"Bagaimana, Mas? Ada kabar dari Mbak Hilya?"
Safia langsung menodongku dengan pertanyaan begitu aku memasuki kamar. Istri keduaku itu sedang duduk dengan tubuh yang bersandar pada kepala ranjang. Keadaannya pasca keluar dari rumah sakit masih sangat lemah. Dokter menyarankan agar dia lebih banyak beristirahat."Tadi hampir saja Mas menemukannya, tetapi sayang Hilya keburu pergi. Sepertinya dia sengaja menghindari Mas."Wajah Safia terlihat semakin sendu. Aku pun mendekat kemudian membawa tubunya ke dalam dekapan."Jangan bersedih. Mas yakin, tidak lama lagi Hilya bisa Mas temukan," ucapku seraya mengelus punggungnya. Aku tidak ingin Safia terlalu stres memikirkan kepergian Hilya. Dia baru saja kehilangan dan aku tidak mau hal ini akan berdampak buruk pada kesehatannya."Aku merasa bersalah, Mas. Mbak Hilya pergi karena diriku.""Sstt, jangan berbicara seperti itu. Hilya pergi murni karena kesalahan Mas. Andai Mas bisa menahan emosi, mungkin saat ini Hilya masih bertahan di rumah ini.""Maafkan aku yang telah hadir di antara kalian. Karena aku Mbak Hilya harus rela berbagi raga Mas denganku. Aku bisa merasakan sakitnya dia saat suami harus memberi perhatian pada wanita lain."Kueratkan pelukan pada Safia yang kini mulai terisak. "Dengan kata lain, kamu pun cemburu saat Mas bersama Hilya?" tanyaku bermaksud mencairkan suasana. Safia mendongakkan kepala hingga jarak wajah kami kini begitu dekat."Apa salah kalau aku merasakan cemburu?" ujarnya lirih."Tentu saja tidak. Kamu juga istri, Mas. Wajar jika kamu punya rasa cemburu di saat Mas sedang bersama kakak madumu.""Tapi ... Mas tidak mencintaiku," lirihnya.Kukecup kening Safia cukup lama untuk menghindari pembahasan mengenai ini. Jika sudah membahas soal cinta, aku tidak bisa menjawab apa pun karena takut akan menyakitinya."Tidurlah. Ingat kata Dokter, kamu harus banyak beristirahat dan jangan terlalu stres. Malam ini, Mas akan menemanimu di sini," kataku seraya mengurai pelukan, lalu membantu Safia untuk berbaring."Mas sudah sholat isya?" tanyanya saat aku mulai merebahkan diri di sampingnya."Sudah. Tadi sebelum pulang, Mas sempatkan sholat isya di Mushola kantor," terangku.Safia diam dan mulai memejamkan mata. Kuraih tubuhnya untuk kupeluk dan kuelus punggungnya. Hal sederhana yang selalu membuat Safia tenang jika ia sedang dilanda kegelisahan.***Mata tak jua terpejam padahal waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Ingatan terus melayang, memikirkan Hilya yang kini entah di mana.Teringat pria yang menolongnya, hati ini tiba-tiba dilanda kegelisahan yang tak berkesudahan. Siapakah pria itu? Ada hubungan apa antara dia dengan istriku?Diri ini tidak sanggup membayangkan jika sampai Hilya mempunyai hubungan spesial dengan pria itu. Aku takut istriku akan merasa nyaman dengan pria lain selain diriku.Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Hilya selamanya akan tetap menjadi milikku.Kugerakan tubuh dengan perlahan agar Safia tidak terbangun. Setelah mengecup keningnya, aku keluar dari kamar ini menuju kamar utama. Tempat di mana aku dan Hilya menghabiskan malam-malam kami yang terasa begitu indah.Namun, itu dulu. Saat sebelum Hilya dinyatakan meninggal dan kembali lagi ketika aku sudah menikahi Safia. Semenjak Hilya tahu aku menghadirkan madu untuknya, sikap dan perangainya berubah drastis padaku.Hilyaku menjadi pembangkang, Hilyaku menjadi pendiam, dan Hilyaku tidak pernah mau kusentuh jika aku sedang menginginkannya.Pernah di suatu malam, aku mendatangi dia yang sudah tertidur lelap. Rasa rindu terhadapnya yang sudah tidak bisa aku tahan, membuatku nekad memaksa dia untuk melayaniku.Hilya histeris, dia menampar bahkan mencakarku berulang kali hingga aku menghentikan aktifitasku. Akhirnya, dengan perasaan marah dan kecewa, aku pun keluar dari kamar ini seraya membanting pintu dengan kasar, kemudian menuju kamar tamu untuk menenangkan diri. Sejak saat itu, Hilya semakin menjauh bahkan enggan untuk sekedar menyapaku.Kurebahkan tubuh pada ranjang yang terasa dingin karena ditinggalkan pemiliknya. Kuambil foto Hilya yang sengaja aku simpan di atas nakas samping ranjang.Kutatap foto cantiknya, lalu kuciumi berulang kali. Rasa sesak tiba-tiba menyeruak saat rindu ini kembali menghujam dada. Betapa aku ingin segera menemukan dia dan membawanya kembali ke rumah ini.Di saat bersama Hilya, aku selalu merasa nyaman meskipun sekedar menatap fotonya saja. Rasa kantuk yang sedari tadi tidak menyerang, kini mulai menyapa, sampai akhirnya aku terlelap sembari memeluk foto belahan jiwa.***"Nak Agam, boleh Mama meminta sesuatu?" tanya Mama Mirna saat kami tengah menikmati sarapan.Aku dan Safia saling padang, kemudian menganggukkan kepala sebagai jawaban. Entahlah, aku masih merasa kecewa pada Mama Mirna yang sudah tega menuduh Hilya. Aku bisa melihat raut tidak suka yang sangat kentara dari wajahhya jika sedang berhadapan dengan istri pertamaku."Hari ini Mama ada janji bertemu teman untuk membicarakan bisnis yang akan kami jalani. Kalau boleh, Mama ingin meminjam uang untuk modal bisnis ini. Tidak semuanya, kok. Mama masih punya simpanana, jadi yang Mama pinjam hanya setengahnya. Nanti kalau bisnisnya mulai berjalan lancar, Mama pasti akan segera menggantinya" tutur Mama Mirna disertai senyuman.Sebenarnya aku sudah bisa menebak pasti tentang uang. Akan tetapi biarlah, toh dia juga mertuaku yang harus aku bahagiakan."Berapa?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya."Cuma dua puluh juta. Sisanya biar Mama pakai uang simpanan Mama sendiri.""Oke, nanti Agam transfer.""Terima kasih, Nak Agam. Kamu memang suami dan menantu yang pengertian. Beruntung Safia bisa mendapatkan suami seperti Nak Agam," ujarnya semringah yang hanya aku tanggapi dengan senyum sekilas.Safia yang duduk di sebelahku hanya diam. Aku tahu dia sebenarnya malu dengan sikap Mama Mirna yang selalu meminta uang padaku."Mas berangkat dulu. Jangan lupa istirahat dan diminum obatnya," pesanku padanya yang langsung mengulurkan tangan untuk mencium punggung tanganku. Setelah mengecup keningnya, aku pun keluar rumah bersama Safia yang mengantar sampai ke teras.