"Safia!"
Kupercepat langkah ketika mendengar suara teriakan Ibu mertua. Hati ini tiba-tiba saja dilanda ketakutan luar biasa. Takut terjadi sesuatu pada istriku yang kini sedang mengandung buah hati kami.Setengah berlari aku memasuki rumah. Tubuhku dibuat membeku ketika melihat penampakan kejadian di dalam sana.Istriku Safia tergeletak di lantai dengan darah yang mengalir di sela-sela kedua kakinya."Ya Allah, Safia!"Kuraih tubuhnya yang terkulai lemas tak berdaya. Wajahnya begitu pucat, kesadarannya pun mulai menghilang."Ada apa ini, Ma? Kenapa bisa seperti ini?" tanyaku pada ibu mertua yang masih sesenggukan di sebelah putrinya.Bukannya menjawab, Mama Mirna malah menunjuk seseorang yang sedang berdiri di tangga dengan wajah yang terlihat syok."Kamu! Kamu ingin mencelakakan Safia, 'kan? Kamu iri karena putriku sedang mengandung anak suamimu?!""T-tidak, Ma. Aku tadi justru ingin membantu Safia.""Bohong! Aku melihat sendiri kamu sengaja melepaskan tangan Safia sampai putriku tergelincir dan terjatuh! Kamu memang wanita tidak berperasaan!"Kutatap wanita itu dengan tajam. Ia menggelengkan kepala seakan ingin memberi tahu kalau tuduhan itu tidak benar adanya. Namun, melihat selama ini ia tidak pernah bersikap baik pada Safia, aku yakin ia telah tega mencelakakan adik madunya."Mas tidak menyangka kamu akan berbuat jahat seperti ini. Mas kecewa padamu, Hilya. Kurang baik apa Safia selama ini?"Kulihat dia meneteskan air mata. Tidak ada lagi pembelaan yang keluar dari mulutnya. Aku sudah lelah menghadapi sikapnya selama ini. Kejadian yang menimpa Safia, membuat batas kesabaranku sudah berada pada ujungnya."Saat aku kembali ke rumah ini, aku sudah tidak ingin melihat wajahmu lagi di sini," desisku seraya memberinya tatapan yang semakin tajam."Nak Agam, ayok cepat bawa Safia ke rumah saki!"Perkataan ibu mertua menyadarkanku dari keterpakuan. Gegas aku membopong tubuh Safia sembari berteriak pada Pak Amin untuk menyiapkan mobil.Di sepanjang perjalanan, tak hentinya kurafalkan doa untuk istriku yang wajahnya semakin pucat. Aku takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada dia dan calon bayi kami yang masih dalam kandungan.๐๐๐"Kenapa bisa seperti ini, Ma? Kenapa Safia sampai jatuh dari tangga? Bukankah Agam sudah pernah bilang padanya agar tidak naik turun tangga selama sedang mengandung?"Mama Mirna yang masih sesenggukan di kursi tunggu, mengangkat wajah, lalu menatapku dengan sorot kekecewaan yang tergambar jelas di kedua matanya."Itu karena Nak Agam tidak mau mendengarkan Mama. Sudah Mama bilang kalau Hilya itu membenci Safia, apa lagi putri Mama saat ini tengah mengandung anak Nak Agam. Bukankah Mama pernah meminta agar Hilya tinggal terpisah? Tapi Nak Agam tetap ingin menyatukan mereka dalam satu rumah," tuturnya di sela isak tangis.Aku memang menempatkan kedua istriku dalam satu rumah. Bermaksud untuk membuat mereka lebih saling mengenal, setelah itu baru aku akan mencarikan tempat tinggal lain untuk Safia. Namun sayang, Mama Mirna tidak ingin ia dan putrinya yang pindah ke rumah lain. Padahal aku pun tidak ingin Hilya yang pergi, karena rumah yang kami tempati adalah bukti perjuangan kami sehingga bisa sampai seperti sekarang ini.Aku tidak pernah menyangka karena kecemburuannya, Hilya akan berbuat hal seperti ini. Ia tega mencelakakan Safia yang selama ini berbuat baik padanya. Sebagai yang kedua, Safia memahami akan posisinya dan tidak