Share

Rencana Kecil Bella

Author: ikan kodok
last update Last Updated: 2021-09-29 21:37:03

Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (2)

****

 

 

Mobilku meninggalkan pekarangan rumah menuju jalan raya, aku menarik napas, lalu kuembuskan. Kuulangi lagi sampai gemuruh dalam dada berangsur reda.

Aku tidak boleh lemah. Ingat Bella, kamu bisa mandiri. Tanpa Faiz sekalipun kamu masih bisa bahagia. Ada Isna putrimu. Ini lah saatnya, kamu gunakan otakmu untuk melawan mereka, aku membatin dalam hati. 

Aku membelokkan mobil ke kiri, ini bukan waktunya meratapi nasib, karena semuanya belum berakhir. 

Sialan, siapa Clarissa itu, pasti tujuannya ingin menguasai harta Mas Faiz. Enak saja, aku yang menemaninya berjuang, wanita itu yang menikmati hasilnya. 

Kamu boleh berbangga karena telah berhasil merebut suamiku, tapi ini rumah dan hartaku. Tak akan kubiarkan siapa pun semena-mena. 

Aku turun dari mobil, berada di parkiran, menunggu Isna. 

Terik matahari mulai menyengat, tidak lama kemudian putri kecilku datang. 

“Mama ...”

Aku merentangkan kedua tangan, dan langsung memeluk Isna, berjongkok agar sejajar dengannya. 

“Bagaimana sayang? Hari ini menyenangkan?” Selalu kalimat itu yang kutanyakan lebih awal pada putriku, barulah pertanyaan lain. 

Gadis kecil berambut sebahu itu, mengangguk antusias. “Menyenangkan Mama, Isna belajar banyak. Isna tidak sabar, besok sekolah lagi,” katanya dengan mata berbinar-binar. 

Hatiku menghangat, melupakan sejenak masalah yang kualami hari ini. 

“Uuhh, kesayangan Mama, makin pintar yah. Ayo kita pulang.” Aku mengajak Isna kecilku pulang. Aku akan mengurus gugatan perceraianku besok, tidak akan meninggalkan rumah sampai apa yang kuinginkan tercapai. 

“Ayo Ma.” Isna menarik tanganku, kami berjalan memutari mobil. 

Tidak pa-pa Bella, semuanya akan baik-baik saja. Berulang kali aku menyakinkan diriku. 

Lekas aku membuka pintu mobil, lalu mengangkat tubuh Isna yang ringan ini, dan mendudukkannya di samping kemudi, tak lupa memasang sabuk pengaman untuknya.

“Kita pulang, makan siang, habis itu kamu istirahat,” ujarku. 

“Siap Ma,” jawabnya. 

Aku melangkah ke bagian kemudi, dan segera menyalakan mesin mobil. Roda empat ini melaju membelah jalan raya, bergabung dengan kendaraan lain yang lalu lalang. 

****

Pukul 1 siang aku baru sampai dirumah, aku tadi mampir sebentar untuk membeli keperluan Isna. 

Kupandangi rumah ini, rumah tanggaku boleh hancur. Tapi rumah ini tidak boleh jadi milik orang lain. 

“Mama itu mobil Papa, papa udah punya yah?” Tunjuk Isna pada mobil Mas Faiz. 

Aku menanggapinya dengan anggukan, lalu bergumam. “Nanti kalau udah masuk rumah, langsung ke kamar yah. Kamu tunggu Mama di kamar, oke, sayang,” ucapku sambil mengusap rambut Isna sayang. 

Pasti si jalang itu masih ada di rumah ini. Isna tidak boleh melihatnya, bagaimana pun caranya aku harus memberinya pelajaran, sampai ia tak berani lagi menginjak kakinya di rumahku. 

“Memangnya kenapa Ma? Isna mau ketemu Papa, Isna kangen Papa,” celetuknya. 

Mana mungkin anak sekecil ini akan mengerti, kalau Papa dan Mamanya tak seperti dulu lagi. 

“Ketemu Papa habis mandi yah, Sayang, biar wangi,” bujukku.

Isna tersenyum, ia begitu penurut. Kami akhirnya masuk  ke dalam rumah. 

Aku mengerakan bola mataku menyusuri sudut rumah ini, tidak ada Clarissa dan Mas Faiz. Apa jangan-jangan mereka ada di kamar kami. 

