Saat dunia menantikan kedatangan sang pengadil, di kala itu pergolakan alam semesta terus terjadi. Di setiap sisi dan di setiap lini muka bumi tiada lain adalah perpanjangan tangan dari kata huru-hara.
Saat dunia merindukan kebebasan bertindak, alam semakin suram menampakkan wujud remang dan mendung selalu menyelimuti. Saat itu bencana demi bencana seakan membabi buta.
Masyarakat di ombang-ambing harapan yang tak jelas. Rakyat di dera kelaparan menahun tiada berkesudahan dan pergolakan ketidakadilan bersatu padu merongrong sifat baik di setiap penjuru pelosok negeri.
Bahkan musim tak tentu berganti, bahkan cuaca sebentar berubah-ubah. Seakan alam mengamini apa pun yang terjadi adalah benar. Bukan rekayasa manusia atau genetika ilmu sains semata.
Hingga setiap pelosok dunia dicekam ketakutan akan adanya bahaya perang terakhir dunia lalu berkesudahan akhir riwayat bumi. Membunuh di masa ini sudah biasa, bahkan saking terbiasanya anak berusia tujuh sampai sepuluh tahun sudah terbiasa membawa pisau dapur di dalam permainan petak umpet yang mereka selenggarakan.
Masa ini di sebut masa goro-goro, dimana istilah ini dipakai dalam pagelaran seni wayang kulit. Berarti satu kesatria besar dan pilihan hendak muncul ke permukaan bumi. Dengan tugas untuk menyeimbangkan ketimpangan dan kesenjangan dari energi negatif yang terlalu berat bagi dunia.
Di saat semua kalangan dan golongan di setiap lapisan masyarakat di berbagai belahan dunia tengah rusuh dan banyak terjadi kerusuhan di mana-mana, penjarahan, pemerkosaan, dan perampasan di depan mata adalah hal yang sudah terlalu
Tentang sebuah masa bernama goro-goro atau dalam bahasa biasa berarti huru-hara. Darah seakan genangan air yang lumrah tertumpah di setiap sudut gang setiap malam. Bahkan jeritan anak gadis perawan terlalu sering mengaduh serta menjerit akan kesakitan dan kehilangan sebuah mahkota utama. Sebuah mahkota yang telah dirawat dan dijaga sedemikian rupa hingga datangnya akad dan sekarang terlalu lumrah dan biasah begitu saja lepas dari angan dan tubuh perawan.
Masa goro-goro terbagi oleh empat fase. Dari fase pertama hingga fase keempat sama rata-rata berjalan selama kurun waktu tujuh tahun berjalan. Tetapi di setiap fase berbeda jaman dan kenyataan serta ketimpangan sosial dan bencana berbeda pula ceritanya.
Kali ini cerita awal dan mula fase masa goro-goro pertama. Aku torehkan dalam halaman pertama kertas-kertas Altar demi sebuah perubahan besar yang akan aku ciptakan. Sebuah rencana yang akan aku susun rapi serapi-rapinya. Sebuah bagan rancangan pergulatan besar yang akan aku mulai sebagai tonggak awal perubahan menyeluruh yang sudah terlanjur terjadi.
Bahwa aku MR. D atau dalam bahasa Jawa dikatakan Bapak D dan di sebut teman sejawat dengan sapaan renyah antara kawan Mas Dalang. Saya akan bertutur cerita bahwa di dalam kesusahan masih ada harapan dan akan aku ciptakan pelangi setelah rintik hujan. Akan aku lukis harapan walau tiada mungkin diciptakan.
Saat semua lini dunia semua lini masyarakat bahkan di dalam satu negara kecil hampir hancur tiada masa depan di dalam kota-kota besar. Tetapi tidak demikian di dalam desa-desa kecil pinggiran gunung. Bahkan terlalu ogah para penyamun, atau para cenawan yang sering disebut dukun ilmu hitam untuk melirik tempat-tempat seperti ini.
Namun bukannya tiada mungkin mereka datang menyerang pada desa-desa kecil yang membentang di sepanjang kaki gunung-kaki gunung di sepanjang negeri. Salah satunya sebuah desa pinggiran kota pas bawah kaki gunung Anjasmara sebuah desa asri gemah ripah loh jenawi bernama desa Kembang Sri.
