“Apa katamu?”
Pria paruh baya yang tengah disibukkan dengan berkas-berkas di tangannya harus menyimpan redam untuk sejenak menyingkap fokus dengan raut yang terkejut menatap ke arah sosok yang tak berbeda generasi dengannya.
“Putra Attaris ingin bertemu denganmu, Pak Ferdi,” ulang sosok yang berdiri di depan meja, mengulangi ucapannya.
“Bukankah Attaris hanya memiliki 1 putra?”
“Ya,” pendek sosok di sana menjawab.
“Bukankah dia sudah tewas beberapa tahun yang lalu?”
“Tapi dia sungguh ada di sini dan masih hidup.”
“Ajak dia masuk!” perintah Ferdi namun tergambar lantunan yang tengah meragu.
David; sang sekretaris tersebut kemudian berjalan ke depan pintu. Membuka pintu yang menjadi batas pemisah di antara ruangan itu lalu mempersilahkan sosok muda yang menjulang tinggi untuk masuk ke dalam ruangan megah tersebut.
Keterkejutan kembali menjadi satu-satunya hal yang menyingkap wajah Ferdi begitu menjumpai sosok di sana.
“Kau—”
“Ya, Paman,” jawabnya. “Aku Radka.”
“Astaga, Nak!” Ferdi segera bangkit dari kursinya untuk berjalan ke hadapan pemuda di sana. Merangkul erat dengan cukup lama. Raut wajahnya masih kebingungan tapi kebahagiaan lebih besar mengisi relungnya. “Aku tahu kau masih hidup.”
“Ayo duduk!” ajak Ferdi membawa Radka untuk duduk ke atas kursi tamu di ruangan kerja pria itu. “Jadi bagaimana kabarmu?”
“Aku ingin menggunakan kartu yang kau berikan pada ayahku,” kata Radka tanpa basa-basi.
“Oke,” jawab Ferdi menyanggupi. “Bagaimanapun juga itu adalah hal yang sudah kuhadiah-kan pada mendiang ayahmu jadi aku tidak mungkin mengkhianati ucapanku sendiri.”
“Katakan apa yang kau inginkan,” lanjut Ferdi bertanya, mengabaikan keinginan diri yang meledak dalam rasa penasaran tentang keadaan pemuda di hadapannya.
“Aku ingin kau memberiku kehidupan baru.”
Ferdi tentu saja dibuat tidak mengerti atas ucapan yang dikatakan oleh anak dari mending teman sekaligus orang yang berharga baginya. Apalagi dari kalimat tidak basa-basi dan lentera wajah yang menunjukkan keseriusan yang penuh membuat Ferdi tidak mengerti sama sekali.
“Kehidupan baru seperti apa maksudmu?”
“Nama, latar belakang, dan pekerjaan.”
Ferdi kembali dibuat kebingungan atas permintaan pria itu.
“Apa yang akan kau lakukan, Nak?” tanya Ferdi dengan lembut.
“Menemuinya.”
“Siapa?” balas Ferdi tak mengerti.
“Sang jenderal … yang telah membunuh kami semua malam itu.”
Sadar atau tidak, sengaja atau tidak, tetapi Radka menangkap segalanya. Manik mata Ferdi yang tampak membeku dengan segenap tinta yang menuang waktu menjadi jawaban jelas jika sosok yang begitu dihormati oleh sang ayah adalah orang yang mengerti kemana laju pembicaraan yang tengah ia bawa sebagai pusat hidupnya.
“13 November 2016,” lanjut Radka ketika hening menyingkap mereka dengan lebih lama. “Paman pasti tahu tanggal itu.”
“Baiklah,” yakin Ferdi dengan mantap. “Mulai sekarang namamu adalah Radka Ganendra. Kau akan bekerja di rumahku dan aku akan melindungimu dengan apapun yang akan kau lakukan.”
***
“Ada yang ingin Nona sampaikan padaku?”