pernah menuntutku untuk sering bersamanya padahal ia tengah hamil. Safia tahu bagaimana perasaanku yang begitu mencintai Hilya, apa lagi setelah pertemuan kami kembali karena Hilya pernah menghilang selama dua tahun lamanya akibat kecelakaan.Waktu itu ia dinyatakan meninggal karena pencarian tidak membuahkan hasil, pun dengan jasad yang tidak diketemukan. Hanya mobil yang sudah tidak berbentuk yang ditemukan di dasar jurang oleh polisi.Namun ternyata, disaat aku sudah mulai mengikhlaskan kepergiannya, Hilya kembali datang dengan keadaan sehat tanpa kurang satu apa pun. Berdasarkan ceritanya, ia sempat kehilangan ingatan dan ditolong oleh sepasang suami istri yang akhirnya merawat istriku sampai sembuh.Kehadiran Safia di antara kami membuat Hilya menjadi seorang pembangkang. Ia bersikap semaunya, keluar pergi dari rumah tanpa izin dariku, bahkan melayani kebutuhanku pun ia enggan.Aku berusaha sabar. Aku yakin sikapnya itu sebagai bentuk protes karena tiba-tiba saja aku menghadirkan madu untuknya.Safia ... janda dari sahabatku yang dititipkan sebelum meninggal. Aku pun terpaksa menjalankan amanat terakhirnya demi memberikan perlindungan pada Safia. Hilya yang telah dinyatakan meninggal pun menjadi alasan aku menerimanya. Andai saja aku tahu kalau Hilya sebenarnya masih hidup, mungkin aku lebih memilih menolong Safia tanpa menikahinya.Namun, nasi sudah menjadi bubur. Di saat Hilya kembali, Safia sudah menjadi bagian dari kami. Aku tidak bisa melepaskan Safia begitu saja karena ia sudah menjadi istriku seutuhnya, meskipun di awal pernikahan aku begitu sulit untuk menyentuhnya. Tak dapat aku pungkiri, seiring kebersamaan kami satu tahun lamanya, rasa sayang mulai tumbuh untuk istri keduaku itu."Keluarga Ibu Safia?"Suara dari Dokter yang muncul dari ruang operasi membuyarkan lamunan. Aku bergegas menghampirinya untuk mengetahui kondisi istriku saat ini."Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Dok?""Maaf Bapak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi bayi dalam kandungan ibu Safia tidak dapat diselamatkan."Tubuhku hampir saja limbung jika Mama Mirna tidak menahannya. Anak yang begitu aku nantikan kini telah tiada. Apa yang harus aku katakan nanti pada Safia jika ia sudah sadar? Istriku pun pasti sangat terpukul karena telah kehilangan anak kami."Ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan.""Apa itu, Dok?" Mama Mirna yang bertanya. Aku sudah tidak punya daya untuk menanggapi apa yang akan dijelaskan oleh Dokter."Karena benturan yang cukup kuat, rahim Ibu Safia sepertinya menjadi bermasalah. Karenanya, mohon maaf jika saya harus mengatakan, kemungkinan besar, ia akan sulit untuk kembali hamil.""A-apa?"Mama Mirna terlihat syok. Ia membekap mulutnya tanda tak percaya pada apa yang dikatakan Dokter. Aku pun sama terpukulnya dengan dia, harus menerima dua kabar buruk sekaligus dalam satu waktu.Mama Mirna terus meracau menyalahkan Hilya, sedangkan aku sudah tidak punya daya bahkan untuk sekedar berdiri. Kenyataan yang aku terima hari ini membuatku tidak bisa berpikir jernih. Andai benar kejadian ini akibat ulah Hilya, maka aku tidak segan untuk memberikan talak padanya. Seberapa besar pun cintaku untuknya, aku tetap tidak bisa memaafkan perbuatannya yang sudah diluar batas.