Share

Bab 51

Penulis: Mami ice bear
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-07 21:46:47

“Mas, tolong ambilin popok, dong!” teriak wanita yang kini tengah duduk di atas ranjang.

“Mas! Kamu denger gak, sih?!”

Wanita itu kembali berteriak. Tak peduli jika posisinya sekarang tengah bersisian dengan bayi mungil yang masih terlelap. Hingga akhirnya ….

Lengkingan suara tangis bayi yang belum genap 100 hari itu, mampu memecah kesunyian yang ada di rumah bercat putih tersebut.

“Berisik!” teriak wanita paruh baya yang kini sudah berdiri sambil berkacak pinggang, tepat di ambang pintu kamar sang bayi.

“Kamu itu sebenernya becus ngurus bayi gak sih, Lis? Apa kamu gak sadar, kalo tangisan anakmu itu bikin sakit telinga tau gak!” Untaian kalimat pedas dilontarkan oleh wanita yang beberapa helai rambutnya mulai memutih itu.

Wanita berambut pirang yang tak lain adalah Lisa, istri dari Yogi, memutar mata malas saat mendengar ocehan sosok yang kini masih menatap tajam kepadanya. Hingga dengan nada nyinyir, Lisa menimpali ocehan lawan bicaranya itu. “Ibu jangan teriak-teriak dong! Tuh,
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mami ice bear
hallo, Kak Ruri
goodnovel comment avatar
Rurit Haqqu
lhuk....ngeri...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 52

    “Teganya Ibu mengatakan hal seperti itu pada makhluk yang bahkan tak bisa melawan Ibu!”“Ya! Tentu aku tega! Memang siapa dia, sampai aku tak tega melakukannya?” berang Jubaedah yang kini semakin menatap marah pada sang menantu. Dari sorot matanya saja, sudah bisa menggambarkan, sebesar apa kebencian Jubaedah pada anak Lisa. “Aarrghhh!” teriak Yogi frustasi. “Kalian ini benar-benar membuatku pusing, tau gak!”“Ribut aja terus kerjaannya!”Laki-laki itu mengayunkan langkah dengan rasa kesal yang membuncah. Bahkan suara tapak kaki yang sengaja dihentak-hentakkan, beradu dengan ubin lantai rumahnya. Yogi melangkah pergi meninggalkan dua wanita yang tak pernah tampak akur tersebut. “Entah apa salah dan dosaku. Cobaan selalu datang bertubi-tubi, kayaknya kok betah banget,” keluh Yogi lemas, sembari meninggalkan kamar sang istri dan memilih pergi ke teras rumahnya. Entah Tuhan memang sedang mengirimkan cobaan pada laki-laki 38 tahun tersebut. Atau memang Tuhan sedang mulai memberikan kar

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-09
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 53

    “Masuk kau! Dasar tak berguna!” “Lho … lho … pelan-pelan, Bu!”Bu Lastri terkejut, saat Jubaedah dengan kasar menarik lengan Lisa. Sementara istri dari Yogi tersebut tengah menggendong sang putri. Brak! Dengan keras Jubaedah menutup pintu utama rumah Yogi. Kemudian dengan kuat ia men-dorong tubuh sang menantu hingga terduduk di sofa ruang tamu, “Sudah kubilang, jangan sesekali kamu keluar rumah! Ngerti gak sih!”“Bu! Pelan-pelan! Aku lagi gendong Aurora!” Tanpa rasa takut, Lisa memprotes apa yang dilakukan oleh ibu mertuanya. “Perse-tan dengan kau dan anakmu itu! Aku mau kalian berdua pergi dari rumah ini sekarang juga!” bentak Jubaedah tak peduli. “Kau dan a-nak si-alanmu itu hanya akan mempermalukan keluargaku!”“Cukup!” Lisa tak lagi bisa menerima semua penghinaan yang dilayangkan Jubaedah setiap hari. “Apa kau tak ingat nenek tua?! Siapa yang merayuku untuk menjadi menantu keluarga ini. Sampai kau dan anak perempuanmu itu membuat skenario agar aku bisa segera menikah dengan Y

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-13
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 54

