"Kamu jangan sedih ya sayang, Kami akan menggantikan kedua orang tuamu yang telah tiada, kami sayang sama Kamu," bisik Bu Yati tepat di telingaku, disela isak tangisnya yang masih terdengar.
Aku menatap wajahnya, mencoba menangkap kesungguhan dari setiap ucapannya, melalui kedua netra-nya yang kini terlihat sembab. Mata itu terlihat membalas tatapanku, seakan menunggu jawaban. "Lastri juga sayang Ibu dan Pak Danu," lirihku, sembari kedua tanganku memeluk Beliau.
"Lastri panggilnya sekarang Mama aja ya, dan Pak Danu Lastri panggil Papa," Sebuah senyum terlihat mengembang dari wajah perempuan yang kini menjadi Ibu angkatku.
Aku hanya diam tak menjawab, menikmati pelukan seorang Ibu yang sudah lama tak kurasakan. Sejak saat itu Aku memanggil Pak Danu dengan sebutan Papa, Dan panggilan Mama untuk Bu Yati.
Papa kemudian menghampiri Kami, Ia duduk disampingku lalu membelai rambutku pelan. "Kamu jangan cerita apapun tentang masa lalu Kamu ya sayang! karena Papa engga mau sampai Pakde atau Paklekmu tau Kamu masih hidup," pesan Papa padaku, Air wajahnya menyiratkan kekhawatiran disertai tatapan hangat yang selalu membuatku tenang berada di dekatnya.
"Ma, Kita harus cari nama baru buat Lastri!" sambung Papa.
"Gimana baiknya aja Pa," timpal Mama kemudian
" Bagaimana kalau, Widya Harum Danu?" usul Papa.
"Bagaimana Sayang," tanya Mama pula padaku.
"Yang terbaik menurut Ibu, Eh ... Mama!" balasku sambil sedikit tersenyum malu.
'Besok biar Papa suruh orang untuk mengurus akta kelahiran Kamu, dan setelah Itu kita daftar sekolah ya!"
"Makasih ya Pa, Akhirnya Lastri akan bisa sekolah kayak teman-teman di sini."
"Ehhh ... namanya kan sekarang Widya!" Ucap Papa sambil menjawil hidungku.
"Ya udah, besok malam kita ngadain syukuran kecil-kecilan, biar tetangga sini tau nama Kamu sekarang Widya." Sela Mama.
"Tapi ingat! Jangan sampai keceplosan tentang masa lalunya Widya. Mereka cukup tahu Widya adalah anak Kita," Tegas Papa mengingatkan.
"Iya, pokoknya Papa tenang aja ya," ujar Mama menenangkan.
"Kamu tidur dulu ya sayang, supaya besok bisa bangun pagi dan ikut Mama belanja keperluan syukuran!"
"Iya Ma," Aku lantas melepaskan pelukanku dari Mama dan segera berbaring di tempat tidur. Mama dan Papa keluar dari kamar setelah menyelimutiku dan mematikan lampu kamar lalu menyalakan lampu tidur yang temaram.
Sesaat setelah lampu dimatikan, aku membuka selimut dan duduk bersandar pada sandaran ranjang. Aku mengangkat bantalku dan mengambil foto Abah yang berada disana. Hanya foto ini yang Aku punya, sedangkan foto Ibu dan Adikku tidak sempat Aku miliki.
Rasa sakit kehilangan Heru dan Ibu belum lagi sirna, kini Aku harus menerima kenyataan bahwa Abah pun telah tiada. Aku bisa saja untuk tidak akan mengatakan masa laluku kepada siapa pun, tapi Aku tidak akan pernah bisa melupakannya dari ingatanku, seumur hidupku. Rasa sakit ini kian menggunung dan berubah jadi dendam yang selalu menuntut untuk dibalaskan. Suatu hari Aku akan membalas perbuatan Pakde dan Paklek terhadap keluargaku.
