"Gam, sarapan dulu, Nak."Mama menghampiriku yang baru saja menuruni tangga. Wajahnya memelas, mungkin karena aku masih bersikap dingin padanya. Bukan bermaksud durhaka, tetapi aku masih kecewa pada dia yang sudah tega mempengaruhi Hilya agar pergi dari rumah ini."Agam sarapan di kantor saja," jawabku."Nak, jangan seperti itu. Mama tahu kalau Mama salah, tetapi tolong jangan bersikap tak acuh begitu. Mama janji akan minta maaf pada Hilya kalau nanti dia sudah ditemukan," tuturnya seraya memegang sebelah lenganku. Kali ini aku tak menolak. Tidak ingin bersikap kasar yang bisa menyakiti perasaan wanita yang telah melahirkanku ini."Sarapan dulu, ya. Safia dan mertuamu sudah menunggu di meja makan," pintanya.Aku pun mengangguk pasrah. Senyum Mama mengembang karena kali ini aku tidak membantahnya.Safia segera berdiri begitu melihatku berjalan ke arah meja makan. Dia mengambil jas yang tersampir di sebelah lenganku. Kemudian membawanya untuk disimpan di sandaran kursi."Aku senang, Mas
"D-den--""Sedang apa Pak Amin di sini? Bukankah seharusnya Bapak sudah pulang dari tadi sore?""Itu ... anu, Den. Bapak kan habis ngantar Nyonya Mirna dari rumah temannya, tapi pulangnya malam. Makanya Bapak memutuskan menginap di sini saja. Mbok Parmi yang menyuruh Bapak tidur di kamar ini," jelasnya dengan gugup. Aku percaya? Entahlah. Sepertinya aku harus mulai waspada dengan orang-orang yang berada di rumah ini.Pak Amin memang tidak tinggal di sini karena jarak rumahnya cukup dekat. Ia memiliki istri dan dua orang anak yang sudah dewasa. Yang satu sudah berkeluarga dan yang satunya lagi masih duduk di bangku SMA. "Terus sekarang Bapak mau ke mana?" tanyaku lagi."Bapak mau ngambil air minum, Den.""Ya sudah, saya ke kamar dulu, Pak."Pak Amin mengiyakan, aku pun kembali ke kamar Safia untuk beristirahat karena mata ini mulai didera rasa kantuk. Safia masih tertidur pulas, mungkin karena kelelahan setelah percintaan kami tadi. Kubaringkan tubuh ini di sebelah dia yang tidur deng
B*jingan!Amarahku sudah naik ke ubun-ubun. Andai mengikuti kata hati, ingin sekali aku b*nuh kedua manusia laknat itu sekarang juga. Namun, aku tidak boleh gegabah karena aku tidak sempat merekam pembicaraan mereka untuk dijadikan bukti. Akan tetapi, aku pun tidak bisa menunda lagi, apa lagi jika menyangkut nyawa istriku. Muak rasanya kalau harus berpura-pura baik di depan manusia laknat semacam mereka. Sebelum keduanya keluar, aku bergeser sedikit menjauh untuk menghubungi anak buah Sandi yang berjaga di depan rumah. Tak lupa aku pun mengirim pesan pada Pak Rahman, kusuruh dia datang ke paviliun belakang.Beruntung mereka cepat tanggap. Tak lama kemudian Pak Rahman dan dua orang anak buah Sandi datang. Kuletakkan telunjuk di atas bibir sebagai isyarat agar mereka tenang. Kudekati kembali pintu paviliun dan suara menjijikan itu kembali terdengar. Tak ingin membuang waktu, kuberi isyarat dengan mata agar Pak Rahman dan yang lain mendobrak pintu itu.Dalam hitungan ketiga, pintu berha
