“Kamu ngapain? Senyum-senyum gak jelas gitu,” protes Robby.
Usai mengantar Zafran ke sekolah, sengaja Fakhri mampir ke kantor Robby. Ada beberapa hal yang ingin dibicarakan mereka kali ini.
Fakhri tersenyum sambil menggigit kukunya kemudian melirik Robby dengan tatapan genit. Robby yang melihatnya bergidik geli sambil menggelengkan kepala.
“Kamu ketempelan setan genit atau gimana, sih? Dari tadi kayak gitu mulu.”
Robby kembali mengajukan protes, sementara Fakhri malah tertawa mendengar keluhan Robby. Ia menarik napas panjang sambil duduk menyilangkan kaki menghadap Robby yang sibuk dengan beberapa berkas.
“Kayaknya Aina bakal batal nikah ama Damar, deh.” Tiba-tiba Fakhri bersuara dan sontak membuat Robby terkejut.
Pria bermata sipit itu melihat Fakhri dengan mimik penasaran dan kedua alis yang terangkat.
“Emangnya kamu sabotase persiapan pernikahannya hingga berkata seperti itu, Fakhri?”
Fakhri sontak cemberut dan buru-buru men
“Rendy!!! Aku lagi ngantar Ibu kontrol,” jawab Fakhri.Dia tidak sepenuhnya bohong, hanya saja Fakhri tidak mau membuat Rendy curiga. Rendy tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia melihat saat Damar masuk ke ruang periksanya tadi, Rendy memang sedang keluar sebentar saat Damar masuk tadi.“Apa dia sepupu yang kamu maksud?”Tiba-tiba Rendy bersuara seperti itu. Fakhri menghela napas panjang, inginnya dia berkata bohong. Namun, apa salahnya jika Fakhri berkata jujur. Siapa tahu Rendy mau membantunya.“Iya, dia sepupuku. Satu bulan yang lalu, dia pamitan ke keluarganya untuk keluar negeri. Namun, ternyata aku malah memergokinya di rumah sakit ini. Aku hanya khawatir dengannya. Kalau dia sakit, harusnya memberi tahu pihak keluarga.”Fakhri dengan diplomatis menjelaskan mengenai kecurigaannya dengan Damar.“Oh begitu. Ternyata kamu perhatian juga padanya.”Fakhri tersenyum. “Kami sang
Pukul tiga sore, Aina datang ke rumah sakit. Namun, baru saja ia mematikan mesin mobilnya tiba-tiba ponselnya berdering. Ada nama Damar di sana.“Iya, Damar. Aku sudah di rumah sakit. Ini masih di parkiran,” jawab Aina.Damar tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala. “Baiklah, aku tunggu di lobby.”Aina mengangguk, gegas menyimpan ponselnya. Berulang kali wanita cantik itu menghela napas panjang. Entah apa yang akan dia dengar hari ini, yang pasti Aina akan menerima apa pun hasil test-nya nanti.Sementara itu Damar tampak baru saja mengirim pesan kepada seseorang. Sebuah senyuman terukir di wajah manisnya saat melihat jawaban pesan yang baru dikirim.“Semua sudah beres, Tuan. Saya sudah mengaturnya. Silakan Anda ambil dan langsung bertemu dengan Dokter Gunawan,” gumam Damar membaca pesan itu.Kepalanya mengangguk sambil mencoba mencari bayang Aina. Selang beberapa saat Aina datang. Wanita cantik itu tampak gugup saat menemui Damar.