_________
Pagi-pagi sekali Papa sudah berangkat untuk dinas pagi, sementara Aku ikut Mama ke pasar berbelanja untuk acara nanti malam. Tak lupa Mama membelikan gamis baru untukku.
Siang hari sesampainya di rumah, Para tetangga membantu memasak didapur, sedangkan Mama mengelap piring yang sudah di cuci bersama Bu Elin di di dekatku yang sedang asik menonton televisi.
"Kenapa namanya diganti Widya?" tanya Ibu Elin kepada Mama, sambil mengelap piring setelah dicuci bersama-sama dan sesekali tangannya mencomot kue yang berada di sampingnya. Beliau adalah salah satu tangga samping rumahku dan termasuk tetangga yang suka menolong, walaupun selalu kepo urusan orang.
"Soalnya kemarin anakku sempat mengalami musibah sehingga kakinya patah, jadi kami sebagai orang tua berharap dengan mengganti nama Lastri menjadi Widya, akan membawa kebaikan serta umur yang panjang buat anak kami," Jelas Ibu panjang lebar.
"Oh iya bener juga itu Bu Yati, kalo orang tua dulu bilang keberatan nama bisa bikin anak jadi sakit-sakitan, jadi memang lebih baik diganti saja," Ibu Elin menjawab sambil mulutnya tak henti-henti mengunyah makanan.
"Amin, mohon doanya ya Bu Elin,"
"Iya pasti Bu Yati saya akan berikan doa terbaik buat si cantik," Bu Elin tampak tersenyum ke arahku.
Bu Elin Lalu berdiri menambah es sirup yang kosong di gelasnya, lalu kembali lagi duduk mengelap piring sambil tersenyum semanis mungkin kepada Ibu. Sepertinya Ibu paham arti dari senyum Bu Elin, karena Beliau kemudian menambah kue yang berada di samping Bu Yati.
"Ini saya mau nanya sama Bu Yati, tapi janji jangan tersinggung ya Bu!" Mata Bu Elin nampak menatap Ibu lekat. Dan kata-kata ini biasanya adalah langkah awal Bu Yati untuk menggali informasi, sekaligus menobati jiwa kepo nya, serta melengkapi hobi bergosipnya di tukang sayur.
"Mau nanya apa memangnya Bu Elin?" Nada suara Mama mulai terdengar tidak enak.
"Ini maaf lho sebelumnya Buk Yati, Sebenarnya Widya Itu anak kandung Bu Yati dan Pak Danu bukan sih? Kok wajahnya cantik benget kayak orang Arab?" Bu Yati bertanya dengan suara keras, sehingga beberapa orang di dapur melihat ke arah Mama.
"Eh Buk Elin, kalo punya mulut itu dijaga ya! Saya tegaskan Widya adalah anak kandung saya dan Pak Danu!" Beberapa tetangga di dapur lantas datang ke ruang tamu untuk menenangkan Ibu, yang kini terlihat wajahnya mulai merah dan menunjuk wajah Buk Yati.
"Assalamualaikum," ucap seseorang di ambang pintu.
Aku melihat ke arah pintu, ternyata Papa sudah pulang dan wajahnya begitu sumringah melihatku. Beliau lalu masuk dan mununjukan Akta kelahiran dan Kartu Keluarga yang tercantum namaku di dalamnya.
"Besok Widya daftar Sekolah ya!" ucapnya atusias, dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
"Hore, Aku sekolah!" teriakku, lalu memeluk Papa.
Papa menciumku, lantas Ia berkata," Ihhh sudah sore belum mandi, Mandi dulu gih!" perintahnya, Aku pun tertawa mendengarnya.
"Bentar lagi ya Pa." Aku kemudian memeluk Papa.
"Lihat sendiri kan Bu Elin! Anak saya punya Akte dan kartu keluarga, berarti Widya adalah anak kandung kami." Mama melawan kata-kata Bu Elin dengat telak.