***Pekerjaan yang seharusnya aku selesaikan akhirnya terbengkalai. Terpaksa aku meminta Nindi, sekretarisku untuk menghandlenya karena pikiranku terus tertuju pada Hilya. Orang suruhanku sampai saat ini belum memberikan kabar. Membuat rasa cemas yang tadi pagi sempat hilang kini kembali mendera.Sampai jam makan siang, aku tetap berada di dalam ruangan tanpa berniat memakan suatu apa pun. Rasa lapar menguap begitu saja ketika pikiranku tak bisa berhenti memikirkan Hilya.Kuambil ponsel yang diletakan di atas meja. Sebelum aku menekan nomor orang suruhan, ternyata dia telah lebih dulu menghubungiku."Ya, bagaimana San? Ada kabar terbaru?" tanyaku langsung tak ingin berbasa basi."Sebainya Bapak cepat datang ke sini. Bu Hilya sekarang sedang berada di sebuah Cafe dengan seseorang. Nanti saya share lock tempatnya.""Bagus. Saya segera ke sana."Tak ingin membuang waktu, aku pun bergegas menuju basemant kemudian mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Aku harus bergerak cepat sebelum Hilya berhasil lolos lagi.Lima belas menit perjalanan, akhirnya aku sampai di lokasi yang dikirim Sandi. Orang suruhanku itu sudah berdiri di depan pintu Cafe, berjaga jika Hilya berinisiatif melarikan diri seperti kemarin."Bagaimana?""Bu Hilya masih ada di dalam, Pak."Kuanggukkan kepala, kemudian memasuki Cafe yang sedang ramai oleh pengunjung. Sandi berjalan di belakangku setelah menunjukkan meja tempat di mana Hilya duduk dengan seseorang.Jarak kami semakin dekat. Aku sengaja berdiri di belakang Hilya yang belum menyadari kehadiranku, pun dengan pria itu yang sedang fokus berbicara dengan istriku."Kamu yakin mau kerja di tempat aku? Nanti kalau suami kamu tahu bagaimana?" Kata pria itu yang masih fokus menatap Hilya."Aku yakin. Please, Dan. Aku butuh banget pekerjaan itu. Kamu tahu, kan kalau papaku lagi sakit? Aku butuh banyak biaya untuk pengobatan beliau. Aku tidak mau lagi bergantung pada Mas Agam karena sebentar lagi kami akan berpisah--""Hanya dalam mimpimu, Sayang," selaku cepat.Hilya dan pria itu terperanjat ketika mendengar suaraku. Wajah mereka sama-sama pucat saat melihat aku yang sudah berdiri tidak jauh dari tempat mereka."Mas Agam?""Ya, Sayang?"Kuukir senyum miring ketika Hilya mulai gelisah. Istriku berdiri, berniat pergi tetapi aku dengan sigap menahan lengannya."Mau lari lagi, hmm?""Lepas!""Tidak akan. Kita pulang sekarang!""Aku tidak mau! Bukankah kamu sudah mengusirku?" pekiknya."Mas tidak bermaksud seperti itu. Sekarang kita pulang, bicarakan baik-baik di rumah!" tegasku yang mulai hilang kesabaran."Sudah aku bilang, aku tidak mau!" sentaknya berusaha melepaskan diri dari cengkramanku."Jangan paksa Mas untuk berbuat nekad, Hilya."Tak ingin membuang waktu, kubopong tubuhnya hingga ia memekik tertahan. Tak aku hiraukan pandangan semua pengunjung Cafe yang meilhat ke arah kami dengan padangan aneh.Hilya terus memberontak sampai akhirnya kami tiba di dekat mobil."Sandi, buka pintunya!""Baik, Pak."Sandi membukakan pintu dan menahannya untukku. Kuhempaskan tubuh Hilya ke atas jok depan. Ia terus memberontak, memukul dada hingga aku menangkap tangannya dan menguncinya.Kudaratkan kecupan sekilas di b*bir ranumnya sampai ia terkesiap dengan wajah yang memerah."Diam, atau Sandi akan menyaksikan adegan kita berikutnya."