Desa ini awal mulanya sanggatlah damai dan tenteram tiada satu hal yang membahayakan atau meneror warga desa sampai suatu ketika goro-goro datang mengunjungi desa setelah menghancurkan setiap kota-kota besar pada akhirnya sampai jua menginjakkan kaki di desa-desa terpencil seperti desa Kembang Sri.
Malam itu keluarga lurah Dahlan tengah terlelap selayaknya warga desa yang lain. Terlelap dalam bantal empuk dan kasur empuk di setiap ranjang kamar bawah atap rumah-rumah mereka.
Sedangkan malam semakin gelap dan kabut mulai merayap berjalan serta perlahan menyelimuti menutup desa keseluruhan. Mereka tiada mengetahui jikalau ada sebuah bahaya tengah mengintai dalam gelap. Tengah mengintai di balik kabut-kabut gelap yang seakan berbicara, bunuh-bunuh dan bakar-bakar.
Mereka tiada mengetahui jikalau ada bayangan-bayangan dengan mata-mata yang terus mengintip serta mengamati dan mencari kesempatan atau celah untuk siap menerkam, mencincang atau menguliti setiap penghuni rumah yang ada di desa Kembang Sri.
“Karyo kita tunggu dulu sampai malam benar-benar berada di tengah peredarannya. Sampai benar-benar mereka para warga desa terlelap sempurna,” ucap Dukun Bargowo yang tengah mengomandoi beberapa dukun lain di bawah perintahnya dan Karyo hanya mengangguk pelan sambil terus mengintai di belakang rumah Pak Lurah Dahlan. Bersembunyi dalam gelap di sekitar hutan bambu yang tumbuh subur di belakang rumah Pak Lurah Dahlan.
“Benar ketua kalau sudah aman dan seluruh warga tertidur benar. Kita segera lancarkan serangan mematikan di mulai dengan membantai seluruh keluarga Pak Lurah Dahlan yang sangat sombong tersebut,” ucap Burhan yang termasuk salah satu dukun dari kelima dukun di bawah komando dukun ketua Bargowo.
Sedangkan beberapa dukun lain yang statusnya di bawah ke lima dukun utama yang dikomandoi langsung oleh Ki Bargowo. Tersebar di setiap sisi atau belakang rumah warga dalam posisi siap untuk membantai seluruh warga desa Kembang Sri.
Oek, oek,
Suara tangis bayi terdengar melengking dari dalam rumah Pak Lurah Dahlan. Bayi tersebut adalah Tuan Bagus atau yang sering Aden Bagus yakni anak lelaki pertama dan buah hati pertama dari si lurah muda.
“Pak itu dedek bangun Pak,” ucap Nyi Lastri istri Pak Lurah Dahlan membangunkan Pak Lurah Dahlan yang sedang pulas tertidur.
“Oh iya Dek, tumben Bagus bangun jam segini ya Dek,” ucap Pak Lurah Dahlan ikut bangun dan turun dari ranjang mengikuti sang istri dari belakang menuju kamar bayi dimana Aden Bagus tidur.
Ketika Nyi Lastri membuka pintu kamar Aden Bagus betapa terkejut iya bahwa ada sesosok nenek-nenek tua dengan rambut panjang bervolume banyak dengan warna putih acak-acakan sampai-sampai rambut tergerai menyentuh tanah.
Sosok yang sering disebut hantu wewe gombel. Dengan wujud tinggi besar bertangan keriput seperti tinggal tulang dan kulit. Memiliki kuku panjang di setiap jari-jarinya, dengan ciri yang khas adalah buah dada yang kendor namun begitu panjang sampai menyentuh tanah.
Sosok wewe gombel terlihat di depan tempat tidur Aden Bagus seakan hendak mengambil atau mencuri Aden Bagus yang masih bayi. Sosok wewe gombel memang bersifat sangat suka terhadap anak-anak dan kerap menculik anak-anak yang luput dari pengawasan orang tuanya.
“Loh Pak itu apa Astagfirullah, Pak tolong Bagus Pak,” teriak Nyi Lastri terus menjerit ketakutan dan khawatir akan putra pertamanya Aden Bagus.
“Tenang Dek, tenang Adek di sini saja aku akan menyelamatkan anak kita,” ucap Pak Lurah Dahlan.
Tetapi naas bagi keluarga Lurah Dahlan sebilah keris telah menancap di punggung Pak Lurah Dahlan dengan darah segar mulai mengucur membasahi kaos putih Pak Lurah Dahlan sehingga tak berwarna putih lagi. Berubah menjadi merah oleh darah yang merembes keluar.