"Iya Bu Elin, jangan sembarang ngomong kalo engga ada bukti!" timpal tetangga yang lain pula.
Bu Elin yang terlanjur malu lantas pulang tanpa sepatah kata pun. Papa yang kelihatan bingung, lantas menggendong dan mengantarkanku ke kamar mandi.
Selesai mandi Aku mengenakan Baju gamis yang dibelikan Mama tadi Pagi. Wajahku yang oval, hidung yang mancung, serta bola mataku yang bulat dibingkai dengan Alis yang tebal, membuatku terlihat sangat cantik mengenakan gamis dan jilbab yang dibelikan Mama tadi pagi.
Sembilan tahun kemudian.Waktu berlalu begitu cepat, hingga tak terasa 9 tahun sudah berlalu sejak Papa dan Mama pertama kalinya mendaftarkanku sekolah di SD.Kini hanya tinggal dalam hitungan beberapa hari saja lagi Aku berada di SMA, karena setelah ini aku akan bersiap meninggalkan dunia remaja dan perlahan menuju fase kedewasaan. Duniaku akan berubah dari putih abu-abu menjadi lebih berwarna."Widya, setelah lulus nanti apakah Kamu akan kuliah?" Tanya laki-laki tampan dan bertubuh jangkung, yang selama tiga tahun ini menjalin kasih denganku."Oh iya, Kamu tau engga? Papa sudah daftarin Aku untuk kuliah di UI lho!," jawabku penuh semangat, sambil mencubit pipi pria yang duduk di sampingku kini."Oh ya?" Ilham melihatku sekilas, lalu membuang pandangannya kembali ke halaman sekolah."Kamu kenapa? Kok bukannya seneng sih?"Ketusku sambil memanyunkan bibir sepuluh senti."Aku seneng kok.""Terus?" Cecarku tak sabaran."Aku
"Widya sudah selesai belum?" teriak mama dari luar kamar."Bentar lagi Ma." Secepat kilat ku ambil tas diatas meja rias, lalu keluar menyusul mama dan papa yang sudah menunggu di ruang tamu.Hari ini kami akan ke bandara, melepas kepergian Ilham ke luar negeri. Sepanjang perjanan hatiku gundah, takut terlambat datang dan tidak bisa bertemu untuk terakhir kali-nya.Perjalanan yang membosankan menuju bandara akhirnya berakhir juga, kini kami telah sampai. Segera Aku menelpon Ilham, namun ponselnya tidak dapat di hubungi. Aku pun mencari bagian informasi di Bandara untuk bertanya, diikuti oleh mama dan papa di belakangku."Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?" sapa perempuan berhijab yang bekerja di bagian informasi bandara sambil tersenyum ramah.
"Tapi Saya kan Mahasiswi teladan Pak, Kalau saya gagal di hari pertama magang nanti Saya malu dong Pak!""Saya suruh Anda keluar dari ruangan Saya!""Saya janji nggak akan terlambat lagi Pak, jangan pecat Saya magang ya Pak,""Siapa bilang Kamu dipecat?""Kan barusan Bapak yang nyuruh Saya keluar ruangan,""Keluar ruangan Saya, dan pergi ke bagian Informasi, nanti disana ada daftar tugas yang harus Kamu kerjakan selama magang disini,""Terima kasih Pak,""Tapi jangan terlambat lagi, ingat itu!"
