“Syukurlah pembukaan toko sejak kemarin sampai hari ini, berjalan dengan lancar.”“Iya, Bu. Semoga hari ini juga lancar seperti dua hari kemarin ya, Bu,” timpal sosok lain yang memakai setelan berwarna merah bata tersebut. Yang langsung kembali ditimpali oleh wanita cantik di hadapannya, “Aamiin, semoga saja ya, Put.“Saya izin ke belakang dulu ya, Bu,” ucapnya lagi.Ya! Hari ini, adalah hari ketiga pembukaan toko roti baru milik Sri Devi atau yang biasa dipanggil Devi, mantan istri Yogi. “Semoga ini adalah buah dari do’a dan kesabaran kami,” ungkap Devi lirih.Pada hari ini bukan hanya hari ketiga pembukaan toko milik Devi, melainkan juga hari dimana Devi dan Yogi genap satu tahun bercerai. Sejak sebelum bercerai dengan Yogi, Devi memang sudah lebih dulu bekerja sebagai freelancer perusahaan Arya. Hingga saat dirinya benar-benar sudah menyandang status janda, Devi akhirnya bekerja sebagai salah satu staff di kantor Arya.“Wah, tokomu boleh juga, Dev. Congrats yaa …”Tiba-tiba sebuah
“Lebih baik pecat aja karyawan macam dia. Pemalas dan tak tau diri!”“Tolong jaga sikap Anda di sini, jika masih ingin dihargai layaknya seorang tamu,” ucap Siska yang tak suka dengan sikap yang ditunjukan oleh mantan ibu mertua dan kakak ipar Devi tersebut.Melihat reaksi yang ditunjukan oleh Siska, membuat Jubaedah dan Yessi seketika saling pandang. Mungkin mereka cukup heran, sebab upaya keduanya membuat nama Devi jelek di muka umum, kali ini gagal. “Biar saya aja yang melayani mereka, Put.”Tiba-tiba suara Devi terdengar, membuat Siska menoleh dengan tatapan heran. Srett!Siska menarik lengan Devi dengan cepat dan sedikit men-cekal lengan sang sahabat. Tatapan wanita berambut pendek itu tampak menakutkan. Ditambah dengan suara berbisik yang sengaja ditekan, menambah aura mencekam dari wanita yang masih memakai blazer hitam tersebut. “Kamu apa-apaan, sih?!”Devi menatap lekat manik mata Siska dan melepaskan cekalan tangan wanita itu secara perlahan. Dengan senyum mengembang, wani
“Jadi gimana, Bu? Siapa yang mau bayar?”“Kalo gak bisa bayar jangan sok-sokan!” ucap salah satu pengunjung toko roti tersebut.Beberapa orang tampak mulai gelisah. Menunggu giliran untuk membayar di kasir. Namun, setelah ditunggu hingga beberapa waktu. Jubaedah dan Yessi justru masih saling menunjuk, siapa yang harus membayar. Tanpa ada tanda-tanda kapan masalah itu akan terselesaikan.“Bayar buruan, Bu!” Tanpa, menghiraukan beberapa pelanggan yang sudah menggerutu, Yessi masih bersikukuh meminta sang ibu untuk membayar. Namun, Jubaedah pun sebelas dua belas dengan sang anak. Dengan pendirian teguh dan sifat keras hatinya, Jubaedah tetap tak mau menuruti permintaan sang putri, “Kok Ibu, sih? Kamulah yang bayar!”“Ck! Kalo emang gak bisa bayar mending kalian minggir, deh!” Seorang ibu-ibu yang sudah habis kesabarannya, segera maju dan menyingkirkan ibu dan anak tersebut. “Kere tapi sok sugih! Gak punya duit tapi sok jadi nyonya!”Gerutuan ibu-ibu itu tentu jelas terdengar oleh Yessi
“Kenapa diem, Bu?”Semua orang yang ada di toko itu sontak menoleh bersamaan. Pada sosok lain yang kini berdiri di ambang pintu masuk toko.“Li-Lisa …,” gumam Jubaedah pelan.Bukan hanya itu, bahkan kini wajah wanita paruh baya itu tampak pias dan memucat. Terlebih saat sosok yang ternyata adalah Lisa, istri dari Yogi, tampak memandang Jubaedah dan Yessi dengan tajam.“Kalian!” Hingga tak lama setelahnya, seorang ibu-ibu lainnya terlihat menyusul masuk ke dalam toko. Sembari membawa beberapa paper bag di tangannya. “Dasar cu-rut tak bertanggung jawab! Bisa-bisanya kalian meninggalkan belanjaan begitu saja. Kalo ilang, apa kalian yakin bisa menggantinya?!”Alis Devi bertaut menjadi satu. Ia bisa mengenali Lisa, tapi Devi tak mengenali sosok lain yang kini berdiri bersisian dengan istri dari mantan suaminya tersebut.“Apa Ibu masih menganggap Devi itu menantu Ibu? Begitu maksud Ibu, bukan?” Tanya Lisa pada Jubaedah yang kini berdiri mematung dengan keringat yang hampir membanjiri waja
