Share

Bab 8

Penulis: Nelda Friska
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Ma, tenang dulu lah. Nanti Agam jelaskan."

"Kamu tuh ya, kalau poligami itu ya harus adil. Istri yang satu diajak pergi, masa yang satu malah ditinggal," sungutnya.

"Kan Safia masih sakit, Ma. Sudahlah, Mama ada apa pagi-pagi ke sini?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Mau ketemu Hilya. Dia sudah kembali dari dua bulan yang lalu, tapi belum pernah sekali pun menemui Mama," ujarnya seraya melirik Hilya yang masih berdiri di dekat sofa.

"Sini, peluk Mama. Kamu enggak kangen apa?"

Mama merentangkan tangan, Hilya pun menghampirinya dengan ragu. Aku mengerti mengapa sikapnya seperti itu. Mama memang sempat tidak menyukai Hilya karena dulu Papa Adi penah mengusirku dan tidak merestui hubungan kami. Namun, seiring berjalannya waktu, Mama pun mulai menyayangi Hilya karena istriku selalu berusaha mendekatkan diri pada Mama.

"Kenapa enggak menemui Mama? Kamu lupa sama mertuamu ini?" tanya Mama sembari meraih Hilya untuk dipeluknya.

"Maafkan Hilya, Ma."

"Sudah-sudah! Yang penting seka
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g ada bukti cinta kamu utk hilya. klu cinta tentu dia lebih kamu utamakan. demi janda kau telah menjandakan istri mu. alasan mempertahankan gundik mu juga g jelas dan terlalu dibuat2
goodnovel comment avatar
Nunyelis
pengaruh dr mirna mertuanya.... hingga hilya hrs pergi
goodnovel comment avatar
Nunuk Nooreda
cinta nya egois... harus memilih lah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 9

    POV HILYA"Bagaimana ceritanya kamu bisa selamat dan ternyata masih hidup? Kenapa setelah dua tahun kamu baru kembali?"Mama Sari langsung memborondongku dengan pertanyaan begitu kami sudah berada di kamar. Ia menuntunku untuk duduk di pinggir ranjang dengan posisi saling berhadapan."Ceritanya panjang, Ma. Yang pasti Hilya diselamatkan oleh salah satu keluarga dan dirawat oleh mereka sampai sembuh. Hilya sempat kehilangan ingatan dan identitas semuanya raib. Karena itulah mereka tidak bisa mengantarkan Hilya untuk pulang," terangku. Saat itu memang tas berisi ponsel dan identitas milikku tidak ditemukan di mana pun. Padahal seingatku, tas itu aku simpan di jok bagian depan. Mungkin ikut terpental saat mobil yang kutumpangi jatuh ke jurang yang cukup dalam."Mama senang waktu Agam mengabari kalau kamu ternyata selamat. Mama saksi hidup bagaimana terpuruknya dia ketika mendengar kamu kecelakaan tetapi jasadmu tidak diketemukan. Agam seperti orang kalap, dia mencari kamu ke mana saja b

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 10

    POV AGAM"Sandi, kerahkan orang-orangmu untuk mencari istri saya di Bandara, Terminal, Stasiun, pokoknya semua tempat yang memungkinkan dia mendatanginya!" Kumatikan telepon setelah mendapat jawaban dari seberang sana. Kupacu kembali kendaraan ini menuju Hotel tempat Damar bekerja. Entah mengapa, tetapi feelingku mengatakan kalau dia ikut terlibat dengan rencana perginya Hilya.Informasi yang kuterima semakin memperkuat keyakinan ini. Damar tidak ada di sana bahkan sudah dua hari pria itu tidak masuk kerja dengan alasan yang tidak jelas. Hatiku semakin meradang. Jangan sampai kepergian Hilya karena dipengaruhi pria itu, sebab kemarin dia sempat melihatku bersama Safia di pusat perbelanjaan. Aku tahu dengan jelas bagaimana perasaan Damar terhadap istriku. Dari tatapan matanya saja, aku bisa melihat binar cinta yang begitu besar untuk Hilya.S*al! Berani-beraninya dia mencoba merebut milikku! Kembali ke rumah adalah pilihan terakhir setelah diri ini berkeliling mencari Hilya. Andai

