"Kamu tunggu di rumah ya. Mas mau kerja." Aryo mengecup kening istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Padahal, Helsa masih ingat bagaimana perlakuan suaminya sewaktu malam sangat dingin meski hanya masalah kecil.
Wanita berambut ikal itu mempunyai rencana jika setelah suaminya pergi dia akan berusaha memasuki ruangan yang selalu terkunci. Mengingat jika itu adalah salah satu larangan untuknya membuat dia mengurungkan niatnya. Akan tetapi, dia terlalu penasaran dengan isi kamar yang terletak di bawah ujung ruangan.
Dia juga akan mempersiapkan video untuk membagikannya pada penggemar di akun sosial medianya. Banyak sekali yang memintanya menunjukkan suasana rumah milik suaminya, Aryo memang terbilang salah satu orang tersohor dengan segala harta yang dimilikinya. Tidak heran jika banyak sekali orang yang ingin mengetahui perihal kehidupan pengusaha sukses tersebut.
"Mas pulangnya jam berapa?" tanya Helsa memastikan, dia takut jika saat dirinya membuka kamar kosong itu suaminya tiba-tiba datang. Aryo pasti marah jika mengetahuinya karena dia sudah mengatakan dua larangan teruntuknya.
"Enggak tahu. Biasanya sih di kantor sampai malam, Sayang. Kamu enggak apa-apa kan aku tinggal dulu?" tanyanya, meraih tangan sang istri. Dia pula mengecupnya dengan penuh cinta.
Dari kejauhan ada seseorang yang mengendap, memandangi sosok wanita tersebut dengan tatapan nanar. Tanpa disadari kedua tangannya mengepal, cairan yang ternyata darah segar berbau amis keluar dari matanya. Dia menangis darah saking merasakan sakit yang teramat dalam. Mengiyakan suaminya menikah lagi ternyata suatu penyakit untuk dirinya sendiri, buktinya kini dia tidak rela melihat keduanya bermesraan.
"Iya enggak apa-apa, Sayang." Helsa menyalami punggung tangan suaminya, sedangkan Aryo kali ini mengecup kening sang istri.
Tidak mau tertinggal Maira pun bergegas menunjukkan dirinya pada Aryo, dia menyunggingkan senyumannya seolah menggoda. Namun, senyuman itu seolah tiada arti bagi suaminya. Pria membalasnya kembali dengan senyuman manis yang tercetak jelas di raut wajahnya.
"Aku pergi dulu ya, Sayang." Aryo pergi begitu saja meninggalkan keduanya. Maira hanya bisa menangisi kepergian suaminya yang tidak sekali pun mengecup keningnya atau pula mengusap puncak kepalanya. Dia sangat merindukan perlakuan manis dari Aryo, tapi kini sudah tidak didapatkannya lagi.
Helsa merasa bulu kuduknya meremang setelah ditinggal sendiri oleh suaminya. Rumah mewah nan luas milik Aryo seolah menyimpan tanya dalam benaknya, sebenarnya ada apa di sana? Apakah ada cerita di balik semua kejanggalan yang dirasakannya?
Dia merogoh benda pipih dari saku celananya lalu mulai membuka kamera untuk mempertunjukkan segala aktivitasnya. Rumah itu memang sangat bersih membuatnya untuk tidak repot kembali membersihkannya. Apa sebelum Aryo membawanya ke rumah ada seorang asisten rumah tangga yang membantu membereskannya? Tidak mungkin jika suaminya membereskan rumah luas itu sendirian.
Kamera di ponselnya kini sudah dia hidupkan, lalu mengarahkannya ke arah depan untuk menangkap suasana rumah yang sangat sunyi tidak ada seorang pun yang menemaninya. Helsa mulai melangkah menyusuri rumah tersebut, luasnya mungkin sama seperti lapangan bola. Dulu, dia memang bermimpi mempunyai suami mapan yang memiliki karier juga rumah yang indah bagai istana. Namun, setelah impian itu terwujudkan dia seolah enggan untuk menikmatinya. Ternyata rumah mewah seperti apa yang diinginkan tidak membuatnya nyaman, terlebih adanya kejanggalan di sana.
Langkahnya terhenti begitu dirinya mematung berdiri di depan kamar kosong yang merupakan larangan untuk dibuka. Dia hanya ingin tahu sebenarnya rahasia apa yang disembunyikan Aryo sampai dia mencegahnya untuk memasuki kamar itu.
