Share

Kedatangan Fahmi

Author: ikan kodok
last update Last Updated: 2021-09-29 21:39:54

Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (4)

***

“Ma, tadi Papa sama siapa?” tanya Isna, aku yang sedang menyisir rambut putriku pun tertegun. 

“Yang mana, sayang?”

“Tante tadi loh Ma, Isna lihat kok, Papa turun dari tangga gandengan sama Tante itu,” lanjut Isna, ia menoleh menatap wajahku. 

Aku dilanda kebingungan, tidak tahu harus menjelaskan apa pada putri sematang wayangku ini. Mengingat usia Isna yang masih terlalu kecil untuk mengerti urusan orang dewasa. 

Aku lantas mengusap rambut Isna, kembali menyisir rambutnya, kemudian kuikat menjadi satu.

“Kita turun yuk, makan malam,” kataku mengalihkan topik pembicaraan. 

Gadis kecil itu mengangguk, aku segera menggendongnya, membawanya keluar dari kamar. 

“Ma, Papa kok belum pulang? Kita makan berdua lagi?” tanya Isna, rangkaian kejadian yang terputar dibenakku seketika berhamburan, gegas aku kembali mengumpulkan kesadaran, menyudahi lamunan yang tak ada ujungnya. 

Aku beralih menatap wajah sendu putriku, lalu berujar. “Nanti Papa pulang yah sayang, kamu makan dulu sama Mama yah,” tuturku memberinya pengertian. 

Lagi-lagi Isna mengangguk, gadis berlesung pipi itu tak bisa berbohong, ada kerinduan yang tersimpan untuk Mas Faiz. Mungkin saja Isna menyadari, bahwa akhir-akhir ini Papanya sering melewatkan makan malam bersama. 

Isna menerima suapan dariku, ia mengunyahnya pelan, sambil sesekali bercerita tentang harinya bersekolah.

Aku mendengarnya dengan seksama, sesekali menanggapi apa saja yang putriku ceritakan. Untuk sesaat Ibu satu anak ini melupakan masalahnya, melihat putrinya kembali ceria adalah kebahagiaan tak terkira. 

“Mama kapan kita ke rumah Omah?” tanya Isna di sela ia mengunyah makanan. 

“Kapan yah, Minggu depan gimana,” jawabku. 

“Sama Papa kan perginya?” tanyanya lagi. 

Aku mengangguk, lalu kembali menyuapinya. 

“Iya, ke rumah Omah sama Papa,” jawabku. 

Takdir tak pernah bertanya, seseorang akan siap atau tidak. Takdir tak pernah berbicara, meski hanya sekedar menanyakan kabar. Takdir tidak pernah perduli seseorang akan menerima atau menolaknya, karena pada kenyataannya, takdir tetap terjadi. 

Di sini aku meringis, tidak terbayang kalau akan diselingkuhi seperti ini. Pernikahan yang sudah berjalan 5 tahun itu kini diambang kehancuran.  

Hanya ada dua pilihan, menetap atau pergi. Dan keputusanku masih sama. Aku memilih mengakhiri, dari pada harus merawat luka setiap hari. 

Tiba-tiba suara Bel rumah berbunyi, aku yang sibuk dengan kegiatanku, menyuapi putriku pun terhenti.

Aku mengusap lembut bibir Isna, di sana masih ada bekas nasi yang tertinggal. Lalu memintanya menunggu sebentar. 

“Ada tamu sayang, kamu tunggu di sini sebentar. Mama mau buka pintu,”  tuturku.

Isna tersenyum, ia merebut sendok dari tanganku. “Sini Ma, biar Isna makan sendiri,” katanya. 

Maafkan Mama nak, nanti kamu akan mengerti, dan semoga hanya Mama saja yang merasakan ini. Aku membatin dalam hati. 

Melihat putriku makan dengan lahap, tanpa sadar menarik lengkungan tipis dibibirku. Aku berbalik badan, berderap meninggalkan meja makan menuju pintu utama. 

****

Aku membuka pintu pelan, melihat siapa yang datang. 

