Ketika akan menunggu sebuah taksi di depan gerbang sekolah Raihan tiba-tiba mobil Mas Hamdan berhenti dia menurunkan kaca dan memintaku untuk naik bersamanya."Apakah masalah Raihan sudah beres?""Seperti biasa kamu selalu terlambat," jawabku sambil melipat tangan dengan sinis."Apakah kita harus mengganti rugi?""Iya, sekitar tiga juta untuk biaya perawatan anak itu, orang tua yang setuju berdamai asal kita mau bertanggung jawab," balasku dengan santai membohonginya. Aku sengaja melakukan itu Mas Hamdan semakin pusing dengan biaya-biaya yang ditekankan di atas kepalanya."Kamu masih punya uang kan?""Aku sudah depositokan uangku sehingga dana itu tidak bisa dicairkan sampai 5 tahun kedepan, aku hanya punya uang belanja sampai beberapa hari," keluhku pura-pura mendesah berat dan sedih."Tapi, kemarin kamu dari kebun 'kan, bukannya tengkulak membayar kelapa dan aneka hasil kebun dengan jumlah yang banyak?" "Hei, Mas, mereka hanya pengepul yang mengikuti harga beli sesuai dengan perm
Aku tahu atas penilaian orang lain mereka telah menganggapku wanita bodoh yang masih saja bertahan demi harta dan rumah. Mereka menilai bahwa hidupku yang penuh drama amat melelahkan dan mungkin benar aku terlalu berusaha memaksakan diri demi masa depan anak anak.Namun, menimbang dari semua perjuangan yang sudah kulalui, adakah orang yang mau merelakan hal yang menjadi miliknya demi pelakor?Mereka yang melihat berpikir aku akan menerima saja apa yang terjadi, tidak, tidak akan pernah.*"Ayah, apa maksud ayah menyuruh Maura pindah ke rumahku?" tanyaku pada pria yang sedang duduk di meja baca ruang kerjanya. Kutemui beliau malam ini juga karena tak mau menunda waktu.Dia meletakkan buku bacaan miliknya, lalu menatap mataku dari balik kacamata bergagang emas itu.Nampak sekali ayah mertua lelah menghadapi drama di antara kami semua tapi beliau berusaha mengendalikan diri."Maura adalah istrinya Hamdan, biar dia yang mengurusinya, dia harus bertanggung jawab atas rumah dan segala keb
Suara deru mesin mobil terdengar dari garasi, dari jendela kamar kulihat dua orang itu menaikkan koper dan naik ke atas mobil kami.Kali ini aku ingin mencegah tapi logika menghentikan karena masalah tentang tidak mungkin berboncengan dengan wanita, dalam keadaan membawa koper dua besar.Aku hanya mengirimkan pesan ke ponselnya,'Kembalikan mobil ke tempatnya jika sudah selesai.' begitu kirimku.Pria itu terlihat memperhatikan layar ponsel dari balik jendela, di mana aku berdiri. Dia nampak terdiam sesaat lalu melanjutkan diri naik ke mobil dan berangkat pergi.Melihat mereka sudah menjauh, aku bergumam sendiri,"Alhamdulillah, setidaknya aku tak perlu menjalani drama seatap dengan madu Alhamdulillah, aku masih punya martabat diri yang membuat sedikit dihargai, andai tidak, mungkin diri ini akan jadi pembantu di rumah sendiri."Kumatikan lampu, lalu merebahkan diri di tempat tidurku. Mencoba melelapkan mata setelah hari panjang yang menguras air mata dan kelelahan emosi.*Keesokan
Aku baru saja keluar dari rumah, membawa kunci N-max milikku dengan napas memburu, aku berniat pergi ke rumah ibu dan menunjukkan sikap menantunya.Kutelpon beliau agar bersiap-siap dan segera mengganti baju agar ketika kujemput beliau sudah tinggal berangkat saja."Memangnya apa yang terjadi, Nduk?" tanya ibu."Ibu harus melihatnya sendiri.""Ibu sedang sakit, Nduk, nyeri lutut dan sakit tulang belakang Ibu kumat begitupun bapak yang sejak semalam sakit kepala karena tensinya meninggi."Sesaat aku tertegun mendengar ucapan ibu, perasaanku tersentil antara sadar dan sedih. Ya, aku memang membutuhkan dukungan keluarga ketika berada dalam keadaan terpuruk, tapi kemudian ada yang disadari bahwa tidak semua orang bisa selalu ada untukku. Kadang mereka terhalang waktu dan kondisi, karenanya, harusnya aku tak melibatkan siapapun dalam masalah aku agar mereka tidak ikut-ikutan terjebak dan terkena masalah juga.Aku yang tadinya akan pergi melaporkan hal ini kepada mertua akhirnya menguru
