Beranda / Romansa / Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai / Kehadiran Duri Dalam Rumah Tanggaku

Share

Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai
Penulis: ikan kodok

Kehadiran Duri Dalam Rumah Tanggaku

Penulis: ikan kodok
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-29 21:33:15

Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai

 

****

Mas Faiz pulang bersama seorang wanita, ia memperkenalkan wanita itu padaku, dan mengatakan akan menikahinya. Namanya, Clarissa, entah dari masa asalnya, yang jelas aku tidak perduli. 

“Kamu duduk ya sayang, Mas tinggal sebentar,” katanya pada wanita itu, ia mengangguk dan mendaratkan bokongnya di sofa rumahku. 

Waw, di depanku, ia bahkan memanggil jal*ngnya itu sayang!

Entah sudah berapa bulan mereka menjalin hubungan, intinya kalau sudah berani mendua, tidak ada kata bertahan.

“Ayo!” serunya sambil mencekal pergelangan tanganku, Mas Faiz membawaku menuju kamar kami, beruntung Isna, putri kami belum pulang dari taman kanak-kanak. 

Aku menyentak kasar tangan Mas Faiz, ia membanting pintu. “Kamu itu yah, Clarissa datang baik-baik, harusnya kamu senyum kek atau gimana, suguhkan teh atau apa, bukannya datar kayak tiplek!” marahnya, waaoo, pelaku selalu bertindak seperti korban.

Mana bisa seorang istri bersikap sok manis pada selingkuhan suaminya. 

Aku menyilang tangan di dada, letupan api yang mengalir sampai kepala hendak meledak, aku mengatur napas, menghelanya kasar, dan menghembuskannya secara bersama.

“Terus kamu maunya apa? Aku layani dia! Bisa-bisanya kamu selingkuhi aku, sudah berapa bulan kamu jalanin hubungan sama dia?” tanyaku gregetan, tidak ada hujan, tidak ada badai, ia datang bersama selingkuhannya. 

Mas Faiz menyugar rambutnya kebelakang, aku mendengar bunyi giginya yang gemeletuk. 

“Gak usah banyak tanya! Aku selingkuh juga karena kamu gak becus! Udah ya aku nggak mau bertengkar, Clarissa akan jadi adik madumu. Setuju atau enggaknya kamu, aku bakalan nikahi dia.” Hatiku mencelos, mataku membulat sempurna, debaran jantungku mendadak berhenti.

Oke kalau itu pilihanmu Mas, aku juga punya pilihan sendiri. 

“Silakan kalau kamu mau menikah lagi, tapi tolong, kamu ceraikan aku,” ucapku menatapnya tajam, tidak ada gunanya aku mempertahankan rumah tangga ini, jangan paksa aku menetap, jika pergi aku lega. Akan aku lakukan. 

Mas Faiz tertawa keras, “Dasar  bod*h, gampang banget mulutmu minta pisah, aku turuti, kamu jadi gelandangan dijalan. Mau kerja apa kamu, sadar diri dong! kerjaanmu itu cuman nyusahin suami doang.” 

Rasa kagetku kian bertambah, 5 tahun aku menikah dengannya baru kali ini ia menghinaku secara gamblang. Aku istrinya, orang yang menemaninya jatuh bangun, jadi ini balasannya kala ia sudah sukses. 

“Aku bisa cari uang sendiri! Rezeki datang dari Allah, pasti ada jalannya,” ketusku tak mau kalah. 

Aku berdiri di depan Mas Faiz, jari telunjuknya itu mengarah kepadaku. “Cuman wanita yang gak tahu diri kayak kamu, yang nggak bersyukur, masih untung aku pertahankan kamu, Bella. Kamu terima Clarissa apa susahnya! Toh aku juga bakalan adil sama kalian berdua,” tekannya sekali lagi. 

Tidak! 

Keputusanku tetap sama, mau ia mengatakan aku ini-itu, aku tidak perduli. Siapa Clarissa?! Dari mana ia kenal wanita itu? Persetan, bukan urusanku lagi. 

“Enak banget kamu tinggal ngomong gitu! Kalau bukan aku yang mikirin perasaanku? Lalu siapa? Kamu?! 

Jadi tolong, kalau kamu tetap dengan keputusanmu, maka aku tetap dengan keputusanku!” tuturku penuh penekanan.

