Inama langsung berdiri setelah melihat tamunya yang datang itu. Entah apa yang diinginkan oleh sosok muda itu datang ke rumah ini. Inama tidak pernah mengusir kedatangannya. Justru sambutan hangat yang selalu diberikan."Ada Hardi, Nak. Jadi, nanti kita lanjutkan lagi obrolannya, ya," kata Inama dengan lembut."Hardi? Asistennya Mas Revan?" tanya Ara sambil berusaha memutar kursi rodanya dengan cepat.Pertanyaan Ara tidak lagi memerlukan jawaban saat ini. Hardi sudah berada di depannya. Asisten Revan itu tampak terkejut melihat keberadaan Ara di rumah ini. Ia pikir, Ara sudah dijemput oleh Revan."Bu Ara, apa kabar?" tanya Hardi dengan sopan."Ara saja. Ini di rumah, Di. Aku nggak nyaman ketika kamu panggil dengan embel-embel, Bu. Bahkan usiaku lebih muda darimu," kata Ara sedikit merajuk pada sosok asisten sang suami.Hardi hanya menggeleng pelan melihat kemanjaan Ara saat ini. Ia memang sengaja menjaga jarak dari Ara karena sebuah hal. Bukan hal yang menyakitkan, hanya saja terlalu
Naga tersenyum angkuh di depan Revan. Ia lantas masuk ke dalam ruangan Revan meski tidak dipersilakan oleh pemilik ruangan ini. Revan memejamkan mata untuk meredam amarah saat ini. Entah berita apa yang beredar di luar sana perihal Ara dan dirinya."Mau apa datang ke sini?" tanya Revan dengan nada dingin."Aku? Mau jenguk Andhara Manggala. Aku mau ajak kamu bareng untuk datang ke rumah Tuan Haris Manggala. Aku yakin, kamu tidak punya nyali untuk datang ke rumah itu." Ucapan Naga tepat sekali dan membuat Revan tidak berani berkutik sama sekali saat ini. "Saat Ara berjuang antara hidup dan mati, kamu sama sekali tidak ada. Ah, terlalu lucu dan klise jika dibahas. Aku tahu, ini pasti ajaran wanita tua sialan itu," kata Naga dan langsung berjalan keluar dari ruangan Revan."Tunggu! Siapa yang kamu maksud wanita tua sialan?" tanya Revan merasa tidak terima.Naga menghentikan langkah dan berbalik badan. Ia tersenyum penuh kemenangan saat ini karena bisa memancing kemarahan Revan Adhyatsa. H
Ara menatap sang suami karena tidak paham dengan ucapannya. Pertanyaan yang mana? Ara tidak mendengar pertanyaan dari Revan. Ara tampak kikuk saat ini."Kamu apa kabar, Ra?" Revan kembali mengulang pertanyaannya kali ini."Baik." Ara menjawab dengan singkat pertanyaan sang suami.Baik hanya yang tampak dari luar saja. Saat ini Ara sedang berperang mati-matian dengan hatinya. Siapkah ia ketika mengetahui fakta jika ternyata Mayang dan Revan masih saling mencintai? Ara tidak bisa berjanji apa pun saat ini."Kita makan saja dulu," kata Inama sambil mempersilakan menantu mereka untuk duduk. Revan mengambil tempat duduk tak jauh dari Ara. Ia berusaha semua tampak alami. Jika biasanya menjauh, kali ini harus berusaha dekat. Revan belum siap jika harus kehilangan Adhyatsa Grup."Ra, biar aku ambilkan nasinya," kata Revan sambil mengambil piring milik Ara.Haris berpura-pura tidak melihat apa yang dilakukan oleh Revan. Ia yakin jika itu hanya akting saja. Realitanya pasti tidak akan seperti