"Ayo duduk disini, kita makan bareng," sapa Ibu-ibu yang duduk di meja makan. Mas Randi lantas membukakan satu kursi untukku, aku pun tersenyum manis kepada mereka."Mah, Pah, perkenalkan ini Widya calon Istri Randi," ujar Mas Randi.Tunggu dulu, Whaat? Calon Istri???Bukannya Mas Randi akan mengajakku dinner? Tapi kenapa malah memperkenalkan aku sebagai calon Istrinya? Kata-kata Mas Randi barusan, sungguh membuat keningku berkerut. Mau tak mau aku memaksakan senyum, walaupun sebenarnya bingung."Waahhh, memang pintar kamu memilih calon istri, cantik banget!" ujar Mamanya Mas Randi."Iya dong Ma, selain cantik, Widya ini juga pintar dan banyak membantu perusahaan," tambah Mas Randi sambil menggenggam tanganku
"Kamu kenapa Sayang?" teriak Mas Randi sambil berusaha membuka pintu kamar mandi. "Perutku sakit banget Mas," lirihku sambil menangis di dalam toilet. "Kamu jaga jarak dari pintu, biar Mas dobrak pintunya," Bugh, Bugh, Bugh... Pintu toilet terbuka. "Ya Allah Widya, Kamu kenapa Nak?" teriak Mama Mas Randi histeris. Aku yang sudah sangat lemas menahan sakit di bagian perut, dan ditambah darah yang keluar begitu banyak, membuatku tak dapat menjawab. Mas Randi segera membopongku dan membawaku ke dalam mobil. Perlahan semuanya terlihat gelap, dan aku tidak sadarkan diri.
"Widya," serunya tertahan.Ternyata dunia ini sempit, Dia yang begitu lama menghilang bak ditelan Bumi tiba-tiba muncul di hadapanku, lebih tepatnya di rumah Pakdeku sendiri. Apakah Mbak Sri adalah istrinya?.Lidahku kelu dan leherku tercekat, sulit sekali mengeluarkan kata-kata, padahal sangat ingin Aku membucahkan segala isi hatiku saat ini, dan melontarkan berbagai pertanyan tentang keberadaannya di rumah ini."Kamu ada disini Widya?" ucapnya sambil menjatuhkan bobot tubuhnya pada sofa di depanku, tatapan matanya menatapku lekat."Aku hanya mencari Kosan, sejak kapan Kamu kembali ke Indonesia Mas?" tanyaku, sembari menunduk berusaha menyembunyikan wajahku, agar Ia tak dapat melihat mendung yang hampir menjatuhkan
Keesokan harinya Aku pergi ke Butik yang telah diserahkan Mas Randi kepadaku. Mas Randi sebelumnya pernah beberapa kali membawaku kemari, dan memperenalkan Aku kepada semua karyawannya. Sementara di sebelah Butik, Berdiri sebuah Restoran Jepang, yang juga telah diserahkan Mas Randi padaku. Beruntung letak Butik dan Restoran tidak jauh dari kosanku, sehingga hanya dengan memesan Taksi online, Aku bisa langsung sampai ke sana. Ada rasa perih ketika Aku melihat Butik, Biasanya ada Mas Randi yang selalu menemani, namun saat ini Ia telah bahagia menyambut kehidupan baru dengan perempuan lain, sehingga melupakanku. "Selamat Pagi Bu," Sapa salah seorang satpam padaku, ketika Aku sampai. "Pagi juga, ini kunci Butik dan ini kunci Restoran, silahkan dibuka pintunya!" ujarku, sam
"Jika malam yang menjadi penghalang, maka izinkan Aku menjadi bintang, agar selalu mampu memeluk bulan di tengah gelapnya malam," jawabnya sambil menatap mataku dalam.Kunikmati suasana malam ini, kuikuti alurnya hingga menghasilkan sedikit kebahagian semu bersamanya. Detik demi detik berlalu, Ia masih memelukku, sedangkan Aku kini telah jauh kembali pada kenangan masa lalu.'Jika Pakde telah membuatku kehilangan orang tua dan Adikku, maka saat ini Aku akan membuat Anaknya kehilangan Suami …!' gumamku di dalam hati."Besok akan ada reuni SMA kita, Mas datang kan?" tanyaku."Mas akan datang, bersama kamu," ujarnya, sambil melepaskan pelukannya dan memandang senja yang kini telah berubah menjadi gelap.