๐๐๐Sudah dua hari Safia dirawat, aku tidak pernah pulang ke rumah. Aku belum ingin bertemu dengan Hilya karena terlalu takut emosiku akan meledak jika melihatnya. Pakaian ganti sudah dibawakan Pak Amin atas suruhan Mama Mirna. Pekerjaan pun aku serahkan pada sekretarisku untuk menghandlenya."Mas.""Ya, kamu butuh sesuatu?"Kudekati ranjang Safia. Istriku ini sudah mulai bisa menerima kenyataan anak kami telah meninggal, meskipun kemarin ia sempat histeris ketika Mama Mirna memberi tahu yang sebenarnya."Mbak Hilya mana? Kenapa dari kemarin ia belum datang ke sini?"Aku menghela napas kasar seraya menggenggam tangan Safia yang terbebas dari selang infus. Melihat dia yang masih memikirkan Hilya padahal kakak madunya itu sudah menyakitinya."Mungkin dia di rumah. Entahlah, Mas belum pulang, jadi belum bertemu dengannya.""Aku ingin bertemu dia, Mas. Mbak Hilya pasti sedih karena semua orang menyalahkan dia.""Kenyataannya dia yang sudah membuatmu seperti ini," kilahku padanya. Tidak habis pikir dengan Safia yang masih saja membela Hilya setelah apa yang dilakukan istri pertamaku itu."Mbak Hilya enggak salah, Mas. Justru dia berniat membantuku yang terpeleset karena tangganya licin. Dia berusaha memegang tanganku, tetapi sayang tubuhku hilang keseimbangan hingga terjatuh sebelum Mbak Hilya sempat memegangku. Ini murni karena kecerobohanku, Mas. Bukan karena salah Mbak Hilya apa lagi ia sengaja," terang Safia yang membuatku didera rasa bersalah seketika. Aku telah menuduh Hilya yang tidak bersalah sama sekali. Betapa bodohnya aku yang langsung mempercayai ucapan Mama Mirna begitu saja."Fia, Mas tinggal dulu sebentar. Biar nanti Mas minta Mama untuk menjaga kamu. Mas harus pulang."Gegas kulangkahkan kaki keluar dari ruang rawat Safia. Aku harus segera pulang dan meminta maaf pada Hilya. Untuk yang kesekian kali aku telah menyakiti hati istri pertamaku itu.Bayang-bayang wajah Hilya saat dia memelas meminta aku untuk tidak percaya akan omongan Mama Mirna kembali terlintas dalam ingatan. Betapa aku telah menjadi pria bodoh yang tidak bisa mempercayai istriku sendiri. Aku berharap, Hilya masih sudi memberiku maaf karena telah menyakitinya untuk yang kesekian kali.Sesampainya di rumah, kupanggil nama istriku yang mungkin saja sedang berada di kamarnya. Kubuka pintu, tetapi sayang Hilya tidak ada di sana.Tak ingin menyerah, kutelusuri setiap ruangan berharap istriku berada di salah satunya, tetapi hasilnya tetap sama. Hilya tidak ada di mana pun."Aden mencari Nyonya Hilya?"Mbok Parmi yang bediri di dekat tangga menyapaku. Aku yang berniat mencari Hilya di taman belakang pun menjadi urung."Iya, Mbok. Apa Mbok Parmi melhat dia?" tanyaku penuh harap."Nyonya Hilya sudah pergi dari dua hari yang lalu," ujarnya dengan nada yang terdengar datar. Tidak biasanya Mbok Parmi bersikap seperti itu padaku."Pergi?""Ya. Bukankan Den Agam sendiri yang memintanya meninggalkan rumah ini? Bukankah Den Agam sudah tidak ingin melihat wajahnya lagi? Lalu Aden pikir, haruskah seorang istri tetap bertahan jika suaminya sendiri sudah mengusirnya?""Mbok .... ""Akan lebih baik jika Nyonya Hilya pergi saja dari pada harus tinggal dengan orang-orang yang tidak menyukai kehadirannya."Mbok Parmi meninggalkan aku yang masih terpaku di tempat. Mencerna setiap kata yang keluar dari mulut wanita paruh baya itu. Siapa yang tidak menyukai kehadiran Hilya? Mengapa aku tidak peka akan tekanan yang tengah dihadapi istriku?Ya Tuhan, kebodohan kesekian kali yang telah aku lakukan membuat belahan jiwaku pergi. Ke mana aku harus mencarinya? Masih kah ada kata maaf jika aku berhasil menemukan dia?