Sorot mata Mas Faiz kian tajam, wajahnya merah padam, napas kami memburu tanpa kata. 

“Gak usah drama kamu, Bella! Sudah pandai kamu sampai jadi pembangkang, kamu cukup terima keadaan, kamu bersikap baik ke Clarissa, semua selesai. Gak ada kata pisah di antara kita.” Aku menggeleng, tidak puas dengan jawabannya. Ia bicara begitu karena tidak ada di posisiku sekarang. 

Ini sebuah kejutan darinya, tadi ia pamit hendak ke kantor, tak lama kemudian, ia pulang dengan gundiknya ke sini. Dan ia menyuruhku menerima keputusannya, hello, tidak akan pernah. 

“Aku tetap dengan keputusanku. Kita cerai!”

“Kamu jangan egois, gak tahu diri banget. Istri macam apa kamu, cuman di madu aja kamu udah berani teriak ke suami!” 

Mas Faiz mencengkeram daguku, namun secepat kilat aku menepisnya. 

“Aku bukan wanita lemah, Mas, kalau aku bisa melawan, kenapa aku harus diam?! Jangan kamu pikir aku selama ini lemah lembut, gak pernah membantah, dan menurut kamu bisa semena-mena. Hidup cuman sekali, aku gak mau mempersulit hidupku dengan bertahan sama kamu,” cerocosku panjang lebar. 

Tangan Mas Faiz menggantung di udara, telapak tangan kasar itu sudah terbaca olehku. Pasti Jal*ng sialan itu lah yang telah mencuci pikirannya. 

Aku dengan sigap menepis tangannya. “Besok aku akan daftarkan gugatan perceraian kita, mau atau enggaknya kamu, intinya aku muak dengan seorang pengkhianat.” Aku berkata tanpa melepas tatapan mataku padanya.

“Istri gak berguna! Silakan, kamu coba. Bisa apa kamu, kerjaanmu cuman makan, masak, palingan juga kamu jadi babu,” kekehnya, wajahnya itu dihiasi guratan angkuh. 

Rasa kekecewaan dihatiku sudah berbalut luka. Ia lupa? Tapi tidak masalah, aku akan memberinya kejutan yang membuatnya jantungan. 

Aku tersenyum kecut, lalu mengusap tanganku. 

Sebuah tamparan keras mendarat mulus di pipinya. 

Plak!

“Itu tamparan atas pengkhianatan kamu selama ini, aku bisa saja menamparmu ribuan kali, tapi itu percuma. Kita lihat saja, siapa yang akan hancur duluan. Biasanya yang berulah lah yang akan didatangi karma lebih awal!” 

Mas Faiz membeku kala aku membisikan kata itu. 

“Coba saja, dan aku pastikan kamu akan datang padaku, dan bertekuk lutut.”

Satu nilai plus untuknya, terlalu percaya diri. 

“Kalau itu terjadi. Bagaimana jika terbalik? Kamu yang akan mencariku, dan sayangnya aku sudah tak lagi membutuhkanmu lelaki sepertimu,” ujarku. 

Tanpa pikir panjang lagi, aku meninggalkannya di kamar. Aku akan menjemput Isna, putriku. 

 

****

“Terima kasih, karena kamu, saya tahu mana yang pantas dipertahankan, dan mana yang cocok di buang.” Aku berucap pada Clarissa yang duduk di sofa, ia nampak menelan ludahnya. 

“Mbak ...”

“Gak usah Mbak-mbak an, saya tidak mau berkata banyak. Tolong, nanti kamu bersihkan sofa bekas kamu duduk, karena sofa saya terlalu mahal untuk di duduki barang murahan, mengerti!” berangku datar. 

Ia melongo, aku yakin dalam hati wanita ini mengumpati. 

Aku mengedikan bahu acuh, lalu melengos pergi. 

Jangan harap kamu bisa menikmati uang suamiku, Clarissa. Cukup mainnya, tanpa kamu sadari, kamu telah membangunkan singa yang tertidur. 

