Hari menjelang malam, tapi Aryo tidak kunjung pulang membuat Helsa menunggunya di ruang tengah. Dia merasa kesepian jika ditinggal seorang diri apalagi Bi Unah sudah pamit pulang. Dia memang tidak menginap, setelah membereskan rumah pula menyiapkan makanan Bi Unah pulang dengan Mang Barjo.
Suasana rumahnya memang terang oleh cahaya lampu, tapi entah kenapa Helsa seperti melihat sisi yang gelap di bagian lorong kamar bawah. Kedua matanya menyipit kala memandangi pintu ruangan itu, kakinya tergerak untuk melangkah mendekati. Meski suaminya sudah melarang pula Bi Unah memperingatinya agar tidak mencari tahu apa yang ada di dalam sana. Akan tetapi, rasa penasarannya menghalau semua perkataan mereka. Dia ingin tahu sebenarnya apa yang disembunyikan suaminya sehingga siapa pun tidak diperbolehkan untuk memasukinya.
Helsa mematung berdiri di depan pintu kamar itu yang masih terkunci, dia tidak menemukan di mana kunci itu disimpan suaminya. Wanita itu berniat untuk mencarinya lagi besok setelah suaminya pergi kerja lagi.
Angin bertiup kencang menerpa rambutnya yang dibiarkan terurai. Hal itu dikarenakan jendela rumah terbuka, padahal dia yakin jika jendelanya sudah ditutup oleh Bi Unah sebelum pulang. Tidak ingin mempermasalahkan hal kecil seperti itu Helsa segera menutupnya.
Dia kembali memandangi pintu kamar kosong itu, tapi tiba-tiba jendela yang sudah dikuncinya kembali terbuka bahkan hingga menimbulkan suara karena angin bertiup kencang seolah mengempaskan apa pun yang diterpanya.
Pintu kamar itu terbuka secara tiba-tiba tanpa adanya pergerakan Helsa. Wanita itu menautkan jemarinya begitu merasakan hawa dingin yang membuat bulu kuduknya meregang.
Kedua kakinya tergerak untuk melangkah masuk ke dalam kamar itu. Meski dadanya bergemuruh lebih cepat saking terkejutnya dengan apa yang terjadi.
"Pintunya kan dikunci kok tiba-tiba bisa terbuka sendiri." Helsa sempat mengomentari sebelum dia benar-benar memasuki kamar kosong itu.
Kedua matanya nyaris keluar dari tempatnya begitu dia melihat desain kamar tersebut dengan nuansa berwarna biru muda.
Perlahan Helsa melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut. Nyatanya kamar yang selama ini dikunci mengundang banyak tanya. Tidak seperti apa yang ditakutkannya, karena begitu iris matanya menangkap pada satu objek, tatapannya tidak terlepas memandangi box bayi.
Begitu dia melongokkan kepalanya, kedua matanya terpaku pada sebuah boneka yang menurutnya sangat mirip seperti bayi pada umumnya.
Sehingga, dia sempat meragukan mengenai mainan tersebut, entah hanyalah boneka menggemaskan atau justru memang seorang bayi mungil.
Wanita itu mencoba untuk memberikan usapan pertama kalinya, tapi justru dia merasa dikejutkan saat kedua mata boneka tersebut yang semula terpejam, tapi tiba-tiba saja terbelalak membuat Helsa nyaris terjengkang saking kaget.
"Tidak!"
Saat itu juga Helsa menjerit saking terkejutnya. Tidak lama kemudian, boneka bayi itu menangis membuat jantungnya berpacu lebih cepat tak seperti biasanya. Dia hendak pergi melangkah menuju ke arah pintu, tapi dengan cepat pintu yang semula terbuka kembali tertutup bahkan dia kesulitan saat membukanya.
Helsa mencoba untuk tetap tenang, meski tubuhnya gemetar hebat serta keringat dingin bercucuran mengenai pelipisnya.
Suara tangisan yang terus terdengar memenuhi kedua telinganya. Helsa menutupinya dengan tangannya. Dia tidak tahu apa yang dilakukan Aryo hingga menjadikan kamar rahasia itu sebuah kamar bayi, tapi nyatanya di dalam box itu hanya terdapat sebuah boneka yang mirip dengan bayi. Bahkan dari suara tangisannya pun tidak berbeda, kejadian ini sangat membingungkan.
Angin menerpa jendela kamar itu dengan kencang membuat Helsa semakin kuat nyali untuk mendobrak pintu tersebut. Namun, tetap saja usahanya selalu nihil. Pintu itu seolah terkunci, padahal dia tidak menguncinya.
"Mas Aryo!" teriaknya dengan keras.