Kak Fahmi? Ada perlu apa ia datang ke sini?

“Faiz nya ada?” tanya Kak Fahmi, ia kakak iparku yang otomatis kakaknya Mas Faiz. 

Aku menggelengkan kepala, lalu membuka lebar pintu. 

“Gak ada Kak, Mas Faiz belum pulang.”

Nampak Kak Fahmi terhenyak, ia rada terkejut dengan jawabanku. 

“Belum pulang? Jam segini?” tanyanya memastikan, ia melempar tatapan matanya ke arah jam yang melingkar di tangannya. 

“Iya Kak, mari masuk.”

Aku mempersilahkan Kak Fahmi masuk, ia mengangguk kecil. 

Aku kembali menutup pintu usai Kak Fahmi duduk di sofa ruang tamu. 

“Mana Isna?”

“Lagi makan Kak,” jawabku. 

Rasa canggung menyelimuti kami, aku ikutan mendaratkan pantatku di sana. Menanyakan alasannya mencari suamiku.

“Oya Kak, ada perlu apa sama Mas Faiz?” 

Kak Fahmi menarik napas, ia menyatukan tangannya. 

“Ini mau ambil berkas yang kemarin saya titipkan ke Faiz, bisa tolong kamu ambilkan, Bel. Kata Faiz ada di laci kamar,” papar Kak Fahmi. 

“Ommmm!” teriak Isna, aku menoleh kearahnya. Nampak putri kecilku berlari menghampiri Kak Fahmi. 

“Jangan lari, nanti jatuh,” peringatku. 

Isna tak menanggapinya, ia berhambur memeluk Kak Fahmi, melingkarkan kedua tangan mungilnya itu pada leher Kak Fahmi. 

“Apa kabar kecil?” tanya Kak Fahmi, Isna memanyunkan bibirnya. Ia sekarang sudah duduk di pangkuan Kak Fahmi. 

“Baik, Om jangan panggil Isna kecil dong, Isna udah besar, Om ngerti,” marahnya. 

Kak Fahmi menaikturunkan alisnya yang tebal, ia mencubit pipi Isna gemas. 

“Ooh, udah besar yah. Kemarin masih sering nangis,”

“Kata siapa, Isna gak pernah nangis kok. Coba Om tanya Mama, Isna udah besar tahu.”

Aku tersenyum melihat interaksi yang  ada di depanku ini. Tanpa kata aku beranjak dari sofa. “Aku ke atas dulu yah Kak, ambil berkas yang kak Fahmi maksud, Isna jangan nakal,” pamitku. 

Kak Fahmi hanya mengangguk sekilas, segera aku pergi ke kamar, menaiki anak tangga dengan langkah panjang. 

****

Aku kembali ke ruang tamu setelah menemukan berkas milik Kak Fahmi. Aku melihatnya sedang bermain dengan Isna, kadang menanggapi celotehan putriku. 

Sesaat tatapan mata kami bertemu, aku menelan ludah kasar, menyadari sorot mata Iparku seperti sedang menahan amarah. 

Dengan gugup aku mendekat, menaruh map berwarna biru tersebut ke meja. 

“Itu yang kakak cari?” tanyaku sembari menunjukan berkas yang ia maksud. Kak Fahmi masih sama, tatapan matanya makin tajam dan mengintimidasi. 

“Bella, bisa kita bicara sebentar.”

Menghela napas, lalu membuangnya kasar, itu lah yang kulakukan sekarang. 

“Soal apa yah Kak?”

“Perempuan yang tadi datang ke sini, seperti yang Isna ceritakan.” Aku menengok langsung ke arah putriku, ia nampak mendapatkan mainan baru dari Kak Fahmi. 

“Sayang kamu main sendiri yah, Mama mau ngomong dulu sama Om Fahmi,”

“Iya Ma,” jawabnya. 

Aku mengikuti Kak Fahmi keluar rumah, meski tak bisa kupungkiri, benak ini di isi oleh berbagai pernyataan. 