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 11

    "Gam, sarapan dulu, Nak."Mama menghampiriku yang baru saja menuruni tangga. Wajahnya memelas, mungkin karena aku masih bersikap dingin padanya. Bukan bermaksud durhaka, tetapi aku masih kecewa pada dia yang sudah tega mempengaruhi Hilya agar pergi dari rumah ini."Agam sarapan di kantor saja," jawabku."Nak, jangan seperti itu. Mama tahu kalau Mama salah, tetapi tolong jangan bersikap tak acuh begitu. Mama janji akan minta maaf pada Hilya kalau nanti dia sudah ditemukan," tuturnya seraya memegang sebelah lenganku. Kali ini aku tak menolak. Tidak ingin bersikap kasar yang bisa menyakiti perasaan wanita yang telah melahirkanku ini."Sarapan dulu, ya. Safia dan mertuamu sudah menunggu di meja makan," pintanya.Aku pun mengangguk pasrah. Senyum Mama mengembang karena kali ini aku tidak membantahnya.Safia segera berdiri begitu melihatku berjalan ke arah meja makan. Dia mengambil jas yang tersampir di sebelah lenganku. Kemudian membawanya untuk disimpan di sandaran kursi."Aku senang, Mas

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 12

    "D-den--""Sedang apa Pak Amin di sini? Bukankah seharusnya Bapak sudah pulang dari tadi sore?""Itu ... anu, Den. Bapak kan habis ngantar Nyonya Mirna dari rumah temannya, tapi pulangnya malam. Makanya Bapak memutuskan menginap di sini saja. Mbok Parmi yang menyuruh Bapak tidur di kamar ini," jelasnya dengan gugup. Aku percaya? Entahlah. Sepertinya aku harus mulai waspada dengan orang-orang yang berada di rumah ini.Pak Amin memang tidak tinggal di sini karena jarak rumahnya cukup dekat. Ia memiliki istri dan dua orang anak yang sudah dewasa. Yang satu sudah berkeluarga dan yang satunya lagi masih duduk di bangku SMA. "Terus sekarang Bapak mau ke mana?" tanyaku lagi."Bapak mau ngambil air minum, Den.""Ya sudah, saya ke kamar dulu, Pak."Pak Amin mengiyakan, aku pun kembali ke kamar Safia untuk beristirahat karena mata ini mulai didera rasa kantuk. Safia masih tertidur pulas, mungkin karena kelelahan setelah percintaan kami tadi. Kubaringkan tubuh ini di sebelah dia yang tidur deng

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 13

    B*jingan!Amarahku sudah naik ke ubun-ubun. Andai mengikuti kata hati, ingin sekali aku b*nuh kedua manusia laknat itu sekarang juga. Namun, aku tidak boleh gegabah karena aku tidak sempat merekam pembicaraan mereka untuk dijadikan bukti. Akan tetapi, aku pun tidak bisa menunda lagi, apa lagi jika menyangkut nyawa istriku. Muak rasanya kalau harus berpura-pura baik di depan manusia laknat semacam mereka. Sebelum keduanya keluar, aku bergeser sedikit menjauh untuk menghubungi anak buah Sandi yang berjaga di depan rumah. Tak lupa aku pun mengirim pesan pada Pak Rahman, kusuruh dia datang ke paviliun belakang.Beruntung mereka cepat tanggap. Tak lama kemudian Pak Rahman dan dua orang anak buah Sandi datang. Kuletakkan telunjuk di atas bibir sebagai isyarat agar mereka tenang. Kudekati kembali pintu paviliun dan suara menjijikan itu kembali terdengar. Tak ingin membuang waktu, kuberi isyarat dengan mata agar Pak Rahman dan yang lain mendobrak pintu itu.Dalam hitungan ketiga, pintu berha

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 14

    POV HILYA"Kamu yakin dengan keputusan ini, Nak? Bagaimana dengan status kamu nantinya?"Papa kembali mengulang pertanyaan yang sama saat kami duduk berdua di teras kontrakan. Sudah satu bulan lamanya aku tinggal di Bandung bersama Papa. Atas bantuan Mas Damar, kami bisa sampai ke tempat ini tanpa diketahui anak buah Mas Agam. Ya, aku tahu pasti Mas Agam mengerahkan anak buahnya untuk mencariku. Beruntung Mas Damar begitu lihai mengecoh mereka termasuk membayar Sopir dan Kondektur Bus agar tidak buka mulut jika ada yang menanyakan kami.Mas Damar pun menyarankan aku agar mengganti identitas selama di sini. Aku kembali menjadi seorang Melati, wanita sederhana dengan penampilan yang dirombak total. Tidak ada lagi Hilya yang berpenampilan glamour, tidak ada lagi Hilya yang memperlihatkan rambut indahnya karena aku sudah mengenakan hijab. Mungkin awalnya karena terpaksa demi menyempurnakan penyamaran ini. Akan tetapi setelah beberapa hari aku mengenakannya, rasa nyaman dan aman tiba-tiba

