Kulangkahkan kaki dengan perasaan hancur luluh. Kutinggalkan tenda pernikahan suamiku dengan istri barunya sembari menguatkan batin bahwa, dunia tak berakhir tanpa kehadirannya.Kuusap sisa air mata yang menyuramkan wajahku, lalu kuambil motor, menghidupkan mesin dan bersiap pergi."Lho, Mbak Aisyah, Mbak gak mau masuk?" Tiba-tiba seseorang menyapa aku dari belakang dia adalah kerabat jauh mas Hamdan yang kebetulan datang untuk menghadiri pesta itu. Wanita cantik itu menghampiri dan menyalamiku dengan senyum ramahnya."Kok gak masuk?" Dia memperhatikan penampilan ku dari atas ke bawah masih dengan gamis rumahan dan jilbab biasa."Aku hanya ingin melihat dan memastikan bahwa acaranya berjalan lancar," jawabku sembari menyembunyikan kesedihan dan sisa air mata."Kamu kuat sekali Mbak, aku salut," ucapnya mengatakan itu sambil meraih tanganku. Dipandangnya mata ini sambil menggenggam kedua tanganku, wanita itu masih menyunggingkan senyum manisnya."Sabar ya, Mbak, semuanya akan baik-bai
Hujan menderu di pagi ini, tetesannya riuh rendah di atas rumah, cuaca kelabu dan angin lembab membawa kerinduan dan menimbulkan kesuraman tersendiri di hati ini. Dinginnya angin merebak, menusuk sampai ke tulang, aku menggigil di balik selimut, tubuhku demam. Air mataku tumpah merindukan seseorang, dia yang dulu penuh perhatian dan cintanya akan bertambah-tambah jika keadaanku sedang lemah.Rupanya tubuh ini menggigil bukan karena demam, tapi karena luka semalam.Luka yang ditorehkan Mas Hamdan."Mas Hamdan! YA ALLAH ...." Aku berteriak di antara sedu sedan hujan yang menangis bersamamu. Namun sayang, tidak ada yang mendengar peduli atau datang memelukku.Kubayangkan di belahan lain, di sudut desa sana, suamiku masih berpelukan hangat dengan istri barunya. Tubuh mereka menempel satu sama lain tanpa halangan sehelai benang pun. Mereka bertukar kehangatan, berciuman mesra lalu berpagutan dengan gelora asmara. Mereka akan bercinta mesra di pagi yang syahdu ini, mengulangi apa yang
Pria yang kuteriaki langsung terbangun, terkesiap sembari mengumpulkan ruh dan kesadarannya. Dia mengucak mata, lamat lamat menyaksikan diriku di depannya. "Mas Hamdan, Mas melalaikan salat subuh hanya karena menikmati percintaan dengan wanita ini?"Suamiku hanya melongo saja mendengar aku bertemu memarahinya. Si wanita terkejut malu lalu menutupi dirinya dengan selimut, canggung sekali."Mbak, rasanya gak perlu gitu deh, gak enak sama mertua, beliau sekarang adalah suami saya," ucap wanita itu mendekatiku sambil tetap memegang selimut di dadanya.Plak!Kutampari wanita itu sampai dia terkejut, Mas Hamdan kaget dan mengulurkan tangannya tapi tak tergapai."Sebagai istri, harusnya kamu mengajak suami kearah kebaikan, mengingatkan ke jalan yang benar. Mas Hamdan menikahimu karena dia ingin menyempurnakan agama dan melindungi dari orang-orang yang ingin menghinakanmu! Mengapa kamu tidak membangunkannya?"Aku memang terkesan membuat buat drama, tapi biarkan saja. Aku ingin mereka jadi p
Tahukah kamu bila seseorang membuat dosa besar, dan menunjukkan rasa bersalah dan penyesalan, sebaiknya jangan mudah memberikan mereka maaf. Biarkan waktu berjalan, jaga 'image' tetap elegan, agar mereka bisa lebih banyak belajar untuk berusaha mengambil hati dan memperoleh pengampunan. Biar mereka menyadari bahwa nilai dari kata maaf itu tidak semudah dengan pengucapannya. Ya, 'maaf' satu kata dengan sejuta makna. Sekali hati tersakiti lalu berdarah karena luka, maka akan sulit menyembuhkan. Kalaupun sembuh maka, tidak akan semudah itu untuk menghilangkan bekasnya. Itu yang sedang kualami saat ini.Setelah selesai membantu semua orang, memastikan bahwa rumah orang yang sudah kuanggap seperti ayah dan ibu sendiri rapi kembali, aku segera mengambil jeda untuk beristirahat dan duduk di meja makan. Selagi aku sedang duduk dan meneguk airku, tiba-tiba Maura masuk ke dapur, mengambil piring, dia tidak menyadari kehadiranku di meja makan karena terus menunduk. Gadis itu membuka lemari m
