Gilang memang selalu menghindari pertengkaran dengan Mayang. Lebih baik mengalah pada calon istrinya itu daripada mereka bertengkar. Pertengkaran tidak hanya menguras emosi juga akan melibatkan banyak hal. Jika Darsih tahu mereka bertengkar, pasti akan membela Gilang. "May, aku pamit pulang, ya. Kayaknya udah sore," kata Gilang yang saat ini berusaha meredam amarahnya."Oke." Mayang bahkan tidak mengantar Gilang hingga depan pintu.Jangankan mengantar, menatap Gilang pun tidak. Mayang tidak suka jika Gilang banyak bertanya ini dan itu. Sejujurnya, pertanyaan itu adalah pertanyaan sangat sederhana. Akan tetapi, Mayang sangat sensitif dengan pertanyaan itu.Sejak kejadian itu, Gilang jarang berkunjung ke kedai Mayang yang ada di Jakarta; sibuk persiapan tes dan tugas di kampus. Pun dengan Mayang yang seolah seperti tidak ada kabar. Sesekali mereka memang berkabar dengan berkirim pesan. Mereka hanya bertanya kabar saja tidak lebih.Hari ini, Mayang sengaja pulang dulu ke Semarang. Kafe
Gilang menatap tidak suka pada pemilik warung. Ia kebetulan sengaja ke Stasiun Senen ini. Perkiraannya, Bu Darsih akan datang saat hari menjelang pagi. Keberadaan Gilang di salah satu warung itu karena merasa lapar."Nak Gilang kok di sini?" tanya Darsih yang kali ini sangat terkejut."Iya. Tadi Mayang telepon kalo Ibu ke Jakarta dan dia ada di Semarang sekarang. Mari, Bu, saya carikan penginapan." Gilang membantu Darsih membawakan beberapa barang-barang."Nak Gilang, Ibu mau tunggu kereta saja. Ibu langsung pulang. Mayang ada di Semarang, kasihan dia nanti tidak ada temannya. Salah Ibu juga karena tidak memberitahu dia dulu. Jadinya malah seperti ini," kata Darsih sambil tersenyum kecut.Gilang mengembuskan napas panjang. Ia tahu bagaimana perasaan Darsih saat ini. Mayang sudah sangat berubah. Bukan lagi sosok lemah lembut seperti dulu semenjak kafenya meraih kesuksesan."Ibu bisa menunggu di tempat indekos saya saja, Bu. Kalo di sini rawan penjahat. Ibu juga bisa istirahat," kata Gi
Setelah hampir dua tahun berlalu, Ara baru sadar. Ia pun menangis sejadi-jadinya. Ternyata dibalik sifat dingin Revan, sang suami sebenarnya sudah mempunyai kekasih. Mayang Mandasari, sosok salah satu sahabat Ara yang seolah menghilang bak ditelan bumi."Lho? Non, kok nangis?" Mbok Ijah tidak sengaja melihat Ara yang sedang menangis sambil membawa map berwarna merah.Ara tidak menjawab pertanyaan wanita paruh baya itu. Gegas ia segera menuju ke mobilnya. Hati dan otaknya tidak sinkron saat ini. Ara ingin berbicara empat mata pada Revan.Apa pun keputusan Ara, tidak ada yang boleh menentang. Ara merasa sangat bersalah ketika merebut milik sahabatnya. Mayang memang tidak pernah menjelaskan siapa sosok kekasihnya itu. Lantas, siapa yang salah di sini?"Ra? Kamu kenapa?" tanya Murni yang panik saat melihat Ara tidak baik-baik saja.Sama, Ara sama sekali tidak menjawab pertanyaan yang sama. Ara mengusap air matanya lalu menyalakan mesin mobil. Ia ingin segera bertemu dengan Revan saat ini.