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 15

    POV HilyaHari-hari yang aku jalani selama di tinggal di Bandung terasa lebih menyenangkan. Kesibukan sebagai salah satu karyawan Bu Ratna, membuatku sedikit demi sedikit melupakan Mas Agam, meskipun tak kupungkiri, jika malam tiba, rasa rindu seringkali datang tanpa diminta.Untuk menepisnya, aku selalu berusaha memberi sugesti pada diri sendiri, bahwa aku tidak lagi berhak merindukan dia. Mas Agam bukan lagi milikku, dia sudah menjadi milik wanita lain seutuhnya.Duhai hati, tolong jangan goyah. Mungkin saja saat ini dia sedang berbahagia dengan istri barunya, tanpa kehadiran diriku sebagai pengganggu di hidup mereka.Tak terasa sudah dua minggu aku menjadi karyawan Bu Ratna. Sikap beliau yang ramah dan baik pada siapa saja, membuat kami para pekerja menjadi betah. Tak jarang dia memberikan bonus pada kami jika mendapat pesanan lumayan banyak. Namun, ada yang aneh dalam satu minggu ini. Salah satu putra Bu Ratna yang bernama Fhatur, seringkali menyambangi ruang kerja kami hanya untu

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 16

    POV AGAMSatu minggu setelah kejadian ditangkapnya Mama Mirna, belum sekali pun aku kembali ke rumah. Ratusan telepon dan pesan dari Safia aku abaikan. Entah lah, diri ini masih kecewa atas semua kenyataan yang terkuak. Meskipun masalah ini bukan sepenuhnya salah Safia, tetapi tetap saja, aku kecewa karena dia masih bersikukuh membela mamanya. Belum lagi keberadaan Hilya yang masih belum diketemukan. Membuat hari-hariku terasa semakin suram tanpa adanya belahan jiwa yang membersamai. Sidang pertama Mama Mirna akan digelar minggu depan. Aku sudah menyewa pengacara terbaik untuk menjebloskan dia ke Penjara. Akan aku pastikan, dia mendapat hukuman yang berat atas apa yang telah dia lakukan terhadap istriku dan juga Ridwan.Ponselku tak berhenti bergetar sejak sore tadi. Aku yakin itu pesan dari Safia yang memintaku untuk pulang. Namun, aku masih enggan menemuinya. Bukan bermaksud mengabaikan kewajiban, tetapi aku butuh menyendiri untuk merenungkan langkah apa yang akan diambil ke depan

Bab terbaru

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 30

    Semenjak kelahiran putra pertama kami, aku memang belum pernah lagi menemui Safia. Selain karena ingin menjaga perasaan Hilya--istriku, aku pun tidak ingin Safia salah paham. Aku tahu wanita itu masih berharap padaku. Namun tentu saja aku tidak bisa membalas perasaan serta mengabulkan keinginannya untuk rujuk, karena hati ini sudah dikuasai Hilya sepenuhnya. Bahkan semenjak ia melahirkan, rasa cinta ini kian bertambah besar. Aku makin tergila-gila padanya.Hilya. Satu-satunya wanita yang mampu membuat seorang Agam rela menyamar menjadi orang lain. Wanita yang mampu membuatku ketakutan setengah mati ketika dia dikelilingi oleh pria yang menyukainya. Aku takut Hilya akan berpaling kepada salah satu dari mereka dan memilih meninggalkanku, apalagi dengan kondisiku yang harus bisa membagi waktu kepada Safia.Namun aku bersyukur karena ketakutan itu tidak menjadi kenyataan. Hilya tetap memilih berada di sampingku dan mendampingiku hingga kini. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 29

    "Sayang."Mata Hilya mengerjap saat tangan ini mengelus pipinya. Wajah mulus yang biasanya menampilkan rona kemerahan itu kini terlihat pucat. "Mas.""Ya, Sayang.""Kok sudah pulang? Ini jam berapa?" tanyanya seraya berusaha bangkit, tetapi dengan cepat aku mencegahnya."Tidur saja, kamu masih lemah," titahku."Mas pulang karena ditelepon Mbok Parmi. Katanya tadi kamu pingsan. Kenapa? Ada yang sakit? Kita ke Dokter, ya.""Gak usah," tolaknya cepat. "Aku gak sakit, kok.""Gak sakit tapi bisa pingsan? Kamu pikir Mas akan percaya?""Tapi beneran bukan karena sakit. Mungkin karena ini."Hilya mengambil sesuatu dari bawah bantal. Benda pipih panjang itu ia serahkan padaku."Ini apa?""Testpack.""Lalu?""Itu garisnya ada dua, berarti positif.""Po ... kamu hamil?""Iya."Pekik kegirangan tak bisa aku tahan. Refleks tubuh ini luruh dan bersujud karena saking bahagianya. Keinginan yang selama ini aku impikan, akhirnya kini bisa terwujud."Terima kasih, Sayang. Mas senang sekali," kataku pad