“Fakhri, Aina kenapa?” suara Bu Rahma sudah menyeruak di belakang Fakhri.Fakhri menoleh sambil menahan tubuh Aina.“Gak tahu, Bu. Tiba-tiba pingsan.”“Ya udah, buruan bawa masuk!!”Fakhri mengangguk kemudian langsung membawa Aina masuk ke kamarnya. Selang beberapa saat Aina siuman. Ia terkejut saat melihat dirinya sudah berada di kamar Fakhri. Kamar yang pernah ia tempati dulu tiap menginap di rumah Bu Rahma.“Kamu sudah sadar?” Suara Fakhri mengejutkan Aina.Wanita cantik itu mengedarkan pandangannya dan melihat Fakhri sedang berdiri bersandar di dekat pintu. Aina terlihat gugup. Ia gegas bangun dan bersiap turun dari kasur.“Tunggu!! Kamu masih lemas, nanti bisa pingsan lagi.” Fakhri buru-buru berlari menghampiri dan meminta Aina tidur lagi.Aina menggeleng dan memilih duduk di kasur. “Aku gak papa, Mas. Aku hanya ---”“Apa kamu telat makan
“APA!!!?? Damar mandul?” ulang Fakhri.Rendy mendengkus sambil melirik Fakhri dengan kesal. Harusnya dia tidak melanggar kode etiknya, tapi Rendy tidak tahan jika hal ini malah disalah gunakan oleh pasiennya.“Dia mandul tujuh tahun yang lalu. Baru sebulan yang lalu dia melakukan operasi untuk mengatasi penyumbatan di saluran spermanya. Tepat dugaanmu kalau dia memang berobat ke rumah sakit bulan lalu.”Fakhri terperangah kaget mendengar penjelasan Rendy. Kalau Damar mandul tujuh tahun yang lalu. Mengapa hasil test DNA Zafran menunjukkan kalau dia anak kandung Damar? Apa Damar sudah mengubah hasil test-nya? Apa Aina tahu tentang hal ini? Lalu kenapa Robby tidak tahu, padahal dia bilang akan mengawasinya.“Kamu yakin dengan penjelasanmu, Rendy?” Kembali Fakhri bertanya untuk memastikan.Rendy berdecak sambil melipat tangan di depan dada menatap Fakhri.“Kamu ini gimana, sih? Aku mempertaruhkan profesi
“Selamat pagi, Tante. Ada perlu apa, ya?” sapa Aina.Baru saja Aina usai bersiap, tiba-tiba ponselnya berdering dan suara Bu Tika langsung menyeruak di seberang sana.“Pagi, Aina. Tante hanya ingin mengajak kamu dan Zafran makan malam hari ini. Apa bisa?”Aina terdiam sesaat. Dia yakin undangan Bu Tika kali ini mempunyai maksud tertentu. Bisa jadi Damar sudah memberi tahu ibunya mengenai hasil test DNA itu.“Sekalian kita rayakan hasil test DNA Zafran. Bukankah dia sudah terbukti sebagai anak kandung Damar,” imbuh Bu Tika.Tepat tebakan Aina, jika wanita paruh baya ini sudah tahu mengenai hasil test itu.“Nanti biar Damar jemput kalian, ya!! Tante tunggu jam tujuh malam di rumah, Aina.”Belum sempat Aina menjawab, Bu Tika sudah mengakhiri panggilannya. Aina hanya diam sambil menatap ponselnya yang sudah mati. Helaan napas panjang pendek keluar dari bibir Aina.Sifat Bu Tika berban
“AYAH!!! BUNDA!!!” seru Zafran.Ia sudah berhambur keluar berlarian ke Aina dan Fakhri. Fakhri langsung berdiri, merentangkan tangan menyambut Zafran. Aina ikut berdiri sambil tersenyum memperhatikan tingkah mereka.“Gimana? Bisa kuisnya?” tanya Fakhri.Ia sudah duduk jongkok sambil memeluk Zafran. Zafran tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Tentu bisa, dong. Anak siapa dulu.”Fakhri terkekeh mendengar jawaban Zafran. Zafran ikut tertawa kemudian keduanya saling beradu tangan di udara. Aina hanya diam memperhatikan. Jelas-jelas Fakhri tahu kalau Zafran bukan anaknya bahkan dia tahu hasil test DNA Zafran. Namun, mengapa pria ini tidak berubah sedikit pun sikapnya pada Zafran?“Ayo, kita makan!! Aku laper, Ayah.” Ucapan Zafran sontak membuyarkan lamunan Aina.“Eng … Zafran. Kita makan di rumah saja, ya? Om Damar dan Oma Tika sudah nunggu,” ucap Aina.Zafran lan
