Inama memang sengaja memberikan kejutan pada putri dan menantunya. Ia dan sang suami sama sekali tidak memberitahu jika hendak datang. Sontak Ara berusaha menetralkan wajahnya saat itu. Tidak dipungkiri, istri Revan itu sangat terkejut."Mama, kok datang nggak ngavari dulu?" Ara bersikap seolah tidak ada yang terjadi sama sekali. "Tau gitu tadi Ara persiapkan semuanya," kata Ara sengaja agar Murni dan Revan tidak curiga."Sengaja, Mama dan Papa mau kasih surprise. Kamu ngapain berdiri di depan pintu?" tanya Inama sambil merentangkan tangan hendak memeluk sang putri."Aku mau ke bawah, Ma. Tadi ponsel aku bergetar makanya aku berhenti di sini," dusta Ara yang sangat meyakinkan agar kedua orang tuanya tidak curiga. Haris memeluk Ara bergantian dengan sang istri. Revan dan Murni pun segera keluar dari kamar. Mereka berdua tentu sangat terkejut. Revan tampak sangat canggung ketika kedua mertuanya datang saat hari sudah gelap."Revan, gimana betah tinggal di Semarang?" tanya Haris sambil
Gilang memang selalu menghindari pertengkaran dengan Mayang. Lebih baik mengalah pada calon istrinya itu daripada mereka bertengkar. Pertengkaran tidak hanya menguras emosi juga akan melibatkan banyak hal. Jika Darsih tahu mereka bertengkar, pasti akan membela Gilang. "May, aku pamit pulang, ya. Kayaknya udah sore," kata Gilang yang saat ini berusaha meredam amarahnya."Oke." Mayang bahkan tidak mengantar Gilang hingga depan pintu.Jangankan mengantar, menatap Gilang pun tidak. Mayang tidak suka jika Gilang banyak bertanya ini dan itu. Sejujurnya, pertanyaan itu adalah pertanyaan sangat sederhana. Akan tetapi, Mayang sangat sensitif dengan pertanyaan itu.Sejak kejadian itu, Gilang jarang berkunjung ke kedai Mayang yang ada di Jakarta; sibuk persiapan tes dan tugas di kampus. Pun dengan Mayang yang seolah seperti tidak ada kabar. Sesekali mereka memang berkabar dengan berkirim pesan. Mereka hanya bertanya kabar saja tidak lebih.Hari ini, Mayang sengaja pulang dulu ke Semarang. Kafe
Gilang menatap tidak suka pada pemilik warung. Ia kebetulan sengaja ke Stasiun Senen ini. Perkiraannya, Bu Darsih akan datang saat hari menjelang pagi. Keberadaan Gilang di salah satu warung itu karena merasa lapar."Nak Gilang kok di sini?" tanya Darsih yang kali ini sangat terkejut."Iya. Tadi Mayang telepon kalo Ibu ke Jakarta dan dia ada di Semarang sekarang. Mari, Bu, saya carikan penginapan." Gilang membantu Darsih membawakan beberapa barang-barang."Nak Gilang, Ibu mau tunggu kereta saja. Ibu langsung pulang. Mayang ada di Semarang, kasihan dia nanti tidak ada temannya. Salah Ibu juga karena tidak memberitahu dia dulu. Jadinya malah seperti ini," kata Darsih sambil tersenyum kecut.Gilang mengembuskan napas panjang. Ia tahu bagaimana perasaan Darsih saat ini. Mayang sudah sangat berubah. Bukan lagi sosok lemah lembut seperti dulu semenjak kafenya meraih kesuksesan."Ibu bisa menunggu di tempat indekos saya saja, Bu. Kalo di sini rawan penjahat. Ibu juga bisa istirahat," kata Gi
Setelah hampir dua tahun berlalu, Ara baru sadar. Ia pun menangis sejadi-jadinya. Ternyata dibalik sifat dingin Revan, sang suami sebenarnya sudah mempunyai kekasih. Mayang Mandasari, sosok salah satu sahabat Ara yang seolah menghilang bak ditelan bumi."Lho? Non, kok nangis?" Mbok Ijah tidak sengaja melihat Ara yang sedang menangis sambil membawa map berwarna merah.Ara tidak menjawab pertanyaan wanita paruh baya itu. Gegas ia segera menuju ke mobilnya. Hati dan otaknya tidak sinkron saat ini. Ara ingin berbicara empat mata pada Revan.Apa pun keputusan Ara, tidak ada yang boleh menentang. Ara merasa sangat bersalah ketika merebut milik sahabatnya. Mayang memang tidak pernah menjelaskan siapa sosok kekasihnya itu. Lantas, siapa yang salah di sini?"Ra? Kamu kenapa?" tanya Murni yang panik saat melihat Ara tidak baik-baik saja.Sama, Ara sama sekali tidak menjawab pertanyaan yang sama. Ara mengusap air matanya lalu menyalakan mesin mobil. Ia ingin segera bertemu dengan Revan saat ini.