Usai mencuci piring dan mengelap dapur sampai bersih kembali, wanita itu menghampiriku, lalu berdiri di pintu yang tak jauh dari tempat dudukku."Mbak, saya minta maaf," ucapnya lirih.Dia menunduk sambil menggenggam jemari dan meremasnya dengan pelan.Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba dia minta maaf, apakah mungkin disuruh Mas Hamdan atau tidak yang jelas ketika menatap rambutnya yang timbul didalam hatiku hanya pikiran negatif dan kebencian."Siapa yang menyuruhmu untuk minta maaf?""Aku sendiri, aku sudah bersikap keterlaluan dan melampaui batas, aku sungguh minta maaf," ujarnya sambil menyibak anak rambutnya. Dari lehernya kusaksikan tanda merah yang begitu jelas, bekas cumbuan Mas Hamdan.Cemburu itu datang tiba-tiba, tapi aku menepis rasa iri meski sudah begitu lama tidak disentuh dan sayangi. Jujur aku juga rindu, tapi aku tak bisa memaksa keadaan diri dan hatiku menerima Mas Hamdan dan sentuhannya."Apa yang kau harap dengan permintaan maaf itu?""Ridho dan restu, juga j
Terkadang ada titik di mana kita mengingat kembali masa-masa indah, pikiran menerawang pada masa lalu yang pernah begitu manis. Teringat betapa kami pernah saling tergila-gila dan pernah berjanji sehidup semati. Karena tersiksa dalam keadaan saling merindukan dan pernah saling memperjuangkan.Tiga belas tahun berlalu dan semuanya berubah, aku membersamainya, tertatih-tatih meniti usaha, bekerja dari perusahaan swasta yang satu ketempat yang lain, berkali-kali kehilangan pekerjaan, berkali-kali terkena fitnah dan kadang diturunkan jabatannya. Tapi aku tidak pernah putus asa untuk menyemangati suamiku. Kuyakinkan padanya bahwa ada titik di mana kita akan berhasil. Dia akan membangun usahanya sendiri, lalu kita kan punya tabungan dan membeli kebun kemudian menikmati sisa hidup dengan damai dan bahagia.Tak henti-hentinya aku panjatkan doa, kupuasakan setiap hari kelahirannya, kupanjatkan salat tahajud panjang dan puasa sunah senin-kamis hanya demi mendoakan dirinya. Tapi tiba-tiba saja ..
Kupanggil kedua anakku, mengajak mereka duduk di ruang TV dan berdiskusi dari hati ke hati. "Kemarilah, Bunda ingin bicara," ajakku pada mereka berdua.Mereka meninggalkan meja belajar lalu datang menghampiriku dan duduk di dekatku."Bagaimana menurut kalian, setelah bergulir pernikahan ayah satu bulan, bagaimana kesan kalian?""Biasa saja," ujar Raihan sedikit tak acuh."Kamu sendiri?" Kualihkan pandangan pada Putri, aku tahu dia belum mengerti, tapi tak apa kutanyakan pendapatnya."Gak ada, Bun, terserah aja....""Bunda dan ayah jadi sering cekcok dan ribut, berteriak sepanjang waktu dan merebutkan apa saja yang tidak seharusnya direbut," ucap Raihan dengan wajah tak suka."Jadi, setelah melihatnya, apa yang harus Bunda lakukan?"Kedua anakku saling pandang, hanya mengendikkan bahu dan seakan menyerahkan semuanya padaku."Terserah Bunda, kami hanya ingin ayah dan Bunda punya waktu untuk kami," jawabnya pelan."Bagaimana punya waktu, ayah ke sana kemari tanpa henti," timpal putr
Kupanggil istri Karman yang menjadi tetanggaku sejak belasan tahun, kuminta padanya untuk menunggui kedua anakku sementara aku pergi melihat kondisi suamiku di tempat Maura."Tolong ya, Mbak, tolong dijagain," ucapku memohon."Iya, Mbak Aisyah, jangan khawatir," jawab Rini tetanggaku."Saya tak akan lama," ujarku."Iya, Mbak, saya akan jaga anak anak," jawab wanita itu sambil meyakinkanku.Kutemui anakku di kamarnya untuk memberi tahu padanya bahwa aku harus menemui Mas Hamdan di ruko yang dia jadikan kantor usahanya."Raihan Bunda lihat ayah dulu ya," ucapku pada anakku di kamarnya."Lho, ayah kenapa?" putraku tersentak dan langsung bangun dari tidurnya."Ayah sedikit sakit," jawabku."Sakit? Sakit kayak kemarin, Bunda?" tanyanya dengan wajah terkejut."Hmm, enggak juga, Bunda mau lihat dulu, ya, jangan khawatir.""Oke, Bun, hati hati."Segera dengan cepat keluarkan mobil dari garasi memutar kemudiku menuju ke arah kecamatan yang berjarak dua puluh menit dari rumah.Sepanjang perja