**Bersambung.Rumah Papa mertua menjadi tujuan pertamaku untuk mencari Hilya. Meskipun tidak yakin, aku tetap datang ke tempat ini sekaligus mengunjungi Papa Adi yang keadaannya sudah mulai membaik. Papa mertuaku terserang stroke sewaktu dulu Hilya dinyatakan meninggal. Meskipun Papa Adi pernah tidak memberikan restunya padaku untuk menikahi Hilya, tetapi aku tetap menghormatinya. Dulu beliau pernah mengusirku karena aku hanya pemuda biasa yang tidak punya apa-apa. Namun, Hilya tetap meyakinkan papanya sehingga akhirnya beliau memberikan restu pada hubungan kami.Sekarang keadaan sudah terbalik. Usaha Papa Adi mengalami kebangkrutan, sedangkan diriku meraih kesuksesan atas kerja kerasku selama ini.Tidak ada dendam di hatiku untuknya. Bahkan sampai saat ini aku masih membayar seorang perawat untuk mengurus mertuaku yang hanya bisa duduk di kursi roda."Bagaimana keadaan Papa?" tanyaku saat kami sudah duduk berhadapan."Alhamdullillah semakin membaik," jawabnya dengan nada bicara yang sudah terden
"Bagaimana, Mas? Ada kabar dari Mbak Hilya?"Safia langsung menodongku dengan pertanyaan begitu aku memasuki kamar. Istri keduaku itu sedang duduk dengan tubuh yang bersandar pada kepala ranjang. Keadaannya pasca keluar dari rumah sakit masih sangat lemah. Dokter menyarankan agar dia lebih banyak beristirahat."Tadi hampir saja Mas menemukannya, tetapi sayang Hilya keburu pergi. Sepertinya dia sengaja menghindari Mas."Wajah Safia terlihat semakin sendu. Aku pun mendekat kemudian membawa tubunya ke dalam dekapan."Jangan bersedih. Mas yakin, tidak lama lagi Hilya bisa Mas temukan," ucapku seraya mengelus punggungnya. Aku tidak ingin Safia terlalu stres memikirkan kepergian Hilya. Dia baru saja kehilangan dan aku tidak mau hal ini akan berdampak buruk pada kesehatannya."Aku merasa bersalah, Mas. Mbak Hilya pergi karena diriku.""Sstt, jangan berbicara seperti itu. Hilya pergi murni karena kesalahan Mas. Andai Mas bisa menahan emosi, mungkin saat ini Hilya masih bertahan di rumah ini."
Di perjalanan, Hilya tetap bungkam. Aku sengaja membiarkannya seperti itu untuk membuatnya tenang terlebih dahulu. Meskipun berjuta kata sudah berkumpul di tenggorokan ingin segera diucapkan, tetapi sebisa mungkin aku tahan demi istriku yang sepertinya masih memendam kemarahan. Setelah ia lebih tenang, aku akan mengajaknya bicara dari hati ke hati, meminta maaf padanya dan berjanji tidak akan lagi menyakitinya.Satu ide tiba-tiba saja terlintas dalam pikiran. Di persimpangan, aku sengaja membelokan stir kemudi ke arah hotel milik salah satu teman.Hilya terlihat kebingungan. Ia memandangiku dengan tatapan yang masih tidak bersahabat."Kenapa ke sini? Ini bukan jalan menuju rumah."Aku tersenyum menanggapi dia yang sudah mau bicara padaku. Sengaja kuraih tangannya untuk digenggam, tetapi dengan cepat ia menepisnya. "Kita memang tidak akan pulang ke rumah. Mas ingin menghabiskan waktu berdua dulu denganmu tanpa ada gangguan," ucapku disertai kerlingan jahil, tetapi ia yang melihatnya m