Suara bariton yang berat dan dalam itu mengisi gendang ruang di dalam kedapnya mobil sedan mewah yang tengah dikendarai kedua orang di sana menuju kawasan sekolah paling elit di kota ini. Sudah hampir setengah perjalanan berlalu, namun baru kali ini ada suara yang mengisi di antara keduanya.
“Tidak,” singkat gadis belia yang tengah duduk di samping pria itu.
“Lalu kenapa sejak tadi Nona memandangiku seperti itu?”
“Ini caraku mengawasi musuh-musuhku.”
Radka tidak bergeming. Pria itu hanya meneruskan fokusnya ke jalanan di hadapannya tanpa menoleh barang sejenak ke arah sang tuan belia bernama Jean yang sejak maniknya menangkup presensi Radka tidak mengalihkan pandangan intens-nya barang sejenak.
“Mengamati musuh dengan jarak sedekat ini akan menimbulkan banyak luka. Nona perlu bersembunyi di balik dinding agar caramu tepat pada sasaran.”
“Saran yang menarik.”
Akan tetapi Jean tidak menuruti hal tersebut. Gadis itu tetap melakukan apa yang semula dia lakukan. Menangkup tangan di sisi kepala dengan tubuh yang menyandar ke arah jendela pintu mobil sementara maniknya tak henti menatap ke arah side profile pria itu.
“Berapa umurmu?” Jean kembali mengejar tanya kepada Radka. “Kau terlihat muda.’
“Tidak semuda yang kau kira.”
“Berapa?” desak Jean. “30? 32?”
“Memang apa pentingnya umur bagi orang sepertimu? Bukankah siapapun dan berapapun umur mereka, bagimu mereka hanyalah tempatmu bermain?”
Radka ingat Ferdi sempat memberitahu tentang bagaimana watak dari puteri semata wayangnya tersebut. Sehingga dia tidak perlu terkejut lagi tentang bagaimana sikap dan cara bicara yang akan disuarakan oleh gadis itu begitu berjumpa dengannya.
Hanya saja, bagi Radka, bertingkah setenang dan sesabar itu dalam menghadapi manusia lain apalagi hanya ada remaja, bukanlah gaya dia. Pendidikan yang dia terima dan pengalaman beragam yang telah dia lalui, tidak pernah menjadikannya bisa melakukan hal selembut itu.
“Ho-ho,” Jean tertawa. Lebih tepatnya tawa yang dibuat-buat sebab rasa takjub yang sejenak menyingkap raut wajahnya. “Kau tipe-ku sekali.”
“Orang yang tidak punya rasa sopan, takut ataupun empati. Aku bisa melihatnya dengan jelas di wajahmu,” tambah Jean, menjentikkan jemari tangan kirinya ke hadapan Radka seolah tengah menjatuhkan penilaian.
“Kurasa kau hanya tidak tahu cara menilai orang.”
“Maksudmu?”
“Rasa tidak sopan dan yang lain tumbuh dengan siapa mereka berhadapan. Jika lawan mereka hanyalah sekumpulan orang yang menyebalkan, maka kita boleh memperlakukan mereka dengan selayaknya.”
“Tapi aku ini bosmu!” Jean tiba-tiba menyalak kesal usai mendengar perkataan Radka. Seolah gadis itu begitu cerdas untuk memahami kalimat yang dikatakan Radka. “Wajar aku berbicara seenakku padamu.”
“Bapak Ferdi yang menggaji saya.”
“Kau pikir dia siapaku?” Suara Jean kembali meninggi. Perempuan itu menegakkan punggungnya dan menatap ke arah Radka dengan tatapan yang siap mencabik. “Kau pikir aku sugar baby-nya? Kau pikir aku pelakor? Aku ini anak tunggalnya!”
“Anak angkat?”
“Brengsek! Kau cari mati?”
“Tidak, saya cari uang bukan cari mati.” Tangan Radka menarik rem tangan dan membawa mobil itu berhenti.
Kemudian pria itu memutar pandangannya untuk lekat menatap ke arah Jean yang masih kesal. “Kuingatkan satu hal padamu, semua hal yang akan kau lakukan untuk membuatku berhenti bekerja tidak akan mempan. Jadi jangan macam-macam atau mencari gara-gara denganku karena caraku memperlakukanmu mungkin akan berbeda dengan para pekerjamu yang lain.”