    “Breng-sek!” “Ups, maaf ya Ibu Mertua dan Kakak Ipar,” tukas Lisa santai, tanpa merasa bersalah sedikitpun. “Ingat, uang yang kalian pakai, sudah seharga rumah ini. Bahkan sertifikat rumah ini pun sudah ada di tanganku. Jadi, jika ada yang harus angkat kaki dari rumah ini. Itu bukan aku, melainkan kalian!” Sembari melenggang pergi, Lisa memberikan ancaman kecil kepada sang mertua dan juga kakak iparnya. Jubaedah dan Yessi pun sontak saling melirik dan sama-sama meneguk ludah kasar. Rahasia yang selama ini dijaga baik-baik, kini justru terkuak karena kesalahan mereka sendiri. “Katakan padaku, apa keuntungan dari ju-di on-line yang kalian lakukan?” tanya Yogi dengan nada datar. “Jawab aku, Bu!” bentak Yogi kemudian. Saat laki-laki itu tak mendapat jawaban apapun dari mulut ibu maupun kakak perempuannya. Hingga gelengan kepala dari Jubaedah menjawab pertanyaan Yogi. Membuat Yogi yang masih belum bisa meredam amarah yang memuncak, kembali murka. Mantan suami Devi i

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-15
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 55

    “Mas ….”“Ada apa ini? Siapa dia? Kenapa-”Sosok lain tiba-tiba memekik dari arah ruang tamu, tepat menghadap ke arah Yogi yang masih melakukan keme-sraan dengan sang istri. “Lho, kamu ….”Namun tiba-tiba, sosok asing itu justru mengatupkan bibir rapat-rapat. Kala melihat siapa dua orang yang masih terlihat intim tersebut. “Li-lisa,” ucapnya lirih dan tergagap. Tapi suaranya masih bisa didengar dengan baik oleh Yessi yang kini sudah ada di sisi kanannya. Mantan kakak ipar dari Devi tersebut tampak mengernyit heran, sebab dengan jelas ia mendengar sang suami menyebutkan nama adik ipar barunya. Meski dengan suara lirih dan terbata. “Kamu kenal wanita mu-rahan ini, Mas?” tanyanya penasaran. Hening! Tak ada sedikitpun jawaban yang diterima oleh Yessi, hingga dengan tak sabaran ia menarik lengan kanan suaminya tersebut. “Mas! Kamu denger aku ngomong gak sih!” sentak Yessi kasar. “Bukannya jawab, ini malah sibuk ngeliatin be-tina gatel ini!”“Mas Hans? Kok kamu disini, Sayang?”Mata k

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-28
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 56

    “Syukurlah pembukaan toko sejak kemarin sampai hari ini, berjalan dengan lancar.”“Iya, Bu. Semoga hari ini juga lancar seperti dua hari kemarin ya, Bu,” timpal sosok lain yang memakai setelan berwarna merah bata tersebut. Yang langsung kembali ditimpali oleh wanita cantik di hadapannya, “Aamiin, semoga saja ya, Put.“Saya izin ke belakang dulu ya, Bu,” ucapnya lagi.Ya! Hari ini, adalah hari ketiga pembukaan toko roti baru milik Sri Devi atau yang biasa dipanggil Devi, mantan istri Yogi. “Semoga ini adalah buah dari do’a dan kesabaran kami,” ungkap Devi lirih.Pada hari ini bukan hanya hari ketiga pembukaan toko milik Devi, melainkan juga hari dimana Devi dan Yogi genap satu tahun bercerai. Sejak sebelum bercerai dengan Yogi, Devi memang sudah lebih dulu bekerja sebagai freelancer perusahaan Arya. Hingga saat dirinya benar-benar sudah menyandang status janda, Devi akhirnya bekerja sebagai salah satu staff di kantor Arya.“Wah, tokomu boleh juga, Dev. Congrats yaa …”Tiba-tiba sebuah

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-30
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 57

    “Lebih baik pecat aja karyawan macam dia. Pemalas dan tak tau diri!”“Tolong jaga sikap Anda di sini, jika masih ingin dihargai layaknya seorang tamu,” ucap Siska yang tak suka dengan sikap yang ditunjukan oleh mantan ibu mertua dan kakak ipar Devi tersebut.Melihat reaksi yang ditunjukan oleh Siska, membuat Jubaedah dan Yessi seketika saling pandang. Mungkin mereka cukup heran, sebab upaya keduanya membuat nama Devi jelek di muka umum, kali ini gagal. “Biar saya aja yang melayani mereka, Put.”Tiba-tiba suara Devi terdengar, membuat Siska menoleh dengan tatapan heran. Srett!Siska menarik lengan Devi dengan cepat dan sedikit men-cekal lengan sang sahabat. Tatapan wanita berambut pendek itu tampak menakutkan. Ditambah dengan suara berbisik yang sengaja ditekan, menambah aura mencekam dari wanita yang masih memakai blazer hitam tersebut. “Kamu apa-apaan, sih?!”Devi menatap lekat manik mata Siska dan melepaskan cekalan tangan wanita itu secara perlahan. Dengan senyum mengembang, wani

