Gita menatap tidak suka pada Murni. Wanita itu langsung beranjak dari duduknya saat melihat sahabat dari menantunya datang tanpa mengucapkan salam dan mengetuk pintu. Gita menatap tajam pada Murni lalu berjalan mendekat ke arah wanita yang menjadi mertua Ara itu. Jarak dua kaki di depan Murni, Gita meraih tangan Murni dengan kasar."Kalian hanya memanfaatkan kekayaan Tuan Haris rupanya. Aku baru sadar. Kalian bisa sesantai ini saat Ara sekarat. Lihat kamu! Dasar wanita jalang!" Gita menghempas kasar tangan Murni. Murni terkejut dan langsung memundurkan tubuhnya beberapa langkah dari Gita. Jantung wanita paruh baya itu seolah melompat keluar. Ucapan Gita tentu penuh makna. Mbok Ijah mendengar ucapan gadis muda itu tampak sangat terkejut saat ini. "Ma-maksud kamu apa, Gita?" tanya Murni yang kini wajahnya seputih kapas."Maksudku apa? Bodoh! Perempuan jahat sepertimu memg tidak pernah punya hati! Aku curiga, dalang dibalik kecelakaan yang menimpa Ara karena ulah kamu dan laki-laki sia
Hardi segera berdiri dan menyalami Haris Manggala. Adab luar biasa Hardi, menghormati sosok yang lebih tua. Haris menerima uluran tangan asisten menantunya itu. Ia mendengkus karena kesal mengapa sang menantu tak kunjung datang."Kok kamu malah duluan datang. Revan mana?" tanya Haris dengan nada ketus dan tidak bersahabat sama sekali."Mungkin terjebak macet. Saya ke sini pakai motor, jadi lebih cepat." Hardi memang benar adanya.Dahi Haris mengerut dalam mendengar ucapan laki-laki muda di depannya itu. Revan jelas mengendarai mobil mewah. Lantas mengapa asistennya hanya mengendarai sepeda motor? Haris tidak habis pikir dengan cara mereka memperlakukan pagawai yang sudah mengabdi dan membuat perusahaan maju."Ya, sudah, kalo nanti Revan datang, suruh dia ke atas." Haris langsung meninggalkan Gita dan Hardi."Baik, Om." Gita yang menjawab ucapan sosok laki-laki yang dianggapnya sebagai ayah.Tidak menunggu lama, pesanan makanan Gita pun datang. Hardi ikut membantu membawakan beberapa k
Salah satu Dokter hendak memeriksa keadaan Ara merasa kikuk karena menganggap tidak tepat waktu saat ini. Bukan tidak tepat waktu, memang sudah waktunya untuk memeriksa keadaan Ara saat ini. Perkembangan Ara sangat signifikan dan memang anak semata wayang Haris Manggala itu berkeinginan besar untuk sembuh. Ada banyak hal yang dicita-citakan dalam hidupnya."Mas Revan, tolong bisa keluar dulu?" pinta Ara dengan nada penuh permohonan pada sang suami.Biasanya jika diperiksa oleh Dokter, Ara tidak akan meminta orang yang ada di kamar ini untuk keluar. Kali ini berbeda. Ara ingin berbicara empat mata dengan sang Dokter. Mereka saling akrab karena Ara adalah pasien yang sangat ramah dan baik hati."Baiklah. Aku akan tunggu di luar," kata Revan lalu meninggalkan brankar sang istri.Setelah Revan menutup pintu, sang Dokter pun memeriksa Ara. Ada dua suster yang menemani seperti biasa. Saat ini Ara sudah bisa duduk dan menggerakkan kedua tangannya. Untuk kaki masih harus berlatih perlahan."