Argh,
Suara Pak lurah Dahlan menjerit kesakitan, terduduk sambil menoleh ke belakang memastikan siapa yang telah tega menikamnya dari belakang.
“Hai saudaraku Dahlan, masih ingatkah kau dengan ku Dek. Dulu kau pernah melukaiku saat aku ingin merenggut keperawanan istrimu yang cantik ini. Sehingga membuat cacat kaki ku ini,” ucap Ki Bargowo menyeringai puas akan balas dendamnya.
“Bargowo kau memang manusia berwajah setan,” ucap Pak Lurah Dahlan dengan agak serak dan terbata-bata menahan sakit dengan mulut sudah memuntahkan darah.
“Pak, tidak!" teriak Nyi Lastri namun segera di bungkam dan dekap dari belakang oleh Karyo.
“Karyo taruh Nyi Lastri ke dalam kamarnya ikat tangan dan kakinya. Aku masih penasaran merasakan nikmatnya kemolekan tubuh Bu Lurah ini,” ucap Ki Bargowo sambil memegang dagu Nyi Lastri. Sedangkan Pak Lurah Dahlan sudah tergeletak di lantai depan pintu kamar Aden Bagus tak bergerak sama sekali.
“Baik ketua,” jawab Karyo singkat sambil memaksa Nyi Lastri dengan cara tetap mendekapnya menuju kamar utama rumah Pak Lurah Dahlan.
“Juh, dulu kau sangat jemawa Dek. Seakan kau paling sakti diantara kita dan pada akhirnya kau kalah juga aku tusuk dengan keris Pulang Geni milikku ini. Woi wewe gombel bawa bayi itu ke markas untuk menjadi persembahan nantinya. Aku akan menikmati tubuh Bu Lurah yang cantik dan jelita itu malam ini,” ucap Ki Bargowo berjalan memasuki kamar utama dimana Nyi Lastri telah diikat oleh Karyo dan di telanjangi penuh.
“Tidak jangan, jangan!” teriak Nyi Lastri yang tengah di nodai oleh Ki Bargowo dan Karyo.
Malam itu akhirnya ketenangan dan ketenteraman desa Kembang Sri terusik jua. Kisah masa goro sampai juga ke desa mereka, teriakan dan tangisan serta jeritan terdengar mengerikan di bawah malam mencengkam desa Kembang Sri.
Rumah-rumah terbakar termasuk rumah Pak Lurah Dahlan hingga habis tak bersisa. Nyi Lastri dan Pak Lurah Dahlan jua sudah ikut hangus terbakar bersama warganya yang mati bergelimpangan.
Sementara itu di ujung jauh di salah satu bukit gunung Anjasmara. Seseorang tengah berjalan menuruni bukit dengan begitu cepat. Selayaknya angin iya berjalan seperti menghilang sebentar terlihat sebentar menghilang.
Sosok Pak tua berjubah hitam dan memakai celana kolor panjang berwarna hitam dengan camping pak tani atau topi yang selalu di pakai pak tani. Dengan tongkat jalan dari kayu cendana selalu di pegang di tangan kanan.
Begitu cepat selayaknya angin iya berjalan sehingga sebentar saja iya sudah berada di muka desa Kembang Sri. Dari awal iya berjalan dari salah satu bukit gunung Anjasmara yang jaraknya sekitar dua kilo meter dari desa Kembang Sri.
“Hei wewe gombel jelek, serahkan bayi itu kepadaku,” ucap sosok tua misterius tersebut menghadang wewe gombel yang tengah menggendong sosok bayi yang tidak lain adalah Aden Bagus.
Ha, ha, huwa,
Suara wewe gombel menyeringai tak ingin memberikan Aden Bagus yang ada dalam gendongannya.
“Baiklah kalai itu yang kau mau,” ucap sosok tua misterius berjalan sejengkal namun sudah menghilang kembali dan muncul di belakang sosok wewe gombel dan sudah berhasil merebut sosok bayi Aden Bagus sambil menggendongnya.
Aaa...,
Teriakan wewe gombel melengking sampai terdengar oleh telinga Ki Bargowo yang tengah berpesta. Menebas, membunuh serta memenggal kepala para warga Kembang Sri.
“Karyo lekas kita ke tempat asal suara wewe gombel peliharaan kita itu. Aku takut bayi Lurah Dahlan sudah berpindah tangan dati wewe gombel,” ucap Ki Bargowo yang langsung berlari menuju muka desa.