Begitu kepalanya menengadah ke atas plafond, boneka bayi itu terbang begitu saja sembari menyeringai. Hal itu yang membuat Helsa tidak bisa menahan rasa keterkejutannya. Kepalanya terasa pening, dan pandangannya gelap. Dia pingsan di kamar terlarang. Boneka itu terkekeh kala melihatnya terbaring di depan pintu kamar, bahkan kini pintu tersebut terbuka lebar.
***
Helsa mengerjapkan kedua matanya begitu nyawanya kembali terkumpul. Dia memijat dahinya yang terasa pening. Wanita itu memandangi ke setiap penjuru, ternyata dirinya tengah terbaring di atas kasur berukuran king size.
Jika dilihat dari suasananya dia berada di dalam kamarnya, padahal seingatnya wanita itu tengah berada di kamar rahasia.
"Kenapa aku ada di kamar? Apa Mas Aryo yang memindahkannya?" tanyanya pada diri sendiri.
Tidak lama benda pipihnya yang tergeletak di atas meja nakas berdenting. Dia segera menyambarnya, ternyata suaminya mengirimkan pesan singkat yang mengatakan permohonan maaf karena dia telat pulang.
"Mas Aryo belum pulang?" tanyanya kebingungan.
Otaknya terus berpikir jika Aryo belum pulang, lalu siapa yang sudah memindahkannya? Bukankah dia pingsan di kamar rahasia itu?
"Apa aku bermimpi?" Helsa menggeleng pelan, membenarkan apa yang terjadi pada dirinya hari ini. Tidak mungkin hanya ilusi semata, semua itu nyata dia yang mengalaminya sendiri.
***
Begitu Aryo pulang, Helsa segera menyambutnya dengan pelukan hangat. Pria itu tidak tahu apa yang terjadi padanya hingga dia memperlakukannya seperti itu. Bahkan pelukannya sangat erat seolah ada rasa takut yang dipendamnya.
"Kamu kenapa, Helsa? Baik-baik saja kan?" tanya Aryo, dia memandangi wajah sang istri yang kini tertunduk.
"Apa yang kamu lakukan di kamar itu, Mas?" Jari telunjuknya menunjuk ke arah kamar yang selalu dikuncinya.
Aryo terdiam sangat lama, dia terkejut dengan pertanyaan istrinya. "Kenapa kamu bisa menanyakan hal itu, Helsa?"
"Box bayi, boneka bayi, apa maksudnya, Mas?" tanya Helsa lagi.
Pertanyaannya membuat Aryo benar-benar mati kutu. Dia tidak bisa menjawabnya dengan benar. Rentetan pertanyaannya menunjukkan jika dia sudah melihat semuanya.
"Kenapa kamu membuka kamar itu?" bentaknya.
Baru kali ini Aryo membentaknya hingga Helsa menjatuhkan cairan bening di pelupuk matanya. Dia tidak kuasa menahan tangisnya.
Helsa menggeleng kuat, dia bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi terhadap dirinya saat itu.
"Mas, aku tidak paham dengan hari ini." Wanita itu menangis sejadi-jadinya.
"Bukankah aku sudah bilang, kalau kamu itu harus nurut sama suami, tapi kok malah ngelak?" ucapnya dengan nada suara tinggi.
Wanita di hadapannya seolah ketakutan, dia menundukkan pandangannya sangat dalam seolah tidak berani memandangi wajah suaminya.
Jemarinya saling bertautan, dia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri karena merasa ada banyak sekali pertanyaan di dalam kepalanya.
"Sebenarnya ada apa, Mas?" tanya Helsa akhirnya, dia hanya ingin tahu alasan suaminya yang sampai saat ini masih saja bungkam.
"Kenapa kamu harus tahu dengan hidup aku? Apakah karena kamu sekarang sudah menjadi istriku?" ucapnya, pria itu menggeleng cepat, dia benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang sudah dilakukan Helsa di dalam kamar tersebut.
"Karena aku istri kamu, maka dari itu semuanya harus diketahui olehku, Mas." Helsa mencoba memberanikan dirinya mengatakan hal tersebut.
"Meski kamu istriku, tapi jangan harap tahu soal kehidupanku, Helsa!" sergahnya dengan nada ketus.
"Kenapa, Mas? Kenapa kamu menyembunyikannya dari aku? Apa semua ini ada sangkut pautnya dengan bisnismu yang jaya itu?" tanya Helsa menebak.
Pertanyaan istrinya justru tidak saja dijawab, Aryo masih saja terdiam membungkam mulutnya.
"Kalau tebakanku salah, tapi kali ini sepertinya benar. Apakah ada sangkut pautnya dengan istri pertama kamu, Mas?" tanya Helsa, dia sepertinya berhasil membuat amarah Aryo memuncak.
Tanpa diduga, Aryo menampar pipi kanan Helsa dengan sangat kuat dan menimbulkan bunyi nyaring yang berhasil membuat istrinya meringis kesakitan.