Semarah apa pun Gilang pada Mayang, tetap akan kembali pada wanita berparas cantik itu. Cinta yang sangat mendalam membuat sosok ASN itu buta. Mayang telah berulang kali menyakiti hatinya dan juga ucapannya sering kali kasar. Tidak, Gilang pun sebenarnya tersinggung, hanya saja, cinta membuat semua itu hilang."Ma-Mas Gilang?" Mayang tidak bisa menghilangkan rasa gugupnya saat ini."Ya, aku pikir kafe sudah mau tutup. Jadi, aku datang buat jemput kamu. Ternyata masih ada pengunjung. Ya, sudah, biar aku tunggu di dalam saja," kata Gilang langsung merangkul punggung Mayang dengan cepat.Ucapan laki-laki tadi mengusik pikiran Mayang. Mengapa sangat kebetulan dengan apa yang pernah dialami Mayang beberapa tahun yang lalu saat hampir selesai kuliah? Mungkinkah ini semua kebetulan? Entah.Mayang meminta tolong pada beberapa pegawainya untuk mengantarkan pesanan beberapa pemuda itu. Ia ingin mengamati mereka semua tanpa ada yang curiga. Rasanya tidak mungkin jika semua itu kebetulan saja. Ma
Ara mengembuskan napas perlahan. Kedua orang tua Ara merasa sangat penasaran. Baru kali ini ada panggilan pada ponsel putri mereka. Semenjak istri Revan itu dirawat di rumah sakit ini sangat jarang menerima panggilan telepon."Siapa, Ra?" Haris kali ini sangat penasaran dan Ara langsung menggedikkan bahu."Maaf, nanti akan saya telepon balik, ya. Saat ini saya harus istirahat."Ara langsung mematikan panggilan itu dan meletakkan ponsel di atas meja yang ada di dekat brankarnya. Kedua orang tua Ara sangat penasaran lantas mendekat. Mereka tidak ingin Ara terganggu dengan masalah yang di Jakarta. Haris hanya ingin Ara fokus pada kesembuhan saja tidak lebih."Kenapa langsung ditutup?" tanya Haris dan membuat Ara gugup."Aku lupa kalo belanja online dan sekarang sudah dikirim ke rumah. Bunda Murni sepertinya bingung saat menerima paket itu, makanya kurirnya telepon." Ara berbohong dengan tidak lancar.Kedua orang tua Ara jelas tidak percaya. Hanya saja mereka memutuskan diam. Ada alasan t
Kali ini Gita tidak akan pernah main-main. Ia lelah dengan semua ulah keluarga Adhyatsa. Dendam? Entahlah, Gita memang sedikit ambisius untuk bisa membuat keluarga Adhyatsa dalam masalah besar.Gita akhirnya meninggalkan Revan juga Murni. Sebab, pesawatnya akan berangkat dan Gita tidak mau lagi ketinggalan pesawat. Ia memilih menunda masalahnya terlebih dahulu. Gita harus melihat bagaimana Revan dan Murni setelah ini."Bunda, apa sebelumnya sudah kenal dengan gadis sialan itu?" Revan menatap tajam pada Murni yang kini sedikit gugup.Haruskan menceritakan semua dari awal? Tidak. Murni belum siap sama sekali. Ia tidak mau sang putra membencinya. Teror dari Gita membuat rahasia yang dipendam sekian lamanya harus dibongkar kembali. "Bunda! Jangan diam saja!" Revan kali ini berteriak di tengah keramaian.Murni sangat terkejut mendengar teriakan sang putra.Bukan sekadar teriakan, Revan tampak sangat emosi saat ini. Ia butuh jawaban yang masuk akal. Pasti ada penyebab dibalik sikap Gita se
Adhyatsa kini menatap penuh kebencian pada Murni. Wanita yang dianggap sebagai sumber masalah. Adhyatsa sangat malu karena tidak ada yang memberitahu jika Ara kecelakaan. Rasanya sangat mustahil hal itu terjadi."Jadi, kamu mulai berani, ya?!" Bentak Adhyatsa dengan suara keras penuh amarah. "Bisa-bisanya tidak kasih tahu kalo Ara masuk rumah sakit! Otak kalian di mana? Kamu siap jika Tuan Haris mengakhiri hubungan kerja?" tanya Adhyatsa dengan nada penuh amarah."Be-berani apa? Aku bahkan tidak melakukan apa pun." Murni sangat ketakutan karena laki-laki tua di depannya itu tampak sangat marah."Bagaimana bisa kamu tidak memberitahuku jika Ara masuk rumah sakit! Apa kata Haris Manggala saat kita tidak ada yang datang menjenguk putra mereka?!" Adhyatsa berteriak sangat kencang dan suaranya menggema memenuhi ruangan ini.Teriakan itu terdengar hingga kamar Revan yang baru saja selesai mandi. Gegas suami Ara itu berganti baju dengan cepat. Kakek tua bangka itu pasti sedang mencari masala