Sampai di jalan masuk utama desa Kembang Sri. Ki Bargowo dan centeng-centengnya mendapati wewe gombel telah menjadi abu dan mereka tak mendapati sosok bayi anak Pak Lurah Dahlan.
“Kurang ajar siapa yang melakukan hal ini?" teriak Ki Bargowo sangat kesal.
Dari kejauhan terdengar suara lelaki tua bersenandung seakan sedang menidurkan anaknya, “Tak lelo, lelo legung cup menengo anak ku seng bagus rupane,” sebuah tembang Jawa kuno sebagai pengantar tidur untuk bayi yang berarti menenangkan si bayi agar tidak menangis terdengar sayup-sayup dari salah satu bukit gunung Anjasmara.
“Woi siapa kau jangan lari, ayo kejar!" teriak Ki Bargowo mengomandoi anak buahnya untuk mengejar sumber suara dari senandung tembang Jawa kuno tentang mendiamkan anak yang tengah menangis di tengah malamnya. Meninggalkan desa Kembang Sri yang telah terbakar di seluruh bagian desanya tak bersisa.
“Bargowo setelah kota kita kuasai dan kau serta anak buahmu telah menancapkan bendera pertama dengan membuat kehancuran di desa awal pintu masuk gunung Anjasmara yakni desa Kembang Sri. Malam ini kau dan anak buahmu harus bergerak cepat hancurkan desa paling atas bernama desa Ujung Batu itu. Hal ini saya maksudkan agar seluruh penduduk di desa-desa sekitar gunung Anjasmara tahu kengerian goro-goro yang kita ciptakan. Kalau desa awal dam desa akhir kita musnahkan, tentu desa-desa yang berada di tengah-tengahnya akan gampang kita hancurkan,” kata sebuah bayangan tanpa rupa dan tak berwujud hanya sebuah bayangan bercula dua.“Sendiko dawuh (Sendiko dawuh adalah bahasa Jawa yang dalam arti bahasa Indonesia adalah mengiyakan dengan sangat hormat dan tunduk setunduk-tunduknya) raja ku, raja para setan yang sangat sakti tiada tandingan. Saya bersama rekan-rekan malam ini akan berangkat melaksanakan perintah tuan,” ucap Ki Bargowo pimpinan para dukun dengan po
“Kita harus cepat Dek terus berlari, aku mendengar kabar bahwa desa-desa di sekitar gunung Anjasmara mulai dihancurkan,” teriak Raja pada Arum yang terus berlari di depan Raja sambil terus melontarkan panah api dari busur api yang Arum pegang ke arah puluhan anjing setan yang terus mengejar dan menyerang mereka.Sedangkan Raja terus menghantam dan memukul serta menendang para anjing setan yang melompat hendak menerkam ke arahnya.Mereka berdua menghindar jauh dan mundur terlalu jauh dari medan peperangan kota Jombang. Sebab kota itu sudah dikuasai oleh para manusia pembawa setan dengan makhluk-makhluk ganas yang disebut kodam dari jenis setan berbagai macam bentuk dan rupa.Raja dan Arum bukan satu-satunya pasangan pejuang yang terus melawan demi merebut kembali kota mereka Jombang tercinta. Ada beberapa lagi seperti mereka yang tersebar di seluruh kota yang terus berjuang. Namun kali ini mereka harus mundur dan mau tak mau mereka melepas
“Hai D, lama tak berjumpa,” suara berintonasi besar dan berat menggaung dari langit.Bersamaan itu mendung yang menggelayut kelam seusai badai dan masih tersisa petangnya perlahan terbelah. Ada cahaya terang menyeruak dari belahan awan, ada cahaya memancar bagai petir lurus menghunjam ke bawah jatuh di atas bukit Tunggorono.Ada sayap berbulu emas besar menyeruak dari balik awan. Dengan panjang tiada dapat di ukur dan lebar sudah tak dapat di jangkau. Sosok dari atas langit dengan kaki-kakinya yang kekar berkuku tajam turun perlahan.Lalu berdiri pas di belakang pak tua bertopi caping mirip pak tani yang sedari tadi hanya berdiri terus mengawasi kehancuran kota Jombang di bawah tebing curam bukit Tunggorono.“Kau Garuda memang benar sudah terlalu lama kita tiada berjumpa kembali,” Pak tua bertopi caping hanya mematung terus menatap lekat kotanya yang tinggal sisa puing-puing.“Apa yang kau lihat D, kotamu sudah h