"Kita masuk."Kueratkan genggaman pada tangan Hilya saat istriku masih bergeming di depan pintu. Kuberikan keyakinan kalau semuanya akan baik-baik saja karena aku tetap berada di sampingnya. Aku tahu kegelisahan yang tengah ia rasakan. Tuduhan Mama Mirna dan tatapan tidak suka dari mertuaku itu menjadi salah satu alasan kenapa Hilya tidak betah di rumah ini. Untuk itu, demi kenyamanan istriku, aku akan segera mengambil tindakan untuk mencarikan rumah lain agar mereka tidak tinggal dalam satu atap."Ayok, Sayang--""Nak Agam, akhirnya pulang juga."Mama Mirna tiba-tiba muncul menghampiri dengan wajah yang terlihat semringah. Namun, senyumnya tidak bertahan lama saat matanya menangkap siapa yang berdiri di sebelahku, apa lagi arah pandangnya kini tertuju pada tangan kami yang saling bertaut."Bagaimana keadaan Safia?" tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya."Sekarang sudah sadar. Mama membujuknya agar mau makan tapi dia tidak mau. Mungkin kalau Nak Agam yang membujuk, Safia akan menurut
Makan malam terasa hambar ketika kedua istriku memilih memakan makanannya di kamar mereka masing-masing. Kalau Safia jelas karena dia masih lemah, tetapi kalau Hilya karena masih tidak nyaman jika berada dalam satu ruangan yang sama dengan Mama Mirna. Alhasil, di sinilah aku sekarang. Makan malam hanya berdua dengan Mama Mirna yang sejak tadi hanya diam, tidak seperti biasanya. Mungkin karena pembicaraan kami tadi siang yang membuatnya masih syok sampai sekarang.Cepat kuhabiskan makanan agar tidak terlalu lama berhadapan dengan Mama Mirna. Jengah rasanya ketika melihat dia yang sesekali melempar pandangan, bibirnya beberapa kali terbuka, lalu terkatup lagi. Mungkin ada yang ingin ia sampaikan tetapi tidak berani."Aku sudah selesai," ucapku seraya berdiri, bermaksud meninggalkan ruangan ini, tetapi dengan cepat Mama Mirna menahanku."Tunggu, Nak Adam! Mama mau bicara.""Sepertinya sudah tidak ada lagi yang harus dibicarakan. Keputusan Agam sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat."
Pov Agam"Mas, kenapa kita malah ke sini? Aku mau pulang!"Hilya terus berusaha melepaskan diri saat aku menyeretnya menuju salah satu kamar yang sudah aku pesan. Tidak aku pedulikan ringisan yang keluar dari mulutnya karena aku terlalu kuat mencengkram lengannya.Amarahku menggelegak ketika pria bernama Damar itu meminta nomor ponsel istriku dan Hilya malah memberinya. Aku seakan tidak dianggap karena Hilya sama sekali tidak meminta izin terlebih dahulu dariku."Masuk!""Mas!""Mas bilang masuk, Hilya!" gertakku tepat di depan wajahnya. Kulihat dia terperanjat, lalu menghentakan kaki memasuki kamar. Gegas aku menyusulnya setelah mengunci pintu terlebih dahulu.Kubuka jas lalu melemparkannya secara asal ke arah sofa."Mas mau ngapain?" tanyanya panik saat aku semakin mendekat."Kamu pikir?""Jangan macam-macam!" sentaknya seraya mengarahkan telunjuk ke depan wajahku."Mas! Aku bilang jangan macam-macam!" bentaknya lagi, tapi aku tidak peduli. Rasa marah dan cemburu sudah menguasai di
"Ma, tenang dulu lah. Nanti Agam jelaskan.""Kamu tuh ya, kalau poligami itu ya harus adil. Istri yang satu diajak pergi, masa yang satu malah ditinggal," sungutnya."Kan Safia masih sakit, Ma. Sudahlah, Mama ada apa pagi-pagi ke sini?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan. "Mau ketemu Hilya. Dia sudah kembali dari dua bulan yang lalu, tapi belum pernah sekali pun menemui Mama," ujarnya seraya melirik Hilya yang masih berdiri di dekat sofa."Sini, peluk Mama. Kamu enggak kangen apa?"Mama merentangkan tangan, Hilya pun menghampirinya dengan ragu. Aku mengerti mengapa sikapnya seperti itu. Mama memang sempat tidak menyukai Hilya karena dulu Papa Adi penah mengusirku dan tidak merestui hubungan kami. Namun, seiring berjalannya waktu, Mama pun mulai menyayangi Hilya karena istriku selalu berusaha mendekatkan diri pada Mama."Kenapa enggak menemui Mama? Kamu lupa sama mertuamu ini?" tanya Mama sembari meraih Hilya untuk dipeluknya."Maafkan Hilya, Ma.""Sudah-sudah! Yang penting seka