“Sebaiknya kalian semua pulang dan bawa saja roti itu !”Perdebatan keluarga mantan suami Devi itu sudah semakin tak bisa ditolerir. Entah apa yang ada di pikiran mereka, jika Devi saja merasa malu tapi hal yang sama seolah tak dirasakan oleh empat wanita itu.“Apa kau sedang mengusir kami?!” Bukannya pergi, Jubaedah justru semakin meradang dan menganggap devi merendahkan mereka dengan cara mengusir secara terang-terangan.“Maaf, Bu. Saya tak bermaksud mengusir sama sekali. Tapi, perdebatan keluarga kalian tak seharusnya menjadi konsumsi publik. Jadi saya sarankan lebih baik kalian selesaikan masalah kalian di rumah,” ucap Devi mencoba memberi pengertian.Seperti apapun perlakuan Jubaedah sekeluarga kepada dirinya, di masa lalu. Namun Devi juga tak bisa membiarkan empat orang tersebut semakin mendulang malu atas ulah mereka sendiri.“Bagaimanapun juga, Ibu dan Mbak Yessi adalah Nenek dan Bibi dari kedua anakku. Rasa malu yang akan kalian tanggung, mau tak mau nantinya juga akan berim
“Aku Lilis, ibumu!”“Tunggu! Budhe jangan ngaku-ngaku, ya! Ibuku ya Ibu Mira!” sanggah Lisa dengan tak percaya.Bagaimana mungkin sosok wanita yang biasa ia panggil Budhe, kini justru mengakui jika dirinya adalah ibu kandung dari Lisa.“Apa kau tak percaya padaku?” Tanya wanita bernama Lilis tersebut.Di tangannya sudah ada sebuah tas besar yang tampak usang. Terlihat dari warnanya yang sudah pudar dan beberapa sobekan di bagian sisi kanan dan kirinya.Lisa yang saat itu tengah berjemur bersama Aurora kecil, sontak merasa bingung. Bukan ia tak mengenali wanita itu. Namun, ia tak bisa mempercayai begitu saja, apa yang dikatakan oleh Lilis. “Maaf, Budhe. Gimana Lisa bisa percaya. Sementara yang Lisa tau, Ibu Mira dan Ayah Joko adalah orang tua Lisa. Lagipula sejak kecil, Lisa mengenal Budhe sebagai kakak perempuan Ibu.” Bruk!Lilis meletakkan begitu saja tas usang miliknya di atas ubin cor di depan gerbang rumah Yogi. Kemudian, dengan menggunakan kedua tangannya, Lilis menggenggam erat
“Cepat ambilkan segelas air!” “Ogah! Ambil aja sendiri!” jawab Yessi acuh. Wanita itu terlihat tak peduli akan kondisi Lilis yang masih tampak kesakitan.Lisa bangkit dari posisinya dan langsung melangkah ke arah sang kakak ipar yang masih duduk santai menikmati roti. “Jika kau tak ingin membantu, lalu apa fungsimu di rumah ini? Dasar manusia sam-pah!” Wanita berambut pirang itu sudah benar-benar jengah pada istri pertama Handoko tersebut. Tak ada satupun kebaikan yang bisa membuatnya harus mempertahankan kehadiran Yessi di rumah itu, akan tetapi …“Jika bukan karena permintaan Ibu, maka aku sudah pasti akan mendepakmu dari sini!” desis Lisa geram. Namun, gertakan itu seolah tak berarti apa-apa di mata Yessi. Hingga masih dengan ekspresi santai, wanita itu kembali menimpali, “Silahkan saja kau lakukan jika bisa!”“Aku tak takut. Baik padamu, wanita ib-lis itu maupun pada laki-laki breng-sek bernama Handoko itu!” imbuh Yessi.Lisa semakin mengayunkan kaki, mendekat ke arah Yessi dan
“Hei! Mau kau bawa kemana itu semua?! Lepas!”Suara pekikan menggema di rumah bercat putih tersebut.“Pergi kalian dari sini, dan jangan kembali lagi! Ingat ini, jangan pernah injakan kaki kalian di rumah ini lagi!” usir Lisa pada Yessi. Bukan hanya Yessi, ia bahkan turut mengusir Jubaedah dan Yogi.Bruk!Tanpa diduga, bukannya pergi, Jubaedah justru malah bersimpuh dan memohon tepat di kaki Lisa. “Ibu mohon Lisa, jangan usir kami.”“Apa kamu lupa, kalo Yogi masih suami sah kamu?” bujuk Jubaedah pada menantunya tersebut.Lisa tak langsung menanggapi apa yang dikatakan ibu mertuanya. Namun, senyum miring tersungging di bibir merah wanita itu. Bahkan, raut wajah wanita itu terlihat jelas, tengah meremehkan ibu dari Yogi dan Yessi. “Suami sah?” Tanyanya sinis.“Suami yang tercatat secara hukum, begitu bukan maksudnya?” Lisa tampak menggantungkan kalimatnya. Dengan tangan bersilang di dada, wanita itu akhirnya kembali bersuara. “Tapi, seorang laki-laki yang tidak memberikan nafkah selama