Hardi memejamkan mata sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari atasannya itu. Revan jelas sedang sangat emosi. Salah menjawab bisa berakibat fatal. Kali ini Hardi sudah siap untuk menjawab."Posisi saham milik Manggala Grup itu delapan puluh persen. Jadi, wajar jika keuntungan yang mereka ambil sama dengan saham yang mereka tanam di perusahaan kita. Dua puluh persen keuntungan itu, hanya cukup untuk membayar uang gaji karyawan. Itu saja kadang masih sangat kurang. Saya dan beberapa kepala bagian sering mendahuluan gaji karyawan." Ucapan Hardi menjadi pukulan telak bagi Revan.Selama ini Revan selalu mengambil gaji setiap bulan tanpa melihat keadaan keuangan perusahaan. Delapan puluh persen saham milik Haris Manggala bukanlah jumlah yang sedikit. Jika mertua Revan menarik saham itu, maka Adhyatsa Grup akan bangkrut seketika. Revan tidak bisa memungkiri hal itu."Di, adakah cara agar kita bisa mengimbangi saham mereka? Aku tidak mau terus menerus bergantung pada orang lain." Revan kali
Tidak butuh waktu lama, Angga segera menemui kedua orang tua Ara. Angga sama sekali tidak mau membuang waktu percuma. Ia benar-benar mencintai sosok Anggara Manggala. Angga tidak peduli dengan status janda yang melekat pada Ara.Keluarga besar Angga juga menerima siapa pun calon menantu mereka. Hal terpenting adalah, mereka bisa saling mencintai dan kelak hidup dengan bahagia. Calon mertua Angga adalah orang biasa. Mereka pernah dibantu oleh Haris Manggala secara finansial."Terima kasih Pak Haris menerima lamaran dari putra kami," kata Suminto yang merasa sangat bersyukur setelah lamaran mereka diterima baik oleh keluarga besar Haris Manggala. "Sama-sama. Saya tidak mungkin menolak lamaran Angga. Saya tahu bagaimana karakter Angga. Angga sosok pekerja keras dan satu, dia setia." Haris memuji sosok calon menantunya. "Ara pernah gagal dalam rumah tangga. Semoga Angga adalah jodoh terbaik untuk anak saya," kata Haris penuh harapan."Saya juga berharap seperti itu. Nak Ara orang yang ba
Revan menatap tajam Mayang. Ia menduga jika ibunya Kala mengatakan hal buruk pada Ara. Mayang tidak bisa ditebak isi pikiran dan hatinya. Revan merasa telah menikahi orang yang berbeda."Aku permisi," kata Ara tidak mau ikut campur masalah rumah tangga mereka.Ara melirik sekilas ke arah anak laki-laki kecil itu. Hatinya sangat sedih karena anak Revan berkebutuhan khusus. Anak itu tidak terawat dengan baik karena faktor ekonomi. Akan tetapi, Ara tidak bisa berbuat banyak untuk mereka."Ra, maukah kamu menikah kembali dengan Mas Revan?" Pertanyaan Mayang sukses membuat langkah Ara terhenti seketika. "Aku akan mundur dan tidak lagi mengganggu kalian nantinya. Aku sadar, aku banyak salah dan sudah sangat jahat padamu," lanjut Mayang yang saat ini meneteskan air mata.Tubuh Ara mendadak kaku dan tidak mau menoleh lagi. Ia merasa sakit ketika mendengar permintaan Mayang. Rasa cinta yang dipendam untuk Revan mendadak hilang begitu saja. Entahlah, hanya Ara dan Tuhan saja yang tahu."Ra, aku