“Apa maksudmu, Mas? Kamu jangan mengada-ada!” ujar Aina.Fakhri terdiam sesaat sambil menatap Aina dengan saksama. Ia sudah menduga Aina akan bersikap seperti ini. Namun, ini saatnya Fakhri memberi tahu tentang siapa Damar sebenarnya.“Aina … aku hanya ingin kamu tidak menyesal. Selama ini kenapa kamu tidak mencari tahu lebih dalam dulu soal Damar.”Fakhri kembali bersuara dan tentu saja setiap tutur katanya membuat Aina kebingungan.“Yang kamu tahu Damar saudara sepupuku dan kakak tingkatmu. Itu saja, kan? Kamu tidak tahu bagaimana pergaulannya di luar sana. Dia berteman dengan siapa? Apa kesibukannya? Hobby-nya, bahkan seharusnya kamu juga tahu mengenai kesehatannya,”Aina tidak berkomentar hanya menatap Fakhri dengan mata penuh selidik.“Bisa jadi saat kamu mabuk dan tak sadarkan diri dulu, ada yang menjebakmu. Kenapa kamu tidak mencari tahu tentang itu juga?”Aina terdiam, men
Tanpa menunggu jawaban dari Fakhri, Aina langsung masuk mobil dan melaju pergi begitu saja. Tidak ia pedulikan tatapan penuh penyesalan Fakhri. Malam ini, Aina benar-benar kacau. Rasanya ia telah salah mengambil keputusan untuk membatalkan makan malam dengan keluarga Damar hari ini.“Bunda … Bunda kenapa?”Panggilan Zafran dari bangku belakang membuyarkan lamunan Aina. Zafran lebih dulu masuk ke dalam mobil dan terlelap untuk beberapa saat di sana. Baru saat Aina masuk ke dalam mobil, ia terjaga hingga bertanya seperti sekarang.Aina tersenyum sambil melirik Zafran melalui kaca spion.“Gak papa, Sayang. Sudah, Zafran tidur lagi saja.”Zafran mengangguk sambil tersenyum, kemudian kembali berbaring di kursi belakang. Aina sedikit lega saat tahu Zafran tidak melihat perselisihannya dengan Fakhri tadi. Mungkin setelah ini, Aina akan membatasi pertemuan Zafran dengan Fakhri. Ia tidak akan mengizinkan mantan suaminya itu datang kembali.Sementara Fakhri berjalan dengan gontai menuju mobilnya
“Saudari Wulan Ariani terbukti bersalah telah melakukan penggelapan uang perusahaan … .” Hari ini adalah hari pembacaan keputusan sidang untuk Wulan. Semua bukti yang terkumpul untuk kejahatan yang dilakukan Wulan sama sekali tidak disangkal dan Wulan mengakuinya. Bahkan dia juga mengaku telah menukar bayi Fakhri dan Aina serta menjebak Aina dengan memberi minuman obat perangsang. Fakhri yang ikut hadir di sana hanya diam mendengarkan. Sesekali ia melirik Wulan yang duduk di kursi pesakitan. Wulan sudah jauh berbeda. Wajahnya tidak secantik dulu, rambut indahnya juga tampak ditata dengan asal apalagi kini tubuhnya semakin kurus tidak seksi seperti dulu. Kalau boleh jujur, Fakhri kasihan melihatnya. Aina yang duduk di samping Fakhri hanya diam. Ia sadar siapa yang sedang diperhatikan suaminya saat ini. Aina tidak berkomentar dan terus memperhatikan Fakhri. “Kamu mau menemuinya?” Tiba-tiba Aina bertanya usai pembacaan keputusan berakhir. Fakhri menghela napas dan melihat Aina.