"Lancang sekali mulutmu itu, Helsa! Berani-beraninya berbicara seperti itu!" sergahnya kasar.
“Jangan masuk ke kamar itu!” sergah Aryo kala istrinya hendak membuka knop pintu kamar bekas almarhum istrinya. Helsa tertegun di tempat, kedua matanya tidak henti memandangi pintu kamar yang terkunci. Baru saja menikah sehari wanita itu sudah dibuat penasaran dengan adanya ruangan kosong yang menjadi larangan untuk siapa saja memasukinya, termasuk istrinya sendiri. Entah apa yang terjadi di rumah besar nan luas itu, tapi Helsa merasakan adanya kejanggalan di sana. “Kamar kita ada di atas, Sayang.” Aryo meraih tangan sang istri dengan mesra, kembali bersikap lembut seperti biasanya bahkan dia juga mempersilakan Helsa untuk lebih dulu menaiki anak tangga. Wanita berambut ikal itu menuruti perintah suaminya, dia mulai melangkahkan kedua kakinya hingga tidak terasa keduanya sudah sampai di depan pintu kamar yang sudah dihias dengan serangkaian bunga. Kedua matanya melirik ke arah sang suami dengan penuh cinta, dia merasa terharu karena Aryo menyempatkan untuk menghias kamar pengantin
Sebuah pigura berupa lukisan seseorang tampak di dalam kamarnya, ternyata Aryo masih menyimpannya dengan sangat apik. Pria itu seolah tidak mengerti bagaimana perasaan istrinya saat melihatnya, pasti hatinya terbakar membara oleh gejolak api yang terus berkobar. "Ternyata kamu masih menyimpannya, Mas." Helsa memegangi pigura itu yang tersimpan di ujung lemari dekat meja rias. Dia memang membereskan kamar itu lalu menghiasnya dengan serangkaian bunga indah pula lampu berkerlap-kerlip, tapi ternyata dia melupakan lukisan itu. Tidak menyimpannya di gudang seperti barang-barang lain yang merupakan peninggalan istrinya. "Kamu jangan mencemburuinya, karena dia sudah tiada. Benar-benar meninggalkanku untuk selamanya." Aryo terhanyut pada kesedihannya yang terasa begitu membekas dalam hidupnya. Maira memang sudah pergi dalam hidupnya, tapi segala tentangnya masih berperan dalam pikirannya selalu saja menggerayangi mimpi-mimpinya setiap kali dia memejamkan mata. "Walaupun raganya sudah tiad
"Kamu tunggu di rumah ya. Mas mau kerja." Aryo mengecup kening istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Padahal, Helsa masih ingat bagaimana perlakuan suaminya sewaktu malam sangat dingin meski hanya masalah kecil. Wanita berambut ikal itu mempunyai rencana jika setelah suaminya pergi dia akan berusaha memasuki ruangan yang selalu terkunci. Mengingat jika itu adalah salah satu larangan untuknya membuat dia mengurungkan niatnya. Akan tetapi, dia terlalu penasaran dengan isi kamar yang terletak di bawah ujung ruangan. Dia juga akan mempersiapkan video untuk membagikannya pada penggemar di akun sosial medianya. Banyak sekali yang memintanya menunjukkan suasana rumah milik suaminya, Aryo memang terbilang salah satu orang tersohor dengan segala harta yang dimilikinya. Tidak heran jika banyak sekali orang yang ingin mengetahui perihal kehidupan pengusaha sukses tersebut. "Mas pulangnya jam berapa?" tanya Helsa memastikan, dia takut jika saat dirinya membuka kamar kosong itu suaminy
"Anda siapa ya?" Helsa malah balik bertanya, mengabaikan pertanyaan wanita paruh baya itu. Bibir merahnya tersungging ke atas membentuk senyuman manis, dia sepertinya sangat merawat dirinya hingga terlihat awet muda, meski wanita itu sudah separuh baya. Tubuhnya memang tidak terlalu kurus juga gemuk, sehingga terlihat sangat cocok dia mengenakan kebaya yang begitu pas di tubuhnya. "Saya Bi Unah, Non. Orang yang membantu Tuan mengerjakan pekerjaan rumah. Kalau zaman sekarang namanya itu asisten rumah tangga. Begitu ya?" tanyanya, membuat Helsa beroh-ria. Dia akhirnya tahu jika rumah mewah ini memang dibantu dibersihkan, dan orang itu Bi Unah. Wanita itu menghela napasnya pelan, akhirnya dia mempunyai teman sekedar untuk mengobrol. "Tapi kok dari kemarin aku enggak lihat Bi Unah ya?" tanya Helsa, memang benar sejak pertamakali dia menginjakkan kakinya ke dalam rumah milik suaminya tidak sekali pun dia bertemu dengannya. Baru saja kali mereka bertemu saling berhadapan. Bi Unah terkek