Ya Tuhan, tolong kuatkan aku. 

“Isna ke kamar ya sayang, nanti Mama susul, gak lama kok.” Aku membelai pipi putriku. Ia tidak membantah, melainkan langsung menuju kamarnya. 

Usai memastikan Isna benar-benar masuk kamar, lekas aku mencari keberadaan dua benalu ini. 

Saat melewati dapur, tatapan mataku langsung jatuh pada sosok wanita itu. Siapa lagi, kalau bukan selingkuhan Mas Faiz. 

Aku berdeham membuat Clarissa mengalihkan perhatian.

“Hai, Clarissa, di mana Mas Faiz?” tanyaku sekadar basa-basi, Clarissa menelan ludah. 

“Mbak Bella udah pulang?” tanyanya balik, aku tak butuh pertanyaan yang cenderung sok akrab. Yang kubutuhkan ia menderita dan enyah dari rumah ini. 

“Kalau sudah tahu saya ada di sini, kenapa tanya? Mana suami saya?” tekanku. 

Clarissa terlihat gugup, aku melihat semangkuk mie lengkap dengan topingnya tersaji di meja. Tidak sopan, tamu tapi berlagak sok jadi tuan rumah. 

“Mas Faiz ... Mas Faiz mandi Mbak,” jawabnya, tumben sekali ia mandi jam segini, arghh! Bodoh amat, aku tak ingin tahu apa yang sudah ia lakukan selama aku tak ada di rumah.

“Kamu itu yang bikin?” 

Seakan mengerti, Clarissa menjawab. “Bukan Mbak, Mas Faiz yang bikinin.” 

Muak, sangat muak, perhatian sekali Mas Faiz pada selingkuhannya. Nanti kalau suamiku bangkrut, apa mereka masih bisa bermesraan. 

“Ooh, terus kamu ngapain diam, Suami saya udah bikinin kamu makanan. Sekarang giliran kamu cuci dong perabotannya!” ketusku. 

Melihat mata Clarissa melebar, entah mengapa aku bahagia. 

“Maksudnya?”

“Kamu cukup tahu diri kan ada di sini. Kamu itu bukan siapa-siapa, jadi tolong jaga sikap. Cepat cuci, sekalian nanti meja ini kamu lap, terus kursinya kamu semprot pakai pembasmi hama, biar hamanya hilang,” ucapku. 

Dahi Clarissa mengerut, tangannya mengepal kuat. 

“Di sini enggak ada hama Mbak,”

“Sok tahu, memangnya kamu gak ngaca, kalau kamu itu hamanya.” 

Aku yakin, Clarissa makin kesal, ia nanti juga akan cari muka didepan suamiku. Atau tidak, semacam mengadu. 

“Sana, bersihkan. Tolong ya lain kali, tahu batasan. Kamu itu cuman selingkuhan, gak usah berharap dapat apa-apa. Karena saya, tidak akan membiarkan kamu menang.”

Wajah Clarissa makin merah, dadanya naik turun. Dengan kasar ia bangkit, dan berjalan ke arah wastafel. Tanpa menjawab ucapanku. 

Tak ingin buang waktu, aku mengeluarkan obat pencahar dalam tas, dan kumasukan pada semangkuk mie ini. Aku aduk rata agar tidak meninggalkan jejak. 

“Sayang gimana mie bikinan, Mas, enak?” tanya Mas Faiz yang tiba-tiba datang. 

Aku menoleh, lalu menyilang tanganku di dada. “Kamu, Bell, udah pulang. Mana Clarissa?”

Tanpa suara aku menunjuk keberadaan kekasihnya itu. 

“Kamu ngapain, Yang?” tanyanya. 

“Tadi Clarissa minta aku ajarin dia cuci piring Mas. Sekalian yah nanti kamu suruh dia cuci baju, itu di belakang ada pakai kotor kamu yang udah numpuk, sebagai calon istri yang baik, dia harus belajar dong.” Aku tersenyum manis melihat Clarissa lagi-lagi terkejut. 

“Cuci aja pakai mesin cuci,”

“Sayang banget mesinnya rusak,” ujarku. 

Clarissa hendak menolak, tapi Mas Faiz keburu membenarkan. “Benar itu sayang, bagus kalau gitu. Mas gak salah pilih istri,” tutur Mas Faiz. 