POV HILYA"Kamu yakin dengan keputusan ini, Nak? Bagaimana dengan status kamu nantinya?"Papa kembali mengulang pertanyaan yang sama saat kami duduk berdua di teras kontrakan. Sudah satu bulan lamanya aku tinggal di Bandung bersama Papa. Atas bantuan Mas Damar, kami bisa sampai ke tempat ini tanpa diketahui anak buah Mas Agam. Ya, aku tahu pasti Mas Agam mengerahkan anak buahnya untuk mencariku. Beruntung Mas Damar begitu lihai mengecoh mereka termasuk membayar Sopir dan Kondektur Bus agar tidak buka mulut jika ada yang menanyakan kami.Mas Damar pun menyarankan aku agar mengganti identitas selama di sini. Aku kembali menjadi seorang Melati, wanita sederhana dengan penampilan yang dirombak total. Tidak ada lagi Hilya yang berpenampilan glamour, tidak ada lagi Hilya yang memperlihatkan rambut indahnya karena aku sudah mengenakan hijab. Mungkin awalnya karena terpaksa demi menyempurnakan penyamaran ini. Akan tetapi setelah beberapa hari aku mengenakannya, rasa nyaman dan aman tiba-tiba
POV HilyaHari-hari yang aku jalani selama di tinggal di Bandung terasa lebih menyenangkan. Kesibukan sebagai salah satu karyawan Bu Ratna, membuatku sedikit demi sedikit melupakan Mas Agam, meskipun tak kupungkiri, jika malam tiba, rasa rindu seringkali datang tanpa diminta.Untuk menepisnya, aku selalu berusaha memberi sugesti pada diri sendiri, bahwa aku tidak lagi berhak merindukan dia. Mas Agam bukan lagi milikku, dia sudah menjadi milik wanita lain seutuhnya.Duhai hati, tolong jangan goyah. Mungkin saja saat ini dia sedang berbahagia dengan istri barunya, tanpa kehadiran diriku sebagai pengganggu di hidup mereka.Tak terasa sudah dua minggu aku menjadi karyawan Bu Ratna. Sikap beliau yang ramah dan baik pada siapa saja, membuat kami para pekerja menjadi betah. Tak jarang dia memberikan bonus pada kami jika mendapat pesanan lumayan banyak. Namun, ada yang aneh dalam satu minggu ini. Salah satu putra Bu Ratna yang bernama Fhatur, seringkali menyambangi ruang kerja kami hanya untu
POV AGAMSatu minggu setelah kejadian ditangkapnya Mama Mirna, belum sekali pun aku kembali ke rumah. Ratusan telepon dan pesan dari Safia aku abaikan. Entah lah, diri ini masih kecewa atas semua kenyataan yang terkuak. Meskipun masalah ini bukan sepenuhnya salah Safia, tetapi tetap saja, aku kecewa karena dia masih bersikukuh membela mamanya. Belum lagi keberadaan Hilya yang masih belum diketemukan. Membuat hari-hariku terasa semakin suram tanpa adanya belahan jiwa yang membersamai. Sidang pertama Mama Mirna akan digelar minggu depan. Aku sudah menyewa pengacara terbaik untuk menjebloskan dia ke Penjara. Akan aku pastikan, dia mendapat hukuman yang berat atas apa yang telah dia lakukan terhadap istriku dan juga Ridwan.Ponselku tak berhenti bergetar sejak sore tadi. Aku yakin itu pesan dari Safia yang memintaku untuk pulang. Namun, aku masih enggan menemuinya. Bukan bermaksud mengabaikan kewajiban, tetapi aku butuh menyendiri untuk merenungkan langkah apa yang akan diambil ke depan
"Bapak yakin dengan rencana ini?""Sangat yakin. Tidak ada lagi cara agar saya bisa dekat dengan istri saya selain begini," jawabku seraya meniliti kembali penampilan di depan cermin.Celana jeans yang agak lusuh, kaos oblong dan sandal jepit, tak lupa kumis palsu yang aku kenakan, semoga saja bisa menyempurnakan penyamaran ini.Berdasarkan informasi yang didapat oleh Sandi, di rumah itu sedang membutuhkan seorang Sopir untuk mobil yang akan mengantarkan pesanan katering. Tak ingin membuang kesempatan, aku pun bergegas menemui pemilik rumah dan syukurlah akhirnya diterima. Saat ini aku menyewa sebuah kontrakan yang tak jauh dari tempat istriku tinggal. Sedangkan urusan pekerjaan di Jakarta, aku serahkan pada Nindi untuk menghandlenya dan sewaktu-waktu jika ada yang urgent, aku sendiri yang akan turun tangan.Semua ini aku lakukan demi Hilya. Demi bisa dekat dengan istriku yang sepertinya sudah menikmati peran barunya sebagai Melati yang tinggal di kampung ini. Terkadang ... rasa tak