Aku bahagia melihat Anak Pakde ku itu hancur, suara tangisan nya ibarat nyanyian yang sangat merdu di telingaku. Aku akan terus mencari tahu tentang Pakde melalui Mas Ilham dan Sri, dan Aku tidak akan membiarkannya tidur tenang setiap malam."Kamu ga salah Sri, hanya saja Aku mencintai kalian berdua""Maafkan aku Sri, aku mohon terimalah Widya sebagai madumu." Mas Ilham berjongkok, mengusap air mata Istrinya sambil menggendong Arya."Jadi Kamu berharap Aku akan merestui kalian berdua?" tanya Mbak Sri nyalang, kedua matanya menatapku dan Mas Ilham bergantian."Iya Mbak, Aku & Mas Ilham saling mencintai, bahkan Mas Ilham & Aku sudah saling mencintai, sebelum Mas Ilham mengenal Mbak." Sengaja Aku jelaskan, agar Mbak Sri tau
Semakin lama suara ketukan itu semakin kuat sehingga terdengar seperti seseorang tersebut sedang berusaha merobohkan pintu. Perlahan Aku berjalan ke arah jendela, dan mengintip dari dalam.Ternyata Mbak Sri alias sepupuku tercinta, yang datang dan melabrakku di kossan. Dia datang sambil menggendong anaknya yg berumur sepuluh bulan, kemudian dengan kurang ajar nya dia menggedor-gedor pintu kosanku.Kukira Dia mau marah-marah atau nyakar-nyakar gitu kayak yang di sinetron ikan terbang.Eeehhhh ternyata pas Aku bukain pintu dia malah pingsan."Baru segini aja udah pingsan," gumamku di dalam hati.Demi melanjutkan rencana balas dendam, dengan sangat terpaksa Aku
Aku berjalan menyusuri ruang, menatap hampa pada kehidupan. Untuk apa Aku berada disini, jika kehadiranku tak dianggap ada. Jika takdir telah memilih jalannya, maka izinkan Aku untuk menikmati setiap langkah yang tertulis.Pagi ini sengaja Aku bangun lebih pagi, untuk sarapan di warung yang berada tepat di depan rumah Mbak Sri. Hanya untuk menikmati pemandangan yang luar biasa, yaaaa di depan sana terlihat Mbak Sri yang sedang terlihat terburu-buru masuk ke mobil sambil menggendong bayinya, sementara Mas Ilham nampak mengejarnya dari belakang.Aku tak mendengar jelas apa yang mereka katakan, hanya saja dari bahasa tubuh mereka Aku bisa menyimpulkan, bahwa mereka sedang ada masalah. Huhhhhh baru segini aja udah seru! Kalo gitu besok Aku bikin masalah yang lebih seru lagi, biar tambah wow.
"Jika malam yang menjadi penghalang, maka izinkan Aku menjadi bintang, agar selalu mampu memeluk bulan di tengah gelapnya malam," jawabnya sambil menatap mataku dalam.Kunikmati suasana malam ini, kuikuti alurnya hingga menghasilkan sedikit kebahagian semu bersamanya. Detik demi detik berlalu, Ia masih memelukku, sedangkan Aku kini telah jauh kembali pada kenangan masa lalu.'Jika Pakde telah membuatku kehilangan orang tua dan Adikku, maka saat ini Aku akan membuat Anaknya kehilangan Suami …!' gumamku di dalam hati."Besok akan ada reuni SMA kita, Mas datang kan?" tanyaku."Mas akan datang, bersama kamu," ujarnya, sambil melepaskan pelukannya dan memandang senja yang kini telah berubah menjadi gelap.
