Sembilan tahun kemudian.
Waktu berlalu begitu cepat, hingga tak terasa 9 tahun sudah berlalu sejak Papa dan Mama pertama kalinya mendaftarkanku sekolah di SD.
Kini hanya tinggal dalam hitungan beberapa hari saja lagi Aku berada di SMA, karena setelah ini aku akan bersiap meninggalkan dunia remaja dan perlahan menuju fase kedewasaan. Duniaku akan berubah dari putih abu-abu menjadi lebih berwarna.
"Widya, setelah lulus nanti apakah Kamu akan kuliah?" Tanya laki-laki tampan dan bertubuh jangkung, yang selama tiga tahun ini menjalin kasih denganku.
"Oh iya, Kamu tau engga? Papa sudah daftarin Aku untuk kuliah di UI lho!," jawabku penuh semangat, sambil mencubit pipi pria yang duduk di sampingku kini.
"Oh ya?" Ilham melihatku sekilas, lalu membuang pandangannya kembali ke halaman sekolah.
"Kamu kenapa? Kok bukannya seneng sih?"Ketusku sambil memanyunkan bibir sepuluh senti.
"Aku seneng kok."
"Terus?" Cecarku tak sabaran.
"Aku engga tau harus sedih atau senang hari ini?" Ucapnya dengan wajah ditekuk dalam
"Kok bisa gitu? Emang Kamu engga lanjut kuliah ya?" Jawabku, sambil memegang tangannya dan menatap wajahnya yang masih ditekuk.
"Aku dapat beasiswa untuk kuliah di luar negeri." Jawabnya, aku dapat menangkap sinar wajahnya yang melukiskan kebimbangan yang begitu dalam.
"Wow, keren dong sayang! Berarti perjuanganmu selama ini engga sia-sia." Kali ini Aku mengangkat wajahnya dan memaksanya untuk menatapku.
"Saat ini biar kita berpisah untuk sama-sama memperjuangkan masa depan kita, Aku akan menunggu sampai Kamu kembali ke Indonesia!" tegasku padanya, Aku terus menggenggam tangannya agar Ia percaya.
"Aku berjanji untuk belajar sungguh-sungguh agar lulus kuliah lebih cepat, dan bisa pulang ke Indonesia buat ngelamar Kamu." Ilham kini menatapku dalam, dan Aku menangkap kesungguhan di tiap ucapannya.
Aku tentu akan merasa sedih, karena harus berpisah dengannya beberapa tahun ke depan. Tetapi demi masa depan kami, Aku pun mencoba merelakan dan akan mendoakan yang terbaik untuknya.
Siang Itu pulang sekolah, Ilham tidak langsung mengantarku pulang ke rumah. Ia mengajakku makan bakso dan berjalan-jalan di taman, katanya Ia ingin menikmati waktu bersamaku sebelum ke luar negeri.
"Widya, duduk sini yuk! Sekali-kali kita lihat sunset di ujung danau, jangan liatin tugas sekolah Mulu," selorohnya sambil tertawa dan menarik tanganku, lalu kami duduk bersama di pinggir danau.
"Ngapain nungguin matahari terbenam? Bosen tau!" Ketusku merajuk.
"Kamu tuh ya, ini romantis tau!"
"Romantis apanya? Rokok makan gratis kali …!" Candaku lalu mencubit hidung ya yang mancung.
"Kamu tunggu sini dulu ya!" perintahnya, sebelum aku sempat menjawab,Ia berlalu pergi dan memetik sekuntum bunga melati. Ia lalu kembali lagi dan menyisipkannya ke sisi telingaku.
"Kamu itu cantik banget, padahal Mama dan Papamu mukanya Jawa banget ya, tapi kok bisa punya anak yang wajahnya indo kayak kamu?" Ujarnya, sambil memandang wajahku dan memegang daguku.
"iiihhh kamu! Jadi maksudnya Mama Papaku jelek gitu?" rajukku lantas menepis tangannya yang berada di daguku.
"Bukan jelek, tapi kamu tuh yang anak angkat!" kelakarnya sambil tertawa girang.
"Ehhh liat deh mataharinya udah mulai tenggelam tuh!" ujarku mengalihkan pembicaraan.
Walaupun Ilham bercanda, namun selalu ada rasa nyeri di dada setiap kali ada yang mengatakan tentang perbedaan wajahku dengan Mama dan Papa. Karena walaupun mereka orang tua angkatku, akan tetapi aku sudah sangat menyayangi mereka.
"Oh iya, kayaknya kalo kita foto berdua disini bagus deh, buat kenang-kenangan!" usulnya memberikan ide.