Aku beralih menatap semangkuk mie. “Mending kamu makan dulu deh mienya Clarissa, kalau dingin kan enggak enak,” 

Clarissa tak berkutik, Mas Faiz membimbingnya duduk. Sekalian kalian berdua makan, biar sama-sama merasakannya. 

Clarissa memakan mie dengan lahap, jelas dong, Mas Faiz yang menyuapinya. Sesekali Mas Faiz juga ikut makan. 

Sekarang saatnya eksekusi rencana selanjutnya, memberantas habis uang Mas Faiz. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Putri
Hajar Suami kunyuk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Main Pelan, Tapi Cantik

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (3) ***“Kamu yakin, Bell. Aku bisa bantu panggil Pak RT dan kumpulin warga sekitar, untuk datangi rumahmu?” tanya Tasha lagi, ia merupakan sahabat dekatku, kami kenal sudah lama. Bukannya aku tidak mau, dirumah ini ada anak kecil, Isna. Ia sedang tidur siang. Aku lebih takut kesehatan mental anakku terganggu, dari pada kehilangan Mas Faiz. Ia segalanya bagiku. “Ga usah, Sha. Aku takutnya nanti viral, kamu kan tahu sendiri, jejak digital itu kejam. Aku gak mau sampai anakku dijauhi teman-temannya, atau apa pun itu.” Aku mencoba memberi Tasha pengertian. Kalau banyak warga datang ke sini, apalagi jika keributan terjadi di depan putriku, itu bisa berdampak buruk bagi kesehatan mentalnya. Bisa jadi meninggalkan bekas yang menempel di ingatannya. “Iya juga sih Bell, dirumah ada Isna, terus gimana dong? Kamu mau diam aja di gituin, Faiz?” tanya Tasha, nada bicaranya terdengar gergetan. Aku mendengus kasar, lalu bergumam. “Aku masih bisa melawan, Sha. Ke

    Last Updated : 2021-09-29
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kedatangan Fahmi

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (4)***“Ma, tadi Papa sama siapa?” tanya Isna, aku yang sedang menyisir rambut putriku pun tertegun. “Yang mana, sayang?”“Tante tadi loh Ma, Isna lihat kok, Papa turun dari tangga gandengan sama Tante itu,” lanjut Isna, ia menoleh menatap wajahku. Aku dilanda kebingungan, tidak tahu harus menjelaskan apa pada putri sematang wayangku ini. Mengingat usia Isna yang masih terlalu kecil untuk mengerti urusan orang dewasa. Aku lantas mengusap rambut Isna, kembali menyisir rambutnya, kemudian kuikat menjadi satu.“Kita turun yuk, makan malam,” kataku mengalihkan topik pembicaraan. Gadis kecil itu mengangguk, aku segera menggendongnya, membawanya keluar dari kamar. “Ma, Papa kok belum pulang? Kita makan berdua lagi?” tanya Isna, rangkaian kejadian yang terputar dibenakku seketika berhamburan, gegas aku kembali mengumpulkan kesadaran, menyudahi lamunan yang tak ada ujungnya. Aku beralih menatap wajah sendu putriku, lalu berujar. “Nanti Papa pulang yah s

    Last Updated : 2021-09-29
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kerja Sama

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (5)****“Faiz selingkuh?” tanyanya menyelidik.Aku menganggukan kepala, membenarkan pertanyaan itu.“Iya, Mas Faiz selingkuh. Simpananya baru saja ke sini, mereka menjalin hubungan entah berapa bulan,” jawabku sambil memainkan kuku.Aku menunduk, tidak yakin jika beradu tatapan dengan Kak Fahmi.“Kamu yakin?” tanyanya memastikan. Oh ayolah, kalau tidak bisa memahami posisiku. Setidaknya berhenti bertanya ini-itu.Ia ini bertanya, apa sedang menjelaskan ...“Apa aku terlihat seperti bicara omong kosong. Terserah Kak Fahmi mau perca

    Last Updated : 2021-09-29
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kuras ATM-nya