Mata kesal Jean semakin berubah membola. Perempuan itu bahkan membeku di tempat mendengar pernyataan panjang dari sang pengawal. Dia tak bisa berkata-kata melihat tingkah kurang ajar pria itu apalagi dengan raut wajah yang seserius dan sedingin itu.
Apa Jean baru saja diancam? Diancam oleh pengawal yang baru bekerja hari ini? Orang rendahan yang dibayar oleh sang ayah untuk menjadi pesuruhnya? Benar-benar tidak tahu diri. Dia sungguh tidak tahu dengan siapa tengah berurusan.
Jean bersumpah, dia akan membuat pria itu berhenti bekerja dalam waktu kurang dari satu bulan. Apapun caranya.
***
“Kau menantangku, hah?!”Pekikan itu semakin keras diutarakan oleh Jean begitu gadis itu turun dari mobil. Bahkan pandangan maniknya yang mencuras naik menghadap ke arah sosok yang menjulang tinggi di hadapannya menunjukkan dengan benar bulir amarah dan kekesalannya.“Tidak, Nona.”“Lalu apa maksudmu tadi?”“Hanya sedikit saran, agar kita bisa bekerja sama dengan baik.”“Kau pikir aku mau bekerja sama denganmu?”“Tidak mau juga tidak masalah,” jawab Radka dengan enteng. “Kita bisa lihat siapa yang lebih pandai bertahan.”Radka lantas membawa dirinya berbalik dari hadapan sang nona untuk melangkah masuk ke dalam sekolah gadis itu. Akan tetapi ketika maniknya menangkap sebuah plat mobil yang baru saja masuk, dia tak bisa mengontrol dirinya untuk tidak berhenti melangkah mengamati meskipun jarak di antara titik bekunya dengan mobil di sana cukup jauh.“Hei! Pengawal Bodoh!” Jean kembali meneriaki Radka.Belum sempat Radka menoleh tetapi dia telah merasakan sebuah pukulan berat di punggun
“Jadi Papa-nya Jean tidak bisa datang?”Perempuan dalam rentang usia akhir dua puluhannya itu tampak tenang di atas kursinya. Kakinya berjajar dalam kedap yang menuang binar dari secarik manik di balik kacamatanya.“Kirim surat panggilan lagi saja, Bu,” celetuk Jean menimpali. “Beri p.s jika dia wajib datang sendiri.”Hening. Bagai suara dalam senyap, tidak ada siapapun yang mendengar suaranya. Kedua orang dewasa di sana hanya meliriknya sejenak sebelum akhirnya kembali saling menatap satu sama lain dan untuk kali pertama Jean melihat bagaimana raut wajah sang wali kelas yang selalu ketus tiba-tiba berubah dengan gimmick yang sangat aneh memandangi Radka.Ini sungguh menggelikan.“Tidak apa, Mas, jika memang Papa-nya Jean tidak bisa datang.”Manik mata Jean membola beserta mulutnya yang mengangah mendengar apa yang baru saja dia dengar bersinambungan dengan pipi merah malu-malu dari Bu Sulis.Jean bersumpah. Bulan lalu ketika Pak David atau ketika sebelumnya pengawal pribadi yang bern
“Jadi mau kugendong atau berjalan sendiri?”Pertanyaan itu diutarakan oleh Radka kepada sosok Jean yang masih beringsut dengan tangan yang disibuk menengadah ke arah anak kucing yang ditatap nya dengan penuh sayang.Ya, sebuah sosok sang nona yang tidak pernah Radka duga.“Kenapa aku harus digendong oleh orang sepertimu?!”“Lalu kau mau digendong oleh siapa untuk turun?”“Kau pikir aku tidak bisa berjalan sendiri?”“Coba lihat!” tantang Radka.Jean lantas mencoba bangkit usai menaruh Micky di sampingnya. Dia menggigit rapat bibirnya begitu merasakan ngilu yang belum kikis di kakinya. Dia tapi berusaha sekuat mungkin untuk berdiri agar tidak terlihat lemah di hadapan pengawalnya.“Lihat!” kata Jean ketika gadis telah berdiri tegak.“Coba jalan!”Jean lantas melangkahkan kaki-nya namun baru sekali dia melangkah dia seketika roboh ke dalam tangkupan sang pengawal.“Lihat, ‘kan?” kata Radka. “Akibat dari tingkah gegabahmu.”“Lepasin!”“Duduk dulu!” pinta Radka membawa tubuh Jean untuk kem