"Terus yang mau fotoin siapa," tanyaku bingung.
"Udah Kamu tenang aja!" Ilham lantas berjalan ke arah tukang bakso tempat kami makan tadi, lalu terlihat memberikan ponselnya. Tak lama Ilham kembali berdiri di sampingku, bersiap untuk diambil gambarnya.
"Kalian kok berdirinya jauh-jauhan? deketan dong! Terus nanti si cowok rangkul pundak si cewek ya, biar romantis!" perintah tukang bakso yang kini menjadi fotografer dadakan.
Kami pun mengabadikan kenangan saat itu ke dalam sebuah gambar, dengan meminta bantuan tukang bakso yang mangkal di situ. Sepenggal kenangan kisah cinta masa putih abu-abu, berlatar sinar jingga di ujung danau.
Kupu-kupu yang berterbangan di sekitar danau seakan semakin menyemarakkan suasana hati yang kini penuh dengan bunga-bunga cinta, berharap waktu akan sedikit mengalah dan membiarkan kami lebih lama disini, untuk mengukir kenangan serta memberi ruang pada hati, yang sebentar lagi akan terasa sesak karena rindu.
Setelah matahari benar-benar bersembunyi dibalik awan, Ilham pun mengantarkanku pulang kerumah, dan tentu saja sesampainya di rumah, telinga Ilham di penuhi dengan ceramah Papa, karena Ia telat mengantarkanku pulang.
Ada rasa kasihan padanya, tapi Ilham berbisik merdu tepat di samping telingaku "Aku akan merindukan ceramah Papamu saat Aku ke luar negeri nanti."
Ilham pergi berlalu dengan motor Vespa butut miliknya, Aku mengantarnya dengan senyum yang mengembang hingga bayangnya hilang ditelan pekatnya malam.
Aku kembali masuk ke rumah, terlihat Mama yang sedang asyik menonton film kesukaannya di televisi. Kutumpahkan bobot tubuhku pada sofa yang berada di samping Mama.
"Ma," rengekku manja.
"Iya, kenapa?" jawabnya, dengan tatapan mata yang masih terpaku pada layar televisi.
"Ilham dapat beasiswa ke luar negeri," mataku mulai berkaca-kaca.
"Nah bagus dong, kalo gitu berarti kamu juga harus kuliah yang rajin, biar nanti jadi pasangan yang serasi," Mama masih fokus menatap layar televisi.
"Nanti sewaktu Ilham berangkat, Widya boleh nganterin kan?" Nada suaraku terdengar mulai bergetar.
"Boleh sayang," Mata Mama masih saja fokus menatap televisi, dan mengacuhkanku.
"Ihhhh Mama ngeselin, Widya masuk kamar aja!" rajuk-ku, lalu pergi masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan sedikit keras.
"Yaahhh gitu aja ngambek!" sindir Mama dari luar.
"Biarin, Mama ngeselin!" ucapku, sedikit berteriak dari dalam kamar.
Aku lebih memilih menatap layar ponsel dan melihat foto kami berdua di bawah sinar jingga keemasan, sore tadi.
Lalu Aku menggeser layar dan melihat lebih banyak kenangan saat kami bersama. Berpisah untuk beberapa waktu tentunya tidak akan sulit bagiku karena hatiku sudah terbiasa melawan kerasnya badai kehidupan.
Rindu yang paling berat bukanlah karena jarak yang memisahkan, melainkan karena ruang dan waktu yang tiada lagi sama, sehingga perjumpaan hanya ada dalam kenangan dan mimpi, berusaha membasuh luka yang kian hari kian membuat perih.
"Widya sudah selesai belum?" teriak mama dari luar kamar."Bentar lagi Ma." Secepat kilat ku ambil tas diatas meja rias, lalu keluar menyusul mama dan papa yang sudah menunggu di ruang tamu.Hari ini kami akan ke bandara, melepas kepergian Ilham ke luar negeri. Sepanjang perjanan hatiku gundah, takut terlambat datang dan tidak bisa bertemu untuk terakhir kali-nya.Perjalanan yang membosankan menuju bandara akhirnya berakhir juga, kini kami telah sampai. Segera Aku menelpon Ilham, namun ponselnya tidak dapat di hubungi. Aku pun mencari bagian informasi di Bandara untuk bertanya, diikuti oleh mama dan papa di belakangku."Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?" sapa perempuan berhijab yang bekerja di bagian informasi bandara sambil tersenyum ramah.
