya, jadi pembantu dan wanita yang selalu diremehkan orang lain. Serius kukatakan, bahwa modal cantik saja itu tidak cukup.Akan kutebak beberapa jam kemudian, ibu mertua akan datang dan menyidangku dengan berbagai penghakiman, dia tidak akan berteriak tapi lembut tutur katanya pedas menusuk hati membuatku semakin sebal. Jika terus dia bersikap pilih kasih maka kupastikan rasa hormat dan baktiku akan menghilang, lagipula untuk apa aku selalu hidup demi menyenangkan orang lain, sementara diri ini tersiksa. Bukankah hidu