Kupikir karena hari ini jatah waktu untukku bersama suami sudah habis, jadi, daripada kesepian kuputuskan untuk pergi jalan-jalan dan belanja bersama teman-teman arisanku.Kuhubungi mereka satu persatu, lalu berjanji untuk bertemu di salah satu mall yang cukup besar dan terkenal.Kami bertemu dan langsung menyerbu outlet pakaian dan kosmetik yang sedang sale dengan diskonnya.Usai memuaskan diri belanja, kami lanjutkan kegiatan untuk makan bakso dan kwetiau di food court yang lumayan ramai dan strategis lokasinya."Eh, tahu, gak, belakangan ini, gairahku untuk mempercantik diri makin memuncak, kurasa suamiku yang mulai lemah dan menua harus diganti," ucap temanku Nyonya Lola, wanita yang terkenal centil dan selalu modis dari dulunya. Kutanggapi candaannya itu dengan tertawa kecil."Mau diganti brondong, apa lu benaran tertarik pada instruktur zumba yang ada di pusat kebugaran itu?" pancing sahabat kami yang lain, Lola yang cat rambutnya diwarnai merah tersipu-sipu tanpa menjawabny
Kemudikan mobil 25 km menuju rumah. Ketika memasuki perkampungan aku melewati rumah mertua dan terlihat ada Ira dan ibu Mas Hamdan di sana, mereka kebetulan duduk di teras dan melihat aku dan Mas Hamdan di atas mobil."Ibumu melihatmu, Mas, dia pasti penasaran kemana kau pergi," ucapku pelan."Ah, tidak juga.""Pengantin menantimu, dia pasti akan kesal sekali karena menunggu sepanjang hari dan lebih geram lagi kalau tahu kalau bahwa kau bersamaku," gumamku tersenyum jahat."Dia tidak akan tahu karena dia tidak melihatku," jawabnya ketus."Kenapa kamu, Mas?" tanyaku yang masih melihatnya ketus dengan wajah judesnya."Aku masih sebel karena perbuatanmu di mall tadi, siapa pria yang berusaha menyalamimu, terus menatapmu dan selalu mengajakmu mengobrol?""Temannya Lola.""Sebentar lagi pria itu akan berusaha jadi temanmu!" gumamnya mendecak sebal."Memangnya kenapa, kau dan Maura juga bermula dari perkenalan, lalu berteman dan kau kerap membantu, benih benih cinta itu kemudian tumbuh da
Usai memberikan tamparan lewat kata-kata, kututup ponsel dengan tawa bahagia, kuletakkan benda itu ke atas meja lalu merebahkan diri ke tempat tidur. Berbaring di atas tumpukan baju sutra, di antara paper belanja yang berisi tas mahal serta brokat bertule indah, rasanya menyenangkan mencium aroma baju baru dan uang yang akhirnya kupakai bersenang-senang.Rasanya, setelah dipoligami sedih dan menangis berkepanjangan, aku seakan menemukan titik cerah dan makna hidup yang baru. Aku bisa menikmati uang yang selama ini kutabungkan, menahan diri bersenang senang demi kebahagiaan keluarga. Nyatanya uang yang kusimpan berbulan-bulan akhirnya dipakai juga oleh Mas Hamdan untuk menikahi wanita lain.Ada rasa miris, terlebih jika terlalu sering dipikirkan itu akan menimbulkan depresi dan kebencian yang mendalam. Aku mencoba menerima kenyataan dan berlapang dada, karena aku masih ingin waras, belum ingin terjebak di poli kejiwaan dan harus mendapatkan therapi psikiatri. Daripada terus memeras
Tentu saja wanita itu akan mengeluhkan betapa arogannya aku dan betapa tidak ramahnya diri ini padanya. Aku yakin setelah menutup telepon dia akan langsung pergi menangis ke pangkuan ibu mertua dan mengadukan betapa serakahnya aku ingin menguasai suaminya.Padahal manusia yang serakah sesungguhnya adalah dia.Maura bekas orang kaya yang kini sudah menggembel, jika dia tidak bisa mengalah dan mengambil hatiku, maka kupastikan tak lama lagi wanita itu akan kembali ke asalnya, jadi pembantu dan wanita yang selalu diremehkan orang lain. Serius kukatakan, bahwa modal cantik saja itu tidak cukup.Akan kutebak beberapa jam kemudian, ibu mertua akan datang dan menyidangku dengan berbagai penghakiman, dia tidak akan berteriak tapi lembut tutur katanya pedas menusuk hati membuatku semakin sebal. Jika terus dia bersikap pilih kasih maka kupastikan rasa hormat dan baktiku akan menghilang, lagipula untuk apa aku selalu hidup demi menyenangkan orang lain, sementara diri ini tersiksa. Bukankah hidu