"Tapi Saya kan Mahasiswi teladan Pak, Kalau saya gagal di hari pertama magang nanti Saya malu dong Pak!""Saya suruh Anda keluar dari ruangan Saya!""Saya janji nggak akan terlambat lagi Pak, jangan pecat Saya magang ya Pak,""Siapa bilang Kamu dipecat?""Kan barusan Bapak yang nyuruh Saya keluar ruangan,""Keluar ruangan Saya, dan pergi ke bagian Informasi, nanti disana ada daftar tugas yang harus Kamu kerjakan selama magang disini,""Terima kasih Pak,""Tapi jangan terlambat lagi, ingat itu!"
"Ayo duduk disini, kita makan bareng," sapa Ibu-ibu yang duduk di meja makan. Mas Randi lantas membukakan satu kursi untukku, aku pun tersenyum manis kepada mereka."Mah, Pah, perkenalkan ini Widya calon Istri Randi," ujar Mas Randi.Tunggu dulu, Whaat? Calon Istri???Bukannya Mas Randi akan mengajakku dinner? Tapi kenapa malah memperkenalkan aku sebagai calon Istrinya? Kata-kata Mas Randi barusan, sungguh membuat keningku berkerut. Mau tak mau aku memaksakan senyum, walaupun sebenarnya bingung."Waahhh, memang pintar kamu memilih calon istri, cantik banget!" ujar Mamanya Mas Randi."Iya dong Ma, selain cantik, Widya ini juga pintar dan banyak membantu perusahaan," tambah Mas Randi sambil menggenggam tanganku
"Kamu kenapa Sayang?" teriak Mas Randi sambil berusaha membuka pintu kamar mandi. "Perutku sakit banget Mas," lirihku sambil menangis di dalam toilet. "Kamu jaga jarak dari pintu, biar Mas dobrak pintunya," Bugh, Bugh, Bugh... Pintu toilet terbuka. "Ya Allah Widya, Kamu kenapa Nak?" teriak Mama Mas Randi histeris. Aku yang sudah sangat lemas menahan sakit di bagian perut, dan ditambah darah yang keluar begitu banyak, membuatku tak dapat menjawab. Mas Randi segera membopongku dan membawaku ke dalam mobil. Perlahan semuanya terlihat gelap, dan aku tidak sadarkan diri.
"Widya," serunya tertahan.Ternyata dunia ini sempit, Dia yang begitu lama menghilang bak ditelan Bumi tiba-tiba muncul di hadapanku, lebih tepatnya di rumah Pakdeku sendiri. Apakah Mbak Sri adalah istrinya?.Lidahku kelu dan leherku tercekat, sulit sekali mengeluarkan kata-kata, padahal sangat ingin Aku membucahkan segala isi hatiku saat ini, dan melontarkan berbagai pertanyan tentang keberadaannya di rumah ini."Kamu ada disini Widya?" ucapnya sambil menjatuhkan bobot tubuhnya pada sofa di depanku, tatapan matanya menatapku lekat."Aku hanya mencari Kosan, sejak kapan Kamu kembali ke Indonesia Mas?" tanyaku, sembari menunduk berusaha menyembunyikan wajahku, agar Ia tak dapat melihat mendung yang hampir menjatuhkan
Keesokan harinya Aku pergi ke Butik yang telah diserahkan Mas Randi kepadaku. Mas Randi sebelumnya pernah beberapa kali membawaku kemari, dan memperenalkan Aku kepada semua karyawannya. Sementara di sebelah Butik, Berdiri sebuah Restoran Jepang, yang juga telah diserahkan Mas Randi padaku. Beruntung letak Butik dan Restoran tidak jauh dari kosanku, sehingga hanya dengan memesan Taksi online, Aku bisa langsung sampai ke sana. Ada rasa perih ketika Aku melihat Butik, Biasanya ada Mas Randi yang selalu menemani, namun saat ini Ia telah bahagia menyambut kehidupan baru dengan perempuan lain, sehingga melupakanku. "Selamat Pagi Bu," Sapa salah seorang satpam padaku, ketika Aku sampai. "Pagi juga, ini kunci Butik dan ini kunci Restoran, silahkan dibuka pintunya!" ujarku, sam
"Jika malam yang menjadi penghalang, maka izinkan Aku menjadi bintang, agar selalu mampu memeluk bulan di tengah gelapnya malam," jawabnya sambil menatap mataku dalam.Kunikmati suasana malam ini, kuikuti alurnya hingga menghasilkan sedikit kebahagian semu bersamanya. Detik demi detik berlalu, Ia masih memelukku, sedangkan Aku kini telah jauh kembali pada kenangan masa lalu.'Jika Pakde telah membuatku kehilangan orang tua dan Adikku, maka saat ini Aku akan membuat Anaknya kehilangan Suami …!' gumamku di dalam hati."Besok akan ada reuni SMA kita, Mas datang kan?" tanyaku."Mas akan datang, bersama kamu," ujarnya, sambil melepaskan pelukannya dan memandang senja yang kini telah berubah menjadi gelap.
