Seperti yang Radka duga, Jean tengah berada di atas atap sekolah. Maniknya terpejam dengan tubuh yang menghadap miring ke arah anak kucing hitam yang turut terpejam di kungkungan lengannya.
“Non Jean!” panggilnya dengan tenang.
Tak ada jawaban ataupun tubuh yang menggeliyat merasakan gangguan pada tidurnya. Gadis itu hanya tetap pada titik semula yang menyekat lelapnya.
Radka mendekat ke arah Jean. Tangannya menyentuh lengan gadis itu kemudian menepuk nya pelan secara berulang.
“Non, ini mau hujan,” kata Radka yang masih menepuk lengan sang nona. “Non Jean!” suara Radka mulai meninggi.
Jean mulai terganggu. Gadis itu mulai menggeliyat dan matanya perlahan terbuka. Kemudian saat manik gadis itu terbuka sepenuhnya, Radka berjalan mundur beberapa langkah untuk menciptakan jarak yang membuat sang nona tidak terganggu.
“Apa sudah jam pulang sekolah?” tanya Jean dengan suara parau khas bangun tidur.
“Sudah sejak setengah jam yang lalu.”
“Benarkah?” tanya Jean tak percaya. Gadis itu lantas melihat jam pada pergelangan tangannya. “Ah, benar.”
“Kita sebaiknya cepat pulang.”
“Kau tahu,” kata Jean menggantung sembari membawa tubuhnya untuk duduk di tepi meja tempatnya berbaring. “Aku paling benci diatur.”
Radka menangkapnya. Kelingan raut wajah yang meremang tajam itu menandakan jelas tentang ketidaksenangan gadis itu.
“Itu saran, bukan aturan.” Dingin Radka menjawab bersama mata yang memberi kode dengan memandang ke atas.
Jean mengikuti arah pandangan Radka kemudian gadis itu menyadari jika langit telah menggelap akibat mendung yang menyisir permukaan. Bahkan belum berpijak jauh, gadis itu merasakan satu tetes air hujan jatuh tepat pada pipi tembamnya.
“Menyebalkan,” gerutu Jean dengan sangat lirih.
Gadis itu lantas bangkit dari kursinya membawa anak kucing hitam yang masih terlelap menuju ke bagian ujung area atap sekolah. Sebuah tempat bercelah kecil yang diapit oleh dinding pintu penghubung dengan dinding bangunan tempat genset. Atap kedua bangunan yang mengapitnya menutupi celah tersebut dengan rapat dan menciptakan kesan gelap.
“Sampai berjumpa lagi, Micky-kiki,” kata Jean memgusak anak kucing usai menempatkannya ke atas kasur kucing yang ditempatkan pas pada celah gang sempit itu.
“Kenapa tidak membawanya pulang jika kau sangat menyukai anak kucing itu?” tanya Radka selepas gadis itu kembali berdiri untuk turun.
“Papa alergi kucing.”
“Benarkah?” tanya Radka merasa tidak tahu. “Jadi Nona pelihara kucing-nya di sekolah?”
“Kalo pelihara artinya aku punya hak kepemilikan,” balas Jean. “Butuh usaha ekstra untuk memiliki sebuah hal dan itu sangat melelahkan jadi aku enggak berminat untuk mengikat Micky.”
“Itu mental pecundang,” cibir Radka yang lurus ke depan. “Mau menyayangi tapi tidak mau bertanggung jawab.”
“Aku belajar gitu dari para laki-laki.”
“Enggak semua laki-laki begitu,” balas Radka tidak setuju.
“Laki yang enggak gitu cuma laki yang ketiban karma.”
Radka hendak bersuara kembali. Tubuhnya telah menyerong ke samping menghadap ke arah sang nona. Akan tetapi ketika dia hendak berbicara suara hujan yang begitu deras jatuh menimpa permukaan menciptakan deru suara yang menggelegar sangat deras.
“Sialan!” umpat Jean. Gadis itu lantas mempercepat langkah kakinya untuk menuruni tangga yang hanya tersisa satu lantai. “Kau kemari tidak membawa payung?” tanya Jean kemudian.
“Tidak.” Radka menjawab pertanyaan Jean dengan cepat meskipun di dalam isi suaranya tengah merasakan sebuah keraguan.
“Aku tunggu di sini, cepat ambil payungku!” kata Jean membawa tubuhnya berhenti pada tangga paling dasar di lantai terdasar gedung itu.