 

 

****

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
kamu telah membangunkan singa tidur yg lg kelaparan...
goodnovel comment avatar
Sahnaz Hutomo
awal yg seru..sy senang dgn wanita yg tidak lemah..,,
goodnovel comment avatar
Rainie Ray
baru mula baca aku udah kesal dgn watak lelaki dlm cerita ini...ko bisa ya egois banget..gak mikirin perasaan isteri langsung..apa isteri yg gak punya karir langsung gak berguna ya..lelaki yg punya pikiran seperti itu lebih baik buang jauh² otaknya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Rencana Kecil Bella

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (2) **** Mobilku meninggalkan pekarangan rumah menuju jalan raya, aku menarik napas, lalu kuembuskan. Kuulangi lagi sampai gemuruh dalam dada berangsur reda. Aku tidak boleh lemah. Ingat Bella, kamu bisa mandiri. Tanpa Faiz sekalipun kamu masih bisa bahagia. Ada Isna putrimu. Ini lah saatnya, kamu gunakan otakmu untuk melawan mereka, aku membatin dalam hati. Aku membelokkan mobil ke kiri, ini bukan waktunya meratapi nasib, karena semuanya belum berakhir. Sialan, siapa Clarissa itu, pasti tujuannya ingin menguasai harta Mas Faiz. Enak saja, aku yang menemaninya berjuang, wanita itu yang menikmati hasilnya. Kamu boleh berbangga karena telah berhasil merebut suamiku, tapi ini rumah dan hartaku. Tak akan kubiarkan siapa pun semena-mena. Aku turun dari mobil, berada di parkiran, menunggu Isna. Terik matahari mulai menyengat, tidak lama kemudian putri kecilku datang. “Mama ...” Aku merentangkan kedua tangan, dan langsung memeluk Isna, berjon

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-29
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Main Pelan, Tapi Cantik

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (3) ***“Kamu yakin, Bell. Aku bisa bantu panggil Pak RT dan kumpulin warga sekitar, untuk datangi rumahmu?” tanya Tasha lagi, ia merupakan sahabat dekatku, kami kenal sudah lama. Bukannya aku tidak mau, dirumah ini ada anak kecil, Isna. Ia sedang tidur siang. Aku lebih takut kesehatan mental anakku terganggu, dari pada kehilangan Mas Faiz. Ia segalanya bagiku. “Ga usah, Sha. Aku takutnya nanti viral, kamu kan tahu sendiri, jejak digital itu kejam. Aku gak mau sampai anakku dijauhi teman-temannya, atau apa pun itu.” Aku mencoba memberi Tasha pengertian. Kalau banyak warga datang ke sini, apalagi jika keributan terjadi di depan putriku, itu bisa berdampak buruk bagi kesehatan mentalnya. Bisa jadi meninggalkan bekas yang menempel di ingatannya. “Iya juga sih Bell, dirumah ada Isna, terus gimana dong? Kamu mau diam aja di gituin, Faiz?” tanya Tasha, nada bicaranya terdengar gergetan. Aku mendengus kasar, lalu bergumam. “Aku masih bisa melawan, Sha. Ke

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-29
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kedatangan Fahmi

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (4)***“Ma, tadi Papa sama siapa?” tanya Isna, aku yang sedang menyisir rambut putriku pun tertegun. “Yang mana, sayang?”“Tante tadi loh Ma, Isna lihat kok, Papa turun dari tangga gandengan sama Tante itu,” lanjut Isna, ia menoleh menatap wajahku. Aku dilanda kebingungan, tidak tahu harus menjelaskan apa pada putri sematang wayangku ini. Mengingat usia Isna yang masih terlalu kecil untuk mengerti urusan orang dewasa. Aku lantas mengusap rambut Isna, kembali menyisir rambutnya, kemudian kuikat menjadi satu.“Kita turun yuk, makan malam,” kataku mengalihkan topik pembicaraan. Gadis kecil itu mengangguk, aku segera menggendongnya, membawanya keluar dari kamar. “Ma, Papa kok belum pulang? Kita makan berdua lagi?” tanya Isna, rangkaian kejadian yang terputar dibenakku seketika berhamburan, gegas aku kembali mengumpulkan kesadaran, menyudahi lamunan yang tak ada ujungnya. Aku beralih menatap wajah sendu putriku, lalu berujar. “Nanti Papa pulang yah s

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-29
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kerja Sama