Keesokan harinya Aku pergi ke Butik yang telah diserahkan Mas Randi kepadaku. Mas Randi sebelumnya pernah beberapa kali membawaku kemari, dan memperenalkan Aku kepada semua karyawannya. Sementara di sebelah Butik, Berdiri sebuah Restoran Jepang, yang juga telah diserahkan Mas Randi padaku. Beruntung letak Butik dan Restoran tidak jauh dari kosanku, sehingga hanya dengan memesan Taksi online, Aku bisa langsung sampai ke sana. Ada rasa perih ketika Aku melihat Butik, Biasanya ada Mas Randi yang selalu menemani, namun saat ini Ia telah bahagia menyambut kehidupan baru dengan perempuan lain, sehingga melupakanku. "Selamat Pagi Bu," Sapa salah seorang satpam padaku, ketika Aku sampai. "Pagi juga, ini kunci Butik dan ini kunci Restoran, silahkan dibuka pintunya!" ujarku, sam
"Widya," serunya tertahan.Ternyata dunia ini sempit, Dia yang begitu lama menghilang bak ditelan Bumi tiba-tiba muncul di hadapanku, lebih tepatnya di rumah Pakdeku sendiri. Apakah Mbak Sri adalah istrinya?.Lidahku kelu dan leherku tercekat, sulit sekali mengeluarkan kata-kata, padahal sangat ingin Aku membucahkan segala isi hatiku saat ini, dan melontarkan berbagai pertanyan tentang keberadaannya di rumah ini."Kamu ada disini Widya?" ucapnya sambil menjatuhkan bobot tubuhnya pada sofa di depanku, tatapan matanya menatapku lekat."Aku hanya mencari Kosan, sejak kapan Kamu kembali ke Indonesia Mas?" tanyaku, sembari menunduk berusaha menyembunyikan wajahku, agar Ia tak dapat melihat mendung yang hampir menjatuhkan
"Kamu kenapa Sayang?" teriak Mas Randi sambil berusaha membuka pintu kamar mandi. "Perutku sakit banget Mas," lirihku sambil menangis di dalam toilet. "Kamu jaga jarak dari pintu, biar Mas dobrak pintunya," Bugh, Bugh, Bugh... Pintu toilet terbuka. "Ya Allah Widya, Kamu kenapa Nak?" teriak Mama Mas Randi histeris. Aku yang sudah sangat lemas menahan sakit di bagian perut, dan ditambah darah yang keluar begitu banyak, membuatku tak dapat menjawab. Mas Randi segera membopongku dan membawaku ke dalam mobil. Perlahan semuanya terlihat gelap, dan aku tidak sadarkan diri.
"Ayo duduk disini, kita makan bareng," sapa Ibu-ibu yang duduk di meja makan. Mas Randi lantas membukakan satu kursi untukku, aku pun tersenyum manis kepada mereka."Mah, Pah, perkenalkan ini Widya calon Istri Randi," ujar Mas Randi.Tunggu dulu, Whaat? Calon Istri???Bukannya Mas Randi akan mengajakku dinner? Tapi kenapa malah memperkenalkan aku sebagai calon Istrinya? Kata-kata Mas Randi barusan, sungguh membuat keningku berkerut. Mau tak mau aku memaksakan senyum, walaupun sebenarnya bingung."Waahhh, memang pintar kamu memilih calon istri, cantik banget!" ujar Mamanya Mas Randi."Iya dong Ma, selain cantik, Widya ini juga pintar dan banyak membantu perusahaan," tambah Mas Randi sambil menggenggam tanganku
"Tapi Saya kan Mahasiswi teladan Pak, Kalau saya gagal di hari pertama magang nanti Saya malu dong Pak!""Saya suruh Anda keluar dari ruangan Saya!""Saya janji nggak akan terlambat lagi Pak, jangan pecat Saya magang ya Pak,""Siapa bilang Kamu dipecat?""Kan barusan Bapak yang nyuruh Saya keluar ruangan,""Keluar ruangan Saya, dan pergi ke bagian Informasi, nanti disana ada daftar tugas yang harus Kamu kerjakan selama magang disini,""Terima kasih Pak,""Tapi jangan terlambat lagi, ingat itu!"