Tanpa menunggu lama, Radka segera berjalan meninggalkan Jean di sana. Dia memilah jalan menghindari guyusan hujan lebat dengan berjalan melalui pinggir kelas hingga koridor di depan sekolah. Dia mengabaikan tubuhnya yang terguyur air hujan begitu berlari dari koridor menuju ke mobil sedan mewah. Akan tetapi, tidak ada payung lagi di dalam mobil itu selain payung yang sudah Radka bawa tadi.
Manik Radka berkeliling ke sekitar berusaha mencari sebuah titik di mana dia bisa menemukan payung namun tidak ada satupun tempat yang menandakan kehidupan.
Radka lantas keluar dari dalam mobil kemudian segera berlari menuju pos satpam yang terletak cukup jauh dari koridor utama sekolah. Beruntung dia mendapatkan pinjaman payung milik penjaga sekolah tersebut dan segera membawa diri untuk berlari masuk ke dalam sekolah.
Seperti dugaannya, begitu tiba di hadapan sang nona gadis itu telah mencuras penuh amarah dengan kepala yang ditumbuhi tanduk.
“Lama sekali astaga!” gerutu Jean.
“Tidak ada payung di mobil jadi aku harus mencari pinjaman.”
“Payungku tidak ada?” tanya Jean berubah keheranan. “Tidak mungkin. Itu benda yang tidak pernah kulupakan.”
Radka sejenak menelan ludahnya dengan senyap. Dia menggigit dinding mulutnya untuk meredam perasaan tak enaknya.
“Kau sudah cari di bawah bangku belakang?” tanya Jean menambahi.
“Ya.”
“Kau pasti tidak teliti mencarinya!”
“Kau bisa memastikannya sendiri. Untuk sementara itu kau bisa memakai payung ini dulu.”
“Tidak bisa!” suara Jean meninggi. “Aku tidak bisa pergi ke tengah hujan dengan payung orang lain. Carikan payungku dulu!”
Rewel sekali, batin Radka.
“Aku akan mencarinya lagi sampai ketemu tapi lebih baik Nona masuk ke dalam mobil lebih dulu daripada menunggu di sini.”
“Aku tidak bisa pergi ke tengah hujan dengan payung selain milikku!” ulang Jean semakin mempertegas.
Radka menghela napas dengan panjang. Tampaknya dia memang harus mengatakan hal yang sebagaimana mestinya. Meskipun dia juga tahu kemungkinan besar atas murkahnya sang nona.
“Aku memberikannya kepada Non Rena.”
“Hah?” refleks Jean kebingungan.
“Aku memberikannya kepada Non Rena karena tidak sengaja bersimpangan.”
“Non Re-na?” Jean berucap mirip seperti tengah mengeja kalimat.
Kemudian wajah gadis itu berubah mengeras dengan tanduk-tanduk dan wajah yang memerah pekat. Matanya menajam dan bibirnya menggeram.
“Bedebah!” tambah Jean mengumpat. “Kau memberi payungku kepada penyihir itu?”
Jean melompat kecil menuruni tangga nomor satu di lantai terdasar itu. Dia berjalan mendekat ke arah Radka bersama dengan tangan yang melepas ransel miliknya dan melemparnya ke sembarang.
“Memanggilnya Non Re-na?” kata Jean masih dengan bibir yang menggeram. “Aku akan membunuhmu saat ini juga!”
Jean mengambil ancang-ancang. Kaki kanannya diangkat ke belakang sementara kaki kirinya tetap diam di tempat. Kemudian kaki yang terbuka ke udara tersebut dilepas ke depan untuk tepat menendang pada daerah wajah Radka yang tidak bergeming dan hanya diam dengan pasrah.
Kendati begitu ketika kaki Jean hampir menyentuh sisi kiri dari wajah Radka, pria yang tak bergeming itu malah mengangkat tangan kirinya dengan tepat waktu untuk menahan kaki Jean dalam genggamannya.
“Kuda-kuda-mu sangat buruk,” cibir Radka.
Jean memberontak agar kaki-nya dilepas oleh sang pengawal. Akan tetapi semakin dia memberontak, Radka malah tetap menahan kakinya sehingga tidak ada satu pergerakan apapun yang bisa Jean lakukan.
Jean memilih cara lain dengan menggunakan tangan kirinya untuk meninju bagian perut Radka namun ketika tangan itu baru saja hendak mengayun Radka menepis tangan dengan manik yang tak teralihkan dari diri Jean.
Mendapati perlakuan seperti itu, membuat Jean dengan cepat memberontak sekali lagi dengan lebih bringas. Hal itu berhasil membuat kaki dan tangannya lepas dari cengkraman Radka. Akan tetapi ketika Jean kembali mengambil ancang-ancang ke samping untuk menyepak kaki Radka, dengan begitu mudahnya pria tinggi itu mengangkat kakinya melengos dari serangan Jean.