Satu minggu semenjak Safia menelepon, aku masih belum memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Bukan bermaksud untuk mengabaikan dia juga Mama, tetapi situasi sangat ini tidak memungkinkan. Aku baru bekerja beberapa hari di rumah Bu Ratna, tidak mungkin kalau harus meminta izin untuk tidak masuk kerja. Bisa-bisa aku malah dipecat dan diganti oleh orang lain yang lebih profesional.Selain itu, aku pun enggan jika harus meninggalkan Hilya di sini, apa lagi setelah malam itu, kusaksikan sendiri keakraban dua pria itu dengan mertuaku. Mereka diterima baik oleh Papa Adi. Bahkan, pria bernama Guntur mulai lebih berani setelah mendapat lampu hijau dari mertuaku. Pria itu mulai lebih sering berkunjung ke kontrakan istriku, dengan dalih ingin mengobrol dengan Papa Adi.Sidang Mama Mirna pun mulai digelar hari ini. Akan tetapi aku sudah menyerahkan semuanya pada pengacaraku. Dengan bukti-bukti yang aku punya, sudah bisa dipastikan dia dan Pak Amin akan dihukum seberat-beratnya.Pagi ini, seperti bi
Semenjak kelahiran putra pertama kami, aku memang belum pernah lagi menemui Safia. Selain karena ingin menjaga perasaan Hilya--istriku, aku pun tidak ingin Safia salah paham. Aku tahu wanita itu masih berharap padaku. Namun tentu saja aku tidak bisa membalas perasaan serta mengabulkan keinginannya untuk rujuk, karena hati ini sudah dikuasai Hilya sepenuhnya. Bahkan semenjak ia melahirkan, rasa cinta ini kian bertambah besar. Aku makin tergila-gila padanya.Hilya. Satu-satunya wanita yang mampu membuat seorang Agam rela menyamar menjadi orang lain. Wanita yang mampu membuatku ketakutan setengah mati ketika dia dikelilingi oleh pria yang menyukainya. Aku takut Hilya akan berpaling kepada salah satu dari mereka dan memilih meninggalkanku, apalagi dengan kondisiku yang harus bisa membagi waktu kepada Safia.Namun aku bersyukur karena ketakutan itu tidak menjadi kenyataan. Hilya tetap memilih berada di sampingku dan mendampingiku hingga kini. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk
"Sayang."Mata Hilya mengerjap saat tangan ini mengelus pipinya. Wajah mulus yang biasanya menampilkan rona kemerahan itu kini terlihat pucat. "Mas.""Ya, Sayang.""Kok sudah pulang? Ini jam berapa?" tanyanya seraya berusaha bangkit, tetapi dengan cepat aku mencegahnya."Tidur saja, kamu masih lemah," titahku."Mas pulang karena ditelepon Mbok Parmi. Katanya tadi kamu pingsan. Kenapa? Ada yang sakit? Kita ke Dokter, ya.""Gak usah," tolaknya cepat. "Aku gak sakit, kok.""Gak sakit tapi bisa pingsan? Kamu pikir Mas akan percaya?""Tapi beneran bukan karena sakit. Mungkin karena ini."Hilya mengambil sesuatu dari bawah bantal. Benda pipih panjang itu ia serahkan padaku."Ini apa?""Testpack.""Lalu?""Itu garisnya ada dua, berarti positif.""Po ... kamu hamil?""Iya."Pekik kegirangan tak bisa aku tahan. Refleks tubuh ini luruh dan bersujud karena saking bahagianya. Keinginan yang selama ini aku impikan, akhirnya kini bisa terwujud."Terima kasih, Sayang. Mas senang sekali," kataku pad