Seorang tua bertopi caping mirip topi pak tani berjalan membawa tongkat dari kayu cendana. Bibir keriputnya terus bersuara berulang-ulang dengan lafaz Allahuma Shalli Ala Muhammad. Wajahnya tertunduk ke bawah tak mau menatap apa saja yang ada di depannya. Berjubah serba hitam memegang tasbih ditangan kanan yang terus diputar perbutir.“Allahuma Shalli Ala Muhammad,” terus berulang keluar dari lisan dan bibir si pak tua bertopi caping.Sedangkan hari semakin gelap saja di sekitar sungai Konto. Namun seakan tiada peduli apa saja yang mewujud dari gelapnya malam tepian sungai iya terus menyusuri sungai Konto.Sejenak langkahnya terhenti saat bayangan rembulan pas di tengah sungai pertanda petang telah sempurna di tengah-tengah malam. Ada sebuah wujud menghentikan langkahnya, menghadangnya dari depan dan tiba-tiba ada menghalangi jalan si pak tua bertopi caping mirip topi pak tani.Sebuah wujud yang lebih tua dari dirinya. Wujud
“Assalamualaikum Nyi Sekar Arum,” MR. D berjalan perlahan menuju sebuah rumah berdinding papan di atas bukit Tunggorono Sebuah rumah sederhana yang iya buat ala kadarnya bersama sang istri tercinta Nyi Sekar. Sebuah gubuk tua berdinding dari papan separuh anyaman bambu. Beratap dari dedaunan rumbia dan beberapa daun lain yang diambil dari hutan sekitar bukit Tunggorono. Sebuah gubuk tanpa listrik dan hanya lampu templek mirip jaman dahulu kala menempel di ruang tamu. Bahkan lampu tersebut dibuat sendiri oleh Nyi Sekar.MR. D dahulu pernah tinggal di sebuah desa pinggiran kota Jombang. Sebuah desa bernama Mojokembang, desa besar sebagai pusat peradaban para pejuang atau pendekar kebatinan dari organisasi lama dan anak keturunan.Namun sebab peristiwa besar memilukan dua puluh sampai tiga puluh tahun yang lalu membuat iya dan sang istri harus terusir dari tempat asal desa mereka. Mereka memilih tinggal jauh dari kota yang kali ini tengah m
“Assalamualaikum, halo disini Gilang ketua divisi dua kelompok anak keturunan. Kita sudah habis, tetapi bukannya tanpa harapan. Sekali lagi disini Gilang putra Elang ketua divisi dua kelompok anak keturunan. Terus berjuang kawan sambil terus bergerak mundur ke pinggiran kota. Bukan untuk menyerah dan membiarkan mereka para setan terus membabi buta memusnahkan kita. Tetapi untuk mengatur ulang strategi sesuai yang diperintahkan Raja sang panglima seluruh divisi. Sekali lagi disini Gilang putra Elang ketua divisi dua wakil dari Raja ketua divisi pertama. Bagi semua divisi yang mendengarkanku terus melawan namun perlahan kita mundur kita berkumpul di titik koordinat yang telah di tentukan,” ucap Gilang pada sebuah alat komunikasi yang para kelompok anak keturunan rancang sendiri. Serupa HT namun agak lebih canggih di lengkapi sensor pelacak keberadaan setan. Aaa...! Sebuah teriakan terdengar dari sisi utara dari kelompok gilang yang tengah berjuang melawan t
“Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh,Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh,” ucap lirih MR. D dari dua kalimat salam setelah menunaikan fardu subuh. Kali ini tiada MR. D tiada memakai jas kebesaran atau baju yang biasa iya kenakan saat berkelana menyusuri sudut-sudut kota Jombang hingga ke pelosok pinggiran.MR. D tengah khusyuk di atas sajadah lusuh warna merah bata pemberian sang ayah dahulu kala. Memakai sarung hitam kotak-kotak dipadu-padankan dengan baju kokoh warna putih serta peci hitam tersemat di atas kepala menutupi rambutnya. MR. D terus memutar tasbih butir demi butir dalam genggaman jemari tangan kanan.“Allahuma Shalli Ala Muhammad,” lafaz Shalawat Rasullah terus bergetar lirih walau perlahan tapi pasti mengudara dari bibirnya.Matanya memang terpejam, tetapi hati dab batin bersahutan menghimpun udara-udara murni dari alam. Sesekali nafas iya hirup perlahan di sela-sela zikir lalu meng
