"Anda siapa ya?" Helsa malah balik bertanya, mengabaikan pertanyaan wanita paruh baya itu.
Bibir merahnya tersungging ke atas membentuk senyuman manis, dia sepertinya sangat merawat dirinya hingga terlihat awet muda, meski wanita itu sudah separuh baya. Tubuhnya memang tidak terlalu kurus juga gemuk, sehingga terlihat sangat cocok dia mengenakan kebaya yang begitu pas di tubuhnya.
"Saya Bi Unah, Non. Orang yang membantu Tuan mengerjakan pekerjaan rumah. Kalau zaman sekarang namanya itu asisten rumah tangga. Begitu ya?" tanyanya, membuat Helsa beroh-ria. Dia akhirnya tahu jika rumah mewah ini memang dibantu dibersihkan, dan orang itu Bi Unah. Wanita itu menghela napasnya pelan, akhirnya dia mempunyai teman sekedar untuk mengobrol.
"Tapi kok dari kemarin aku enggak lihat Bi Unah ya?" tanya Helsa, memang benar sejak pertamakali dia menginjakkan kakinya ke dalam rumah milik suaminya tidak sekali pun dia bertemu dengannya. Baru saja kali mereka bertemu saling berhadapan.
Bi Unah terkekeh kala mendengar pertanyaan Helsa. "Tentu saja tidak akan bertemu, Non. Karena saya di sini setelah pekerjaannya selesai, kembali lagi ke rumah sama Mang Barjo."
Lagi, Helsa mengernyit begitu mendengar nama seseorang dari Bi Unah yang menurutnya asing. Dia tidak tahu siapa saja asisten rumah tangga di sana, karena Aryo pun tidak memberitahunya sama sekali.
"Mang Barjo itu siapa, Bi?'
"Suami Bi Unah, Non. Dia tukang kebun, membersihkan halaman belakang dan depan juga. Tuan enggak suka kalau rumahnya kotor dengan banyaknya rumput. Dia memang sangat apik, Non." Helsa mengangguk-angguk pelan seolah memahami apa yang dikatakan asisten rumah tangganya. Bahkan membenarkan perkataannya jika Aryo memang selalu mengutamakan kebersihan, tidak heran jika rumahnya sangat bersih.
Wanita berambut ikal itu kembali memandangi pintu kamar di depannya, karena tujuannya masuk ke dalamnya bukan untuk mengobrol dengan Bi Unah. Melihat istri dari majikannya terus tertuju pada pintu kamar yang terkunci membuatnya menepuk pundak Helsa menyadarkannya dari lamunan.
"Non di depan sini lagi ngapain?" tanyanya. Dia menunjuk ke arah pintu kamar yang membuat Helsa terdiam beberapa saat.
Helsa mencoba memutar pertanyaan dari wanita paruh baya itu, karena dia ingin mendapatkan banyak informasi dari Bi Unah yang mungkin saja mengetahui sesuatu.
"Bi Unah sudah lama kerja di sini?" tanya Helsa akhirnya, dia mungkin akan mendapatkan informasi mengenai kamar yang selalu terkunci jika saja wanita paruh baya itu sudah lama bekerja di sana.
"Sudah lama, Non. Kenapa ya?" Bu Unah tampak mengernyitkan dahinya, dia seolah tidak paham dengan arah pembicaraan Helsa yang kini tiada henti memandanginya dengan saksama.
"Apa Bi Unah tahu tentang sesuatu?" tanya Helsa, memberanikan diri untuk bertanya kepada pembantunya.
"Mengenai apa, Non?" tanya Bi Unah, dia mengernyitkan dahinya hingga tercetak kerutan halus di sana.
"Kamar kosong yang selalu terkunci. Apa Bi Unah tahu sebenarnya ada apa di dalamnya? Apakah Mas Aryo menyembunyikan sesuatu?" Sembari memandangi pintu kamar yang tertutup rapat, bersamaan saat itu pula Bi Unah terlihat pucat pasi membuat wanita di depannya dapat menebak jika dia mengetahui tentang hal itu.
Helsa tidak tahu harus bertanya kepada siapa, karena orang yang dikenalnya di sana hanyalah Bi Unah, tapi dia tidak bisa memastikan apakah wanita paruh baya itu bisa menyimpan pembahasan tersebut dari majikannya?
"Kamar itu sudah lama tidak ditempati, Non. Bekas almarhumah Non Maira." Bi Unah pula memandangi pintu kamar itu, dia seolah menerawangnya dengan tatapan tajam. Akan tetapi, pada akhirnya wanita paruh baya itu menyeret Helsa untuk menjauh dengan jarak kamar tersebut.