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-31
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 58

    “Jadi gimana, Bu? Siapa yang mau bayar?”“Kalo gak bisa bayar jangan sok-sokan!” ucap salah satu pengunjung toko roti tersebut.Beberapa orang tampak mulai gelisah. Menunggu giliran untuk membayar di kasir. Namun, setelah ditunggu hingga beberapa waktu. Jubaedah dan Yessi justru masih saling menunjuk, siapa yang harus membayar. Tanpa ada tanda-tanda kapan masalah itu akan terselesaikan.“Bayar buruan, Bu!” Tanpa, menghiraukan beberapa pelanggan yang sudah menggerutu, Yessi masih bersikukuh meminta sang ibu untuk membayar. Namun, Jubaedah pun sebelas dua belas dengan sang anak. Dengan pendirian teguh dan sifat keras hatinya, Jubaedah tetap tak mau menuruti permintaan sang putri, “Kok Ibu, sih? Kamulah yang bayar!”“Ck! Kalo emang gak bisa bayar mending kalian minggir, deh!” Seorang ibu-ibu yang sudah habis kesabarannya, segera maju dan menyingkirkan ibu dan anak tersebut. “Kere tapi sok sugih! Gak punya duit tapi sok jadi nyonya!”Gerutuan ibu-ibu itu tentu jelas terdengar oleh Yessi

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-03
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 59

    “Kenapa diem, Bu?”Semua orang yang ada di toko itu sontak menoleh bersamaan. Pada sosok lain yang kini berdiri di ambang pintu masuk toko.“Li-Lisa …,” gumam Jubaedah pelan.Bukan hanya itu, bahkan kini wajah wanita paruh baya itu tampak pias dan memucat. Terlebih saat sosok yang ternyata adalah Lisa, istri dari Yogi, tampak memandang Jubaedah dan Yessi dengan tajam.“Kalian!” Hingga tak lama setelahnya, seorang ibu-ibu lainnya terlihat menyusul masuk ke dalam toko. Sembari membawa beberapa paper bag di tangannya. “Dasar cu-rut tak bertanggung jawab! Bisa-bisanya kalian meninggalkan belanjaan begitu saja. Kalo ilang, apa kalian yakin bisa menggantinya?!”Alis Devi bertaut menjadi satu. Ia bisa mengenali Lisa, tapi Devi tak mengenali sosok lain yang kini berdiri bersisian dengan istri dari mantan suaminya tersebut.“Apa Ibu masih menganggap Devi itu menantu Ibu? Begitu maksud Ibu, bukan?” Tanya Lisa pada Jubaedah yang kini berdiri mematung dengan keringat yang hampir membanjiri waja

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-04

Bab terbaru

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 90

    “Li-lisa?”Handoko tergagap, tubuhnya kaku. Berita yang baru saja dikatakan oleh Devi membuat dirinya tak bisa berfikir jernih. Hingga beberapa saat kemudian… “Kapan, Devi? Dan.. darimana kamu tau kabar itu?” ucap Handoko lagi. “Mas Handoko… beneran gak tau kabar terakhir Lisa?”Suara Devi lirih namun tegas, menusuk di antara deru langkah mereka di koridor rumah sakit.“Aku bahkan tak tau apa-apa, Devi.”Jawaban Handoko terdengar datar, hampir tak terdengar, namun ia menatap Devi dengan tatapan tajam. “Aku memang meninggalkan dia tadi pagi, tapi.. Saat itu dia masih…”“Soal itu…”Devi berhenti sejenak, menarik napas, seolah-olah menunggu kata-katanya diserap penuh oleh Handoko. “Dia baru saja ditemukan tidak bernyawa, sekitar satu jam lalu.”Handoko membeku. Sorot matanya berubah, seolah kata-kata Devi baru saja menghantamnya dengan kenyataan yang selama ini ia hindari. “Kamu serius?”Devi mengangguk pelan. “Aku