“Udah, Mas. Mau sampai berapa kali kamu melakukannya?” dumel Aina.Ia berkata sambil menyingkirkan wajah Fakhri yang menempel di dadanya. Fakhri terkekeh sambil terus mendaratkan beberapa kecupan di sana. Ia sama sekali tidak mau melepas pelukannya ke Aina.“Memangnya kamu lupa, kalau Ibu bersama Zafran dan Ryan minta oleh-oleh adik. Makanya aku berusaha mewujudkannya.”Aina berdecak, sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Fakhri sudah mengangkat kepalanya dan kini duduk bersandar di samping Aina.“Iya, aku tahu. Namun, ini sudah sore, Mas. Kita bahkan melewatkan makan pagi dan makan siang. Aku laper.”Fakhri mengulum senyum saat melihat ekspresi Aina. Kalau mau jujur dia juga sudah merasa lapar. Namun, rasanya Fakhri tidak mau kehilangan satu momen pun dengan Aina.“Ya sudah, aku pesan makanan dulu.”Fakhri membalikkan tubuhnya dan bersiap meraih telepon yang ada di nakas. Namun
BRAK!!!Pintu kamar tertutup dan Fakhri hanya diam melongo berdiri di depannya. Matanya mengerjap berulang saat menyadari jika dirinya sudah berada di luar kamar.“Fakhri!! Kamu ngapain di sini?” seru Bu Rahma.Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat putranya berdiri di depan pintu kamar dengan ekspresi wajah bingung. Fakhri menoleh sambil menghela napas panjang.“Istriku baru saja disabotase Zafran dan Ryan, Bu.”Sontak Bu Rahma terkekeh mendengar aduannya.“Sudah, biarin saja. Toh, kamu tadi siang sudah melakukannya. Lagian besok kalian sudah berangkat untuk honeymoon. Jadi biarkan anak-anak bersama bundanya malam ini.”Fakhri menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala. Untung saja, tadi siang dia sudah melakukan pemanasan tiga ronde dengan Aina, kalau tidak pasti sangat kesal malam ini.“Apa mau ditemani Ibu tidur, Fakhri?” Tiba-tiba Bu Rahma bersuara dengan menggod
“Fakhri!! Kamu ke mana aja? Dari tadi Ibu telepon gak diangkat!” Suara Bu Rahma langsung terdengar di telinga Fakhri.Fakhri menguap lebar sambil mengucek matanya. Usai ijab kabul di KUA, harusnya Fakhri bersama Aina merayakan resepsi dan tasyakuran di rumah Bu Rahma. Namun, Fakhri malah sengaja mengajak Aina pulang ke rumah baru mereka dan menikmati malam pernikahan lebih awal.“Aku ngantuk, Bu,” jawab Fakhri sambil menguap.“Ngantuk? Memangnya kamu di mana? Kenapa juga Pak Udin gak balik ke rumah?”Pak Udin adalah sopir Fakhri yang baru dan kebetulan tadi Fakhri menyuruhnya untuk istirahat. Sepertinya Pak Udin menurut perintahnya.“Banyak tamu mencari kamu dan Aina. Mereka pengen ketemu, Fakhri.”Fakhri menghela napas panjang. Dari awal, Fakhri dan Aina memang tidak mau melakukan perayaan. Toh, ini bukan pernikahan pertama mereka. Hanya Bu Rahma saja yang telah mengundang para tamu hingga mer
Rabu pagi, satu minggu kemudian tampak kesibukan di rumah Bu Rahma. Wanita paruh baya itu tampak berjalan mondar mandir dari ruang tamu ke kamar Fakhri. Wajahnya terlihat gelisah saat melihat pintu kamar Fakhri masih tertutup rapat.“Ryan, Zafran, coba periksa ayahmu!! Kenapa dari tadi belum keluar? Nenek takut kita datang terlambat ke KUA,” ujar Bu Rahma.Hari ini memang hari pernikahan Fakhri. Sesuai permintaan Aina, mereka akan melakukan jiab kabul di kantor KUA. Setelahnya akan mengadakan tasyakuran dan resepsi sederhana di rumah Bu Rahma.Sebenarnya Bu Rahma ingin merayakan pernikahan kedua putranya ini dengan meriah, tapi Aina dan Fakhri menolaknya. Mereka tidak mau lelah, bahkan sehari setelahnya akan melakukan perjalanan keluar negeri untuk honeymoon.“Iya, Nek!!” Ryan dan Zafran menjawab berbarengan.Mereka berjalan beriringan menuju kamar Fakhri. Baru saja Ryan hendak mengentuk pintu kamar Fakhri, tiba-tiba handel