"Ma, aku masih istri sah Mas Revan. Tidak seharusnya aku pulang ke rumah ini. Pasti akan banyak gunjingan. Aku rasa mereka juga takut buat datang ke sini," kata Ara dan membuat Inama berkedip beberapa kali.Inama tidak mungkin bisa membiarkan Ara datang kembali pada keluarga Adhyatsa. Kakek Revan itu adalah salah satu penyebab Panji meninggal dunia. Kecelakaan yang dialami oleh papa Revan adalah rekayasa yang dibuat oleh Adhyatsa. Kakek tua itu menginginkan aset perushaan Adhyatsa Grup."Baiklah. Mama, harus bicarakan ini semua dengan Papa. Lagian kamu masih harus terapi jalan." Alasan yang dibuat oleh Inama sangat logis kali ini."Aku bisa minta ditemani sama Bunda Murni dan Maa Revan. Mas Revan pasti mau, Ma. Aku janji, pernikahan aku dan dia akan baik-baik saja," kata Ara dengan sungguh-sungguh.Baik-baik saja katanya? Tidak, Inama bahkan tahu bagaimana Revan memperlakukan Ara. Mbok Ijah yang setiap saat melaporkan mereka semua. Katakanlah, Mbok Ijah adalah mata-mata yang andal dan
"Bu, mungkin Mayang memang sangat sibuk. Kebetulan saya yang sedang ada waktu," kata Gilang dengan tulus.Darsih menatap lekat laki-laki muda yang ada di depannya itu. Rasanya Mayang terlalu bodoh jika melepaskan Gilang begitu saja. Hubungan mereka juga bisa dikatakan sedang tidak baik-baik saja. Mayang seolah selalu menghindari Gilang.Entah hanya prasangka Darsih atau memang seperti itu adanya. Wanita paruh baya itu mengembuskan napas berat. Tampak seperti sedang menunjukkan betapa berat masalah antara anak dan ibu. Gilang tampak merasa gundah saat ini."Nak Gilang, kalo ada wanita lain yang lebih baik dari Mayang, Ibu, tidak masalah." Darsih seolah paham bagaimana arah hubungan Gilang dan Mayang."Bu, kami baik-baik saja. Jangan risaukan hubungan kami. Saya masih sering ke kafe Mayang. Pun sebaliknya kadanya dia yang datang ke tempat indekos saya," kata Gilang yang sekarang pandai mengarang cerita.Bulan depan, Gilang akan wisuda untuk S2-nya. Ia telah lulus dalam waktu tidak lebih
Rupanya Tuhan mengabulkan doa Ara. Mayang datang tanpa harus bersusah payah mencarinya. Katakanlah saat ini semesta sedang bercanda. Mayang datang bersama dengan seorang perempuan yang mungkin adalah pegawai kafe tempatnya bekerja."Kabarku, baik, May. Ke mana saja kamu?" tanya Ara setelah Mayang mengurai pelukan mereka."Aku pulang ke Semarang, Ra. Sekarang aku buka kafe kecil-kecilan." Mayang belum sadar jika ada Revan berdiri tepat di belakangnya."Mas, kenalin, ini Mayang, sahabat aku saat kuliah dulu," kata Ara sama sekali tidak 'nyambung' dengan obrolan Mayang.Revan tampak menahan napas saat Mayang berbalik badan. Mereka saling terkejut satu dengan lainnya. Mayang sedikit bisa menguasai keadaan lalu mengulurkan tangan pada Revan. Revan lama menyambut uluran tangan mantan kekasihnya itu.Wajah Revan kali mendadak pucat. Ia sangat takut dan tidak menyangka jika secepat ini akan bertemu dengan Mayang. Wanita masa lalu Revan itu juga masih merasa seperti mimpi. Tatapan keduanya pen
Mayang sangat mempercayai Lina sepenuhnya. Hal ini juga membuat pegawai lainnya iri. Lina adalah karyawati yang masuk paling terakhir di antara pegawai lainnya. Tidak ada yang tahu mengapa Mayang sangat dekat dengan wanita berusia dua puluh tiga tahun itu."Baiklah, kita coba dua ratus porsi bakso untuk semua varian itu. Masing-masing dua ratus." Mayang mengambil ponsel dari dalam tas kecil yang selalu dibawanya."Kalo semua varian yang baiknya masing-masing lima puluh atau paling banyak tujuh puluh lima saja dulu, Bu. Namanya 'kan sedang menguji seberapa diminati dari bakso itu," kata Lina memberikan pendapatnya pada Mayang.Mayang mengangguk sebagai jawaban. Benar juga kata Lina, masih masa percobaan dan kafe ini belum pernah menjual bakso. Kebetulan menu bakso itu bukan masakan Mayang sendiri. Jadi, perlu mencoba agar tahu bagaimana respons dari pengunjung. Hari Sabtu datang dengan cepat. Seperti yang sudah direncanakan, Ara dan sang suami pergi ke kafe milik Mayang. Kebetulan wan