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (5)****“Faiz selingkuh?” tanyanya menyelidik.Aku menganggukan kepala, membenarkan pertanyaan itu.“Iya, Mas Faiz selingkuh. Simpananya baru saja ke sini, mereka menjalin hubungan entah berapa bulan,” jawabku sambil memainkan kuku.Aku menunduk, tidak yakin jika beradu tatapan dengan Kak Fahmi.“Kamu yakin?” tanyanya memastikan. Oh ayolah, kalau tidak bisa memahami posisiku. Setidaknya berhenti bertanya ini-itu.Ia ini bertanya, apa sedang menjelaskan ...“Apa aku terlihat seperti bicara omong kosong. Terserah Kak Fahmi mau perca

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-29
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kuras ATM-nya

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (6) *** Pukul 9 malam Mas Faiz baru pulang, ia menanyakan keberadaan Isna, lantaran saat memeriksa kamar putrinya, Isna tidak ada di sana. “Tadi Kak Fahmi datang ke sini, Isna ikut sama dia ke rumah Mama,” jawabku. Mas Faiz mengangguk, tidak ada pembicaraan lagi. Pria berbalut kemeja polos tersebut akhirnya bangkit dari sofa. Ia berjalan menaiki tangga menuju kamar kami. Ini saatnya, Bella. Jangan ulur waktu lagi, jeritku dalam hati. Aku sudah pasang target untuk malam ini, akan menguras uang yang ada di ATMnya. Tidak akan kubiarkan Clarissa, atau sundel itu mendapatkan apa yang ia inginkan. Sudah cukup ia merebut suamiku, selebihnya tidak akan kubiarkan. Bella Putri Saphira tidak akan menyerah sampai tujuannya selesai. Aku buru-buru berjalan ke dapur, membuatkan Mas Faiz teh yang asapnya masih mengepul. Kumasukkan obat tidur pada secangkir teh

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-29
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Hatimu Terlalu Keras, Mas!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (7)***Keesokan paginya, aku sengaja tak membuatkan Mas Faiz sarapan, atau menyuguhkan secangkir kopi seperti biasanya.Tidak pula menyiapkan setelan kantor, atau apa pun itu yang berkaitan dengannya. Mulai hari ini dan seterusnya, aku harus membiasakan diri hidup tanpa dirinya, membatasi interaksi yang terjadi di antara kami berdua.Membuktikan kalau kehilangannya, tidak membuatku terpuruk. Waktu terus berjalan, masa tidak bisa lagi diulang. Hanya cukup jadi pelajaran, jika bersama tidak menjamin kesetiaan.Kalau Mas Faiz bisa berubah tanpa memikirkan perasaanku. Kenapa aku tidak bisa berubah tanpa memikirkan perasannya?Kamu membawa Clarissa kemarin, itu berarti hubungan kita sudah tak sehat mulai kemarin, tuturku dalam hati.Aku sibuk berdandan, memoles riasan tipis pada wajahku.“Mana kemejaku, hari

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-29
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Menjemput Isna

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (8)****Aku tiba di rumah mertuaku sekitar pukul 9 pagi, setelah menempuh perjalanan lebih dari setengah jam.Buru-buru aku mematikan mesin kendaraan roda empat ini, menyambar tas, kemudian membuka pintu, dan menutupnya kembali.Gegas aku berjalan ke rumah mertuaku, mengetuk pintu. Dan menunggu seseorang menyambut kedatanganku.Tok ... Tok ...Aku kembali mengetuk pintu rumah Mama, setelah dirasa tidak ada respon dari sang pemilik rumah.Dua menit berlalu, baru lah gagang pintu nampak diputar.“Bella,” sapa Mama sumrigah.Aku lekas memeluk tubuh mertuaku, menahan diri agar tidak menceritakan perihal kelakuan bejat anaknya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Sakit Hati Boleh, Goblok, Jangan!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (9)****Siang itu aku baru sampai di rumah Mama, Isna masih tidur pulas, tidak terganggu dengar suara kebisingan.Aku menutup pintu mobil, membiarkan Kak Fahmi yang mengambil alih Isna, menggendongnya, dan membawa putri kecilku masuk ke dalam rumah.“Bella.” Mama menerjang tubuhku dengan sebuah pelukan hangat, kubalas pelukan itu tak kalah erat. Jauh dari lubuk hatiku ini, aku butuh seorang penopang.“Loh kok gak ngabarin Mama sih kalau mau ke sini, Eeh, Fahmi ... Cucu omah udah tidur, kamu bawa ke kamarnya,” kata Mama pada Kak Fahmi.Pria itu menurut, aku menunjukkan kamar Isna yang ada di rumah Mama. “Naik tangga, belok kiri, kamar paling ujung,” instruksiku.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07