Seperti yang Radka duga, Jean tengah berada di atas atap sekolah. Maniknya terpejam dengan tubuh yang menghadap miring ke arah anak kucing hitam yang turut terpejam di kungkungan lengannya.“Non Jean!” panggilnya dengan tenang.Tak ada jawaban ataupun tubuh yang menggeliyat merasakan gangguan pada tidurnya. Gadis itu hanya tetap pada titik semula yang menyekat lelapnya.Radka mendekat ke arah Jean. Tangannya menyentuh lengan gadis itu kemudian menepuk nya pelan secara berulang.“Non, ini mau hujan,” kata Radka yang masih menepuk lengan sang nona. “Non Jean!” suara Radka mulai meninggi.Jean mulai terganggu. Gadis itu mulai menggeliyat dan matanya perlahan terbuka. Kemudian saat manik gadis itu terbuka sepenuhnya, Radka berjalan mundur beberapa langkah untuk menciptakan jarak yang membuat sang nona tidak terganggu.“Apa sudah jam pulang sekolah?” tanya Jean dengan suara parau khas bangun tidur.“Sudah sejak setengah jam yang lalu.”“Benarkah?” tanya Jean tak percaya. Gadis itu lantas m
Seperti yang Radka duga, Jean tengah berada di atas atap sekolah. Maniknya terpejam dengan tubuh yang menghadap miring ke arah anak kucing hitam yang turut terpejam di kungkungan lengannya.“Non Jean!” panggilnya dengan tenang.Tak ada jawaban ataupun tubuh yang menggeliyat merasakan gangguan pada tidurnya. Gadis itu hanya tetap pada titik semula yang menyekat lelapnya.Radka mendekat ke arah Jean. Tangannya menyentuh lengan gadis itu kemudian menepuk nya pelan secara berulang.“Non, ini mau hujan,” kata Radka yang masih menepuk lengan sang nona. “Non Jean!” suara Radka mulai meninggi.Jean mulai terganggu. Gadis itu mulai menggeliyat dan matanya perlahan terbuka. Kemudian saat manik gadis itu terbuka sepenuhnya, Radka berjalan mundur beberapa langkah untuk menciptakan jarak yang membuat sang nona tidak terganggu.“Apa sudah jam pulang sekolah?” tanya Jean dengan suara parau khas bangun tidur.“Sudah sejak setengah jam yang lalu.”“Benarkah?” tanya Jean tak percaya. Gadis itu lantas m
“Jadi mau kugendong atau berjalan sendiri?”Pertanyaan itu diutarakan oleh Radka kepada sosok Jean yang masih beringsut dengan tangan yang disibuk menengadah ke arah anak kucing yang ditatap nya dengan penuh sayang.Ya, sebuah sosok sang nona yang tidak pernah Radka duga.“Kenapa aku harus digendong oleh orang sepertimu?!”“Lalu kau mau digendong oleh siapa untuk turun?”“Kau pikir aku tidak bisa berjalan sendiri?”“Coba lihat!” tantang Radka.Jean lantas mencoba bangkit usai menaruh Micky di sampingnya. Dia menggigit rapat bibirnya begitu merasakan ngilu yang belum kikis di kakinya. Dia tapi berusaha sekuat mungkin untuk berdiri agar tidak terlihat lemah di hadapan pengawalnya.“Lihat!” kata Jean ketika gadis telah berdiri tegak.“Coba jalan!”Jean lantas melangkahkan kaki-nya namun baru sekali dia melangkah dia seketika roboh ke dalam tangkupan sang pengawal.“Lihat, ‘kan?” kata Radka. “Akibat dari tingkah gegabahmu.”“Lepasin!”“Duduk dulu!” pinta Radka membawa tubuh Jean untuk kem