Gita menatap tidak suka pada Murni. Wanita itu langsung beranjak dari duduknya saat melihat sahabat dari menantunya datang tanpa mengucapkan salam dan mengetuk pintu. Gita menatap tajam pada Murni lalu berjalan mendekat ke arah wanita yang menjadi mertua Ara itu. Jarak dua kaki di depan Murni, Gita meraih tangan Murni dengan kasar."Kalian hanya memanfaatkan kekayaan Tuan Haris rupanya. Aku baru sadar. Kalian bisa sesantai ini saat Ara sekarat. Lihat kamu! Dasar wanita jalang!" Gita menghempas kasar tangan Murni. Murni terkejut dan langsung memundurkan tubuhnya beberapa langkah dari Gita. Jantung wanita paruh baya itu seolah melompat keluar. Ucapan Gita tentu penuh makna. Mbok Ijah mendengar ucapan gadis muda itu tampak sangat terkejut saat ini. "Ma-maksud kamu apa, Gita?" tanya Murni yang kini wajahnya seputih kapas."Maksudku apa? Bodoh! Perempuan jahat sepertimu memg tidak pernah punya hati! Aku curiga, dalang dibalik kecelakaan yang menimpa Ara karena ulah kamu dan laki-laki sia
Hardi segera berdiri dan menyalami Haris Manggala. Adab luar biasa Hardi, menghormati sosok yang lebih tua. Haris menerima uluran tangan asisten menantunya itu. Ia mendengkus karena kesal mengapa sang menantu tak kunjung datang."Kok kamu malah duluan datang. Revan mana?" tanya Haris dengan nada ketus dan tidak bersahabat sama sekali."Mungkin terjebak macet. Saya ke sini pakai motor, jadi lebih cepat." Hardi memang benar adanya.Dahi Haris mengerut dalam mendengar ucapan laki-laki muda di depannya itu. Revan jelas mengendarai mobil mewah. Lantas mengapa asistennya hanya mengendarai sepeda motor? Haris tidak habis pikir dengan cara mereka memperlakukan pagawai yang sudah mengabdi dan membuat perusahaan maju."Ya, sudah, kalo nanti Revan datang, suruh dia ke atas." Haris langsung meninggalkan Gita dan Hardi."Baik, Om." Gita yang menjawab ucapan sosok laki-laki yang dianggapnya sebagai ayah.Tidak menunggu lama, pesanan makanan Gita pun datang. Hardi ikut membantu membawakan beberapa k
Salah satu Dokter hendak memeriksa keadaan Ara merasa kikuk karena menganggap tidak tepat waktu saat ini. Bukan tidak tepat waktu, memang sudah waktunya untuk memeriksa keadaan Ara saat ini. Perkembangan Ara sangat signifikan dan memang anak semata wayang Haris Manggala itu berkeinginan besar untuk sembuh. Ada banyak hal yang dicita-citakan dalam hidupnya."Mas Revan, tolong bisa keluar dulu?" pinta Ara dengan nada penuh permohonan pada sang suami.Biasanya jika diperiksa oleh Dokter, Ara tidak akan meminta orang yang ada di kamar ini untuk keluar. Kali ini berbeda. Ara ingin berbicara empat mata dengan sang Dokter. Mereka saling akrab karena Ara adalah pasien yang sangat ramah dan baik hati."Baiklah. Aku akan tunggu di luar," kata Revan lalu meninggalkan brankar sang istri.Setelah Revan menutup pintu, sang Dokter pun memeriksa Ara. Ada dua suster yang menemani seperti biasa. Saat ini Ara sudah bisa duduk dan menggerakkan kedua tangannya. Untuk kaki masih harus berlatih perlahan."