Entah ada keperluan apa, Adhyatsa justru berada di kafe milik Mayang. Laki-laki tua itu datang bersama salah satu menantu laki-lakinya. Wajah Mayang memucat karena rasa takut yang luar biasa. Di depannya, berdiri sosok yang menentang hubungan antara ia dan Revan sejak bertahun-tahun lalu. "Lho? Kakek ke sini?" tanya Ara dengan ramah seperti biasanya. Adhyatsa lantas berusaha mengubah mimik wajahnya seolah tidak terjadi apa pun. Ia duduk tepat di samping Ara tanpa dipersilakan. Tatapan tajam dilayangkan Adhyatsa pada Mayang. Tatapan itu membuat Mayang merasa sedang dikuliti hidup-hidup. "Iya. Sekedar mampir saja. Menantuku lapar katanya," jawab Adhyatsa yang tak melepas pandangan pada Mayang. "Oh, pesen mie rebus aja, ini sangat enak dan bisa aku rekomendasikan untuk beberapa teman di kantor," kata Ara seolah tidak terjadi apa-apa. "Kakek tidak jadi makan, Ra. Haram bagiku untuk makan makanan buatan perempuan bermuka dua ini." Adhyatsa beranjak dari duduknya. "Wanita yang mempunyai
Tidak butuh waktu lama, Angga segera menemui kedua orang tua Ara. Angga sama sekali tidak mau membuang waktu percuma. Ia benar-benar mencintai sosok Anggara Manggala. Angga tidak peduli dengan status janda yang melekat pada Ara.Keluarga besar Angga juga menerima siapa pun calon menantu mereka. Hal terpenting adalah, mereka bisa saling mencintai dan kelak hidup dengan bahagia. Calon mertua Angga adalah orang biasa. Mereka pernah dibantu oleh Haris Manggala secara finansial."Terima kasih Pak Haris menerima lamaran dari putra kami," kata Suminto yang merasa sangat bersyukur setelah lamaran mereka diterima baik oleh keluarga besar Haris Manggala. "Sama-sama. Saya tidak mungkin menolak lamaran Angga. Saya tahu bagaimana karakter Angga. Angga sosok pekerja keras dan satu, dia setia." Haris memuji sosok calon menantunya. "Ara pernah gagal dalam rumah tangga. Semoga Angga adalah jodoh terbaik untuk anak saya," kata Haris penuh harapan."Saya juga berharap seperti itu. Nak Ara orang yang ba
Revan menatap tajam Mayang. Ia menduga jika ibunya Kala mengatakan hal buruk pada Ara. Mayang tidak bisa ditebak isi pikiran dan hatinya. Revan merasa telah menikahi orang yang berbeda."Aku permisi," kata Ara tidak mau ikut campur masalah rumah tangga mereka.Ara melirik sekilas ke arah anak laki-laki kecil itu. Hatinya sangat sedih karena anak Revan berkebutuhan khusus. Anak itu tidak terawat dengan baik karena faktor ekonomi. Akan tetapi, Ara tidak bisa berbuat banyak untuk mereka."Ra, maukah kamu menikah kembali dengan Mas Revan?" Pertanyaan Mayang sukses membuat langkah Ara terhenti seketika. "Aku akan mundur dan tidak lagi mengganggu kalian nantinya. Aku sadar, aku banyak salah dan sudah sangat jahat padamu," lanjut Mayang yang saat ini meneteskan air mata.Tubuh Ara mendadak kaku dan tidak mau menoleh lagi. Ia merasa sakit ketika mendengar permintaan Mayang. Rasa cinta yang dipendam untuk Revan mendadak hilang begitu saja. Entahlah, hanya Ara dan Tuhan saja yang tahu."Ra, aku