Bab terbaru

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai    Ekstra Part (Penyesalan Yang Membelenggu)

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (36)****POV Faiz.Kematian Bang Fahmi setidaknya menjadi momok tersendiri bagiku. Gara-gara kejadian itu, aku kini harus mendekam di penjara. Menjalani hukuman selama 6 tahun. Belum lagi, Mama dan Papa yang enggan bicara padaku.Harusnya Bella yang bertemu ajalnya. Bukannya saudaraku. Argh sialan, lagi-lagi aku yang harus menanggung getahnya. Kenapa selalu aku yang ketipan sial.Ada sedikit rasa bersalah yang membayangi pikiran, harusnya aku tidak melakukannya. Tapi apa boleh buat, nasi sudah terlanjur jadi bubur. Rencana yang kususun matang-matang ternyata dicium oleh Bang Fahmi. Ia datang di saat pisau itu hampir menancap pada perut Bella, alhasil pisau yang telah kulumuri racun tersebut jus

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Ekstra part (Merindu)

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (35)****Dua bulan kemudian ....Tak terasa sudah dua bulan sejak kepergian Kak Fahmi, suasana duka masih menyelimuti kami. Sedangkan Mas Faiz, pria itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.Ia divonis 6 tahun penjara, sidangnya berlangsung kemarin bersama dengan Clarissa. Wanita itu juga terbukti merencanakan pembunuhan padaku.Mobil berhenti di TPU, seminggu sekali Isna mengajakku datang ke sini. Gadis kecil yang kini genap berusia 6 tahun itu, sudah tahu kalau Om Fahmi, yang tak lain adalah Papanya sendiri. Ayah biologisnya, pria yang dulu menemaninya bermain, membelikannya boneka, dan terkadang membacakannya dongeng sebelum tidur. Rasanya sakit, mengingat jika raga itu kini telah menyatu dengan tanah.

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Ending (Dia Telah Pergi)

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (34) **** Lima detik berlalu, aku tak juga merasakan apa pun. Kuintip sedikit dari celah jari, dan tatapan mataku langsung jatuh pada pisau yang kini sudah berlumuran darah. Kalau bukan aku, siapa yang Mas Faiz tusuk? Detak jantungku menggila, aku menyingkirkan telapak tangan yang menutupi mataku. Dan melihat apa yang sebenarnya telah terjadi. "Kak Fahmi." Aku memekik kecil, pria itu tersenyum tipis sambil memegangi perutnya. Bibirnya terlihat pucat, belum lagi kaos yang ia kenakan kotor lantaran noda darah. "Abang ..."

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kejadian Menegangkan!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (33)****Sudah lima hari berlalu, dan hari ini sidang perceraianku dengan Mas Faiz berlangsung.Ku mendengar hakim sudah mengetuk palu, pertanda kami sudah resmi bercerai baik secara agama maupun negara, di sebelahku nampak ia duduk termenung.Tak terasa sudah 5 tahun berjalan, tahun ini pernikahan yang kami bina kandas."Selesai, akhirnya aku bisa bernapas lega," gumamku sambil mengulas senyum. Ada kalanya hubungan menemukan titik akhir, saat di mana tidak ada cinta di dalamnya. Saat di mana pondasi itu telah hancur menyisakan luka yang mendalam.Darinya aku bela

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Dua Ego

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (32)****Sejak Kak Fahmi sadar, Isna semakin lengket dengannya. Ia terus memeluk lengan kekar itu, sambil berceloteh. Aku bahkan tidak dibiarkan masuk, meski sekedar menanyakan kondisinya.Aku menghirup oksigen melalui rongga hidung. Mengintip dari celah pintu interaksi mereka. Syukur isak tangis putriku sudah reda."Om makasih yah, udah nolongin Isna. Om jangan benci Papa, Papa kayak gitu karena Mama selingkuh."Perkataan Isna membuatku terkejut. Serasa ada ribuan paku yang kini menancap di dada ini. Apa yang telah Mas Faiz katakan pada Isna, sampai rasa benci yang semula tak pernah tumbuh, kini berkeliaran dalam benak gadis kecilku."Selingkuh?"&