Kali ini keduanya terduduk di ruang makan yang terhubung dengan dapur, Helsa tidak tahu apa yang hendak dikatakan Bi Unah padanya sampai dia mengajaknya terduduk di sana, menjauh dari lokasi yang menarik rasa penasarannya.
"Terus kenapa Mas Aryo sampai semarah itu saat aku membukanya ya?" Helsa tidak tahu apa yang terjadi dalam kehidupan suaminya, rumah yang ditinggalinya seolah mengajaknya untuk membongkar sesuatu yang membuat teka-teki dan hanya meninggalkan rasa ingin tahu dalam dirinya.
"Tuan Aryo mungkin tidak ingin lagi teringat pada mendiang istrinya, Non. Karena setiap kali dia melihat barang-barangnya di dalam kamar itu membuatnya selalu menunggu kepulangan Non Maira." Bi Unah menjelaskannya dengan detail, membuat Helsa mengangguk pelan seolah paham dengan apa yang dikatakannya.
Jawaban Bi Unah membuat hati Helsa terasa terenyuh, dia tahu bagaimana rasanya ditinggalkan oleh seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya, pasti sangat hancur tiada terkira. Wanita itu masih ingat betul saat dirinya ditinggalkan sang Ayah, tangisnya luruh tiada henti dalam beberapa minggu saking tidak begitu ikhlas pula merelakannya berpulang. Namun, pada akhirnya dia bisa melewati kesedihannya dengan kesabaran yang tidak ada batasnya. Meski sulit, tapi semua itu terasa mudah setelah dirinya memahami dengan situasi yang terjadi dalam hidupnya sepanjang hari.
"Aku jadi merasa bersalah sudah memikirkan hal lain saking terlalu curiga padanya, Bi." Helsa menundukkan pandangannya, dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena sudah memfitnah suaminya mengenai kamar kosong yang sudah lama tidak ditempati. Namun, meskipun rumor tentang kamar itu menjadi kepercayaan baginya, rasa penasaran itu masih tetap ada. Jikalau ada waktu yang memungkinkan dia ingin tahu bagaimana kondisi kamarnya.
"Yang terpenting sekarang Non Helsa tidak kembali berpikir jika Tuan merahasiakan sesuatu kan?" tanya Bi Unah memastikan.
Tidak mau membuat Bi Unah banyak bertanya lagi, Helsa mengangguk pelan seolah tidak ada permasalahan yang dipikirkannya. Padahal, hatinya masih diselimuti dengan rasa penasaran.
"Makasih ya, Bi."
"Non Helsa harus patuhi ucapan Tuan ya." Bi Unah mengusap lembut punggung tangannya.
Helsa terdiam tidak lagi menimpali ucapan Bi Unah, dia belum bisa berjanji pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa mematuhi larangan itu, sedangkan rasa ingin tahunya semakin membumbung tinggi.
"Terima kasih ya, Bi." Helsa kali ini mencoba untuk membuang pikiran buruk mengenai kamar terlarang itu.
***
"Non, Bi Unah sudah menyelesaikan semua pekerjaannya. Kalau gitu, pamit pulang dulu ya sama Mang Barjo." Wanita paruh baya itu mengatakannya dengan tutur kata yang lembut.
"Oh, Bi Unah mau pulang sekarang? Enggak nunggu dulu Mas Aryo pulang?" tanya Helsa.
"Enggak, Non. Soalnya Tuan Aryo pulangnya larut, bisa-bisanya nanti pulang kemalaman dong sama Mang Barjo, apalagi rumah kami harus melewati dulu pegunungan." Wanita itu terkekeh pelan, sesekali dia menyikut lengan suaminya yang hanya menanggapinya dengan senyuman.
"Oh gitu ya?" Helsa menanggapi sembari mengangguk pelan.
"Kalau gitu kami pamit pulang ya, Non." Mang Barjo menundukkan kepalanya dengan ramah, senyumannya tidak pernah pudar.
Keduanya pun hendak melangkah begitu Helsa mengiyakan. Namun, Bi Unah sempat menghentikan langkahnya.
"Non, jangan coba-coba dekati kamar itu ya. Ingat, terlarang!" Kedua matanya tampak terbuka sempurna, suaranya pula terdengar lugas. Hal itu membuat nyali Helsa semakin menciut.
Wanita itu dengan susah payah meneguk salivanya, tapi dia mencoba menenangkan dirinya, sempat mengangguk pelan meski dirinya tetap merasa takut.
Pertanyaan seperti sebelumnya masih saja menggantung dalam pikirannya. "Sebenarnya ada apa?"
Hingga salah satu jawaban berupa tebakan terlintas di kepalanya. "Apakah Mas Aryo melakukan pesugihan?"