Tanpa ekspresi. Tanpa ada perlawanan ketat. Tanpa ada manik mata yang memuncak penuh waspada. Jean benar-benar dilumpuhkan tanpa usaha.
Kendati kesal tak berhasil menyerang meskipun sebelumnya tendangan yang dia pelajari dari kelas taekwondo tidak pernah bisa ditangkis oleh siapapun, Jean masih berusaha untuk menyerang sang pengawal.
“Nona, aku mengaku salah jadi hentikan.”
Jean berjalan maju mendekat ke arah Radka. Menyerang pria itu dengan pukulan bertubi yang naasnya dihalau dengan cepat oleh pria itu. Hingga titik penyerangan terakhir Jean harus lumpuh ketika tangannya berhasil mencengkram kedua sisi bagian depan jas pria itu hendak membanting tubuh tingginya ke belakang sementara kakinya berusaha melumpuhkan bagian kaki pria itu. Saat itu, Jean malah diperalat oleh Radka untuk terpelanting sendiri dalam permainannya.
Lalu selanjutnya semuanya membuta. Keseimbangan Jean runtuh membuat gadis itu terjatuh ke belakang. Hanya saja sebelum dia jatuh, tangannya buru-buru meraih segala hal untuk menjadi pegangan dirinya.
Akan tetapi ….
Krt … krrrtt … krrrrrttttt.
Mendengar bunyi sobekan dari kain seharusnya tidak menjadikan diri Jean mendongak ke atas untuk melihat apa yang mengelilingi tangannya. Hanya saja dia mendongak dan maniknya bersimpuh tepat di hadapan benda tersebut.
“Kau …” kata Jean tercekat. Maniknya masih menghadap lekat ke arah pakaian yang tidak sengaja dirobek olehnya dan memperlihat bentuk yang begitu … mempesona.
Perut kotak-kotak yang mengkilap indah.
Hanya saja bukan hanya itu yang mengejutkan gadis itu. Pasalnya rentetan bekas luka yang masih tercetak memenuhi sekujur tubuh Radka menjadi fokus utama dari mata yang membelalak tak percaya itu.
“Kau—” Kembali Jean menggantung untaian katanya. “ … monster?”
Gadis ini … terlalu cepat mengetahui luka yang dia sembunyikan dari dunia.
***
“Apa katamu?”Pria paruh baya yang tengah disibukkan dengan berkas-berkas di tangannya harus menyimpan redam untuk sejenak menyingkap fokus dengan raut yang terkejut menatap ke arah sosok yang tak berbeda generasi dengannya.“Putra Attaris ingin bertemu denganmu, Pak Ferdi,” ulang sosok yang berdiri di depan meja, mengulangi ucapannya.“Bukankah Attaris hanya memiliki 1 putra?”“Ya,” pendek sosok di sana menjawab.“Bukankah dia sudah tewas beberapa tahun yang lalu?”“Tapi dia sungguh ada di sini dan masih hidup.”“Ajak dia masuk!” perintah Ferdi namun tergambar lantunan yang tengah meragu.David; sang sekretaris tersebut kemudian berjalan ke depan pintu. Membuka pintu yang menjadi batas pemisah di antara ruangan itu lalu mempersilahkan sosok muda yang menjulang tinggi untuk masuk ke dalam ruangan megah tersebut.Keterkejutan kembali menjadi satu-satunya hal yang menyingkap wajah Ferdi begitu menjumpai sosok di sana.“Kau—”“Ya, Paman,” jawabnya. “Aku Radka.”“Astaga, Nak!” Ferdi seger
“Kau menantangku, hah?!”Pekikan itu semakin keras diutarakan oleh Jean begitu gadis itu turun dari mobil. Bahkan pandangan maniknya yang mencuras naik menghadap ke arah sosok yang menjulang tinggi di hadapannya menunjukkan dengan benar bulir amarah dan kekesalannya.“Tidak, Nona.”“Lalu apa maksudmu tadi?”“Hanya sedikit saran, agar kita bisa bekerja sama dengan baik.”“Kau pikir aku mau bekerja sama denganmu?”“Tidak mau juga tidak masalah,” jawab Radka dengan enteng. “Kita bisa lihat siapa yang lebih pandai bertahan.”Radka lantas membawa dirinya berbalik dari hadapan sang nona untuk melangkah masuk ke dalam sekolah gadis itu. Akan tetapi ketika maniknya menangkap sebuah plat mobil yang baru saja masuk, dia tak bisa mengontrol dirinya untuk tidak berhenti melangkah mengamati meskipun jarak di antara titik bekunya dengan mobil di sana cukup jauh.“Hei! Pengawal Bodoh!” Jean kembali meneriaki Radka.Belum sempat Radka menoleh tetapi dia telah merasakan sebuah pukulan berat di punggun