Ada apa ini? Jangan-jangan yang mengirim pesan pada Clarissa itu Kak Fahmi? Dan Isna, menceritakan perempuan yang datang ke sini bersama Mas Faiz?

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Tidak baik dalam kerja samanya
goodnovel comment avatar
Putri
kerjasama yang tak enak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kerja Sama

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (5)****“Faiz selingkuh?” tanyanya menyelidik.Aku menganggukan kepala, membenarkan pertanyaan itu.“Iya, Mas Faiz selingkuh. Simpananya baru saja ke sini, mereka menjalin hubungan entah berapa bulan,” jawabku sambil memainkan kuku.Aku menunduk, tidak yakin jika beradu tatapan dengan Kak Fahmi.“Kamu yakin?” tanyanya memastikan. Oh ayolah, kalau tidak bisa memahami posisiku. Setidaknya berhenti bertanya ini-itu.Ia ini bertanya, apa sedang menjelaskan ...“Apa aku terlihat seperti bicara omong kosong. Terserah Kak Fahmi mau perca

    Last Updated : 2021-09-29
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kuras ATM-nya

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (6) *** Pukul 9 malam Mas Faiz baru pulang, ia menanyakan keberadaan Isna, lantaran saat memeriksa kamar putrinya, Isna tidak ada di sana. “Tadi Kak Fahmi datang ke sini, Isna ikut sama dia ke rumah Mama,” jawabku. Mas Faiz mengangguk, tidak ada pembicaraan lagi. Pria berbalut kemeja polos tersebut akhirnya bangkit dari sofa. Ia berjalan menaiki tangga menuju kamar kami. Ini saatnya, Bella. Jangan ulur waktu lagi, jeritku dalam hati. Aku sudah pasang target untuk malam ini, akan menguras uang yang ada di ATMnya. Tidak akan kubiarkan Clarissa, atau sundel itu mendapatkan apa yang ia inginkan. Sudah cukup ia merebut suamiku, selebihnya tidak akan kubiarkan. Bella Putri Saphira tidak akan menyerah sampai tujuannya selesai. Aku buru-buru berjalan ke dapur, membuatkan Mas Faiz teh yang asapnya masih mengepul. Kumasukkan obat tidur pada secangkir teh

    Last Updated : 2021-09-29
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Hatimu Terlalu Keras, Mas!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (7)***Keesokan paginya, aku sengaja tak membuatkan Mas Faiz sarapan, atau menyuguhkan secangkir kopi seperti biasanya.Tidak pula menyiapkan setelan kantor, atau apa pun itu yang berkaitan dengannya. Mulai hari ini dan seterusnya, aku harus membiasakan diri hidup tanpa dirinya, membatasi interaksi yang terjadi di antara kami berdua.Membuktikan kalau kehilangannya, tidak membuatku terpuruk. Waktu terus berjalan, masa tidak bisa lagi diulang. Hanya cukup jadi pelajaran, jika bersama tidak menjamin kesetiaan.Kalau Mas Faiz bisa berubah tanpa memikirkan perasaanku. Kenapa aku tidak bisa berubah tanpa memikirkan perasannya?Kamu membawa Clarissa kemarin, itu berarti hubungan kita sudah tak sehat mulai kemarin, tuturku dalam hati.Aku sibuk berdandan, memoles riasan tipis pada wajahku.“Mana kemejaku, hari

    Last Updated : 2021-09-29
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Menjemput Isna

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (8)****Aku tiba di rumah mertuaku sekitar pukul 9 pagi, setelah menempuh perjalanan lebih dari setengah jam.Buru-buru aku mematikan mesin kendaraan roda empat ini, menyambar tas, kemudian membuka pintu, dan menutupnya kembali.Gegas aku berjalan ke rumah mertuaku, mengetuk pintu. Dan menunggu seseorang menyambut kedatanganku.Tok ... Tok ...Aku kembali mengetuk pintu rumah Mama, setelah dirasa tidak ada respon dari sang pemilik rumah.Dua menit berlalu, baru lah gagang pintu nampak diputar.“Bella,” sapa Mama sumrigah.Aku lekas memeluk tubuh mertuaku, menahan diri agar tidak menceritakan perihal kelakuan bejat anaknya.