**Bersambung.Di perjalanan, Hilya tetap bungkam. Aku sengaja membiarkannya seperti itu untuk membuatnya tenang terlebih dahulu. Meskipun berjuta kata sudah berkumpul di tenggorokan ingin segera diucapkan, tetapi sebisa mungkin aku tahan demi istriku yang sepertinya masih memendam kemarahan. Setelah ia lebih tenang, aku akan mengajaknya bicara dari hati ke hati, meminta maaf padanya dan berjanji tidak akan lagi menyakitinya.Satu ide tiba-tiba saja terlintas dalam pikiran. Di persimpangan, aku sengaja membelokan stir kemudi ke arah hotel milik salah satu teman.Hilya terlihat kebingungan. Ia memandangiku dengan tatapan yang masih tidak bersahabat."Kenapa ke sini? Ini bukan jalan menuju rumah."Aku tersenyum menanggapi dia yang sudah mau bicara padaku. Sengaja kuraih tangannya untuk digenggam, tetapi dengan cepat ia menepisnya. "Kita memang tidak akan pulang ke rumah. Mas ingin menghabiskan waktu berdua dulu denganmu tanpa ada gangguan," ucapku disertai kerlingan jahil, tetapi ia yang melihatnya m
"Kita masuk."Kueratkan genggaman pada tangan Hilya saat istriku masih bergeming di depan pintu. Kuberikan keyakinan kalau semuanya akan baik-baik saja karena aku tetap berada di sampingnya. Aku tahu kegelisahan yang tengah ia rasakan. Tuduhan Mama Mirna dan tatapan tidak suka dari mertuaku itu menjadi salah satu alasan kenapa Hilya tidak betah di rumah ini. Untuk itu, demi kenyamanan istriku, aku akan segera mengambil tindakan untuk mencarikan rumah lain agar mereka tidak tinggal dalam satu atap."Ayok, Sayang--""Nak Agam, akhirnya pulang juga."Mama Mirna tiba-tiba muncul menghampiri dengan wajah yang terlihat semringah. Namun, senyumnya tidak bertahan lama saat matanya menangkap siapa yang berdiri di sebelahku, apa lagi arah pandangnya kini tertuju pada tangan kami yang saling bertaut."Bagaimana keadaan Safia?" tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya."Sekarang sudah sadar. Mama membujuknya agar mau makan tapi dia tidak mau. Mungkin kalau Nak Agam yang membujuk, Safia akan menurut
Makan malam terasa hambar ketika kedua istriku memilih memakan makanannya di kamar mereka masing-masing. Kalau Safia jelas karena dia masih lemah, tetapi kalau Hilya karena masih tidak nyaman jika berada dalam satu ruangan yang sama dengan Mama Mirna. Alhasil, di sinilah aku sekarang. Makan malam hanya berdua dengan Mama Mirna yang sejak tadi hanya diam, tidak seperti biasanya. Mungkin karena pembicaraan kami tadi siang yang membuatnya masih syok sampai sekarang.Cepat kuhabiskan makanan agar tidak terlalu lama berhadapan dengan Mama Mirna. Jengah rasanya ketika melihat dia yang sesekali melempar pandangan, bibirnya beberapa kali terbuka, lalu terkatup lagi. Mungkin ada yang ingin ia sampaikan tetapi tidak berani."Aku sudah selesai," ucapku seraya berdiri, bermaksud meninggalkan ruangan ini, tetapi dengan cepat Mama Mirna menahanku."Tunggu, Nak Adam! Mama mau bicara.""Sepertinya sudah tidak ada lagi yang harus dibicarakan. Keputusan Agam sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat."