"Oh, jadi sengaja kau pulang ke rumah dengan raut wajah yang sangat sedih dan seakan terzolimi, pulang dengan lapar seperti manusia yang tidak pernah makan, jadi itu hanya permainanmu agar aku merasa iba?""Bu-bukan Aisyah!"Mas Hamdan mengelak dengan wajah pucat padaku."Lantas? apa yang baru kau bisikan pada wanita itu? sekarang katakan sejujurnya siapa yang kau tipu, aku atau dia?"Pria itu terlihat galau, bingung ingin menjawab seperti apa, nampak khawatir bahwa salah satu dari kami akan terluka."Kau bilang padaku, Maura masih tidur dan tidak mengurusmu, sedangkan padanya, kau bilang hanya pura pura baik padaku, agar wanita itu tidak lelah. Jujurlah padaku, apa kau anggap aku ini pembantumu?""Ti-tidak, bukan begitu ....""Aku datang bersamamu kemari, kau berpelukan di kamarku, sementara kau tahu aku di sini mengunjungi mertuaku, kau kehilangan akal atau memang sengaja bersikap semaumu?""Begini, aku sebenarnya sangat mencintai kalian, tapi aku sendiri bingung bagaimana membuat k
Sewaktu aku akan pergi, tak sengaja diri ini berpapasan dengan ayah mertua beliau terlihat rapi mungkin baru saja kembali dari menghadiri undangan."Assalamualaikum," ucap ayah lembut."Walaikum salam, Ayah.""Kenapa wajahmu terlihat kesal, ada apa?" tanya mertua penasaran, aku yang sudah sungkan ditanya-tanya hanya menjawab seperlunya."Saya harus pulang, permisi Ayah," ucapku singkat.Ayah mertua mengangguk tapi ketika mendengar suaramu orang menangis tersedu-sedu ayah langsung menahan bahu ini dan memintaku untuk tidak pergi."Tunggu dulu, apa yang sedang terjadi di dalam?""Aku tak tahu, biarlah Mas Hamdan selesaikan urusannya," jawabku sambil menjauhkan tangan ayah dari bahuku."Maura!" Ayah memanggil menantu keduanya dengan kencang.Wanita yang dipanggil langsung mendatangi Ayah Mas Hamdan sembari menyeka air matanya."Ada apa?" Beliau bertanya seperti itu, tapi tiba-tiba rautnya menjadi terkejut melihat wajah si jalang berubah merah dan lebam, ia babak belur karena kuhajar bar
Kubuka kembali pintu rumah, lalu melangkah dengan gontai sembari mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan, menatap nyalang pada bingkai bingkai foto yang memperlihatkan betapa kami tersenyum lebar dengan kebahagiaan yang tidak dibuat-buat.Aku tersenyum miris, mengingat lagi kejadian tadi sambil menekan dada yang terasa terlubangi. Setelah kejadian di rumah mertua, kesedihan dalam hati ini semakin bertambah tambah saja jadinya. Dulu mereka berjanji akan mengutamakan aku, nyatanya, mereka mengingkari janji yang mereka buat sendiri.Aku terduduk di sofa sambil merenungi betapa terlukainya aku, air mata ini tumpah, tak henti-hentinya aku menangis sejak Mas Hamdan mengenal wanita itu. Tergugu diri ini sambil memeluk bantal sofa, ada rasa iba pada diri sendiri yang tak bisa digambarkan. Sebagai wanita yang sama sekali tidak menyukai pertengkaran kecuali jika diprovokasi, juga tidak pernah memukul orang, aku merasa buruk telah melakukan kesalahan itu, aku merasa hancur dan makin ser
"Mengapa ayah berkata seperti itu?" "Kau dan kesalahan anakmu adalah produk salah pilihnya Hamdan, sudah kusarankan untuk memilih salah satu dari kalian dan membimbing kalian dengan baik, tapi tetap saja anakku seserakah itu. Lihat buktinya, karena sibuknya kamu dengan kecemburuan mau sehingga kamu tidak bisa mengendalikan putramu!""Pertengkaran ini tidak ada kaitannya denganku Ayah, anakku hanya dihina, dia membela diri dan ....""Harusnya kau ajarkan dia untuk mengendalikan dirinya!" bentak ayah memotong pembelaan diriku dari seberang sana."Kalau begitu ... Apa ayah mengajarkan Mas Hamdan untuk mengendalikan diri? Andai Dia masih Hamdan yang dulu, tidak akan ada kejadian perundungan dan pelecehan seperti ini. Dia terlalu dibutakan oleh ....""Diam!" Pria itu langsung saja menutup teleponnya tanpa banyak bicara lagi.Aku paham bahwa dia tidak terima anaknya dihina, pun demikian halnya aku, jika sudah menyentil masalah buah hati, tentu sakitlah diri ini. Tak akan kukendalikan