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 89

    “Kapan kejadiannya?” tanya Devi dengan nada khawatir. “Baru tadi sore, Mbak. Kemungkinan kami akan mengurusnya besok…” ucap seseorang dari seberang sana. Devi menganggukkan kepala, meski lawan bicaranya tak akan melihat apa yang ia lakukan. Sebuah ponsel masih menempel di telinga kanan Devi. Mantan istri dari Yogi tersebut tampak serius mendengarkan apa yang diucapkan oleh sosok nan jauh disana. “Kami bingung harus mengabari siapa dan kemana. Jadi, aku memutuskan mengabari Mbak Devi. Meski aku tau, mereka nggak ada sangkut pautnya dengan Mbak…”“Ya sudah tak apa,” ucap Devi, merespon lawan bicaranya. Namun, manik mata wanita itu tampak melirik sekilas ke arah mantan kakak iparnya. “Aku tak bisa menjanjikan apapun, tapi aku akan mengusahakannya. Aku tau apa yang bisa kulakukan.”“Makasih ya, sudah mengabariku,” imbuh Devi yang kemudian langsung dijawab oleh sosok di seberang sana. Berikutnya, wanita berambut panjang itu segera

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 88

    “A-apa? Siapa tadi namanya?”Devi tergagap, dan langsung menoleh ke arah Handoko. Ia tak ingin percaya dengan apa yang ia dengar. Akan tetapi.. “Dok, tolong katakan sekali lagi. Apakah tadi Anda mengatakan jika pasien di kamar ujung itu bernama Yessi?”Dokter tersebut menoleh seketika, wajahnya menunjukkan keengganan yang samar sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Benar. Beliau memang Yessi.”Devi nyaris limbung, sementara Handoko tak bisa mengalihkan pandangan dari dokter itu.“Kami ingin bertemu dokter yang merawatnya, apakah bisa?” kata Handoko, suaranya nyaris berbisik namun berisi kepastian yang tidak terbantahkan.Dokter tersebut menatap keduanya, lalu menghela nafas pendek. “Baiklah, saya akan mengatur agar kalian bisa berbicara dengannya. Semoga saja jadwal tidak terlalu padat.”“Tapi, apa kalian mengenal pasien itu?” Baru saja selesai mengatupkan mulutnya. Pria berjas putih tersebut kembali bersuara. Dan langsung dibalas anggukan kepala oleh Devi dan Handoko. Kemudian, Devi

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 87

    “Semoga Rossi baik-baik saja…”Gumaman Handoko terdengar lirih.Devi dan Handoko masih terdiam, duduk di bangku panjang ruang tunggu rumah sakit dengan pikiran berkecamuk. Mereka belum mendapat kabar dari dokter tentang kondisi Rossi, dan ketegangan di antara mereka semakin terasa. Suara bising dari pasien yang melintas, serta langkah-langkah terburu-buru para perawat yang sibuk, membuat suasana menjadi semakin menegangkan. Devi menatap lurus ke lantai, sementara Handoko memegang tangan Aurora dengan erat, berusaha mencari ketenangan.Seketika, sebuah suara dari ujung lorong menarik, lagi-lagi berhasil perhatian mereka. Suara erangan seorang wanita, kembali sangat jelas meski teredam dari balik pintu. Devi dan Handoko saling berpandangan, ekspresi bingung terlukis di wajah mereka.“Mas Handoko dengar suara itu?” bisik Devi, suaranya hampir tenggelam di antara suara lain di sekitarnya.Handoko mengangguk pelan. “Iya. Suaranya sangat k

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 86

    Devi merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tetesan keringat dingin mengalir di pelipisnya saat melihat Siska mendekat dengan wajah yang tak kalah tegang. Rossi, yang berada di ujung jembatan, tampak semakin tersudut, seperti seekor binatang yang siap menerkam siapa pun yang mendekat. Nafas Devi semakin berat, tetapi dia tetap berusaha menjaga suaranya tetap tenang, penuh tekad meski di dalam hatinya, dia dipenuhi kekhawatiran yang mendalam.“Siska, aku tak tahu lagi harus gimana,” ucap Devi dengan suara bergetar, berusaha keras untuk tidak memicu kepanikan di dalam dirinya. “Rossi makin sulit dikendalikan.”Siska mengangguk cepat, pandangannya tajam, meski jelas ada ketakutan di balik matanya. Dia lalu berjongkok beberapa meter dari tempat Rossi berdiri. Gerakannya sangat hati-hati, seperti sedang mendekati kaca yang siap pecah kapan saja.“Rossi, dengerin Tante. Kita semua di sini buat kamu,” kata Siska pelan, berusaha menenangkan. “Kami n