Penundaan jadwal reuni kampus Ara membuat Revan frustasi. Ia harus semakin lama menunggu bertemu dengan mantan istri pertamanya itu. Padahal, Revan sudah mempersiapkan semua hal dengan baik. Kini terpaksa harus menyimpan semua itu.Sementara itu, Ara memutuskan untuk membuka hati untuk Angga. Ia menyadari satu hal, tidak semua laki-laki sama di dunia ini. Angga tampak sangat baik dan sopan. Sosok Dokter itu juga sangat menghormati wanita."Sudah lama di sini?" tanya Ara saat baru saja keluar dari dapur dan melihat Angga duduk seorang diri di ruang tamu.Angga terjengit kaget karena sedang sibuk melamun saat ini. Ia pun segera beranjak dari duduknya. Ara tersenyum melihat tingkah Angga. Ia menatap ke arah Dokter muda itu."Maaf, aku nggak bermaksud mengejutkan," kata Ara dengan tulus."Oh, tidak. Aku hanya ...." Angga tidak melanjutkan ucapannya."Ada apa? Ada yang ingin dibicarakan dengan Bu Salamah?" tanya Ara sambil menatap Angga yang tampak cemas.Biasanya Angga akan berbicara deng
Sejak kejadian itu, Angga dan Ara dekat. Hanya saja, Ara membatasi kedekatan itu dan hanya sebagai teman. Angga hingga saat ini tidak tahu siapa Ara. Andai ia tahu, maka akan sangat terkejut. Angga mengenal siapa sosok Haris Manggala.Ara sama sekali tidak pernah menyebutkan siapa kedua orang tuanya. Hanya sesekali saja ia menemui kedua orang tuanya. Padahal, sudah hampir tiga tahun bercerai dengan Revan. Ara masih ingin mengobati hatinya."Aku boleh datang ke rumah orang tua kamu?" tanya Angga saat berada di panti asuhan ini."Untuk apa?" tanya Ara sambil tersenyum ramah seperti biasa.Bukan tidak paham arah pembicaraan Angga, hanya saja, Ara tidak mau gegabah dalam banyak hal. Ia masih menutup hati untuk banyak orang. Entah akan sampai kapan, tidak ada yang tahu. Ara juga menolak mentah-mentah cinta Angga dan hanya ingin menjalin hubungan pertemanan saja."Aku ingin melamar kamu pada kedua orang tuamu. Kamu tidak mau pacaran bukan?" tanya Angga sambil menatap intens ke arah mata Ara
Revan akhirnya menjelaskan pada Mayang jika mengalami kelumpuhan akibat terjatuh tadi pagi. Tentu saja, Mayang sangat syok. Ia tidak bisa menerima keadaan dirinya saat ini. Menyakitkan karma yang harus diterimanya. Revan terpaksa membawa Mayang pulang karena biaya rumah sakit pasti akan membengkak jika Mayang lama dirawat."May, rumah itu mending dijual aja. Toh, itu semua aku yang beli." Revan memaksa Mayang untuk menjual rumah yang telah diubah menjadi kafe."Mas, itu satu-satunya aset kita, kalo kita jual, kita nggak akan punya apa-apa lagi," kata Mayang menolak menjual rumah pemberian Revan."Ck! Kamu tahu nggak? Kebutuhan semakin banyak dan aku banyak nganggur! Jual aja," kata Revan yang tidak sabar dengan sang istri.Mayang mengembuskan napas kasar saat ini. Ia hanya bisa duduk di kursi roda saja sekarang. Darsih tidak pernah datang lagi sejak kejadian beberapa waktu yang lalu. Mayang kali ini merasa sangat membutuhkan sosok sang ibu."Mas, kalo dijual dan kita nggak punya usaha