    Last Updated : 2021-10-07
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Sakit Hati Boleh, Goblok, Jangan!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (9)****Siang itu aku baru sampai di rumah Mama, Isna masih tidur pulas, tidak terganggu dengar suara kebisingan.Aku menutup pintu mobil, membiarkan Kak Fahmi yang mengambil alih Isna, menggendongnya, dan membawa putri kecilku masuk ke dalam rumah.“Bella.” Mama menerjang tubuhku dengan sebuah pelukan hangat, kubalas pelukan itu tak kalah erat. Jauh dari lubuk hatiku ini, aku butuh seorang penopang.“Loh kok gak ngabarin Mama sih kalau mau ke sini, Eeh, Fahmi ... Cucu omah udah tidur, kamu bawa ke kamarnya,” kata Mama pada Kak Fahmi.Pria itu menurut, aku menunjukkan kamar Isna yang ada di rumah Mama. “Naik tangga, belok kiri, kamar paling ujung,” instruksiku.

    Last Updated : 2021-10-07
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kartu Atm Dibawa Bella

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (10)****POV Faiz.“Gimana ini Mas? Kamu bayar pakai apa? Aku mau dress itu, tas itu juga. Aku mau semuanya,” ujar Clarissa. Saat ini kami sedang berada di pusat perbelanjaan.“Kamu sabar dulu, ini Mas coba hubungi Bella lagi,” jawabku memintanya tenang, sudah cukup Clarissa merengek. Bukannya membantuku mencari solusi, malah memancing emosiku saja.Aku mengumpat dalam hati, sedari tadi aku kelimpungan mencari kartu ATMku yang tidak ada di dompet. Tahunya di bawa Bella. Mana ia tidak mau di ajak kompromi. Seenaknya sendiri.Sial, di tolak lagi. Ini udah keenam kalinya aku menghubungi Bella. Sederet pesan pun turut aku kiri

    Last Updated : 2021-10-07
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kekesalan!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (11)****“Ma, tadi Bella kerumah Mama gak?” tanyaku pada Mama, aku berinteraksi padanya melalui sambungan telepon.Memastikan terlebih dahulu, sebelum pergi ke rumah Mama.“Tadi sih ke sini, jemput Isna. Tapi udah pamit pulang,” jawab Mama.Diliputi rasa khawatir, helaan napas berat kuambil, takutnya Bella menceritakan semuanya pada Mama.Aku menoleh ke arah Clarissa, ia meneguk segelas air putih.“Bella, ada bicara sesuatu sama Mama?” tanyaku berdiri tegang.

    Last Updated : 2021-10-07
  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Jatuh Dalam Pesonanya

    Maaf Mas, Aku Memilih Bercerai (12)****Satu jam mengendarai mobil, kami akhirnya tiba di puncak. Dan langsung mencari keberadaan Bella. Menanyakan pada orang-orang sekitar, namun, tidak ada yang melihatnya.Kalau Bella tidak ada di sini, lantas dimana ia sekarang? Benar-benar membuat orang pusing tujuh keliling.“Huft, aku capek banget, Mas. Apa jangan-jangan kita salah datang ke sini,” ketus Clarissa.Ia berjongkok, mengatur napasnya yang memburu.“Salah bagaimana? Ini kita di puncak sekarang, ayo cari Bella,” ucapku menyuruhnya bangun.Clarissa mengulurkan tangan, lekas aku menerimanya. Membantunya berdiri, lalu merapikan rambutnya.