Apakah ada seseorang di sana yang tengah tertidur, tapi siapa? Setahunya Aryo hanya tinggal sendiri karena kedua orang tuanya sudah wafat setahun lalu. Bahkan dia anak satu-satunya, tidak mempunyai satu pun keluarga kandung. Itulah sebabnya kenapa dia mempunyai beberapa perusahaan besar karena sebagian warisan dari sang Ayah. Terlebih, dia juga mempunyai karier yang bagus di bidang bisnis sehingga tidak heran jika namanya harum mewangi selalu saja menjadi topik pembicaraan kebanyakan orang.
Helsa memandangi pintu kayu warna cokelat di depannya, dia tidak tahu apa yang harus diambil dari langkah selanjutnya.
Apa hari ini dia harus melanggar larangan suaminya? Jika saja dia terus menuruti apa yang dikatakan Aryo, maka rasa penasaran itu akan terus menghantuinya. Namun, mengingat jika pintu itu terkunci membuatnya bertanya-tanya pada diri sendiri. Di mana Aryo menyimpan kuncinya?
Dia harus segera menemukan kunci dari pintu kamar itu sebelum Aryo kembali dari kantornya. Di atas nakas ada sebuah guci besar yang menarik perhatiannya.
Siapa tahu saja, jika kunci dari pintu tersebut dimasukkan ke dalamnya, hal itu membuatnya segera menyambar guci dan menumpahkan apa yang berada di dalamnya. Akan tetapi, pencariannya nihil karena di dalamnya hanya ada beberapa tangkai bunga kamboja juga melati.
Aroma bunga melati yang begitu menyengat begitu terhidu, membuat bulu kuduk wanita tersebut terasa meremang, Helsa kembali menyimpannya.
"Kunci itu di mana ya?" tanyanya pelan. Sesekali wanita itu menggaruk tengkuknya yang tidak merasa gatal.
Lalu, wanita itu beralih pada laci lemari yang berada di pojok sudut.
Wanita itu mengulum senyumannya, dia merasa jika kunci tersebut tersimpan di sana. Hal itu pun, membuatnya segera mengobrak-abrik isi dalam laci.
Namun, nyatanya dia tidak menemukan apa pun di sana. Hal itu membuatnya mendengus kasar.
Justru yang ditemukannya sebuah kalung dengan gantungan liontin. Terlihat berkilau, membuatnya merasa kecewa.
Karena menurutnya, kalung tersebut milik mendiang istri pertama suaminya.
"Masa iya sih cuman kalung ini aja yang aku temukan?" ucapnya mengeluh. Dia kembali memasukkan kalung tersebut sembarangan ke dalam laci sebelumnya.
Meski pencariannya tidak saja membuahkan hasil, tapi wanita itu seolah enggan menyerah. Sesekali dia melirik jam dinding untuk memastikan jika waktunya masih cukup, suaminya tidak mungkin kembali secepat ini, karena pria itu baru saja pergi beberapa waktu lalu.
"Di mana ya kuncinya. Dia pinter banget sih simpannya." Wanita itu menggerutu saking kesalnya terhadap sang suami yang benar-benar pandai menyimpan segala sesuatu.
"Non sedang apa di sini?" tanya seseorang, begitu Helsa menoleh ke belakangnya dia mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan kebaya.
Kedatangan wanita paruh baya itu membuatnya terkejut, dadanya berdegup lebih cepat karena seingatnya sewaktu kemarin di rumah itu tidak ada siapa pun. Lalu, hari ini perempuan yang mengenakan kebaya warna hitam berdiri tepat di hadapannya. Dia siapa?
Beberapa pertanyaan melintas pikirannya, Helsa menilik sosoknya dari ujung kepala yang mengenakan konde sampai kaki yang mengenakan alas sandal dari kayu.
Penampilannya serupa seperti orang di zaman dahulu, tidak aneh juga sepertinya. Karena wanita yang kini berdiri di hadapannya memang terlihat kelahiran beberapa puluh tahun silam.
"Anda siapa ya?" Helsa tidak menjawab pertanyaannya, justru dia yang malah balik bertanya.