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (6) *** Pukul 9 malam Mas Faiz baru pulang, ia menanyakan keberadaan Isna, lantaran saat memeriksa kamar putrinya, Isna tidak ada di sana. “Tadi Kak Fahmi datang ke sini, Isna ikut sama dia ke rumah Mama,” jawabku. Mas Faiz mengangguk, tidak ada pembicaraan lagi. Pria berbalut kemeja polos tersebut akhirnya bangkit dari sofa. Ia berjalan menaiki tangga menuju kamar kami. Ini saatnya, Bella. Jangan ulur waktu lagi, jeritku dalam hati. Aku sudah pasang target untuk malam ini, akan menguras uang yang ada di ATMnya. Tidak akan kubiarkan Clarissa, atau sundel itu mendapatkan apa yang ia inginkan. Sudah cukup ia merebut suamiku, selebihnya tidak akan kubiarkan. Bella Putri Saphira tidak akan menyerah sampai tujuannya selesai. Aku buru-buru berjalan ke dapur, membuatkan Mas Faiz teh yang asapnya masih mengepul. Kumasukkan obat tidur pada secangkir teh

    Last Updated : 2021-09-29
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Hatimu Terlalu Keras, Mas!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (7)***Keesokan paginya, aku sengaja tak membuatkan Mas Faiz sarapan, atau menyuguhkan secangkir kopi seperti biasanya.Tidak pula menyiapkan setelan kantor, atau apa pun itu yang berkaitan dengannya. Mulai hari ini dan seterusnya, aku harus membiasakan diri hidup tanpa dirinya, membatasi interaksi yang terjadi di antara kami berdua.Membuktikan kalau kehilangannya, tidak membuatku terpuruk. Waktu terus berjalan, masa tidak bisa lagi diulang. Hanya cukup jadi pelajaran, jika bersama tidak menjamin kesetiaan.Kalau Mas Faiz bisa berubah tanpa memikirkan perasaanku. Kenapa aku tidak bisa berubah tanpa memikirkan perasannya?Kamu membawa Clarissa kemarin, itu berarti hubungan kita sudah tak sehat mulai kemarin, tuturku dalam hati.Aku sibuk berdandan, memoles riasan tipis pada wajahku.“Mana kemejaku, hari

    Last Updated : 2021-09-29
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Menjemput Isna

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (8)****Aku tiba di rumah mertuaku sekitar pukul 9 pagi, setelah menempuh perjalanan lebih dari setengah jam.Buru-buru aku mematikan mesin kendaraan roda empat ini, menyambar tas, kemudian membuka pintu, dan menutupnya kembali.Gegas aku berjalan ke rumah mertuaku, mengetuk pintu. Dan menunggu seseorang menyambut kedatanganku.Tok ... Tok ...Aku kembali mengetuk pintu rumah Mama, setelah dirasa tidak ada respon dari sang pemilik rumah.Dua menit berlalu, baru lah gagang pintu nampak diputar.“Bella,” sapa Mama sumrigah.Aku lekas memeluk tubuh mertuaku, menahan diri agar tidak menceritakan perihal kelakuan bejat anaknya.

    Last Updated : 2021-10-07
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Sakit Hati Boleh, Goblok, Jangan!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (9)****Siang itu aku baru sampai di rumah Mama, Isna masih tidur pulas, tidak terganggu dengar suara kebisingan.Aku menutup pintu mobil, membiarkan Kak Fahmi yang mengambil alih Isna, menggendongnya, dan membawa putri kecilku masuk ke dalam rumah.“Bella.” Mama menerjang tubuhku dengan sebuah pelukan hangat, kubalas pelukan itu tak kalah erat. Jauh dari lubuk hatiku ini, aku butuh seorang penopang.“Loh kok gak ngabarin Mama sih kalau mau ke sini, Eeh, Fahmi ... Cucu omah udah tidur, kamu bawa ke kamarnya,” kata Mama pada Kak Fahmi.Pria itu menurut, aku menunjukkan kamar Isna yang ada di rumah Mama. “Naik tangga, belok kiri, kamar paling ujung,” instruksiku.