POV HILYA"Bagaimana ceritanya kamu bisa selamat dan ternyata masih hidup? Kenapa setelah dua tahun kamu baru kembali?"Mama Sari langsung memborondongku dengan pertanyaan begitu kami sudah berada di kamar. Ia menuntunku untuk duduk di pinggir ranjang dengan posisi saling berhadapan."Ceritanya panjang, Ma. Yang pasti Hilya diselamatkan oleh salah satu keluarga dan dirawat oleh mereka sampai sembuh. Hilya sempat kehilangan ingatan dan identitas semuanya raib. Karena itulah mereka tidak bisa mengantarkan Hilya untuk pulang," terangku. Saat itu memang tas berisi ponsel dan identitas milikku tidak ditemukan di mana pun. Padahal seingatku, tas itu aku simpan di jok bagian depan. Mungkin ikut terpental saat mobil yang kutumpangi jatuh ke jurang yang cukup dalam."Mama senang waktu Agam mengabari kalau kamu ternyata selamat. Mama saksi hidup bagaimana terpuruknya dia ketika mendengar kamu kecelakaan tetapi jasadmu tidak diketemukan. Agam seperti orang kalap, dia mencari kamu ke mana saja b
Semenjak kelahiran putra pertama kami, aku memang belum pernah lagi menemui Safia. Selain karena ingin menjaga perasaan Hilya--istriku, aku pun tidak ingin Safia salah paham. Aku tahu wanita itu masih berharap padaku. Namun tentu saja aku tidak bisa membalas perasaan serta mengabulkan keinginannya untuk rujuk, karena hati ini sudah dikuasai Hilya sepenuhnya. Bahkan semenjak ia melahirkan, rasa cinta ini kian bertambah besar. Aku makin tergila-gila padanya.Hilya. Satu-satunya wanita yang mampu membuat seorang Agam rela menyamar menjadi orang lain. Wanita yang mampu membuatku ketakutan setengah mati ketika dia dikelilingi oleh pria yang menyukainya. Aku takut Hilya akan berpaling kepada salah satu dari mereka dan memilih meninggalkanku, apalagi dengan kondisiku yang harus bisa membagi waktu kepada Safia.Namun aku bersyukur karena ketakutan itu tidak menjadi kenyataan. Hilya tetap memilih berada di sampingku dan mendampingiku hingga kini. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk
"Sayang."Mata Hilya mengerjap saat tangan ini mengelus pipinya. Wajah mulus yang biasanya menampilkan rona kemerahan itu kini terlihat pucat. "Mas.""Ya, Sayang.""Kok sudah pulang? Ini jam berapa?" tanyanya seraya berusaha bangkit, tetapi dengan cepat aku mencegahnya."Tidur saja, kamu masih lemah," titahku."Mas pulang karena ditelepon Mbok Parmi. Katanya tadi kamu pingsan. Kenapa? Ada yang sakit? Kita ke Dokter, ya.""Gak usah," tolaknya cepat. "Aku gak sakit, kok.""Gak sakit tapi bisa pingsan? Kamu pikir Mas akan percaya?""Tapi beneran bukan karena sakit. Mungkin karena ini."Hilya mengambil sesuatu dari bawah bantal. Benda pipih panjang itu ia serahkan padaku."Ini apa?""Testpack.""Lalu?""Itu garisnya ada dua, berarti positif.""Po ... kamu hamil?""Iya."Pekik kegirangan tak bisa aku tahan. Refleks tubuh ini luruh dan bersujud karena saking bahagianya. Keinginan yang selama ini aku impikan, akhirnya kini bisa terwujud."Terima kasih, Sayang. Mas senang sekali," kataku pad