    Last Updated : 2021-10-07

Latest chapter

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai    Ekstra Part (Penyesalan Yang Membelenggu)

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (36)****POV Faiz.Kematian Bang Fahmi setidaknya menjadi momok tersendiri bagiku. Gara-gara kejadian itu, aku kini harus mendekam di penjara. Menjalani hukuman selama 6 tahun. Belum lagi, Mama dan Papa yang enggan bicara padaku.Harusnya Bella yang bertemu ajalnya. Bukannya saudaraku. Argh sialan, lagi-lagi aku yang harus menanggung getahnya. Kenapa selalu aku yang ketipan sial.Ada sedikit rasa bersalah yang membayangi pikiran, harusnya aku tidak melakukannya. Tapi apa boleh buat, nasi sudah terlanjur jadi bubur. Rencana yang kususun matang-matang ternyata dicium oleh Bang Fahmi. Ia datang di saat pisau itu hampir menancap pada perut Bella, alhasil pisau yang telah kulumuri racun tersebut jus

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Ekstra part (Merindu)

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (35)****Dua bulan kemudian ....Tak terasa sudah dua bulan sejak kepergian Kak Fahmi, suasana duka masih menyelimuti kami. Sedangkan Mas Faiz, pria itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.Ia divonis 6 tahun penjara, sidangnya berlangsung kemarin bersama dengan Clarissa. Wanita itu juga terbukti merencanakan pembunuhan padaku.Mobil berhenti di TPU, seminggu sekali Isna mengajakku datang ke sini. Gadis kecil yang kini genap berusia 6 tahun itu, sudah tahu kalau Om Fahmi, yang tak lain adalah Papanya sendiri. Ayah biologisnya, pria yang dulu menemaninya bermain, membelikannya boneka, dan terkadang membacakannya dongeng sebelum tidur. Rasanya sakit, mengingat jika raga itu kini telah menyatu dengan tanah.

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Ending (Dia Telah Pergi)

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (34) **** Lima detik berlalu, aku tak juga merasakan apa pun. Kuintip sedikit dari celah jari, dan tatapan mataku langsung jatuh pada pisau yang kini sudah berlumuran darah. Kalau bukan aku, siapa yang Mas Faiz tusuk? Detak jantungku menggila, aku menyingkirkan telapak tangan yang menutupi mataku. Dan melihat apa yang sebenarnya telah terjadi. "Kak Fahmi." Aku memekik kecil, pria itu tersenyum tipis sambil memegangi perutnya. Bibirnya terlihat pucat, belum lagi kaos yang ia kenakan kotor lantaran noda darah. "Abang ..."

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kejadian Menegangkan!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (33)****Sudah lima hari berlalu, dan hari ini sidang perceraianku dengan Mas Faiz berlangsung.Ku mendengar hakim sudah mengetuk palu, pertanda kami sudah resmi bercerai baik secara agama maupun negara, di sebelahku nampak ia duduk termenung.Tak terasa sudah 5 tahun berjalan, tahun ini pernikahan yang kami bina kandas."Selesai, akhirnya aku bisa bernapas lega," gumamku sambil mengulas senyum. Ada kalanya hubungan menemukan titik akhir, saat di mana tidak ada cinta di dalamnya. Saat di mana pondasi itu telah hancur menyisakan luka yang mendalam.Darinya aku bela

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Dua Ego

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (32)****Sejak Kak Fahmi sadar, Isna semakin lengket dengannya. Ia terus memeluk lengan kekar itu, sambil berceloteh. Aku bahkan tidak dibiarkan masuk, meski sekedar menanyakan kondisinya.Aku menghirup oksigen melalui rongga hidung. Mengintip dari celah pintu interaksi mereka. Syukur isak tangis putriku sudah reda."Om makasih yah, udah nolongin Isna. Om jangan benci Papa, Papa kayak gitu karena Mama selingkuh."Perkataan Isna membuatku terkejut. Serasa ada ribuan paku yang kini menancap di dada ini. Apa yang telah Mas Faiz katakan pada Isna, sampai rasa benci yang semula tak pernah tumbuh, kini berkeliaran dalam benak gadis kecilku."Selingkuh?"&

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Kebencian Itu Telah Tumbuh!