Penundaan jadwal reuni kampus Ara membuat Revan frustasi. Ia harus semakin lama menunggu bertemu dengan mantan istri pertamanya itu. Padahal, Revan sudah mempersiapkan semua hal dengan baik. Kini terpaksa harus menyimpan semua itu.Sementara itu, Ara memutuskan untuk membuka hati untuk Angga. Ia menyadari satu hal, tidak semua laki-laki sama di dunia ini. Angga tampak sangat baik dan sopan. Sosok Dokter itu juga sangat menghormati wanita."Sudah lama di sini?" tanya Ara saat baru saja keluar dari dapur dan melihat Angga duduk seorang diri di ruang tamu.Angga terjengit kaget karena sedang sibuk melamun saat ini. Ia pun segera beranjak dari duduknya. Ara tersenyum melihat tingkah Angga. Ia menatap ke arah Dokter muda itu."Maaf, aku nggak bermaksud mengejutkan," kata Ara dengan tulus."Oh, tidak. Aku hanya ...." Angga tidak melanjutkan ucapannya."Ada apa? Ada yang ingin dibicarakan dengan Bu Salamah?" tanya Ara sambil menatap Angga yang tampak cemas.Biasanya Angga akan berbicara deng
Sejak kejadian itu, Angga dan Ara dekat. Hanya saja, Ara membatasi kedekatan itu dan hanya sebagai teman. Angga hingga saat ini tidak tahu siapa Ara. Andai ia tahu, maka akan sangat terkejut. Angga mengenal siapa sosok Haris Manggala.Ara sama sekali tidak pernah menyebutkan siapa kedua orang tuanya. Hanya sesekali saja ia menemui kedua orang tuanya. Padahal, sudah hampir tiga tahun bercerai dengan Revan. Ara masih ingin mengobati hatinya."Aku boleh datang ke rumah orang tua kamu?" tanya Angga saat berada di panti asuhan ini."Untuk apa?" tanya Ara sambil tersenyum ramah seperti biasa.Bukan tidak paham arah pembicaraan Angga, hanya saja, Ara tidak mau gegabah dalam banyak hal. Ia masih menutup hati untuk banyak orang. Entah akan sampai kapan, tidak ada yang tahu. Ara juga menolak mentah-mentah cinta Angga dan hanya ingin menjalin hubungan pertemanan saja."Aku ingin melamar kamu pada kedua orang tuamu. Kamu tidak mau pacaran bukan?" tanya Angga sambil menatap intens ke arah mata Ara
Revan akhirnya menjelaskan pada Mayang jika mengalami kelumpuhan akibat terjatuh tadi pagi. Tentu saja, Mayang sangat syok. Ia tidak bisa menerima keadaan dirinya saat ini. Menyakitkan karma yang harus diterimanya. Revan terpaksa membawa Mayang pulang karena biaya rumah sakit pasti akan membengkak jika Mayang lama dirawat."May, rumah itu mending dijual aja. Toh, itu semua aku yang beli." Revan memaksa Mayang untuk menjual rumah yang telah diubah menjadi kafe."Mas, itu satu-satunya aset kita, kalo kita jual, kita nggak akan punya apa-apa lagi," kata Mayang menolak menjual rumah pemberian Revan."Ck! Kamu tahu nggak? Kebutuhan semakin banyak dan aku banyak nganggur! Jual aja," kata Revan yang tidak sabar dengan sang istri.Mayang mengembuskan napas kasar saat ini. Ia hanya bisa duduk di kursi roda saja sekarang. Darsih tidak pernah datang lagi sejak kejadian beberapa waktu yang lalu. Mayang kali ini merasa sangat membutuhkan sosok sang ibu."Mas, kalo dijual dan kita nggak punya usaha
Masa lalu menyakitkan tidak akan membuat seseorang dengan mudahnya memaafkan. Rahman--saksi kunci yang dulu hampir dibunuh oleh Murni ternyata berhasil selamat. Kedatangan sosok laki-laki yang usianya hampir sama dengan Murni itu sontak mengejutkan banyak orang, terutama Murni dan Adhyatsa. Revan jelas tidak mengenal sosok yang kini berdiri dengan angkuh di depan mereka semua."Ka-kamu masih hidup?" tanya Murni yang saat ini wajahnya tampak sangat pias."Ya! Setelah kamu berusaha meleyapkan nyawaku, kini aku masih berada di sini. Tuhan masih berbaik hati denganku. Murni, bersiaplah menerima hukuman." Rahman mengatakan dengan nada dingin saat ini.Semua terdiam, suasana pun mendadak hening. Rahman dengan amarah dan dendamnya pada Murni. Akan tetapi, tak lama polisi datang untuk menangkap Murni. Revan tidak bisa berbuat banyak saat ini.Semua sudah jelas, Revan bukan anak kandung Panji Adhyatsa. Ia merasa sangat sakit saat ini. Revan salah satu korban dari keserakahan Murni. Tidak ada