Aku berjalan menyusuri ruang, menatap hampa pada kehidupan. Untuk apa Aku berada disini, jika kehadiranku tak dianggap ada. Jika takdir telah memilih jalannya, maka izinkan Aku untuk menikmati setiap langkah yang tertulis.Pagi ini sengaja Aku bangun lebih pagi, untuk sarapan di warung yang berada tepat di depan rumah Mbak Sri. Hanya untuk menikmati pemandangan yang luar biasa, yaaaa di depan sana terlihat Mbak Sri yang sedang terlihat terburu-buru masuk ke mobil sambil menggendong bayinya, sementara Mas Ilham nampak mengejarnya dari belakang.Aku tak mendengar jelas apa yang mereka katakan, hanya saja dari bahasa tubuh mereka Aku bisa menyimpulkan, bahwa mereka sedang ada masalah. Huhhhhh baru segini aja udah seru! Kalo gitu besok Aku bikin masalah yang lebih seru lagi, biar tambah wow.
Aku bahagia melihat Anak Pakde ku itu hancur, suara tangisan nya ibarat nyanyian yang sangat merdu di telingaku. Aku akan terus mencari tahu tentang Pakde melalui Mas Ilham dan Sri, dan Aku tidak akan membiarkannya tidur tenang setiap malam."Kamu ga salah Sri, hanya saja Aku mencintai kalian berdua""Maafkan aku Sri, aku mohon terimalah Widya sebagai madumu." Mas Ilham berjongkok, mengusap air mata Istrinya sambil menggendong Arya."Jadi Kamu berharap Aku akan merestui kalian berdua?" tanya Mbak Sri nyalang, kedua matanya menatapku dan Mas Ilham bergantian."Iya Mbak, Aku & Mas Ilham saling mencintai, bahkan Mas Ilham & Aku sudah saling mencintai, sebelum Mas Ilham mengenal Mbak." Sengaja Aku jelaskan, agar Mbak Sri tau
Semakin lama suara ketukan itu semakin kuat sehingga terdengar seperti seseorang tersebut sedang berusaha merobohkan pintu. Perlahan Aku berjalan ke arah jendela, dan mengintip dari dalam.Ternyata Mbak Sri alias sepupuku tercinta, yang datang dan melabrakku di kossan. Dia datang sambil menggendong anaknya yg berumur sepuluh bulan, kemudian dengan kurang ajar nya dia menggedor-gedor pintu kosanku.Kukira Dia mau marah-marah atau nyakar-nyakar gitu kayak yang di sinetron ikan terbang.Eeehhhh ternyata pas Aku bukain pintu dia malah pingsan."Baru segini aja udah pingsan," gumamku di dalam hati.Demi melanjutkan rencana balas dendam, dengan sangat terpaksa Aku
Aku berjalan menyusuri ruang, menatap hampa pada kehidupan. Untuk apa Aku berada disini, jika kehadiranku tak dianggap ada. Jika takdir telah memilih jalannya, maka izinkan Aku untuk menikmati setiap langkah yang tertulis.Pagi ini sengaja Aku bangun lebih pagi, untuk sarapan di warung yang berada tepat di depan rumah Mbak Sri. Hanya untuk menikmati pemandangan yang luar biasa, yaaaa di depan sana terlihat Mbak Sri yang sedang terlihat terburu-buru masuk ke mobil sambil menggendong bayinya, sementara Mas Ilham nampak mengejarnya dari belakang.Aku tak mendengar jelas apa yang mereka katakan, hanya saja dari bahasa tubuh mereka Aku bisa menyimpulkan, bahwa mereka sedang ada masalah. Huhhhhh baru segini aja udah seru! Kalo gitu besok Aku bikin masalah yang lebih seru lagi, biar tambah wow.
"Jika malam yang menjadi penghalang, maka izinkan Aku menjadi bintang, agar selalu mampu memeluk bulan di tengah gelapnya malam," jawabnya sambil menatap mataku dalam.Kunikmati suasana malam ini, kuikuti alurnya hingga menghasilkan sedikit kebahagian semu bersamanya. Detik demi detik berlalu, Ia masih memelukku, sedangkan Aku kini telah jauh kembali pada kenangan masa lalu.'Jika Pakde telah membuatku kehilangan orang tua dan Adikku, maka saat ini Aku akan membuat Anaknya kehilangan Suami …!' gumamku di dalam hati."Besok akan ada reuni SMA kita, Mas datang kan?" tanyaku."Mas akan datang, bersama kamu," ujarnya, sambil melepaskan pelukannya dan memandang senja yang kini telah berubah menjadi gelap.
