“Ayah?” ucap Hana parau. Gadis yang sudah setengah tertidur itu mengetahui ada seseorang yang baru saja masuk ke kamar.“Ya, ini aku.” Henry mendekat. Lalu, ia duduk di tepi ranjang.Mengetahui itu, Hana menggeser kepala dan meletakannya di pangkuan ayahnya.“Ah, anak gadis ayah sudah sedewasa ini.” Henry menyembunyikan kekhawatirannya.Hana hanya tersenyum dan menikmati usapan lembut di kepala yang sekian lama ia rindukan. Lalu, ia tertidur lelap.Henry menghela napas dalam untuk melepaskan ketidakberdayaannya yang menghimpit. Kemudian ia menarik tempat tidur cadangan dari bawah ranjang dan tidur di sana.Waktu berlalu.Pagi datang mengunjungi Blue Mansion. Sinar matahari menerobos ke celah-celah jendela kamar tidur Henry. Laki-laki yang tertidur dengan tangan dipegang Hana itu nggak menyadari bahwa ada dua laki-laki yang tengah berdiri menyaksikan tidur lelap mereka.“Ehem.” Zan berdehem untuk membangungkan keduanya.“Saya akan membangunkan mereka, Bos.” Sekretaris pribadi Zan henda
“Dia akan menemui Bos sebentar lagi, Pak.” Henry berdiri dengan sungkan.Sedangkan, Hana melanjutkan menyelesaikan sarapannya dengan santai. Tapi, ia memperhatikan bagaimana ayahnya bersikap dengan para anak buah Zan Ducan. Ia memendam kekesalan.Tapi, sekretaris pribadi itu tetap berdiri tegak sampai Hana terlihat hendak beranjak.“Ssst, Hana!” tegur Henry agar anak gadisnya itu bersegera.Gadis itu menjawab dengan menyengirkan hidung. Lalu, ia beranjak berdiri.“Jangan membuat masalah baru!” pesan Henry dengan penuh penekanan.Hana mengangguk pelan, tapi kemudian mengedikan bahu dengan tak acuh. Lalu, ia berjalan mengikuti sekretaris Zan.Melihat itu, Henry hanya bisa menghela napas seraya mengusap dadanya.Beberapa saat kemudian, Hana dan sekretaris pribadi Zan sudah berada di ruang kerja Zan yang ada di Blue Mansion.“Saya membawa Nona Hana, Bos,” lapor sekretaris pribadi itu. Kemudian ia meninggalkan Hana bersama Zan di ruangan itu.“Akhirnya kita bisa bicara,” sambut Zan seraya
“Apa yang Kamu pikirkan?” Zan memperhatikan Hana yang tiba-tiba seperti sedang melamun.Tapi, Hana tak menjawab. Ingatannya memaksanya untuk kembali pada apa yang terjadi lebih dari empat tahun silam.“Karena kematian Hans dan aku mengalami shock berat, program beasiswa kuliah keluar negeri terkendala. Karena batal mengikuti prosedur yang ditetapkan pihak universitas, beasiswa itu terpaksa dibatalkan.” Hana mencoba merunut apa yang terjadi ketika itu.“Tapi, begitu ayah bisa mengembalikan semangatku, begitu aku pelan-pelan pulih, ayah tetap mendorongku untuk tetap kuliah di fakultas yang kusukai melalui jalur mandiri.” Hana mengernyitkan kening.Satu ucapan ayahnya terbesit dalam ingatan. “Ayah punya pekerjaan sampingan untuk biaya kuliahmu.”Sedetik kemudian Hana tertegun, tapi, “Ha?!” Matanya melebar mengetahui kenyataan itu. “Apa untuk itu?” seru Hana dalam hati.“Hana? Halo!” seru Zan ketika lawan bicaranya seolah sedang tersesat dalam lamunannya.Tapi, Hana mengabaikan seruan Zan
“Heh?!” Max berdiri di ambang pintu ruang kerja Zan. Sekilas ia menatap ke arah luar di mana bayangan Hana baru saja menghilang.Zan yang baru hendak beranjak mengurungkan niat. “Apa yang Kamu lihat, Max? Hantu?”Max mendekat ke meja kerja Zan. “Apa yang baru saja Kamu buat dengan gadis bar-bar itu? Apa Kamu menolak cintanya?”Zan terkekeh. “Prediksimu kejauhan.”Max duduk di depan meja kerja Zan. Ia menatap laki-laki itu dengan penasaran. “Zan jawab pertanyaanku dengan jujur! Apa Kamu benar-benar tertarik dengan gadis bar-bar itu?”Zan menyeringai. “Ini bukan pertama kalinya Kamu tanya begitu.”“Pertanyaanku bukan tanpa dasar. Gejala-gejalanya makin nyata terlihat.” Max menelisik raut wajah Zan.Zan mengernyit. “Gejala?”Max mengangguk tanpa ragu. “Makin hari Kamu makin aneh. Aku seperti melihat sisi lain dirimu yang selama ini belum pernah kulihat.”“O ya,” ucap Zan tak acuh. “Coba katakan dengan lebih jelas!”“Yang pertama, aku belum pernah melihatmu memperlakukan wanita mana pun s