Ara mengembuskan napas perlahan. Wajah Revan kali ini penuh permohonan agar Ara mau berbicara. Haris yang menatap tajam tidak membuat Revan takut. Ada hal yang harus mereka bicarakan."Pa, Ma, aku akan bicara sebentar pada Mas Revan. Papa dan Mama bisa tinggalkan kami berdua?" tanya Ara kepada kedua orang tuanya.Inama mengangguk sebagai jawaban dan segera mengamit lengan sang suami. Ia memberikan waktu kepada sang putri untuk berbicara pada mantan menantu mereka. Anak muda itu, mereka membuat rumah tangga yang awalnya adem ayem sekarang justru sangat rumit. Haris kadang tidak habis pikir dengan cara sang putri."Kita bicara di sana saja," kata Ara sambil menunjuk satu pohon besar dengan kursi taman di bawahnya.Revan mengikuti Ara dari belakang. Ia masih beruntung karena mantan istrinya masih memberikan kesempatan untuk berbicara. Meski Revan sadar, Ara tidak akan mau kembali rujuk. Setidaknya itu yang tampak pada wajah Ara saat ini."Mas, apa yang mau kamu bicarakan sekarang?" tanya
Gita berdiri tepat di depan Revan dan Murni. Ia tampak membenci kedua orang itu. Murni hanya bisa menunduk saat ini. Gita bukan gadis sembarangan.Gita adalah adik kandung Naga Cakra Wibowo, pemilik perusahaan Cakra Buana. Gita tidak akan membuang kesempatan emas untuk membalas Murni saat ini. Beberapa waktu yang lalu, ia menemui Adhyatsa di rumah sakit dan berbicara tentang masa lalu. Tentu hal ini akan sangat mengejutkan untuk semua orang."Aku akan katakan satu hal padamu, Revan Adhyatsa. Kamu tidak pantas menyandang nama belakang Adhyatsa karena kamu bukan anak kandung Panji Adhyatsa. Wanita ini menjebak ayahku, Panji Adhyatsa agar bisa menikahi dengan dalih hamil. Bukankah itu luar biasa?" Gita tersenyum miring setelah mengatakan hal itu. "Mamaku, ada di rumah sakit jiwa juga karena ulahnya," lanjut Gita dengan wajah mengerikan.Revan mundur beberapa langkah karena terkejut mendengar ucapan Gita. Ada apa dengan hidupnya saat ini? Revan seperti orang linglung. Berbeda dengan Murni
Wajah Mayang saat ini langsung seputih kapas. Ia takut karena Revan mempunyai bukti tentang kejahatannya. Mayang yang meletakkan obat itu di laci meja rias Ara. Pantas saja, mereka semua langsung menemukan obat itu tanpa mengobrak-abrik kamar Ara."Bagaimana?" tanya Revan dengan nada dingin dan syarat amarah yang luar biasa."A-aku bisa jelaskan, Mas. Semua ini karena ...." Mayang tidak bisa melanjutkan ucapannya.Revan langsung beranjak dari duduknya dengan kasar. Ia meletakkan laptop di atas meja. Masih dengan tatapan penuh kebencian, ia kembali mendekati Mayang. Revan tidak habis pikir dengan cara kotor istri keduanya. Entah apa yang direncanakan oleh wanita yang baru saja melahirkan itu."Kenapa? Kamu harus ingat, kita bisa menikah karena kebesaran hati Ara. Jika bukan karena dia, kita tidak bisa menikah!" Suara Revan menggelegar memenuhi kamar mereka berdua. "Apa isi otak kamu itu? Tega-teganya kamu berbuat seperti ini?!" bentak Revan sambil melempar gelas bekas minum Mayang."Ma