"Gimana, San?""Saya menemukan Nyonya Safia, Pak. Dia masih berada di kota ini. Sekarang dia tinggal di sebuah kontrakan.""Syukurlah kalau dia masih di Jakarta. Tetap awasi dia dan kabari saya jika terjadi sesuatu yang buruk.""Baik, Pak."Setelah menutup sambungan telepon, aku kembali berkutat dengan pekerjaan yang masih menumpuk. Hati ini sedikit tenang setelah mengetahui keadaan Safia baik-baik saja. Aku sudah mempunyai rencana akan membelikan dia sebuah rumah dan modal usaha. Anggap saja sebagai harta gono gini dari perceraian kami dan semuanya sudah atas persetujuan Hilya. Tepat jam lima sore aku sudah sampai di rumah dan langsung disambut istriku dengan manis. Kecupan aku berikan di kening, pipi, tapi saat bibir ini akan mendarat di bibirnya, Hilya menghindar sambil memberi isyarat dengan kerlingan mata. Ah, rupanya ada Mbok Parmi yang tengah memperhatikan kami."Wangi banget sih yang sudah mandi," kataku sambil mengendus lehernya yang kini tidak tertutup jilbab karena kami s
Sudah satu jam aku berada di sini, duduk di samping Mama yang belum juga sadarkan diri. Keadaannya cukup kritis karena serangan jantung yang dialami beliau, sehingga harus dimasukkan ke ruang ICU. Sampai saat ini, Hilya masih belum aku kabari, sedangkan Safia, sepertinya dia berada di luar karena tadi ia pun ikut mengantar Mama ke rumah sakit.Meskipun rasa kecewa masih menyelimuti hati, tetapi tidak dapat melunturkan rasa sayang dan khawatir yang aku rasakan untuk Mama. Andai saja beliau mau bertobat dan menyadari kesalahannya selama ini, akan kubiarkan dia hidup tenang tanpa harus mempertanggung jawabkan perbuatannya hingga harus mendekam di penjara seperti Mama Mirna."G-gam."Diri ini terperanjat saat mendengar suara Mama. Jemarinya bergerak, menandakan dia telah benar-benar siuman. "Gam.""Iya, Ma. Agam di sini." Kuraih tangan Mama dan menggenggamnya."Ma-mafkan, Mama." ucapnya dengan napas yang tersengal. "Mama jangan banyak bicara dulu, istirahat saja. Agam panggilkan Dokt
"Apa benar apa yang Mama katakan, Mas? Kamu hampir saja meniduri Safia?"Kulirik Mama yang tengah tersenyum penuh arti. Aku mendengus kasar menyadari kalau semua ini pasti ulah Mama."Nanti Mas jelaskan. Sekarang, ayok kita ke kamar.""Tidak! Mas harus jelaskan di sini, sekarang juga!"Hilya menolak ketika tangan ini akan menyentuh lengannya. Pandangannya padaku begitu tajam, tidak ada lagi tatapan lembut dan manja."Di kamar saja, ayok!""Aku bilang tidak!""Oke!" teriakku akhirnya. "Waktu Mas sedang tidur. Entah karena masih jetlag atau terlalu merindukan kamu, yang ada di penglihatan Mas itu kamu, bukan Safia. Memang, Mas hampir saja melakukannya, tapi beruntung ada Mbok Parmi yang memergoki dan masuk ke kamar kita. Di saat itulah, Mas baru sadar bahwa itu Safia, bukan kamu," terangku. "Lalu untuk apa Safia berada di kamar kita?""Katanya mau memberitahu kalau makan malam sudah siap."Hilya mendengus seraya tersenyum miring. "Modus banget."Aku beralih menatap Mama yang sejak tad
Ego dan cemburu bercampur menjadi satu. Tanpa peduli dengan keadaan diri yang masih sangat lelah, gegas aku berganti pakaian dan menyuruh sopir kantor untuk datang ke rumah. Malam ini juga, aku akan ke Bandung demi menemani istriku yang tengah berduka. Seharusnya aku yang berada di sampingnya, menenangkannya, bahkan memberinya pelukan, bukan pria lain seperti Guntur.Ah, s*al!Di perjalanan, aku duduk dengan gelisah. Sesekali kusuruh sopir untuk mempercepat laju mobil karena sudah tidak sabar ingin secepatnya sampai di sana. Bayangan wajah Hilya yang tengah menangis dan wajah Guntur yang pasti tengah memanfaatkan keadaan, menari dalam pelupuk mata sampai rasa panas kembali menjalar di dalam dada.Dua jam perjalanan dirasa sangat lama. Begitu sampai di pekarangan rumah Pak Hilman yang sudah dipenuhi orang, aku langsung turun dan meminta izin untuk masuk. Tak kutemukan Sandi di sekitar sini. Mungkin anak buahku itu bergabung dengan Bapak-bapak pelayat yang lain.Untuk menghargai keluarg