Pov Agam"Mas, kenapa kita malah ke sini? Aku mau pulang!"Hilya terus berusaha melepaskan diri saat aku menyeretnya menuju salah satu kamar yang sudah aku pesan. Tidak aku pedulikan ringisan yang keluar dari mulutnya karena aku terlalu kuat mencengkram lengannya.Amarahku menggelegak ketika pria bernama Damar itu meminta nomor ponsel istriku dan Hilya malah memberinya. Aku seakan tidak dianggap karena Hilya sama sekali tidak meminta izin terlebih dahulu dariku."Masuk!""Mas!""Mas bilang masuk, Hilya!" gertakku tepat di depan wajahnya. Kulihat dia terperanjat, lalu menghentakan kaki memasuki kamar. Gegas aku menyusulnya setelah mengunci pintu terlebih dahulu.Kubuka jas lalu melemparkannya secara asal ke arah sofa."Mas mau ngapain?" tanyanya panik saat aku semakin mendekat."Kamu pikir?""Jangan macam-macam!" sentaknya seraya mengarahkan telunjuk ke depan wajahku."Mas! Aku bilang jangan macam-macam!" bentaknya lagi, tapi aku tidak peduli. Rasa marah dan cemburu sudah menguasai di
"Ma, tenang dulu lah. Nanti Agam jelaskan.""Kamu tuh ya, kalau poligami itu ya harus adil. Istri yang satu diajak pergi, masa yang satu malah ditinggal," sungutnya."Kan Safia masih sakit, Ma. Sudahlah, Mama ada apa pagi-pagi ke sini?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan. "Mau ketemu Hilya. Dia sudah kembali dari dua bulan yang lalu, tapi belum pernah sekali pun menemui Mama," ujarnya seraya melirik Hilya yang masih berdiri di dekat sofa."Sini, peluk Mama. Kamu enggak kangen apa?"Mama merentangkan tangan, Hilya pun menghampirinya dengan ragu. Aku mengerti mengapa sikapnya seperti itu. Mama memang sempat tidak menyukai Hilya karena dulu Papa Adi penah mengusirku dan tidak merestui hubungan kami. Namun, seiring berjalannya waktu, Mama pun mulai menyayangi Hilya karena istriku selalu berusaha mendekatkan diri pada Mama."Kenapa enggak menemui Mama? Kamu lupa sama mertuamu ini?" tanya Mama sembari meraih Hilya untuk dipeluknya."Maafkan Hilya, Ma.""Sudah-sudah! Yang penting seka
POV HILYA"Bagaimana ceritanya kamu bisa selamat dan ternyata masih hidup? Kenapa setelah dua tahun kamu baru kembali?"Mama Sari langsung memborondongku dengan pertanyaan begitu kami sudah berada di kamar. Ia menuntunku untuk duduk di pinggir ranjang dengan posisi saling berhadapan."Ceritanya panjang, Ma. Yang pasti Hilya diselamatkan oleh salah satu keluarga dan dirawat oleh mereka sampai sembuh. Hilya sempat kehilangan ingatan dan identitas semuanya raib. Karena itulah mereka tidak bisa mengantarkan Hilya untuk pulang," terangku. Saat itu memang tas berisi ponsel dan identitas milikku tidak ditemukan di mana pun. Padahal seingatku, tas itu aku simpan di jok bagian depan. Mungkin ikut terpental saat mobil yang kutumpangi jatuh ke jurang yang cukup dalam."Mama senang waktu Agam mengabari kalau kamu ternyata selamat. Mama saksi hidup bagaimana terpuruknya dia ketika mendengar kamu kecelakaan tetapi jasadmu tidak diketemukan. Agam seperti orang kalap, dia mencari kamu ke mana saja b