Semarah apa pun Gilang pada Mayang, tetap akan kembali pada wanita berparas cantik itu. Cinta yang sangat mendalam membuat sosok ASN itu buta. Mayang telah berulang kali menyakiti hatinya dan juga ucapannya sering kali kasar. Tidak, Gilang pun sebenarnya tersinggung, hanya saja, cinta membuat semua itu hilang."Ma-Mas Gilang?" Mayang tidak bisa menghilangkan rasa gugupnya saat ini."Ya, aku pikir kafe sudah mau tutup. Jadi, aku datang buat jemput kamu. Ternyata masih ada pengunjung. Ya, sudah, biar aku tunggu di dalam saja," kata Gilang langsung merangkul punggung Mayang dengan cepat.Ucapan laki-laki tadi mengusik pikiran Mayang. Mengapa sangat kebetulan dengan apa yang pernah dialami Mayang beberapa tahun yang lalu saat hampir selesai kuliah? Mungkinkah ini semua kebetulan? Entah.Mayang meminta tolong pada beberapa pegawainya untuk mengantarkan pesanan beberapa pemuda itu. Ia ingin mengamati mereka semua tanpa ada yang curiga. Rasanya tidak mungkin jika semua itu kebetulan saja. Ma
Tidak butuh waktu lama, Angga segera menemui kedua orang tua Ara. Angga sama sekali tidak mau membuang waktu percuma. Ia benar-benar mencintai sosok Anggara Manggala. Angga tidak peduli dengan status janda yang melekat pada Ara.Keluarga besar Angga juga menerima siapa pun calon menantu mereka. Hal terpenting adalah, mereka bisa saling mencintai dan kelak hidup dengan bahagia. Calon mertua Angga adalah orang biasa. Mereka pernah dibantu oleh Haris Manggala secara finansial."Terima kasih Pak Haris menerima lamaran dari putra kami," kata Suminto yang merasa sangat bersyukur setelah lamaran mereka diterima baik oleh keluarga besar Haris Manggala. "Sama-sama. Saya tidak mungkin menolak lamaran Angga. Saya tahu bagaimana karakter Angga. Angga sosok pekerja keras dan satu, dia setia." Haris memuji sosok calon menantunya. "Ara pernah gagal dalam rumah tangga. Semoga Angga adalah jodoh terbaik untuk anak saya," kata Haris penuh harapan."Saya juga berharap seperti itu. Nak Ara orang yang ba
Revan menatap tajam Mayang. Ia menduga jika ibunya Kala mengatakan hal buruk pada Ara. Mayang tidak bisa ditebak isi pikiran dan hatinya. Revan merasa telah menikahi orang yang berbeda."Aku permisi," kata Ara tidak mau ikut campur masalah rumah tangga mereka.Ara melirik sekilas ke arah anak laki-laki kecil itu. Hatinya sangat sedih karena anak Revan berkebutuhan khusus. Anak itu tidak terawat dengan baik karena faktor ekonomi. Akan tetapi, Ara tidak bisa berbuat banyak untuk mereka."Ra, maukah kamu menikah kembali dengan Mas Revan?" Pertanyaan Mayang sukses membuat langkah Ara terhenti seketika. "Aku akan mundur dan tidak lagi mengganggu kalian nantinya. Aku sadar, aku banyak salah dan sudah sangat jahat padamu," lanjut Mayang yang saat ini meneteskan air mata.Tubuh Ara mendadak kaku dan tidak mau menoleh lagi. Ia merasa sakit ketika mendengar permintaan Mayang. Rasa cinta yang dipendam untuk Revan mendadak hilang begitu saja. Entahlah, hanya Ara dan Tuhan saja yang tahu."Ra, aku