    Last Updated : 2021-10-07
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kartu Atm Dibawa Bella

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (10)****POV Faiz.“Gimana ini Mas? Kamu bayar pakai apa? Aku mau dress itu, tas itu juga. Aku mau semuanya,” ujar Clarissa. Saat ini kami sedang berada di pusat perbelanjaan.“Kamu sabar dulu, ini Mas coba hubungi Bella lagi,” jawabku memintanya tenang, sudah cukup Clarissa merengek. Bukannya membantuku mencari solusi, malah memancing emosiku saja.Aku mengumpat dalam hati, sedari tadi aku kelimpungan mencari kartu ATMku yang tidak ada di dompet. Tahunya di bawa Bella. Mana ia tidak mau di ajak kompromi. Seenaknya sendiri.Sial, di tolak lagi. Ini udah keenam kalinya aku menghubungi Bella. Sederet pesan pun turut aku kiri

    Last Updated : 2021-10-07

Latest chapter

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai    Ekstra Part (Penyesalan Yang Membelenggu)

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (36)****POV Faiz.Kematian Bang Fahmi setidaknya menjadi momok tersendiri bagiku. Gara-gara kejadian itu, aku kini harus mendekam di penjara. Menjalani hukuman selama 6 tahun. Belum lagi, Mama dan Papa yang enggan bicara padaku.Harusnya Bella yang bertemu ajalnya. Bukannya saudaraku. Argh sialan, lagi-lagi aku yang harus menanggung getahnya. Kenapa selalu aku yang ketipan sial.Ada sedikit rasa bersalah yang membayangi pikiran, harusnya aku tidak melakukannya. Tapi apa boleh buat, nasi sudah terlanjur jadi bubur. Rencana yang kususun matang-matang ternyata dicium oleh Bang Fahmi. Ia datang di saat pisau itu hampir menancap pada perut Bella, alhasil pisau yang telah kulumuri racun tersebut jus

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Ekstra part (Merindu)

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (35)****Dua bulan kemudian ....Tak terasa sudah dua bulan sejak kepergian Kak Fahmi, suasana duka masih menyelimuti kami. Sedangkan Mas Faiz, pria itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.Ia divonis 6 tahun penjara, sidangnya berlangsung kemarin bersama dengan Clarissa. Wanita itu juga terbukti merencanakan pembunuhan padaku.Mobil berhenti di TPU, seminggu sekali Isna mengajakku datang ke sini. Gadis kecil yang kini genap berusia 6 tahun itu, sudah tahu kalau Om Fahmi, yang tak lain adalah Papanya sendiri. Ayah biologisnya, pria yang dulu menemaninya bermain, membelikannya boneka, dan terkadang membacakannya dongeng sebelum tidur. Rasanya sakit, mengingat jika raga itu kini telah menyatu dengan tanah.

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Ending (Dia Telah Pergi)

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (34) **** Lima detik berlalu, aku tak juga merasakan apa pun. Kuintip sedikit dari celah jari, dan tatapan mataku langsung jatuh pada pisau yang kini sudah berlumuran darah. Kalau bukan aku, siapa yang Mas Faiz tusuk? Detak jantungku menggila, aku menyingkirkan telapak tangan yang menutupi mataku. Dan melihat apa yang sebenarnya telah terjadi. "Kak Fahmi." Aku memekik kecil, pria itu tersenyum tipis sambil memegangi perutnya. Bibirnya terlihat pucat, belum lagi kaos yang ia kenakan kotor lantaran noda darah. "Abang ..."

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kejadian Menegangkan!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (33)****Sudah lima hari berlalu, dan hari ini sidang perceraianku dengan Mas Faiz berlangsung.Ku mendengar hakim sudah mengetuk palu, pertanda kami sudah resmi bercerai baik secara agama maupun negara, di sebelahku nampak ia duduk termenung.Tak terasa sudah 5 tahun berjalan, tahun ini pernikahan yang kami bina kandas."Selesai, akhirnya aku bisa bernapas lega," gumamku sambil mengulas senyum. Ada kalanya hubungan menemukan titik akhir, saat di mana tidak ada cinta di dalamnya. Saat di mana pondasi itu telah hancur menyisakan luka yang mendalam.Darinya aku bela

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Dua Ego

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (32)****Sejak Kak Fahmi sadar, Isna semakin lengket dengannya. Ia terus memeluk lengan kekar itu, sambil berceloteh. Aku bahkan tidak dibiarkan masuk, meski sekedar menanyakan kondisinya.Aku menghirup oksigen melalui rongga hidung. Mengintip dari celah pintu interaksi mereka. Syukur isak tangis putriku sudah reda."Om makasih yah, udah nolongin Isna. Om jangan benci Papa, Papa kayak gitu karena Mama selingkuh."Perkataan Isna membuatku terkejut. Serasa ada ribuan paku yang kini menancap di dada ini. Apa yang telah Mas Faiz katakan pada Isna, sampai rasa benci yang semula tak pernah tumbuh, kini berkeliaran dalam benak gadis kecilku."Selingkuh?"&