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 85

    Rossi berlari secepat mungkin, kakinya menjejak tanah keras di halaman yang sempit. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tapi yang jelas gadis itu benar-benar tidak ingin berada di sana. Pikirannya kacau, marah, kecewa, dan benci semuanya melebur, kemudian berbaur menjadi satu.“Rossi!” teriak Handoko sekali lagi, kali ini dengan nada putus asa. Pria itu mencoba mengejar, tapi sosok bocah mungil yang masih ada dalam gendongan, membuatnya tak bisa bergerak lebih cepat. Sementara disisi lain, Devi dan Siska segera melangkah keluar rumah. Wajah dua wanita cantik itu penuh kecemasan.“Biar aku yang kejar,” ujar Devi cepat, melepaskan diri dari genggaman Siska yang hendak menahannya.“Devi, tunggu!” Siska memanggil sang sahabat, tapi Devi sudah berlari mengikuti Rossi, keponakannya. “Aku tak boleh membiarkan gadis itu sampai kenapa-napa,” ucap Devi bergumam. Kakinya masih terus terayun, diiringi suara deru nafasnya yang kian memberat. Sepatu heels 5cm yang ia kenakan, semakin membuat wani

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 84

    “Bu-”Devi terus berusaha menenangkan mantan ibu mertuanya. Bersama dengan Siska ia terus melakukan negosiasi, namun nyatanya itu sama sekali tak berhasil. Hingga tak lama setelah itu, suasana semakin tegang, dan Handoko yang dari tadi hanya diam akhirnya angkat suara. “Bu Jubaedah, saya hanya ingin bertemu dengan Rossi. Sebagai ayahnya, saya punya hak untuk tahu di mana dia berada.”Jubaedah mendengus marah, matanya menyipit saat menatap mantan menantunya. “Ayahnya? Setelah semua yang kau lakukan, kau masih berani menyebut dirimu ‘ayah’? Kau baru datang sekarang, tapi di mana kau selama ini ketika anakmu butuh dukungan?”Handoko terdiam, tak bisa membalas. Rasa bersalah menyelimuti dirinya.Devi, yang melihat keadaan semakin memanas, melangkah maju. “Bu, tolong. Ini bukan tentang siapa yang salah atau benar. Rossi kabur, dan Ibu tentu tahu jika dia sedang tidak dalam kondisi baik. Kalau dia memang ada di sini, biarkan kami menemuinya. Kami h

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 83

    “Kabur? Siapa yang kabur, Dev?” Pertanyaan pertama meluncur dari mulut Handoko. Devi tak menjawab, namun gerakan tubuhnya mengisyaratkan, jika wanita itu akan beranjak dari tempatnya kini. “Mas Handoko, setelah ini mau kemana?” Setelah meraih tasnya, Devi menoleh pada mantan kakak iparnya dan bertanya arah serta tujuan pria itu. Namun, gelengan kepala dari Handoko menjawab pertanyaan Devi dengan segera. Hingga detik berikutnya, wanita berambut panjang itu kembali bersuara, “Kalau begitu, akan lebih baik jika Mas Handoko pergi bersama kami.”Usai mengatakan hal tersebut, Devi mengayunkan kakinya menuju ke arah pintu keluar cafe tersebut. Tak hanya itu, dua orang lainnya tampak berjalan mengekor di belakang mantan istri dari Yogi itu. “Kok bisa dia kabur, sih?” tanya Devi yang kini sudah duduk di kursi belakang sebuah mobil. Sementara di sisi kanannya ada seorang wanita cantik yang amat dikenal oleh Devi. Sambil mengangkat kedua bahunya, wanita itu pun menjawab, “Mana aku tau Dev

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 82

    “Aku tak pernah ingin menjauhkanmu dari ibumu. Tapi-”“Arrghh …,” pekik seseorang yang tanpa sengaja bertabrakan dengan sosok laki-laki yang kini tengah menggendong seorang balita. “Maaf, maaf. Maaf karna saya kurang memperhatikan jalan,” ucap sosok tersebut sambil menundukkan kepalanya berkali-kali. “Devi?”Mendengar suara sosok yang ia tabrak, sontak membuat wanita yang ternyata adalah Devi itu menegakkan kepalanya. “Mas Handoko?” jawabnya. “Beneran Devi tho? Aku pikir salah orang, soalnya suara kamu familiar banget, tapi-”“Tapi apa, Mas?” tanya Devi saat Handoko, mantan kakak iparnya, tampak menggantungkan kalimatnya. Handoko yang masih membawa Aurora yang tampak terlelap dalam gendongannya itu, segera memindai mantan adik iparnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kamu, agak beda dari terakhir kali aku liat,” jawab Handoko sedikit memelankan nada suaranyaDevi tersenyum, tentu wanita itu mengerti apa maksud dari ucapan mantan kakak iparnya tersebut. “Disini panas, Mas. K

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status