Hari menjelang malam, tapi Aryo tidak kunjung pulang membuat Helsa menunggunya di ruang tengah. Dia merasa kesepian jika ditinggal seorang diri apalagi Bi Unah sudah pamit pulang. Dia memang tidak menginap, setelah membereskan rumah pula menyiapkan makanan Bi Unah pulang dengan Mang Barjo.Suasana rumahnya memang terang oleh cahaya lampu, tapi entah kenapa Helsa seperti melihat sisi yang gelap di bagian lorong kamar bawah. Kedua matanya menyipit kala memandangi pintu ruangan itu, kakinya tergerak untuk melangkah mendekati. Meski suaminya sudah melarang pula Bi Unah memperingatinya agar tidak mencari tahu apa yang ada di dalam sana. Akan tetapi, rasa penasarannya menghalau semua perkataan mereka. Dia ingin tahu sebenarnya apa yang disembunyikan suaminya sehingga siapa pun tidak diperbolehkan untuk memasukinya. Helsa mematung berdiri di depan pintu kamar itu yang masih terkunci, dia tidak menemukan di mana kunci itu disimpan suaminya. Wanita itu berniat untuk mencarinya lagi besok sete
“Jangan masuk ke kamar itu!” sergah Aryo kala istrinya hendak membuka knop pintu kamar bekas almarhum istrinya. Helsa tertegun di tempat, kedua matanya tidak henti memandangi pintu kamar yang terkunci. Baru saja menikah sehari wanita itu sudah dibuat penasaran dengan adanya ruangan kosong yang menjadi larangan untuk siapa saja memasukinya, termasuk istrinya sendiri. Entah apa yang terjadi di rumah besar nan luas itu, tapi Helsa merasakan adanya kejanggalan di sana. “Kamar kita ada di atas, Sayang.” Aryo meraih tangan sang istri dengan mesra, kembali bersikap lembut seperti biasanya bahkan dia juga mempersilakan Helsa untuk lebih dulu menaiki anak tangga. Wanita berambut ikal itu menuruti perintah suaminya, dia mulai melangkahkan kedua kakinya hingga tidak terasa keduanya sudah sampai di depan pintu kamar yang sudah dihias dengan serangkaian bunga. Kedua matanya melirik ke arah sang suami dengan penuh cinta, dia merasa terharu karena Aryo menyempatkan untuk menghias kamar pengantin
Sebuah pigura berupa lukisan seseorang tampak di dalam kamarnya, ternyata Aryo masih menyimpannya dengan sangat apik. Pria itu seolah tidak mengerti bagaimana perasaan istrinya saat melihatnya, pasti hatinya terbakar membara oleh gejolak api yang terus berkobar. "Ternyata kamu masih menyimpannya, Mas." Helsa memegangi pigura itu yang tersimpan di ujung lemari dekat meja rias. Dia memang membereskan kamar itu lalu menghiasnya dengan serangkaian bunga indah pula lampu berkerlap-kerlip, tapi ternyata dia melupakan lukisan itu. Tidak menyimpannya di gudang seperti barang-barang lain yang merupakan peninggalan istrinya. "Kamu jangan mencemburuinya, karena dia sudah tiada. Benar-benar meninggalkanku untuk selamanya." Aryo terhanyut pada kesedihannya yang terasa begitu membekas dalam hidupnya. Maira memang sudah pergi dalam hidupnya, tapi segala tentangnya masih berperan dalam pikirannya selalu saja menggerayangi mimpi-mimpinya setiap kali dia memejamkan mata. "Walaupun raganya sudah tiad
"Kamu tunggu di rumah ya. Mas mau kerja." Aryo mengecup kening istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Padahal, Helsa masih ingat bagaimana perlakuan suaminya sewaktu malam sangat dingin meski hanya masalah kecil. Wanita berambut ikal itu mempunyai rencana jika setelah suaminya pergi dia akan berusaha memasuki ruangan yang selalu terkunci. Mengingat jika itu adalah salah satu larangan untuknya membuat dia mengurungkan niatnya. Akan tetapi, dia terlalu penasaran dengan isi kamar yang terletak di bawah ujung ruangan. Dia juga akan mempersiapkan video untuk membagikannya pada penggemar di akun sosial medianya. Banyak sekali yang memintanya menunjukkan suasana rumah milik suaminya, Aryo memang terbilang salah satu orang tersohor dengan segala harta yang dimilikinya. Tidak heran jika banyak sekali orang yang ingin mengetahui perihal kehidupan pengusaha sukses tersebut. "Mas pulangnya jam berapa?" tanya Helsa memastikan, dia takut jika saat dirinya membuka kamar kosong itu suaminy