“Jadi Papa-nya Jean tidak bisa datang?”Perempuan dalam rentang usia akhir dua puluhannya itu tampak tenang di atas kursinya. Kakinya berjajar dalam kedap yang menuang binar dari secarik manik di balik kacamatanya.“Kirim surat panggilan lagi saja, Bu,” celetuk Jean menimpali. “Beri p.s jika dia wajib datang sendiri.”Hening. Bagai suara dalam senyap, tidak ada siapapun yang mendengar suaranya. Kedua orang dewasa di sana hanya meliriknya sejenak sebelum akhirnya kembali saling menatap satu sama lain dan untuk kali pertama Jean melihat bagaimana raut wajah sang wali kelas yang selalu ketus tiba-tiba berubah dengan gimmick yang sangat aneh memandangi Radka.Ini sungguh menggelikan.“Tidak apa, Mas, jika memang Papa-nya Jean tidak bisa datang.”Manik mata Jean membola beserta mulutnya yang mengangah mendengar apa yang baru saja dia dengar bersinambungan dengan pipi merah malu-malu dari Bu Sulis.Jean bersumpah. Bulan lalu ketika Pak David atau ketika sebelumnya pengawal pribadi yang bern
“Jadi mau kugendong atau berjalan sendiri?”Pertanyaan itu diutarakan oleh Radka kepada sosok Jean yang masih beringsut dengan tangan yang disibuk menengadah ke arah anak kucing yang ditatap nya dengan penuh sayang.Ya, sebuah sosok sang nona yang tidak pernah Radka duga.“Kenapa aku harus digendong oleh orang sepertimu?!”“Lalu kau mau digendong oleh siapa untuk turun?”“Kau pikir aku tidak bisa berjalan sendiri?”“Coba lihat!” tantang Radka.Jean lantas mencoba bangkit usai menaruh Micky di sampingnya. Dia menggigit rapat bibirnya begitu merasakan ngilu yang belum kikis di kakinya. Dia tapi berusaha sekuat mungkin untuk berdiri agar tidak terlihat lemah di hadapan pengawalnya.“Lihat!” kata Jean ketika gadis telah berdiri tegak.“Coba jalan!”Jean lantas melangkahkan kaki-nya namun baru sekali dia melangkah dia seketika roboh ke dalam tangkupan sang pengawal.“Lihat, ‘kan?” kata Radka. “Akibat dari tingkah gegabahmu.”“Lepasin!”“Duduk dulu!” pinta Radka membawa tubuh Jean untuk kem
Seperti yang Radka duga, Jean tengah berada di atas atap sekolah. Maniknya terpejam dengan tubuh yang menghadap miring ke arah anak kucing hitam yang turut terpejam di kungkungan lengannya.“Non Jean!” panggilnya dengan tenang.Tak ada jawaban ataupun tubuh yang menggeliyat merasakan gangguan pada tidurnya. Gadis itu hanya tetap pada titik semula yang menyekat lelapnya.Radka mendekat ke arah Jean. Tangannya menyentuh lengan gadis itu kemudian menepuk nya pelan secara berulang.“Non, ini mau hujan,” kata Radka yang masih menepuk lengan sang nona. “Non Jean!” suara Radka mulai meninggi.Jean mulai terganggu. Gadis itu mulai menggeliyat dan matanya perlahan terbuka. Kemudian saat manik gadis itu terbuka sepenuhnya, Radka berjalan mundur beberapa langkah untuk menciptakan jarak yang membuat sang nona tidak terganggu.“Apa sudah jam pulang sekolah?” tanya Jean dengan suara parau khas bangun tidur.“Sudah sejak setengah jam yang lalu.”“Benarkah?” tanya Jean tak percaya. Gadis itu lantas m