“Tok! Tok!”Zan mengetuk pintu yang memang telah terbuka. Ia berdiri di depan pintu dan menatap ke dalam salah satu ruangan di Blue Mansion di mana Melanie sedang duduk ke arah pintu.“Dan setelah sekian abad setelah seseorang berlaku seenaknya padaku, Kamu baru datang menemuiku.” Melanie bersungut-sungut.Zan tersenyum, masuk ke dalam ruangan dan duduk di samping Melanie. “Ada beberapa hal yang harus aku lakukan, dan aku nggak tahu jika Kamu masih berada di Blue Mansion.”Melanie melirik kesal, ekspresi wajahnya terlihat tak percaya.“Huft.” Zan mengembuskan napas pelan. “Sungguh! Aku pikir Kamu sudah pulang bersama ayahmu. Kata salah satu orangku, dia terlihat pergi dengan terburu setelah meeting itu selesai.”Tapi, jawaban Zan tak membuat wajah tak percaya Melanie pudar.“Masih nggak percaya? Aku nggak bohong.” Zan mengedikan bahu.“Bukan itu yang membuatku tak percaya,” balas Melanie dengan cepat.Zan sedikit menelengkan kepala. “Lalu?”“Huh,” dengkus Melanie pelan. “Apa yang Kamu
“Jadi, Kamu belum punya rencana apa pun untuk membawa ayahmu kembali?” Andro memberhentikan mobil box dengan gambar sayur di bagian sampingnya itu tak jauh dari perempatan gedung Robotic Tech.Hana menghela napas dalam. “Semua masih bersimpang siur di otakku, aku harus menatanya agar semua yang terlibat dalam upaya ini selamat.” Ia membuka matanya.Andro mengangguk. “Aku mempercayakan semua padamu. Dan aku akan terus membantumu.”Hana mengangguk, tersenyum dan menegakan tubuhnya. Ia menoleh ke arah samping ketika sebuah mobil dari Robotic Tech tiba di samping mobil box sayur itu.“Aku akan menghubungimu lebih lanjut, Andro. Dan terima kasih.” Hana keluar dari mobil.Lalu, mobil box sayur dan mobil dari Robortic itu bergerak dengan mengambil jalan yang berbeda.Beberapa saat kemudian mobil yang menjemput Hana memasuki halaman gedung Robotic Tech. Dan ketika mobil itu berhenti di sebuah pintu khusus, dengan cepat Hana keluar dari mobil dan memasuki pintu itu.Beberapa menit kemudian Han
“Nak, tak bisakah Kamu pikirkan sekali lagi?” Suara Neo mengusik telinga Hana. Suara yang keluar dari earpiece kecil yang terselip di lubang telinganya itu membuat kecepatan mobil yang tengah dikemudikannya melambat.“Hana?” tegur Neo yang merasa jawaban Hana tak kunjung ia dengar.“Aku sudah memikirkannya. Dan aku nggak menemukan cara untuk mengetahuinya selain datang langsung dan menanyakannya.” Hana bersikeras.Neo menghela napas panjang. “Hana, meskipun Pemilik Teta Tech itu, entah dengan alasan apa pun, terkesan sedang menunggumu. Tapi, menurutku, menggeruduk ke sana secara terang-terangan seorang diri itu sangat bahaya. Apa pun bisa terjadi padamu.”“Aku tahu,” jawab Hana tak berdaya. “Tapi, aku nggak punya pilihan lain.”“Kita bisa pelan-pelan mengungkap siapa saja yang terlibat dalam kasus itu, tapi kita hanya butuh waktu, bukankah sistem di Teta Tech sudah kita pegang.” Neo mencoba membatalkan niat Hana.“Aku tahu Neo, tapi Teta Tech bekerja sama dengan sekian ribu komunitas
“Duduklah!” perintah Zan pelan.Tapi, Hana bergeming. Ia tetap berdiri dan melancarkan tatapan tajamnya pada Zan yang sedang mendongak menatapnya.Zan menggerekan kepala ke arah kursi yang ada di belakang Hana sebagai isyarat perintah.Sekilas Hana bergeming, lalu, “Oke.” Gadis itu menghempaskan tubuhnya di kursi yang dtunjuk.“Oke, apa yang ingin Kamu sampaikan setelah membuat Teta Tech ini seolah nggak memiliki pintu dan penjaga keamaan yang kuat.” Zan menatap tajam.Hana membalas dengan tatapan yang tak kalah tajam. “Berapa jumlah yang diperoleh ayahku ketika itu?”“Ha? Kenapa Kamu ingin mengetahui itu?” Sudut-sudut mata Zan sedikit memicing.“Karena aku ingin mengganti itu untuk membuat ayahku bebas.” Suara Hana tegas dan tak terbantahkan.Tapi, Zan tersenyum menyeringai. “Jadi, menurutmu, aku dan orang-orang yang dirugikan membutuhkan uang pengganti itu? Ayolah, Dear! Jangan terlalu naive!”Hana bersedekap. “Aku tahu jumlah seperti itu nggak ada artinya untuk kalian. Tapi, menuru