“TUNGGU!!! STOP!!! Jangan bilang kamu mau mencabut gugatanmu ke Wulan!!” sahut Robby.Rini yang mendengar ucapan Robby tampak terkejut. Hal yang sama juga ditunjukkan Fakhri, sayangnya Robby tidak bisa melihat reaksinya kali ini.“HEH??? Mencabut gugatan ke Wulan? Siapa juga yang mau mencabut gugatan?” ucap Fakhri.Sontak helaan napas panjang keluar dengan kasar dari bibir Robby, bahkan pria bermata sipit itu sudah mengurut dadanya.“Lalu kamu mau minta tolong apa tadi?”Fakhri mendengkus sambil melirik interaksi Aina bersama Zafran dan Ryan di ruangannya.“Aku mau minta tolong kamu percepat pernikahanku.”Kini berganti Robby yang terkejut, mata sipitnya melebar usai mendengar permintaan Fakhri.“Bukannya tinggal dua minggu lagi. Kenapa mau dipercepat lagi?”Fakhri tersenyum sambil menyembunyikan wajahnya. Ia berdiri dan menjauh dari Aina serta kedua putranya. F
“Sayang … kok kamu ngomong gitu?” tanya Fakhri.Aina tidak menjawab, malah kini yang berganti menundukkan kepala. Dia paham hanya wanita kedua yang datang ke hati Fakhri. Meski pada akhirnya Fakhri lebih memilihnya, tapi setidaknya ada kenangan indah antara Fakhri dan Wulan.“Aku sama sekali gak bermaksud akan membahas ke arah sana. Aku sudah tidak mencintainya. Aku hanya sekedar memberitahumu mengenai keadaan Wulan.” Fakhri menambahkan kalimatnya dan terkesan sedang membuat pembelaan.Aina menghela napas panjang sambil mengangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan netra coklat Fakhri dan terdiam untuk beberapa saat.“Aku juga sama sekali gak masalah jika kamu mengenang momen dengannya. Dia cinta pertamamu, bagaimanapun ada kenangan indah antara kamu dan dia. Bisa jadi itu yang membuatmu melankolis seperti ini.”Suara Aina terdengar datar, tidak tertangkap dia sedang sedih apalagi cemburu. Hanya saja Fakhri
“Sialan!! Bangsat!! Jadi kamu yang menyebabkan kecelakaanku?” sergah Wulan.Damar tersenyum sambil berdiri menjauh dari sisi brankar. Wajah Wulan sudah merah padam dengan bunyi gigi yang saling beradu belum lagi tangannya yang sudah mengepal seakan hendak melayangkan sebuah pukulan ke Damar.“Kalau iya, kenapa? Kamu ingin membalasku, Wulan?”Tidak ada jawaban dari Wulan. Ia duduk bersandar ke bantal dengan dada kembang kempis mengolah amarah dan wajah yang semakin merah.“Bukankah kamu juga yang telah menabrakku tempo hari hingga membuatku tak berdaya.”Wulan membisu dan buru-buru memalingkan wajah.“Aku rasa kita sudah impas, Wulan. Aku akan mencabut gugatanku dan melupakan semua. Sayangnya, kamu tidak bisa melakukan hal yang sama seperti aku.”Wulan belum menjawab, tapi wajahnya sudah meredup bahkan tatapan matanya tampak sayu. Dengan sendu Wulan menatap kaki kanannya yang kini dibabat
“APA!!! Mama mau bunuh diri?” seru Devi.Amar yang duduk di sebelah Devi tampak terkejut. Tanpa banyak bertanya, ia langsung menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Fakhri lebih dulu. Fakhri yang berada di dalam mobil mengabaikannya. Bisa jadi Amar dan Devi punya kepentingan lain yang harus dilakukan.Selang beberapa saat Devi dan Amar sudah tiba di rumah sakit tempat Bu Vita dirawat. Wanita paruh baya itu tampak tergolek lemah di atas brankar dengan kedua pergelangan tangannya di babat perban.Devi baru saja dijelaskan oleh perawat yang bertugas jika Bu Vita berusaha mengakhiri hidupnya dengan menyayat pergelangan tangan menggunakan pecahan cermin di kamarnya. Bu Vita shock saat tahu kenyataan tentang Wulan.“Memangnya siapa yang memberitahu keadaan Kak Wulan ke Mama? Bukannya hanya kita yang diberitahu dokter,” gumam Devi.Ia seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. Amar yang berdiri di sebelahnya hanya diam sambil menatap Bu Vita dengan iba.“Sebenarnya beberapa saat yang lalu,