“Jadi mau kugendong atau berjalan sendiri?”Pertanyaan itu diutarakan oleh Radka kepada sosok Jean yang masih beringsut dengan tangan yang disibuk menengadah ke arah anak kucing yang ditatap nya dengan penuh sayang.Ya, sebuah sosok sang nona yang tidak pernah Radka duga.“Kenapa aku harus digendong oleh orang sepertimu?!”“Lalu kau mau digendong oleh siapa untuk turun?”“Kau pikir aku tidak bisa berjalan sendiri?”“Coba lihat!” tantang Radka.Jean lantas mencoba bangkit usai menaruh Micky di sampingnya. Dia menggigit rapat bibirnya begitu merasakan ngilu yang belum kikis di kakinya. Dia tapi berusaha sekuat mungkin untuk berdiri agar tidak terlihat lemah di hadapan pengawalnya.“Lihat!” kata Jean ketika gadis telah berdiri tegak.“Coba jalan!”Jean lantas melangkahkan kaki-nya namun baru sekali dia melangkah dia seketika roboh ke dalam tangkupan sang pengawal.“Lihat, ‘kan?” kata Radka. “Akibat dari tingkah gegabahmu.”“Lepasin!”“Duduk dulu!” pinta Radka membawa tubuh Jean untuk kem
“Jadi Papa-nya Jean tidak bisa datang?”Perempuan dalam rentang usia akhir dua puluhannya itu tampak tenang di atas kursinya. Kakinya berjajar dalam kedap yang menuang binar dari secarik manik di balik kacamatanya.“Kirim surat panggilan lagi saja, Bu,” celetuk Jean menimpali. “Beri p.s jika dia wajib datang sendiri.”Hening. Bagai suara dalam senyap, tidak ada siapapun yang mendengar suaranya. Kedua orang dewasa di sana hanya meliriknya sejenak sebelum akhirnya kembali saling menatap satu sama lain dan untuk kali pertama Jean melihat bagaimana raut wajah sang wali kelas yang selalu ketus tiba-tiba berubah dengan gimmick yang sangat aneh memandangi Radka.Ini sungguh menggelikan.“Tidak apa, Mas, jika memang Papa-nya Jean tidak bisa datang.”Manik mata Jean membola beserta mulutnya yang mengangah mendengar apa yang baru saja dia dengar bersinambungan dengan pipi merah malu-malu dari Bu Sulis.Jean bersumpah. Bulan lalu ketika Pak David atau ketika sebelumnya pengawal pribadi yang bern
“Kau menantangku, hah?!”Pekikan itu semakin keras diutarakan oleh Jean begitu gadis itu turun dari mobil. Bahkan pandangan maniknya yang mencuras naik menghadap ke arah sosok yang menjulang tinggi di hadapannya menunjukkan dengan benar bulir amarah dan kekesalannya.“Tidak, Nona.”“Lalu apa maksudmu tadi?”“Hanya sedikit saran, agar kita bisa bekerja sama dengan baik.”“Kau pikir aku mau bekerja sama denganmu?”“Tidak mau juga tidak masalah,” jawab Radka dengan enteng. “Kita bisa lihat siapa yang lebih pandai bertahan.”Radka lantas membawa dirinya berbalik dari hadapan sang nona untuk melangkah masuk ke dalam sekolah gadis itu. Akan tetapi ketika maniknya menangkap sebuah plat mobil yang baru saja masuk, dia tak bisa mengontrol dirinya untuk tidak berhenti melangkah mengamati meskipun jarak di antara titik bekunya dengan mobil di sana cukup jauh.“Hei! Pengawal Bodoh!” Jean kembali meneriaki Radka.Belum sempat Radka menoleh tetapi dia telah merasakan sebuah pukulan berat di punggun
“Apa katamu?”Pria paruh baya yang tengah disibukkan dengan berkas-berkas di tangannya harus menyimpan redam untuk sejenak menyingkap fokus dengan raut yang terkejut menatap ke arah sosok yang tak berbeda generasi dengannya.“Putra Attaris ingin bertemu denganmu, Pak Ferdi,” ulang sosok yang berdiri di depan meja, mengulangi ucapannya.“Bukankah Attaris hanya memiliki 1 putra?”“Ya,” pendek sosok di sana menjawab.“Bukankah dia sudah tewas beberapa tahun yang lalu?”“Tapi dia sungguh ada di sini dan masih hidup.”“Ajak dia masuk!” perintah Ferdi namun tergambar lantunan yang tengah meragu.David; sang sekretaris tersebut kemudian berjalan ke depan pintu. Membuka pintu yang menjadi batas pemisah di antara ruangan itu lalu mempersilahkan sosok muda yang menjulang tinggi untuk masuk ke dalam ruangan megah tersebut.Keterkejutan kembali menjadi satu-satunya hal yang menyingkap wajah Ferdi begitu menjumpai sosok di sana.“Kau—”“Ya, Paman,” jawabnya. “Aku Radka.”“Astaga, Nak!” Ferdi seger