"Gimana, San?""Saya menemukan Nyonya Safia, Pak. Dia masih berada di kota ini. Sekarang dia tinggal di sebuah kontrakan.""Syukurlah kalau dia masih di Jakarta. Tetap awasi dia dan kabari saya jika terjadi sesuatu yang buruk.""Baik, Pak."Setelah menutup sambungan telepon, aku kembali berkutat dengan pekerjaan yang masih menumpuk. Hati ini sedikit tenang setelah mengetahui keadaan Safia baik-baik saja. Aku sudah mempunyai rencana akan membelikan dia sebuah rumah dan modal usaha. Anggap saja sebagai harta gono gini dari perceraian kami dan semuanya sudah atas persetujuan Hilya. Tepat jam lima sore aku sudah sampai di rumah dan langsung disambut istriku dengan manis. Kecupan aku berikan di kening, pipi, tapi saat bibir ini akan mendarat di bibirnya, Hilya menghindar sambil memberi isyarat dengan kerlingan mata. Ah, rupanya ada Mbok Parmi yang tengah memperhatikan kami."Wangi banget sih yang sudah mandi," kataku sambil mengendus lehernya yang kini tidak tertutup jilbab karena kami s
Sudah satu jam aku berada di sini, duduk di samping Mama yang belum juga sadarkan diri. Keadaannya cukup kritis karena serangan jantung yang dialami beliau, sehingga harus dimasukkan ke ruang ICU. Sampai saat ini, Hilya masih belum aku kabari, sedangkan Safia, sepertinya dia berada di luar karena tadi ia pun ikut mengantar Mama ke rumah sakit.Meskipun rasa kecewa masih menyelimuti hati, tetapi tidak dapat melunturkan rasa sayang dan khawatir yang aku rasakan untuk Mama. Andai saja beliau mau bertobat dan menyadari kesalahannya selama ini, akan kubiarkan dia hidup tenang tanpa harus mempertanggung jawabkan perbuatannya hingga harus mendekam di penjara seperti Mama Mirna."G-gam."Diri ini terperanjat saat mendengar suara Mama. Jemarinya bergerak, menandakan dia telah benar-benar siuman. "Gam.""Iya, Ma. Agam di sini." Kuraih tangan Mama dan menggenggamnya."Ma-mafkan, Mama." ucapnya dengan napas yang tersengal. "Mama jangan banyak bicara dulu, istirahat saja. Agam panggilkan Dokt
"Apa benar apa yang Mama katakan, Mas? Kamu hampir saja meniduri Safia?"Kulirik Mama yang tengah tersenyum penuh arti. Aku mendengus kasar menyadari kalau semua ini pasti ulah Mama."Nanti Mas jelaskan. Sekarang, ayok kita ke kamar.""Tidak! Mas harus jelaskan di sini, sekarang juga!"Hilya menolak ketika tangan ini akan menyentuh lengannya. Pandangannya padaku begitu tajam, tidak ada lagi tatapan lembut dan manja."Di kamar saja, ayok!""Aku bilang tidak!""Oke!" teriakku akhirnya. "Waktu Mas sedang tidur. Entah karena masih jetlag atau terlalu merindukan kamu, yang ada di penglihatan Mas itu kamu, bukan Safia. Memang, Mas hampir saja melakukannya, tapi beruntung ada Mbok Parmi yang memergoki dan masuk ke kamar kita. Di saat itulah, Mas baru sadar bahwa itu Safia, bukan kamu," terangku. "Lalu untuk apa Safia berada di kamar kita?""Katanya mau memberitahu kalau makan malam sudah siap."Hilya mendengus seraya tersenyum miring. "Modus banget."Aku beralih menatap Mama yang sejak tad
Ego dan cemburu bercampur menjadi satu. Tanpa peduli dengan keadaan diri yang masih sangat lelah, gegas aku berganti pakaian dan menyuruh sopir kantor untuk datang ke rumah. Malam ini juga, aku akan ke Bandung demi menemani istriku yang tengah berduka. Seharusnya aku yang berada di sampingnya, menenangkannya, bahkan memberinya pelukan, bukan pria lain seperti Guntur.Ah, s*al!Di perjalanan, aku duduk dengan gelisah. Sesekali kusuruh sopir untuk mempercepat laju mobil karena sudah tidak sabar ingin secepatnya sampai di sana. Bayangan wajah Hilya yang tengah menangis dan wajah Guntur yang pasti tengah memanfaatkan keadaan, menari dalam pelupuk mata sampai rasa panas kembali menjalar di dalam dada.Dua jam perjalanan dirasa sangat lama. Begitu sampai di pekarangan rumah Pak Hilman yang sudah dipenuhi orang, aku langsung turun dan meminta izin untuk masuk. Tak kutemukan Sandi di sekitar sini. Mungkin anak buahku itu bergabung dengan Bapak-bapak pelayat yang lain.Untuk menghargai keluarg