Keesokan harinya Aku pergi ke Butik yang telah diserahkan Mas Randi kepadaku. Mas Randi sebelumnya pernah beberapa kali membawaku kemari, dan memperenalkan Aku kepada semua karyawannya. Sementara di sebelah Butik, Berdiri sebuah Restoran Jepang, yang juga telah diserahkan Mas Randi padaku. Beruntung letak Butik dan Restoran tidak jauh dari kosanku, sehingga hanya dengan memesan Taksi online, Aku bisa langsung sampai ke sana. Ada rasa perih ketika Aku melihat Butik, Biasanya ada Mas Randi yang selalu menemani, namun saat ini Ia telah bahagia menyambut kehidupan baru dengan perempuan lain, sehingga melupakanku. "Selamat Pagi Bu," Sapa salah seorang satpam padaku, ketika Aku sampai. "Pagi juga, ini kunci Butik dan ini kunci Restoran, silahkan dibuka pintunya!" ujarku, sam
"Widya," serunya tertahan.Ternyata dunia ini sempit, Dia yang begitu lama menghilang bak ditelan Bumi tiba-tiba muncul di hadapanku, lebih tepatnya di rumah Pakdeku sendiri. Apakah Mbak Sri adalah istrinya?.Lidahku kelu dan leherku tercekat, sulit sekali mengeluarkan kata-kata, padahal sangat ingin Aku membucahkan segala isi hatiku saat ini, dan melontarkan berbagai pertanyan tentang keberadaannya di rumah ini."Kamu ada disini Widya?" ucapnya sambil menjatuhkan bobot tubuhnya pada sofa di depanku, tatapan matanya menatapku lekat."Aku hanya mencari Kosan, sejak kapan Kamu kembali ke Indonesia Mas?" tanyaku, sembari menunduk berusaha menyembunyikan wajahku, agar Ia tak dapat melihat mendung yang hampir menjatuhkan
"Kamu kenapa Sayang?" teriak Mas Randi sambil berusaha membuka pintu kamar mandi. "Perutku sakit banget Mas," lirihku sambil menangis di dalam toilet. "Kamu jaga jarak dari pintu, biar Mas dobrak pintunya," Bugh, Bugh, Bugh... Pintu toilet terbuka. "Ya Allah Widya, Kamu kenapa Nak?" teriak Mama Mas Randi histeris. Aku yang sudah sangat lemas menahan sakit di bagian perut, dan ditambah darah yang keluar begitu banyak, membuatku tak dapat menjawab. Mas Randi segera membopongku dan membawaku ke dalam mobil. Perlahan semuanya terlihat gelap, dan aku tidak sadarkan diri.
"Ayo duduk disini, kita makan bareng," sapa Ibu-ibu yang duduk di meja makan. Mas Randi lantas membukakan satu kursi untukku, aku pun tersenyum manis kepada mereka."Mah, Pah, perkenalkan ini Widya calon Istri Randi," ujar Mas Randi.Tunggu dulu, Whaat? Calon Istri???Bukannya Mas Randi akan mengajakku dinner? Tapi kenapa malah memperkenalkan aku sebagai calon Istrinya? Kata-kata Mas Randi barusan, sungguh membuat keningku berkerut. Mau tak mau aku memaksakan senyum, walaupun sebenarnya bingung."Waahhh, memang pintar kamu memilih calon istri, cantik banget!" ujar Mamanya Mas Randi."Iya dong Ma, selain cantik, Widya ini juga pintar dan banyak membantu perusahaan," tambah Mas Randi sambil menggenggam tanganku
"Tapi Saya kan Mahasiswi teladan Pak, Kalau saya gagal di hari pertama magang nanti Saya malu dong Pak!""Saya suruh Anda keluar dari ruangan Saya!""Saya janji nggak akan terlambat lagi Pak, jangan pecat Saya magang ya Pak,""Siapa bilang Kamu dipecat?""Kan barusan Bapak yang nyuruh Saya keluar ruangan,""Keluar ruangan Saya, dan pergi ke bagian Informasi, nanti disana ada daftar tugas yang harus Kamu kerjakan selama magang disini,""Terima kasih Pak,""Tapi jangan terlambat lagi, ingat itu!"