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kebencian Itu Telah Tumbuh!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (31)****Di tengah perjalanan menuju perusahaan Kak Fahmi, tiba-tiba saja ponselku berdering. Lekas aku merogohnya dari dalam tas, dan melihat nama siapa yang tertera di sana.Apa ada masalah? Kenapa Papa meneleponku?Tanpa pikir panjang aku mengusap tombol berwarna hijau, lalu mendekatkan benda pipih ini pada telingaku."Bell, kamu di mana sekarang?" tanya Papa."Di jalan Pa, memangnya ada apa?""Hallo Pa, Papa baik-baik saja kan?"Aku menoleh kearah Pak Nathan, sebelah alis pria itu terangkat. Menandakan ia bingung, sama sepertiku."Papa baik-baik saja Bell,

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   "Awas, Kamu, Bell!"

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (30)****“Itu koper anak saya jangan sampai ketinggalan, sofanya juga kamu angkat. Sekalian meja kacanya, awas jangan sampai pecah.” Aku mewanti-wanti kedua pria yang sedang mengangkat barang-barang di rumah ini, membawanya menuju truk yang ada di halaman depan. Aku tidak menyangka, Papa akan mengirim orang-orang ini untuk mempermudah misiku.Awalnya aku hanya mau mengambil beberapa barang saja, tapi kala melihat mereka datang. Semuanya berubah. Kalau bisa ambil semuanya, kenapa harus setengah-setengah. Itu lah kenapa aku berubah pikiran.“Ini juga Pak?” tanya Pak Soman yang diangguki oleh Pak Nathan.Aku melempar tatapan ke arah tangga, sepertinya Mas Faiz tidak terganggu dengan suara keributan di sini. Baiklah, akan kukeraskan suaraku hingga beberapa oktaf, sampai ia terjaga dan syok dengan semua ini. “Iya itu

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Misi Mendepakmu!

    Maaf,Mas, Aku Memilih Bercerai (29) Menjelang sore aku baru tiba di rumah Mama Diah. Tanpa pikir panjang, aku turun dari taksi, meninggalkan Mama yang kuminta menungguku di dalam. “Eeh, Neng Bella, pasti mau jemput Non Isna?” tanya Pak Mamang saat membukakanku gerbang. Aku menganggukkan kepala. “Iya Mang,” jawabku sembari tersenyum. “Silakan masuk Neng, tadi Non Isna habis main sama Bi Siti, mungkin sekarang lagi makan,” jelas Pak Mamang. “Aku masuk dulu yah Mang?” Tanpa mendengar jawaban Pak Mamang. Aku melesat masuk ke dalam rumah, tidak kujumpai Mama Diah saat aku melewati ruang tamu. Apa mungkin dia dan suaminya belum pulang? “Isna ...” Aku mengedarkan pandangan ke penjuru tempat, sambil memanggil nama putriku. “Bibi, Isna punya boneka besar, tapi di rumah Omah. Kapan-kapan Isna bawa ke sini yah, kita main bareng.” Samar-samar aku mendengar suaranya. Buru-

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Ketika Seseorang Mati Rasa

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (28)****POV Bella.“Isna gak mungkin anak Kak Fahmi ... Kapan kita melakukannya?!” hardikku, kakiku yang bagai jeli ini perlahan bangkit, dengan gontai aku mendekati Kak Fahmi.“Jawab aku, Kak! Aku butuh jawaban! Isna bukan anakmu kan? dia anak Mas faiz kan? Bagaimana bisa? Kapan kita melakukannya! Katakan!” teriakku keras, letupan kecil dalam dada sudah menjalar sampai kepala. Kak Fahmi melengos, tarikan napas berat lagi-lagi ia ambil.Dia bergeming, diamnya serasa menggerogoti jantungku. Aku menarik ujung kemejanya, kemudian memukulnya, aku tidak tahu harus berbuat apa? Aku hancur, hatiku sakit mendengar pengakuannya, kenyataan apa lagi ini?Belum usai masalahku dengan Mas Faiz, kini aku dihadapkan kenyataan buruk yang tak kalah menyakitkan. Kenapa aku dikelilingi orang-orang yang tak punya hati dan perasaan. Bagaimana bisa aku m

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status