Penundaan jadwal reuni kampus Ara membuat Revan frustasi. Ia harus semakin lama menunggu bertemu dengan mantan istri pertamanya itu. Padahal, Revan sudah mempersiapkan semua hal dengan baik. Kini terpaksa harus menyimpan semua itu.Sementara itu, Ara memutuskan untuk membuka hati untuk Angga. Ia menyadari satu hal, tidak semua laki-laki sama di dunia ini. Angga tampak sangat baik dan sopan. Sosok Dokter itu juga sangat menghormati wanita."Sudah lama di sini?" tanya Ara saat baru saja keluar dari dapur dan melihat Angga duduk seorang diri di ruang tamu.Angga terjengit kaget karena sedang sibuk melamun saat ini. Ia pun segera beranjak dari duduknya. Ara tersenyum melihat tingkah Angga. Ia menatap ke arah Dokter muda itu."Maaf, aku nggak bermaksud mengejutkan," kata Ara dengan tulus."Oh, tidak. Aku hanya ...." Angga tidak melanjutkan ucapannya."Ada apa? Ada yang ingin dibicarakan dengan Bu Salamah?" tanya Ara sambil menatap Angga yang tampak cemas.Biasanya Angga akan berbicara deng
Sejak kejadian itu, Angga dan Ara dekat. Hanya saja, Ara membatasi kedekatan itu dan hanya sebagai teman. Angga hingga saat ini tidak tahu siapa Ara. Andai ia tahu, maka akan sangat terkejut. Angga mengenal siapa sosok Haris Manggala.Ara sama sekali tidak pernah menyebutkan siapa kedua orang tuanya. Hanya sesekali saja ia menemui kedua orang tuanya. Padahal, sudah hampir tiga tahun bercerai dengan Revan. Ara masih ingin mengobati hatinya."Aku boleh datang ke rumah orang tua kamu?" tanya Angga saat berada di panti asuhan ini."Untuk apa?" tanya Ara sambil tersenyum ramah seperti biasa.Bukan tidak paham arah pembicaraan Angga, hanya saja, Ara tidak mau gegabah dalam banyak hal. Ia masih menutup hati untuk banyak orang. Entah akan sampai kapan, tidak ada yang tahu. Ara juga menolak mentah-mentah cinta Angga dan hanya ingin menjalin hubungan pertemanan saja."Aku ingin melamar kamu pada kedua orang tuamu. Kamu tidak mau pacaran bukan?" tanya Angga sambil menatap intens ke arah mata Ara
Revan akhirnya menjelaskan pada Mayang jika mengalami kelumpuhan akibat terjatuh tadi pagi. Tentu saja, Mayang sangat syok. Ia tidak bisa menerima keadaan dirinya saat ini. Menyakitkan karma yang harus diterimanya. Revan terpaksa membawa Mayang pulang karena biaya rumah sakit pasti akan membengkak jika Mayang lama dirawat."May, rumah itu mending dijual aja. Toh, itu semua aku yang beli." Revan memaksa Mayang untuk menjual rumah yang telah diubah menjadi kafe."Mas, itu satu-satunya aset kita, kalo kita jual, kita nggak akan punya apa-apa lagi," kata Mayang menolak menjual rumah pemberian Revan."Ck! Kamu tahu nggak? Kebutuhan semakin banyak dan aku banyak nganggur! Jual aja," kata Revan yang tidak sabar dengan sang istri.Mayang mengembuskan napas kasar saat ini. Ia hanya bisa duduk di kursi roda saja sekarang. Darsih tidak pernah datang lagi sejak kejadian beberapa waktu yang lalu. Mayang kali ini merasa sangat membutuhkan sosok sang ibu."Mas, kalo dijual dan kita nggak punya usaha
Masa lalu menyakitkan tidak akan membuat seseorang dengan mudahnya memaafkan. Rahman--saksi kunci yang dulu hampir dibunuh oleh Murni ternyata berhasil selamat. Kedatangan sosok laki-laki yang usianya hampir sama dengan Murni itu sontak mengejutkan banyak orang, terutama Murni dan Adhyatsa. Revan jelas tidak mengenal sosok yang kini berdiri dengan angkuh di depan mereka semua."Ka-kamu masih hidup?" tanya Murni yang saat ini wajahnya tampak sangat pias."Ya! Setelah kamu berusaha meleyapkan nyawaku, kini aku masih berada di sini. Tuhan masih berbaik hati denganku. Murni, bersiaplah menerima hukuman." Rahman mengatakan dengan nada dingin saat ini.Semua terdiam, suasana pun mendadak hening. Rahman dengan amarah dan dendamnya pada Murni. Akan tetapi, tak lama polisi datang untuk menangkap Murni. Revan tidak bisa berbuat banyak saat ini.Semua sudah jelas, Revan bukan anak kandung Panji Adhyatsa. Ia merasa sangat sakit saat ini. Revan salah satu korban dari keserakahan Murni. Tidak ada