“Jadi Papa-nya Jean tidak bisa datang?”Perempuan dalam rentang usia akhir dua puluhannya itu tampak tenang di atas kursinya. Kakinya berjajar dalam kedap yang menuang binar dari secarik manik di balik kacamatanya.“Kirim surat panggilan lagi saja, Bu,” celetuk Jean menimpali. “Beri p.s jika dia wajib datang sendiri.”Hening. Bagai suara dalam senyap, tidak ada siapapun yang mendengar suaranya. Kedua orang dewasa di sana hanya meliriknya sejenak sebelum akhirnya kembali saling menatap satu sama lain dan untuk kali pertama Jean melihat bagaimana raut wajah sang wali kelas yang selalu ketus tiba-tiba berubah dengan gimmick yang sangat aneh memandangi Radka.Ini sungguh menggelikan.“Tidak apa, Mas, jika memang Papa-nya Jean tidak bisa datang.”Manik mata Jean membola beserta mulutnya yang mengangah mendengar apa yang baru saja dia dengar bersinambungan dengan pipi merah malu-malu dari Bu Sulis.Jean bersumpah. Bulan lalu ketika Pak David atau ketika sebelumnya pengawal pribadi yang bern
“Kau menantangku, hah?!”Pekikan itu semakin keras diutarakan oleh Jean begitu gadis itu turun dari mobil. Bahkan pandangan maniknya yang mencuras naik menghadap ke arah sosok yang menjulang tinggi di hadapannya menunjukkan dengan benar bulir amarah dan kekesalannya.“Tidak, Nona.”“Lalu apa maksudmu tadi?”“Hanya sedikit saran, agar kita bisa bekerja sama dengan baik.”“Kau pikir aku mau bekerja sama denganmu?”“Tidak mau juga tidak masalah,” jawab Radka dengan enteng. “Kita bisa lihat siapa yang lebih pandai bertahan.”Radka lantas membawa dirinya berbalik dari hadapan sang nona untuk melangkah masuk ke dalam sekolah gadis itu. Akan tetapi ketika maniknya menangkap sebuah plat mobil yang baru saja masuk, dia tak bisa mengontrol dirinya untuk tidak berhenti melangkah mengamati meskipun jarak di antara titik bekunya dengan mobil di sana cukup jauh.“Hei! Pengawal Bodoh!” Jean kembali meneriaki Radka.Belum sempat Radka menoleh tetapi dia telah merasakan sebuah pukulan berat di punggun
“Apa katamu?”Pria paruh baya yang tengah disibukkan dengan berkas-berkas di tangannya harus menyimpan redam untuk sejenak menyingkap fokus dengan raut yang terkejut menatap ke arah sosok yang tak berbeda generasi dengannya.“Putra Attaris ingin bertemu denganmu, Pak Ferdi,” ulang sosok yang berdiri di depan meja, mengulangi ucapannya.“Bukankah Attaris hanya memiliki 1 putra?”“Ya,” pendek sosok di sana menjawab.“Bukankah dia sudah tewas beberapa tahun yang lalu?”“Tapi dia sungguh ada di sini dan masih hidup.”“Ajak dia masuk!” perintah Ferdi namun tergambar lantunan yang tengah meragu.David; sang sekretaris tersebut kemudian berjalan ke depan pintu. Membuka pintu yang menjadi batas pemisah di antara ruangan itu lalu mempersilahkan sosok muda yang menjulang tinggi untuk masuk ke dalam ruangan megah tersebut.Keterkejutan kembali menjadi satu-satunya hal yang menyingkap wajah Ferdi begitu menjumpai sosok di sana.“Kau—”“Ya, Paman,” jawabnya. “Aku Radka.”“Astaga, Nak!” Ferdi seger