Masa lalu menyakitkan tidak akan membuat seseorang dengan mudahnya memaafkan. Rahman--saksi kunci yang dulu hampir dibunuh oleh Murni ternyata berhasil selamat. Kedatangan sosok laki-laki yang usianya hampir sama dengan Murni itu sontak mengejutkan banyak orang, terutama Murni dan Adhyatsa. Revan jelas tidak mengenal sosok yang kini berdiri dengan angkuh di depan mereka semua."Ka-kamu masih hidup?" tanya Murni yang saat ini wajahnya tampak sangat pias."Ya! Setelah kamu berusaha meleyapkan nyawaku, kini aku masih berada di sini. Tuhan masih berbaik hati denganku. Murni, bersiaplah menerima hukuman." Rahman mengatakan dengan nada dingin saat ini.Semua terdiam, suasana pun mendadak hening. Rahman dengan amarah dan dendamnya pada Murni. Akan tetapi, tak lama polisi datang untuk menangkap Murni. Revan tidak bisa berbuat banyak saat ini.Semua sudah jelas, Revan bukan anak kandung Panji Adhyatsa. Ia merasa sangat sakit saat ini. Revan salah satu korban dari keserakahan Murni. Tidak ada
Ara mengembuskan napas perlahan. Wajah Revan kali ini penuh permohonan agar Ara mau berbicara. Haris yang menatap tajam tidak membuat Revan takut. Ada hal yang harus mereka bicarakan."Pa, Ma, aku akan bicara sebentar pada Mas Revan. Papa dan Mama bisa tinggalkan kami berdua?" tanya Ara kepada kedua orang tuanya.Inama mengangguk sebagai jawaban dan segera mengamit lengan sang suami. Ia memberikan waktu kepada sang putri untuk berbicara pada mantan menantu mereka. Anak muda itu, mereka membuat rumah tangga yang awalnya adem ayem sekarang justru sangat rumit. Haris kadang tidak habis pikir dengan cara sang putri."Kita bicara di sana saja," kata Ara sambil menunjuk satu pohon besar dengan kursi taman di bawahnya.Revan mengikuti Ara dari belakang. Ia masih beruntung karena mantan istrinya masih memberikan kesempatan untuk berbicara. Meski Revan sadar, Ara tidak akan mau kembali rujuk. Setidaknya itu yang tampak pada wajah Ara saat ini."Mas, apa yang mau kamu bicarakan sekarang?" tanya
Gita berdiri tepat di depan Revan dan Murni. Ia tampak membenci kedua orang itu. Murni hanya bisa menunduk saat ini. Gita bukan gadis sembarangan.Gita adalah adik kandung Naga Cakra Wibowo, pemilik perusahaan Cakra Buana. Gita tidak akan membuang kesempatan emas untuk membalas Murni saat ini. Beberapa waktu yang lalu, ia menemui Adhyatsa di rumah sakit dan berbicara tentang masa lalu. Tentu hal ini akan sangat mengejutkan untuk semua orang."Aku akan katakan satu hal padamu, Revan Adhyatsa. Kamu tidak pantas menyandang nama belakang Adhyatsa karena kamu bukan anak kandung Panji Adhyatsa. Wanita ini menjebak ayahku, Panji Adhyatsa agar bisa menikahi dengan dalih hamil. Bukankah itu luar biasa?" Gita tersenyum miring setelah mengatakan hal itu. "Mamaku, ada di rumah sakit jiwa juga karena ulahnya," lanjut Gita dengan wajah mengerikan.Revan mundur beberapa langkah karena terkejut mendengar ucapan Gita. Ada apa dengan hidupnya saat ini? Revan seperti orang linglung. Berbeda dengan Murni
Wajah Mayang saat ini langsung seputih kapas. Ia takut karena Revan mempunyai bukti tentang kejahatannya. Mayang yang meletakkan obat itu di laci meja rias Ara. Pantas saja, mereka semua langsung menemukan obat itu tanpa mengobrak-abrik kamar Ara."Bagaimana?" tanya Revan dengan nada dingin dan syarat amarah yang luar biasa."A-aku bisa jelaskan, Mas. Semua ini karena ...." Mayang tidak bisa melanjutkan ucapannya.Revan langsung beranjak dari duduknya dengan kasar. Ia meletakkan laptop di atas meja. Masih dengan tatapan penuh kebencian, ia kembali mendekati Mayang. Revan tidak habis pikir dengan cara kotor istri keduanya. Entah apa yang direncanakan oleh wanita yang baru saja melahirkan itu."Kenapa? Kamu harus ingat, kita bisa menikah karena kebesaran hati Ara. Jika bukan karena dia, kita tidak bisa menikah!" Suara Revan menggelegar memenuhi kamar mereka berdua. "Apa isi otak kamu itu? Tega-teganya kamu berbuat seperti ini?!" bentak Revan sambil melempar gelas bekas minum Mayang."Ma