POV AGAM"Sandi, kerahkan orang-orangmu untuk mencari istri saya di Bandara, Terminal, Stasiun, pokoknya semua tempat yang memungkinkan dia mendatanginya!" Kumatikan telepon setelah mendapat jawaban dari seberang sana. Kupacu kembali kendaraan ini menuju Hotel tempat Damar bekerja. Entah mengapa, tetapi feelingku mengatakan kalau dia ikut terlibat dengan rencana perginya Hilya.Informasi yang kuterima semakin memperkuat keyakinan ini. Damar tidak ada di sana bahkan sudah dua hari pria itu tidak masuk kerja dengan alasan yang tidak jelas. Hatiku semakin meradang. Jangan sampai kepergian Hilya karena dipengaruhi pria itu, sebab kemarin dia sempat melihatku bersama Safia di pusat perbelanjaan. Aku tahu dengan jelas bagaimana perasaan Damar terhadap istriku. Dari tatapan matanya saja, aku bisa melihat binar cinta yang begitu besar untuk Hilya.S*al! Berani-beraninya dia mencoba merebut milikku! Kembali ke rumah adalah pilihan terakhir setelah diri ini berkeliling mencari Hilya. Andai
"Gam, sarapan dulu, Nak."Mama menghampiriku yang baru saja menuruni tangga. Wajahnya memelas, mungkin karena aku masih bersikap dingin padanya. Bukan bermaksud durhaka, tetapi aku masih kecewa pada dia yang sudah tega mempengaruhi Hilya agar pergi dari rumah ini."Agam sarapan di kantor saja," jawabku."Nak, jangan seperti itu. Mama tahu kalau Mama salah, tetapi tolong jangan bersikap tak acuh begitu. Mama janji akan minta maaf pada Hilya kalau nanti dia sudah ditemukan," tuturnya seraya memegang sebelah lenganku. Kali ini aku tak menolak. Tidak ingin bersikap kasar yang bisa menyakiti perasaan wanita yang telah melahirkanku ini."Sarapan dulu, ya. Safia dan mertuamu sudah menunggu di meja makan," pintanya.Aku pun mengangguk pasrah. Senyum Mama mengembang karena kali ini aku tidak membantahnya.Safia segera berdiri begitu melihatku berjalan ke arah meja makan. Dia mengambil jas yang tersampir di sebelah lenganku. Kemudian membawanya untuk disimpan di sandaran kursi."Aku senang, Mas
Semenjak kelahiran putra pertama kami, aku memang belum pernah lagi menemui Safia. Selain karena ingin menjaga perasaan Hilya--istriku, aku pun tidak ingin Safia salah paham. Aku tahu wanita itu masih berharap padaku. Namun tentu saja aku tidak bisa membalas perasaan serta mengabulkan keinginannya untuk rujuk, karena hati ini sudah dikuasai Hilya sepenuhnya. Bahkan semenjak ia melahirkan, rasa cinta ini kian bertambah besar. Aku makin tergila-gila padanya.Hilya. Satu-satunya wanita yang mampu membuat seorang Agam rela menyamar menjadi orang lain. Wanita yang mampu membuatku ketakutan setengah mati ketika dia dikelilingi oleh pria yang menyukainya. Aku takut Hilya akan berpaling kepada salah satu dari mereka dan memilih meninggalkanku, apalagi dengan kondisiku yang harus bisa membagi waktu kepada Safia.Namun aku bersyukur karena ketakutan itu tidak menjadi kenyataan. Hilya tetap memilih berada di sampingku dan mendampingiku hingga kini. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk
"Sayang."Mata Hilya mengerjap saat tangan ini mengelus pipinya. Wajah mulus yang biasanya menampilkan rona kemerahan itu kini terlihat pucat. "Mas.""Ya, Sayang.""Kok sudah pulang? Ini jam berapa?" tanyanya seraya berusaha bangkit, tetapi dengan cepat aku mencegahnya."Tidur saja, kamu masih lemah," titahku."Mas pulang karena ditelepon Mbok Parmi. Katanya tadi kamu pingsan. Kenapa? Ada yang sakit? Kita ke Dokter, ya.""Gak usah," tolaknya cepat. "Aku gak sakit, kok.""Gak sakit tapi bisa pingsan? Kamu pikir Mas akan percaya?""Tapi beneran bukan karena sakit. Mungkin karena ini."Hilya mengambil sesuatu dari bawah bantal. Benda pipih panjang itu ia serahkan padaku."Ini apa?""Testpack.""Lalu?""Itu garisnya ada dua, berarti positif.""Po ... kamu hamil?""Iya."Pekik kegirangan tak bisa aku tahan. Refleks tubuh ini luruh dan bersujud karena saking bahagianya. Keinginan yang selama ini aku impikan, akhirnya kini bisa terwujud."Terima kasih, Sayang. Mas senang sekali," kataku pad