"Anda siapa ya?" Helsa malah balik bertanya, mengabaikan pertanyaan wanita paruh baya itu. Bibir merahnya tersungging ke atas membentuk senyuman manis, dia sepertinya sangat merawat dirinya hingga terlihat awet muda, meski wanita itu sudah separuh baya. Tubuhnya memang tidak terlalu kurus juga gemuk, sehingga terlihat sangat cocok dia mengenakan kebaya yang begitu pas di tubuhnya. "Saya Bi Unah, Non. Orang yang membantu Tuan mengerjakan pekerjaan rumah. Kalau zaman sekarang namanya itu asisten rumah tangga. Begitu ya?" tanyanya, membuat Helsa beroh-ria. Dia akhirnya tahu jika rumah mewah ini memang dibantu dibersihkan, dan orang itu Bi Unah. Wanita itu menghela napasnya pelan, akhirnya dia mempunyai teman sekedar untuk mengobrol. "Tapi kok dari kemarin aku enggak lihat Bi Unah ya?" tanya Helsa, memang benar sejak pertamakali dia menginjakkan kakinya ke dalam rumah milik suaminya tidak sekali pun dia bertemu dengannya. Baru saja kali mereka bertemu saling berhadapan. Bi Unah terkek
Hari menjelang malam, tapi Aryo tidak kunjung pulang membuat Helsa menunggunya di ruang tengah. Dia merasa kesepian jika ditinggal seorang diri apalagi Bi Unah sudah pamit pulang. Dia memang tidak menginap, setelah membereskan rumah pula menyiapkan makanan Bi Unah pulang dengan Mang Barjo.Suasana rumahnya memang terang oleh cahaya lampu, tapi entah kenapa Helsa seperti melihat sisi yang gelap di bagian lorong kamar bawah. Kedua matanya menyipit kala memandangi pintu ruangan itu, kakinya tergerak untuk melangkah mendekati. Meski suaminya sudah melarang pula Bi Unah memperingatinya agar tidak mencari tahu apa yang ada di dalam sana. Akan tetapi, rasa penasarannya menghalau semua perkataan mereka. Dia ingin tahu sebenarnya apa yang disembunyikan suaminya sehingga siapa pun tidak diperbolehkan untuk memasukinya. Helsa mematung berdiri di depan pintu kamar itu yang masih terkunci, dia tidak menemukan di mana kunci itu disimpan suaminya. Wanita itu berniat untuk mencarinya lagi besok sete
“Jangan masuk ke kamar itu!” sergah Aryo kala istrinya hendak membuka knop pintu kamar bekas almarhum istrinya. Helsa tertegun di tempat, kedua matanya tidak henti memandangi pintu kamar yang terkunci. Baru saja menikah sehari wanita itu sudah dibuat penasaran dengan adanya ruangan kosong yang menjadi larangan untuk siapa saja memasukinya, termasuk istrinya sendiri. Entah apa yang terjadi di rumah besar nan luas itu, tapi Helsa merasakan adanya kejanggalan di sana. “Kamar kita ada di atas, Sayang.” Aryo meraih tangan sang istri dengan mesra, kembali bersikap lembut seperti biasanya bahkan dia juga mempersilakan Helsa untuk lebih dulu menaiki anak tangga. Wanita berambut ikal itu menuruti perintah suaminya, dia mulai melangkahkan kedua kakinya hingga tidak terasa keduanya sudah sampai di depan pintu kamar yang sudah dihias dengan serangkaian bunga. Kedua matanya melirik ke arah sang suami dengan penuh cinta, dia merasa terharu karena Aryo menyempatkan untuk menghias kamar pengantin
Sebuah pigura berupa lukisan seseorang tampak di dalam kamarnya, ternyata Aryo masih menyimpannya dengan sangat apik. Pria itu seolah tidak mengerti bagaimana perasaan istrinya saat melihatnya, pasti hatinya terbakar membara oleh gejolak api yang terus berkobar. "Ternyata kamu masih menyimpannya, Mas." Helsa memegangi pigura itu yang tersimpan di ujung lemari dekat meja rias. Dia memang membereskan kamar itu lalu menghiasnya dengan serangkaian bunga indah pula lampu berkerlap-kerlip, tapi ternyata dia melupakan lukisan itu. Tidak menyimpannya di gudang seperti barang-barang lain yang merupakan peninggalan istrinya. "Kamu jangan mencemburuinya, karena dia sudah tiada. Benar-benar meninggalkanku untuk selamanya." Aryo terhanyut pada kesedihannya yang terasa begitu membekas dalam hidupnya. Maira memang sudah pergi dalam hidupnya, tapi segala tentangnya masih berperan dalam pikirannya selalu saja menggerayangi mimpi-mimpinya setiap kali dia memejamkan mata. "Walaupun raganya sudah tiad