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kebencian Itu Telah Tumbuh!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (31)****Di tengah perjalanan menuju perusahaan Kak Fahmi, tiba-tiba saja ponselku berdering. Lekas aku merogohnya dari dalam tas, dan melihat nama siapa yang tertera di sana.Apa ada masalah? Kenapa Papa meneleponku?Tanpa pikir panjang aku mengusap tombol berwarna hijau, lalu mendekatkan benda pipih ini pada telingaku."Bell, kamu di mana sekarang?" tanya Papa."Di jalan Pa, memangnya ada apa?""Hallo Pa, Papa baik-baik saja kan?"Aku menoleh kearah Pak Nathan, sebelah alis pria itu terangkat. Menandakan ia bingung, sama sepertiku."Papa baik-baik saja Bell,

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   "Awas, Kamu, Bell!"

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (30)****“Itu koper anak saya jangan sampai ketinggalan, sofanya juga kamu angkat. Sekalian meja kacanya, awas jangan sampai pecah.” Aku mewanti-wanti kedua pria yang sedang mengangkat barang-barang di rumah ini, membawanya menuju truk yang ada di halaman depan. Aku tidak menyangka, Papa akan mengirim orang-orang ini untuk mempermudah misiku.Awalnya aku hanya mau mengambil beberapa barang saja, tapi kala melihat mereka datang. Semuanya berubah. Kalau bisa ambil semuanya, kenapa harus setengah-setengah. Itu lah kenapa aku berubah pikiran.“Ini juga Pak?” tanya Pak Soman yang diangguki oleh Pak Nathan.Aku melempar tatapan ke arah tangga, sepertinya Mas Faiz tidak terganggu dengan suara keributan di sini. Baiklah, akan kukeraskan suaraku hingga beberapa oktaf, sampai ia terjaga dan syok dengan semua ini. “Iya itu

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Misi Mendepakmu!

    Maaf,Mas, Aku Memilih Bercerai (29) Menjelang sore aku baru tiba di rumah Mama Diah. Tanpa pikir panjang, aku turun dari taksi, meninggalkan Mama yang kuminta menungguku di dalam. “Eeh, Neng Bella, pasti mau jemput Non Isna?” tanya Pak Mamang saat membukakanku gerbang. Aku menganggukkan kepala. “Iya Mang,” jawabku sembari tersenyum. “Silakan masuk Neng, tadi Non Isna habis main sama Bi Siti, mungkin sekarang lagi makan,” jelas Pak Mamang. “Aku masuk dulu yah Mang?” Tanpa mendengar jawaban Pak Mamang. Aku melesat masuk ke dalam rumah, tidak kujumpai Mama Diah saat aku melewati ruang tamu. Apa mungkin dia dan suaminya belum pulang? “Isna ...” Aku mengedarkan pandangan ke penjuru tempat, sambil memanggil nama putriku. “Bibi, Isna punya boneka besar, tapi di rumah Omah. Kapan-kapan Isna bawa ke sini yah, kita main bareng.” Samar-samar aku mendengar suaranya. Buru-

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Ketika Seseorang Mati Rasa

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (28)****POV Bella.“Isna gak mungkin anak Kak Fahmi ... Kapan kita melakukannya?!” hardikku, kakiku yang bagai jeli ini perlahan bangkit, dengan gontai aku mendekati Kak Fahmi.“Jawab aku, Kak! Aku butuh jawaban! Isna bukan anakmu kan? dia anak Mas faiz kan? Bagaimana bisa? Kapan kita melakukannya! Katakan!” teriakku keras, letupan kecil dalam dada sudah menjalar sampai kepala. Kak Fahmi melengos, tarikan napas berat lagi-lagi ia ambil.Dia bergeming, diamnya serasa menggerogoti jantungku. Aku menarik ujung kemejanya, kemudian memukulnya, aku tidak tahu harus berbuat apa? Aku hancur, hatiku sakit mendengar pengakuannya, kenyataan apa lagi ini?Belum usai masalahku dengan Mas Faiz, kini aku dihadapkan kenyataan buruk yang tak kalah menyakitkan. Kenapa aku dikelilingi orang-orang yang tak punya hati dan perasaan. Bagaimana bisa aku m

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status