"Gimana, San?""Saya menemukan Nyonya Safia, Pak. Dia masih berada di kota ini. Sekarang dia tinggal di sebuah kontrakan.""Syukurlah kalau dia masih di Jakarta. Tetap awasi dia dan kabari saya jika terjadi sesuatu yang buruk.""Baik, Pak."Setelah menutup sambungan telepon, aku kembali berkutat dengan pekerjaan yang masih menumpuk. Hati ini sedikit tenang setelah mengetahui keadaan Safia baik-baik saja. Aku sudah mempunyai rencana akan membelikan dia sebuah rumah dan modal usaha. Anggap saja sebagai harta gono gini dari perceraian kami dan semuanya sudah atas persetujuan Hilya. Tepat jam lima sore aku sudah sampai di rumah dan langsung disambut istriku dengan manis. Kecupan aku berikan di kening, pipi, tapi saat bibir ini akan mendarat di bibirnya, Hilya menghindar sambil memberi isyarat dengan kerlingan mata. Ah, rupanya ada Mbok Parmi yang tengah memperhatikan kami."Wangi banget sih yang sudah mandi," kataku sambil mengendus lehernya yang kini tidak tertutup jilbab karena kami s
Sudah satu jam aku berada di sini, duduk di samping Mama yang belum juga sadarkan diri. Keadaannya cukup kritis karena serangan jantung yang dialami beliau, sehingga harus dimasukkan ke ruang ICU. Sampai saat ini, Hilya masih belum aku kabari, sedangkan Safia, sepertinya dia berada di luar karena tadi ia pun ikut mengantar Mama ke rumah sakit.Meskipun rasa kecewa masih menyelimuti hati, tetapi tidak dapat melunturkan rasa sayang dan khawatir yang aku rasakan untuk Mama. Andai saja beliau mau bertobat dan menyadari kesalahannya selama ini, akan kubiarkan dia hidup tenang tanpa harus mempertanggung jawabkan perbuatannya hingga harus mendekam di penjara seperti Mama Mirna."G-gam."Diri ini terperanjat saat mendengar suara Mama. Jemarinya bergerak, menandakan dia telah benar-benar siuman. "Gam.""Iya, Ma. Agam di sini." Kuraih tangan Mama dan menggenggamnya."Ma-mafkan, Mama." ucapnya dengan napas yang tersengal. "Mama jangan banyak bicara dulu, istirahat saja. Agam panggilkan Dokt
"Apa benar apa yang Mama katakan, Mas? Kamu hampir saja meniduri Safia?"Kulirik Mama yang tengah tersenyum penuh arti. Aku mendengus kasar menyadari kalau semua ini pasti ulah Mama."Nanti Mas jelaskan. Sekarang, ayok kita ke kamar.""Tidak! Mas harus jelaskan di sini, sekarang juga!"Hilya menolak ketika tangan ini akan menyentuh lengannya. Pandangannya padaku begitu tajam, tidak ada lagi tatapan lembut dan manja."Di kamar saja, ayok!""Aku bilang tidak!""Oke!" teriakku akhirnya. "Waktu Mas sedang tidur. Entah karena masih jetlag atau terlalu merindukan kamu, yang ada di penglihatan Mas itu kamu, bukan Safia. Memang, Mas hampir saja melakukannya, tapi beruntung ada Mbok Parmi yang memergoki dan masuk ke kamar kita. Di saat itulah, Mas baru sadar bahwa itu Safia, bukan kamu," terangku. "Lalu untuk apa Safia berada di kamar kita?""Katanya mau memberitahu kalau makan malam sudah siap."Hilya mendengus seraya tersenyum miring. "Modus banget."Aku beralih menatap Mama yang sejak tad
Ego dan cemburu bercampur menjadi satu. Tanpa peduli dengan keadaan diri yang masih sangat lelah, gegas aku berganti pakaian dan menyuruh sopir kantor untuk datang ke rumah. Malam ini juga, aku akan ke Bandung demi menemani istriku yang tengah berduka. Seharusnya aku yang berada di sampingnya, menenangkannya, bahkan memberinya pelukan, bukan pria lain seperti Guntur.Ah, s*al!Di perjalanan, aku duduk dengan gelisah. Sesekali kusuruh sopir untuk mempercepat laju mobil karena sudah tidak sabar ingin secepatnya sampai di sana. Bayangan wajah Hilya yang tengah menangis dan wajah Guntur yang pasti tengah memanfaatkan keadaan, menari dalam pelupuk mata sampai rasa panas kembali menjalar di dalam dada.Dua jam perjalanan dirasa sangat lama. Begitu sampai di pekarangan rumah Pak Hilman yang sudah dipenuhi orang, aku langsung turun dan meminta izin untuk masuk. Tak kutemukan Sandi di sekitar sini. Mungkin anak buahku itu bergabung dengan Bapak-bapak pelayat yang lain.Untuk menghargai keluarg