"Pokoknya Mama tidak setuju kalau Safia tinggal di paviliun. Memangnya kenapa kalau Safia juga tinggal di sini? Jangan bilang kalau kamu takut tergoda sama dia? Iya, kan?"Mama menyeringai jahil, membuatku langsung mendengus tak suka. Sedangkan Hilya langsung menatapku dengan tajam."Mama ngomong apa, sih? Jangan ngaco!" ketusku."Pokoknya keputusan Agam sudah bulat. Selama masa iddah, Safia akan tinggal di paviliun. Kalau dia tidak berani tinggal sendiri, nanti Agam suruh Mbok Parmi untuk menemani dia," putusku final.Kuraih tangan Hilya agar mengikutiku ke kamar kami. Aku biarkan saja Mama dan Safia yang masih duduk di ruang tamu.Sebenarnya hati ini tidak tega memperlakukan Safia seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Aku pun tidak ingin Hilya merasa tidak nyaman karena kehadiran mantan madunya."Mas.""Hmm.""Kok aku kasihan, ya sama Safia. Apa kita gak terlalu jahat?" Hilya bersandar pada dadaku saat kami tengah berbaring di tempat tidur."Kalau harus jujur, Mas juga merasa sama d
"A-apa?!""Kenapa? Jangan pura-pura tidak paham, Agam. Memang begitu, 'kan seharusnya? Wanita yang masih dalam masa iddah, tidak boleh keluar dulu dari rumah mantan suaminya," tutur Mama seraya memperhatikan kami yang sudah berpakaian rapi."Kalian mau ke mana?" tanyanya menyelidik."Kami mau ke Bandung.""Bandung lagi? Ngapain?""Menengok orang yang dulu menolong istriku. Dia sedang sakit keras," terangku."Terus saja manjain istri kamu itu! Kenapa tidak dibiarkan pergi sendiri saja? Kamu, kan harus kerja!" ujar Mama tak suka."Karena di istri Agam." Sengaja kutekankan kata istri agar Mama mengerti. "Lagi pula, pekerjaan bisa dihandle sama Nindi," imbuhku."Lalu bagaimana dengan Safia? Dia di sini sendirian?"Kulirik Safia yang sedari tadi menundukkan kepala, tidak berani menatap ke arahku maupun Hilya."Ada Mbok Parmi sama pekerja yang lain, kok. Dia tidak sendirian," jawabku santai."Ya sudah, Agam harus cepat berangkat, takut terjebak macet. Mama bawa Safia masuk saja, nanti sepul
"Den Guntur?"Hilya reflek berdiri dari duduknya. Wajahnya terlihat semringah sekaligus salah tingkah. Sedangkan pria itu memperhatikan penampilan istriku, mungkin terpukau dengan perubahan Hilya yang tampilannya menjadi berkelas, jika dibandingkan ketika menjadi Melati."Den Guntur kok bisa ada di sini?" istriku memecah keheningan di antara kami. Guntur melirikku sekilas, lalu kembali menatap Hilya. "Restoran ini milik saya," jawabnya yang membuat mata istriku semakin berbinar."Bagaimana kabar kamu? Sudah lebih baik?" Guntur balik bertanya."Alhamdullillah saya baik, Den. Bagaimana kabar Den Fhatur dan teman-teman di sana, mereka sehat?""Alhamdulillah, mereka merindukan kamu."Kulihat wajah istriku berubah sendu. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus turut campur agar pembicaraan mereka tidak melebar ke mana-mana."Sayang, ajak Mas Guntur ini duduk, dong. Ngobrolnya sambil lanjutin makan," ujarku."Tidak usah, terima kasih. Silakan kalian lanjutkan saja acara makannya," tolak Guntur