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (31)****Di tengah perjalanan menuju perusahaan Kak Fahmi, tiba-tiba saja ponselku berdering. Lekas aku merogohnya dari dalam tas, dan melihat nama siapa yang tertera di sana.Apa ada masalah? Kenapa Papa meneleponku?Tanpa pikir panjang aku mengusap tombol berwarna hijau, lalu mendekatkan benda pipih ini pada telingaku."Bell, kamu di mana sekarang?" tanya Papa."Di jalan Pa, memangnya ada apa?""Hallo Pa, Papa baik-baik saja kan?"Aku menoleh kearah Pak Nathan, sebelah alis pria itu terangkat. Menandakan ia bingung, sama sepertiku."Papa baik-baik saja Bell,

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   "Awas, Kamu, Bell!"

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (30)****“Itu koper anak saya jangan sampai ketinggalan, sofanya juga kamu angkat. Sekalian meja kacanya, awas jangan sampai pecah.” Aku mewanti-wanti kedua pria yang sedang mengangkat barang-barang di rumah ini, membawanya menuju truk yang ada di halaman depan. Aku tidak menyangka, Papa akan mengirim orang-orang ini untuk mempermudah misiku.Awalnya aku hanya mau mengambil beberapa barang saja, tapi kala melihat mereka datang. Semuanya berubah. Kalau bisa ambil semuanya, kenapa harus setengah-setengah. Itu lah kenapa aku berubah pikiran.“Ini juga Pak?” tanya Pak Soman yang diangguki oleh Pak Nathan.Aku melempar tatapan ke arah tangga, sepertinya Mas Faiz tidak terganggu dengan suara keributan di sini. Baiklah, akan kukeraskan suaraku hingga beberapa oktaf, sampai ia terjaga dan syok dengan semua ini. “Iya itu

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Misi Mendepakmu!

    Maaf,Mas, Aku Memilih Bercerai (29) Menjelang sore aku baru tiba di rumah Mama Diah. Tanpa pikir panjang, aku turun dari taksi, meninggalkan Mama yang kuminta menungguku di dalam. “Eeh, Neng Bella, pasti mau jemput Non Isna?” tanya Pak Mamang saat membukakanku gerbang. Aku menganggukkan kepala. “Iya Mang,” jawabku sembari tersenyum. “Silakan masuk Neng, tadi Non Isna habis main sama Bi Siti, mungkin sekarang lagi makan,” jelas Pak Mamang. “Aku masuk dulu yah Mang?” Tanpa mendengar jawaban Pak Mamang. Aku melesat masuk ke dalam rumah, tidak kujumpai Mama Diah saat aku melewati ruang tamu. Apa mungkin dia dan suaminya belum pulang? “Isna ...” Aku mengedarkan pandangan ke penjuru tempat, sambil memanggil nama putriku. “Bibi, Isna punya boneka besar, tapi di rumah Omah. Kapan-kapan Isna bawa ke sini yah, kita main bareng.” Samar-samar aku mendengar suaranya. Buru-

  • Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai   Ketika Seseorang Mati Rasa

    Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai (28)****POV Bella.“Isna gak mungkin anak Kak Fahmi ... Kapan kita melakukannya?!” hardikku, kakiku yang bagai jeli ini perlahan bangkit, dengan gontai aku mendekati Kak Fahmi.“Jawab aku, Kak! Aku butuh jawaban! Isna bukan anakmu kan? dia anak Mas faiz kan? Bagaimana bisa? Kapan kita melakukannya! Katakan!” teriakku keras, letupan kecil dalam dada sudah menjalar sampai kepala. Kak Fahmi melengos, tarikan napas berat lagi-lagi ia ambil.Dia bergeming, diamnya serasa menggerogoti jantungku. Aku menarik ujung kemejanya, kemudian memukulnya, aku tidak tahu harus berbuat apa? Aku hancur, hatiku sakit mendengar pengakuannya, kenyataan apa lagi ini?Belum usai masalahku dengan Mas Faiz, kini aku dihadapkan kenyataan buruk yang tak kalah menyakitkan. Kenapa aku dikelilingi orang-orang yang tak punya hati dan perasaan. Bagaimana bisa aku m

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status