Ara mengembuskan napas perlahan. Wajah Revan kali ini penuh permohonan agar Ara mau berbicara. Haris yang menatap tajam tidak membuat Revan takut. Ada hal yang harus mereka bicarakan."Pa, Ma, aku akan bicara sebentar pada Mas Revan. Papa dan Mama bisa tinggalkan kami berdua?" tanya Ara kepada kedua orang tuanya.Inama mengangguk sebagai jawaban dan segera mengamit lengan sang suami. Ia memberikan waktu kepada sang putri untuk berbicara pada mantan menantu mereka. Anak muda itu, mereka membuat rumah tangga yang awalnya adem ayem sekarang justru sangat rumit. Haris kadang tidak habis pikir dengan cara sang putri."Kita bicara di sana saja," kata Ara sambil menunjuk satu pohon besar dengan kursi taman di bawahnya.Revan mengikuti Ara dari belakang. Ia masih beruntung karena mantan istrinya masih memberikan kesempatan untuk berbicara. Meski Revan sadar, Ara tidak akan mau kembali rujuk. Setidaknya itu yang tampak pada wajah Ara saat ini."Mas, apa yang mau kamu bicarakan sekarang?" tanya
Gita berdiri tepat di depan Revan dan Murni. Ia tampak membenci kedua orang itu. Murni hanya bisa menunduk saat ini. Gita bukan gadis sembarangan.Gita adalah adik kandung Naga Cakra Wibowo, pemilik perusahaan Cakra Buana. Gita tidak akan membuang kesempatan emas untuk membalas Murni saat ini. Beberapa waktu yang lalu, ia menemui Adhyatsa di rumah sakit dan berbicara tentang masa lalu. Tentu hal ini akan sangat mengejutkan untuk semua orang."Aku akan katakan satu hal padamu, Revan Adhyatsa. Kamu tidak pantas menyandang nama belakang Adhyatsa karena kamu bukan anak kandung Panji Adhyatsa. Wanita ini menjebak ayahku, Panji Adhyatsa agar bisa menikahi dengan dalih hamil. Bukankah itu luar biasa?" Gita tersenyum miring setelah mengatakan hal itu. "Mamaku, ada di rumah sakit jiwa juga karena ulahnya," lanjut Gita dengan wajah mengerikan.Revan mundur beberapa langkah karena terkejut mendengar ucapan Gita. Ada apa dengan hidupnya saat ini? Revan seperti orang linglung. Berbeda dengan Murni
Wajah Mayang saat ini langsung seputih kapas. Ia takut karena Revan mempunyai bukti tentang kejahatannya. Mayang yang meletakkan obat itu di laci meja rias Ara. Pantas saja, mereka semua langsung menemukan obat itu tanpa mengobrak-abrik kamar Ara."Bagaimana?" tanya Revan dengan nada dingin dan syarat amarah yang luar biasa."A-aku bisa jelaskan, Mas. Semua ini karena ...." Mayang tidak bisa melanjutkan ucapannya.Revan langsung beranjak dari duduknya dengan kasar. Ia meletakkan laptop di atas meja. Masih dengan tatapan penuh kebencian, ia kembali mendekati Mayang. Revan tidak habis pikir dengan cara kotor istri keduanya. Entah apa yang direncanakan oleh wanita yang baru saja melahirkan itu."Kenapa? Kamu harus ingat, kita bisa menikah karena kebesaran hati Ara. Jika bukan karena dia, kita tidak bisa menikah!" Suara Revan menggelegar memenuhi kamar mereka berdua. "Apa isi otak kamu itu? Tega-teganya kamu berbuat seperti ini?!" bentak Revan sambil melempar gelas bekas minum Mayang."Ma