Gita menatap tidak suka pada Murni. Wanita itu langsung beranjak dari duduknya saat melihat sahabat dari menantunya datang tanpa mengucapkan salam dan mengetuk pintu. Gita menatap tajam pada Murni lalu berjalan mendekat ke arah wanita yang menjadi mertua Ara itu. Jarak dua kaki di depan Murni, Gita meraih tangan Murni dengan kasar."Kalian hanya memanfaatkan kekayaan Tuan Haris rupanya. Aku baru sadar. Kalian bisa sesantai ini saat Ara sekarat. Lihat kamu! Dasar wanita jalang!" Gita menghempas kasar tangan Murni. Murni terkejut dan langsung memundurkan tubuhnya beberapa langkah dari Gita. Jantung wanita paruh baya itu seolah melompat keluar. Ucapan Gita tentu penuh makna. Mbok Ijah mendengar ucapan gadis muda itu tampak sangat terkejut saat ini. "Ma-maksud kamu apa, Gita?" tanya Murni yang kini wajahnya seputih kapas."Maksudku apa? Bodoh! Perempuan jahat sepertimu memg tidak pernah punya hati! Aku curiga, dalang dibalik kecelakaan yang menimpa Ara karena ulah kamu dan laki-laki sia
Hardi segera berdiri dan menyalami Haris Manggala. Adab luar biasa Hardi, menghormati sosok yang lebih tua. Haris menerima uluran tangan asisten menantunya itu. Ia mendengkus karena kesal mengapa sang menantu tak kunjung datang."Kok kamu malah duluan datang. Revan mana?" tanya Haris dengan nada ketus dan tidak bersahabat sama sekali."Mungkin terjebak macet. Saya ke sini pakai motor, jadi lebih cepat." Hardi memang benar adanya.Dahi Haris mengerut dalam mendengar ucapan laki-laki muda di depannya itu. Revan jelas mengendarai mobil mewah. Lantas mengapa asistennya hanya mengendarai sepeda motor? Haris tidak habis pikir dengan cara mereka memperlakukan pagawai yang sudah mengabdi dan membuat perusahaan maju."Ya, sudah, kalo nanti Revan datang, suruh dia ke atas." Haris langsung meninggalkan Gita dan Hardi."Baik, Om." Gita yang menjawab ucapan sosok laki-laki yang dianggapnya sebagai ayah.Tidak menunggu lama, pesanan makanan Gita pun datang. Hardi ikut membantu membawakan beberapa k
Salah satu Dokter hendak memeriksa keadaan Ara merasa kikuk karena menganggap tidak tepat waktu saat ini. Bukan tidak tepat waktu, memang sudah waktunya untuk memeriksa keadaan Ara saat ini. Perkembangan Ara sangat signifikan dan memang anak semata wayang Haris Manggala itu berkeinginan besar untuk sembuh. Ada banyak hal yang dicita-citakan dalam hidupnya."Mas Revan, tolong bisa keluar dulu?" pinta Ara dengan nada penuh permohonan pada sang suami.Biasanya jika diperiksa oleh Dokter, Ara tidak akan meminta orang yang ada di kamar ini untuk keluar. Kali ini berbeda. Ara ingin berbicara empat mata dengan sang Dokter. Mereka saling akrab karena Ara adalah pasien yang sangat ramah dan baik hati."Baiklah. Aku akan tunggu di luar," kata Revan lalu meninggalkan brankar sang istri.Setelah Revan menutup pintu, sang Dokter pun memeriksa Ara. Ada dua suster yang menemani seperti biasa. Saat ini Ara sudah bisa duduk dan menggerakkan kedua tangannya. Untuk kaki masih harus berlatih perlahan."
Semarah apa pun Gilang pada Mayang, tetap akan kembali pada wanita berparas cantik itu. Cinta yang sangat mendalam membuat sosok ASN itu buta. Mayang telah berulang kali menyakiti hatinya dan juga ucapannya sering kali kasar. Tidak, Gilang pun sebenarnya tersinggung, hanya saja, cinta membuat semua itu hilang."Ma-Mas Gilang?" Mayang tidak bisa menghilangkan rasa gugupnya saat ini."Ya, aku pikir kafe sudah mau tutup. Jadi, aku datang buat jemput kamu. Ternyata masih ada pengunjung. Ya, sudah, biar aku tunggu di dalam saja," kata Gilang langsung merangkul punggung Mayang dengan cepat.Ucapan laki-laki tadi mengusik pikiran Mayang. Mengapa sangat kebetulan dengan apa yang pernah dialami Mayang beberapa tahun yang lalu saat hampir selesai kuliah? Mungkinkah ini semua kebetulan? Entah.Mayang meminta tolong pada beberapa pegawainya untuk mengantarkan pesanan beberapa pemuda itu. Ia ingin mengamati mereka semua tanpa ada yang curiga. Rasanya tidak mungkin jika semua itu kebetulan saja. Ma
Ara mengembuskan napas perlahan. Kedua orang tua Ara merasa sangat penasaran. Baru kali ini ada panggilan pada ponsel putri mereka. Semenjak istri Revan itu dirawat di rumah sakit ini sangat jarang menerima panggilan telepon."Siapa, Ra?" Haris kali ini sangat penasaran dan Ara langsung menggedikkan bahu."Maaf, nanti akan saya telepon balik, ya. Saat ini saya harus istirahat."Ara langsung mematikan panggilan itu dan meletakkan ponsel di atas meja yang ada di dekat brankarnya. Kedua orang tua Ara sangat penasaran lantas mendekat. Mereka tidak ingin Ara terganggu dengan masalah yang di Jakarta. Haris hanya ingin Ara fokus pada kesembuhan saja tidak lebih."Kenapa langsung ditutup?" tanya Haris dan membuat Ara gugup."Aku lupa kalo belanja online dan sekarang sudah dikirim ke rumah. Bunda Murni sepertinya bingung saat menerima paket itu, makanya kurirnya telepon." Ara berbohong dengan tidak lancar.Kedua orang tua Ara jelas tidak percaya. Hanya saja mereka memutuskan diam. Ada alasan t