Siang hari aku kembali dari rumah mertua, ku buka pintu kalau mengedarkan pandanganku pada rumah yang memiliki banyak jendela kaca dan desain interior kayu klasih yang dibuat sehangat mungkin. Ada sofa besar, karpet bulu di ruang keluarga sebuah perapian dan TV besar melengkapi suasana kami membangun kebahagiaan keluarga.Kututup kembali pintu, suaranya menggema, memantul ke dinding merefleksikan suasana yang memiliki sensasi ketakutan tersendiri. Semuanya sepi dan kesepian itu terasa menusuk di dalam dada ini. Pukul 12 lewat dua puluh siang anak-anak belum kembali dari sekolah mereka, jadi kuputuskan untuk pergi berwudhu dan membentangkan sajadah menunaikan salat zuhur.Selepas salat, banyak kuucapkan istigfar dan doa memohon pengampunan atas sikapku pagi tadi pada dua pasangan pengantin baru yang berbahagia.Sebenarnya dari lubuk hati terdalam aku bukanlah tipe wanita kejam dan suka cari masalah seperti tadi, tapi tidak tahu mengapa, hati ini tergerak untuk membalaskan dendam d
Mungkin karena merasa tidak ada yang perlu dibahas lagi, daripada hanya duduk dalam diam dan saling memandang, akhirnya mereka memutuskan pergi."Kalau begitu kami pulang, ya, Aisyah?"pamit Mas Hamdan kepadaku."Ya ... silakan. Tapi dengar Mas jangan lupa pembagian waktu yang akan kau habiskan bersamaku dan dengannya. Mungkin aku harus mengambil jatah empat hari karena kita harus membimbing anak dan menghabiskan waktu dengan mereka. Tapi karena kau pengantin baru yang harus bulan madu ... aku akan memaklumi kau ingin tinggal lebih lama dengan Maura. Pergilah, keberadaan kalian di sini juga membuatku risih," ungkapku.Mas Hamdan mengangguk dan mengajak istri barunya menjauh dariku, mereka berjalan beriringan menuju pintu sambil saling menggenggam tangan. Melihat kemesraan itu aku hanya bisa tertawa sinis,"Hah, mau keluar saja bergandengan, berlebihan sekali," gumamku.Mungkin benar aku iri, tapi perasaan yang dominan lebih kepada jijik."Saya tidak mengira, bahwa Mbak Aisyah a
Tanpa berpikir panjang, kukendarai motor menuju ke rumah mertua, kuparkirkan kendaraan itu sembarangan saja di bagian pelataran depan, kuseret gamis yang konon berharga mahal lalu mencari Maura ke dalam."Assalamualaikum, Ibu," ucapku pada mertua yang kebetulan duduk di kursi depan."Walaikum salam, ada apa terburu-buru, Nak, apa terjadi sesuatu?""Aku ingin bicara pada Istri Mas Hamdan," jawabku tegas.Tanpa menunggu lagi aku langsung masuk ke dalam dan memburu wanita itu di kamarnya.Brak!Kubuka pintu kamar dan mereka yang ada di dalam sana tertegun, juga aku yang langsung kehilangan kata-kata menyaksikan mereka sedang bercanda di atas tempat tidurnya. Posisi Maura berada di atas tubuh Mas Hamdan, sedang tangan suamiku melingkar di pinggangnya, mereka bercanda tawa tanpa sungkan dan suaranya terdengar sampai ke luar kamar mereka."A-ada apa?" tanya Mas Hamdan seraya menjauhkan Maura dari hadapannya.Aku yang berdiri terpaku sambil menetralisir kemarahanku, ingin berusaha tetap
Kubuka mata dan sadar bahwa kini aku sudah terbaring di tempat tidur, ternyata aku pingsan dan keluarga suamiku membawaku pulang."Kamu sudah bangun?""Iya, siapa yang membawaku pulang, Bu?""Kami semua, kenapa kamu sampai pingsan, apa kamu lupa menjaga kesehatanmu?""Aku terlalu sakit hati, Bu," jawabku sambil berusaha bangun dari tempat tidur, tapi kepalaku berdenyut bukan main, aku bahkan tidak sanggup membuka mata."Aduh, ada apa denganku, ya?" gumamku sambil memijiti kepala."Jangan-jangan kau hamil lagi wajahmu pucat dan tubuhnya jadi kurus.""Ah, mana mungkin, Bu, aku sudah berumur, nyaris empat puluh," gumamku."Kamu kan masih subur, apa selama ini kamu masih menggunakan kontrasepsi KB?""Sebenarnya tidak lagi karena intensitas hubungan intim kami juga tidak sesering dulu," jawabku meringis pelan."Tapi, tetap saja, kau telah melakukannya bukan? Jadi, aku juga tak mau menampik kemungkinan itu," jawab Ibu sambil memutar bola matanya."Semoga tidak .....""Berharap saja, tapi