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 28

    "Gimana, San?""Saya menemukan Nyonya Safia, Pak. Dia masih berada di kota ini. Sekarang dia tinggal di sebuah kontrakan.""Syukurlah kalau dia masih di Jakarta. Tetap awasi dia dan kabari saya jika terjadi sesuatu yang buruk.""Baik, Pak."Setelah menutup sambungan telepon, aku kembali berkutat dengan pekerjaan yang masih menumpuk. Hati ini sedikit tenang setelah mengetahui keadaan Safia baik-baik saja. Aku sudah mempunyai rencana akan membelikan dia sebuah rumah dan modal usaha. Anggap saja sebagai harta gono gini dari perceraian kami dan semuanya sudah atas persetujuan Hilya. Tepat jam lima sore aku sudah sampai di rumah dan langsung disambut istriku dengan manis. Kecupan aku berikan di kening, pipi, tapi saat bibir ini akan mendarat di bibirnya, Hilya menghindar sambil memberi isyarat dengan kerlingan mata. Ah, rupanya ada Mbok Parmi yang tengah memperhatikan kami."Wangi banget sih yang sudah mandi," kataku sambil mengendus lehernya yang kini tidak tertutup jilbab karena kami s

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 27

    Sudah satu jam aku berada di sini, duduk di samping Mama yang belum juga sadarkan diri. Keadaannya cukup kritis karena serangan jantung yang dialami beliau, sehingga harus dimasukkan ke ruang ICU. Sampai saat ini, Hilya masih belum aku kabari, sedangkan Safia, sepertinya dia berada di luar karena tadi ia pun ikut mengantar Mama ke rumah sakit.Meskipun rasa kecewa masih menyelimuti hati, tetapi tidak dapat melunturkan rasa sayang dan khawatir yang aku rasakan untuk Mama. Andai saja beliau mau bertobat dan menyadari kesalahannya selama ini, akan kubiarkan dia hidup tenang tanpa harus mempertanggung jawabkan perbuatannya hingga harus mendekam di penjara seperti Mama Mirna."G-gam."Diri ini terperanjat saat mendengar suara Mama. Jemarinya bergerak, menandakan dia telah benar-benar siuman. "Gam.""Iya, Ma. Agam di sini." Kuraih tangan Mama dan menggenggamnya."Ma-mafkan, Mama." ucapnya dengan napas yang tersengal. "Mama jangan banyak bicara dulu, istirahat saja. Agam panggilkan Dokt

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 26

    "Apa benar apa yang Mama katakan, Mas? Kamu hampir saja meniduri Safia?"Kulirik Mama yang tengah tersenyum penuh arti. Aku mendengus kasar menyadari kalau semua ini pasti ulah Mama."Nanti Mas jelaskan. Sekarang, ayok kita ke kamar.""Tidak! Mas harus jelaskan di sini, sekarang juga!"Hilya menolak ketika tangan ini akan menyentuh lengannya. Pandangannya padaku begitu tajam, tidak ada lagi tatapan lembut dan manja."Di kamar saja, ayok!""Aku bilang tidak!""Oke!" teriakku akhirnya. "Waktu Mas sedang tidur. Entah karena masih jetlag atau terlalu merindukan kamu, yang ada di penglihatan Mas itu kamu, bukan Safia. Memang, Mas hampir saja melakukannya, tapi beruntung ada Mbok Parmi yang memergoki dan masuk ke kamar kita. Di saat itulah, Mas baru sadar bahwa itu Safia, bukan kamu," terangku. "Lalu untuk apa Safia berada di kamar kita?""Katanya mau memberitahu kalau makan malam sudah siap."Hilya mendengus seraya tersenyum miring. "Modus banget."Aku beralih menatap Mama yang sejak tad