"Pokoknya Mama tidak setuju kalau Safia tinggal di paviliun. Memangnya kenapa kalau Safia juga tinggal di sini? Jangan bilang kalau kamu takut tergoda sama dia? Iya, kan?"Mama menyeringai jahil, membuatku langsung mendengus tak suka. Sedangkan Hilya langsung menatapku dengan tajam."Mama ngomong apa, sih? Jangan ngaco!" ketusku."Pokoknya keputusan Agam sudah bulat. Selama masa iddah, Safia akan tinggal di paviliun. Kalau dia tidak berani tinggal sendiri, nanti Agam suruh Mbok Parmi untuk menemani dia," putusku final.Kuraih tangan Hilya agar mengikutiku ke kamar kami. Aku biarkan saja Mama dan Safia yang masih duduk di ruang tamu.Sebenarnya hati ini tidak tega memperlakukan Safia seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Aku pun tidak ingin Hilya merasa tidak nyaman karena kehadiran mantan madunya."Mas.""Hmm.""Kok aku kasihan, ya sama Safia. Apa kita gak terlalu jahat?" Hilya bersandar pada dadaku saat kami tengah berbaring di tempat tidur."Kalau harus jujur, Mas juga merasa sama d
"A-apa?!""Kenapa? Jangan pura-pura tidak paham, Agam. Memang begitu, 'kan seharusnya? Wanita yang masih dalam masa iddah, tidak boleh keluar dulu dari rumah mantan suaminya," tutur Mama seraya memperhatikan kami yang sudah berpakaian rapi."Kalian mau ke mana?" tanyanya menyelidik."Kami mau ke Bandung.""Bandung lagi? Ngapain?""Menengok orang yang dulu menolong istriku. Dia sedang sakit keras," terangku."Terus saja manjain istri kamu itu! Kenapa tidak dibiarkan pergi sendiri saja? Kamu, kan harus kerja!" ujar Mama tak suka."Karena di istri Agam." Sengaja kutekankan kata istri agar Mama mengerti. "Lagi pula, pekerjaan bisa dihandle sama Nindi," imbuhku."Lalu bagaimana dengan Safia? Dia di sini sendirian?"Kulirik Safia yang sedari tadi menundukkan kepala, tidak berani menatap ke arahku maupun Hilya."Ada Mbok Parmi sama pekerja yang lain, kok. Dia tidak sendirian," jawabku santai."Ya sudah, Agam harus cepat berangkat, takut terjebak macet. Mama bawa Safia masuk saja, nanti sepul
"Den Guntur?"Hilya reflek berdiri dari duduknya. Wajahnya terlihat semringah sekaligus salah tingkah. Sedangkan pria itu memperhatikan penampilan istriku, mungkin terpukau dengan perubahan Hilya yang tampilannya menjadi berkelas, jika dibandingkan ketika menjadi Melati."Den Guntur kok bisa ada di sini?" istriku memecah keheningan di antara kami. Guntur melirikku sekilas, lalu kembali menatap Hilya. "Restoran ini milik saya," jawabnya yang membuat mata istriku semakin berbinar."Bagaimana kabar kamu? Sudah lebih baik?" Guntur balik bertanya."Alhamdullillah saya baik, Den. Bagaimana kabar Den Fhatur dan teman-teman di sana, mereka sehat?""Alhamdulillah, mereka merindukan kamu."Kulihat wajah istriku berubah sendu. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus turut campur agar pembicaraan mereka tidak melebar ke mana-mana."Sayang, ajak Mas Guntur ini duduk, dong. Ngobrolnya sambil lanjutin makan," ujarku."Tidak usah, terima kasih. Silakan kalian lanjutkan saja acara makannya," tolak Guntur