"Pokoknya Mama tidak setuju kalau Safia tinggal di paviliun. Memangnya kenapa kalau Safia juga tinggal di sini? Jangan bilang kalau kamu takut tergoda sama dia? Iya, kan?"Mama menyeringai jahil, membuatku langsung mendengus tak suka. Sedangkan Hilya langsung menatapku dengan tajam."Mama ngomong apa, sih? Jangan ngaco!" ketusku."Pokoknya keputusan Agam sudah bulat. Selama masa iddah, Safia akan tinggal di paviliun. Kalau dia tidak berani tinggal sendiri, nanti Agam suruh Mbok Parmi untuk menemani dia," putusku final.Kuraih tangan Hilya agar mengikutiku ke kamar kami. Aku biarkan saja Mama dan Safia yang masih duduk di ruang tamu.Sebenarnya hati ini tidak tega memperlakukan Safia seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Aku pun tidak ingin Hilya merasa tidak nyaman karena kehadiran mantan madunya."Mas.""Hmm.""Kok aku kasihan, ya sama Safia. Apa kita gak terlalu jahat?" Hilya bersandar pada dadaku saat kami tengah berbaring di tempat tidur."Kalau harus jujur, Mas juga merasa sama d
"A-apa?!""Kenapa? Jangan pura-pura tidak paham, Agam. Memang begitu, 'kan seharusnya? Wanita yang masih dalam masa iddah, tidak boleh keluar dulu dari rumah mantan suaminya," tutur Mama seraya memperhatikan kami yang sudah berpakaian rapi."Kalian mau ke mana?" tanyanya menyelidik."Kami mau ke Bandung.""Bandung lagi? Ngapain?""Menengok orang yang dulu menolong istriku. Dia sedang sakit keras," terangku."Terus saja manjain istri kamu itu! Kenapa tidak dibiarkan pergi sendiri saja? Kamu, kan harus kerja!" ujar Mama tak suka."Karena di istri Agam." Sengaja kutekankan kata istri agar Mama mengerti. "Lagi pula, pekerjaan bisa dihandle sama Nindi," imbuhku."Lalu bagaimana dengan Safia? Dia di sini sendirian?"Kulirik Safia yang sedari tadi menundukkan kepala, tidak berani menatap ke arahku maupun Hilya."Ada Mbok Parmi sama pekerja yang lain, kok. Dia tidak sendirian," jawabku santai."Ya sudah, Agam harus cepat berangkat, takut terjebak macet. Mama bawa Safia masuk saja, nanti sepul
"Den Guntur?"Hilya reflek berdiri dari duduknya. Wajahnya terlihat semringah sekaligus salah tingkah. Sedangkan pria itu memperhatikan penampilan istriku, mungkin terpukau dengan perubahan Hilya yang tampilannya menjadi berkelas, jika dibandingkan ketika menjadi Melati."Den Guntur kok bisa ada di sini?" istriku memecah keheningan di antara kami. Guntur melirikku sekilas, lalu kembali menatap Hilya. "Restoran ini milik saya," jawabnya yang membuat mata istriku semakin berbinar."Bagaimana kabar kamu? Sudah lebih baik?" Guntur balik bertanya."Alhamdullillah saya baik, Den. Bagaimana kabar Den Fhatur dan teman-teman di sana, mereka sehat?""Alhamdulillah, mereka merindukan kamu."Kulihat wajah istriku berubah sendu. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus turut campur agar pembicaraan mereka tidak melebar ke mana-mana."Sayang, ajak Mas Guntur ini duduk, dong. Ngobrolnya sambil lanjutin makan," ujarku."Tidak usah, terima kasih. Silakan kalian lanjutkan saja acara makannya," tolak Guntur