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 25

    Ego dan cemburu bercampur menjadi satu. Tanpa peduli dengan keadaan diri yang masih sangat lelah, gegas aku berganti pakaian dan menyuruh sopir kantor untuk datang ke rumah. Malam ini juga, aku akan ke Bandung demi menemani istriku yang tengah berduka. Seharusnya aku yang berada di sampingnya, menenangkannya, bahkan memberinya pelukan, bukan pria lain seperti Guntur.Ah, s*al!Di perjalanan, aku duduk dengan gelisah. Sesekali kusuruh sopir untuk mempercepat laju mobil karena sudah tidak sabar ingin secepatnya sampai di sana. Bayangan wajah Hilya yang tengah menangis dan wajah Guntur yang pasti tengah memanfaatkan keadaan, menari dalam pelupuk mata sampai rasa panas kembali menjalar di dalam dada.Dua jam perjalanan dirasa sangat lama. Begitu sampai di pekarangan rumah Pak Hilman yang sudah dipenuhi orang, aku langsung turun dan meminta izin untuk masuk. Tak kutemukan Sandi di sekitar sini. Mungkin anak buahku itu bergabung dengan Bapak-bapak pelayat yang lain.Untuk menghargai keluarg

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 24

    "Pokoknya Mama tidak setuju kalau Safia tinggal di paviliun. Memangnya kenapa kalau Safia juga tinggal di sini? Jangan bilang kalau kamu takut tergoda sama dia? Iya, kan?"Mama menyeringai jahil, membuatku langsung mendengus tak suka. Sedangkan Hilya langsung menatapku dengan tajam."Mama ngomong apa, sih? Jangan ngaco!" ketusku."Pokoknya keputusan Agam sudah bulat. Selama masa iddah, Safia akan tinggal di paviliun. Kalau dia tidak berani tinggal sendiri, nanti Agam suruh Mbok Parmi untuk menemani dia," putusku final.Kuraih tangan Hilya agar mengikutiku ke kamar kami. Aku biarkan saja Mama dan Safia yang masih duduk di ruang tamu.Sebenarnya hati ini tidak tega memperlakukan Safia seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Aku pun tidak ingin Hilya merasa tidak nyaman karena kehadiran mantan madunya."Mas.""Hmm.""Kok aku kasihan, ya sama Safia. Apa kita gak terlalu jahat?" Hilya bersandar pada dadaku saat kami tengah berbaring di tempat tidur."Kalau harus jujur, Mas juga merasa sama d

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 23

    "A-apa?!""Kenapa? Jangan pura-pura tidak paham, Agam. Memang begitu, 'kan seharusnya? Wanita yang masih dalam masa iddah, tidak boleh keluar dulu dari rumah mantan suaminya," tutur Mama seraya memperhatikan kami yang sudah berpakaian rapi."Kalian mau ke mana?" tanyanya menyelidik."Kami mau ke Bandung.""Bandung lagi? Ngapain?""Menengok orang yang dulu menolong istriku. Dia sedang sakit keras," terangku."Terus saja manjain istri kamu itu! Kenapa tidak dibiarkan pergi sendiri saja? Kamu, kan harus kerja!" ujar Mama tak suka."Karena di istri Agam." Sengaja kutekankan kata istri agar Mama mengerti. "Lagi pula, pekerjaan bisa dihandle sama Nindi," imbuhku."Lalu bagaimana dengan Safia? Dia di sini sendirian?"Kulirik Safia yang sedari tadi menundukkan kepala, tidak berani menatap ke arahku maupun Hilya."Ada Mbok Parmi sama pekerja yang lain, kok. Dia tidak sendirian," jawabku santai."Ya sudah, Agam harus cepat berangkat, takut terjebak macet. Mama bawa Safia masuk saja, nanti sepul

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 22

    "Den Guntur?"Hilya reflek berdiri dari duduknya. Wajahnya terlihat semringah sekaligus salah tingkah. Sedangkan pria itu memperhatikan penampilan istriku, mungkin terpukau dengan perubahan Hilya yang tampilannya menjadi berkelas, jika dibandingkan ketika menjadi Melati."Den Guntur kok bisa ada di sini?" istriku memecah keheningan di antara kami. Guntur melirikku sekilas, lalu kembali menatap Hilya. "Restoran ini milik saya," jawabnya yang membuat mata istriku semakin berbinar."Bagaimana kabar kamu? Sudah lebih baik?" Guntur balik bertanya."Alhamdullillah saya baik, Den. Bagaimana kabar Den Fhatur dan teman-teman di sana, mereka sehat?""Alhamdulillah, mereka merindukan kamu."Kulihat wajah istriku berubah sendu. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus turut campur agar pembicaraan mereka tidak melebar ke mana-mana."Sayang, ajak Mas Guntur ini duduk, dong. Ngobrolnya sambil lanjutin makan," ujarku."Tidak usah, terima kasih. Silakan kalian lanjutkan saja acara makannya," tolak Guntur

DMCA.com Protection Status