“Ah kurang ajar, kenapa setan tengkorak ini tidak bisa dihancurkan? Seakan mereka bisa hidup kembali walau tulang belulang mereka berserakan di tanah,” teriak Michael Ucup begitu marah tak terkendali.Wajahnya teramat kalut memerah seakan tenggelam dalam api amarah kelam. Semua ini sebenarnya luapan emosi Ucup akan kepedihan sebuah perpisahan dari sang kekasih yang mati di tangan setan api.Tangan Ucup terus mengeluarkan api dari dalam tubuhnya. Sebuah api kemarahan yang terbentuk dari gesekan partikel magnetik dalam tubuh yang melampaui batas. Bergesekan dengan aura negatif yang di sebar oleh otak kala manusia tengah marah secara lampaui batas kemarahan.Tetapi sejatinya tenaga dalam bola api yang dilontarkan dari efek jurus kemarahan seperti demikian tiada begitu kuat. Karena terlampau banyak muatan aura negatif yang disalurkan oleh otak. Sehingga api cenderung tak berbentuk dan hanya sedapatnya menyambar lawan.“Ucup
Tengah malam lewat 15 menit sudah Jaka baru pulang dan baru sampai di teras rumahnya pas berdiri di depan pintu depan rumah berbentuk kupu-kupu atau orang Jawa menyebutnya pintu berbentuk kupu tarung. Entah apa maksudnya kupu tarung yang kalau di buat menjadi arti bahasa Indonesia artinya kupu berkelahi mungkin bentuknya yang seperti kupu-kupu saling berhadapan.“Eh ketok enggak ya, ah terobos sajalah,” gerutu Jaka melewati Pintu dengan gampangnya seakan Jaka selalu dengan mudah menembus pintu tebal yang terbuat dari pohon jati hasil karya Mbah Raji tersebut.“Hehe, sudah masuk dong ke dalam rumah, eh percuma dong istriku mengunci pintu kalau aku gampang masuk. Dan oh tidak orang yang bisa kayak aku juga gampang masuk dong. Haduh Putri jadi ngeri meninggalkan kamu lama-lama sayang, ah kok jadi parno begini ya cus ke kamar,” gerutu Jaka melangkah ke kamar dengan langkah di percepat.Sampai pintu kamar ternyata keadaan pintu tak tertutup se
Krek..., blek...,Suara pintu kamar Vivi terbuka perlahan dari luar oleh Jaka dan Bagus yang hendak mengecek keadaan Vivi dan Wahyu.“Rupanya mereka sudah pulas Mas,” ucap Jaka tersenyum kecil melihat tingkah lucu anaknya yang tengah memeluk erat Vivi sambil terus mengusap perut Vivi sambil terus mengigau Mas Dewa.“Eh sebentar deh Dek Jaka coba dengar igauan anakmu itu,” kata Bagus masih berdiri di depan pintu bersama Jaka.“Sebentar Mas, diam lah dulu aku tidak begitu jelas coba aku dengar sekali lagi,” ujar Jaka mendekatkan daun telinganya agak menjorok ke dalam pintu sambil melonggokkan kepala ke dalam kamar.“Mas Dewa cepat lahir ya,” kembali igauan Wahyu terdengar kali ini agak jelas.“Eh benar kan firasatku Mas,” celetuk Jaka menatap Bagus dan Bagus yang tak tahu menahu akan maksud dari Jaka hanya bengong tak mengerti.“Maksudnya bagaimana ini Dek aku jadi penasa
“Tante, tante Vivi, halo dimanakah dirimu Tanteku yang cantik dan perutnya gendut, hehe. Namanya hamil ya memang gendut ya ah aku ini bagaimana,” teriak Wahyu sambil menggerutu menertawakan diri sendiri terus berlari ke arah kamar Vivi.“Nah ini kamar Tante sama Om ini, gedor ah kerjai Tante biar langsung bangun tidur melulu Si Tante ah aku kan kangen,” gerutu Wahyu mulai usil dengan rencana-rencana nakalnya.“Duor,” sekali tendang pas di tengah dengan kakinya membuat suara sangat kencang namun tetap tak terbuka pintu tetap tertutup rapat terkunci dari dalam.“Loh kok enggak bangun juga ini Tante wah tidur apa pingsan sih ini orang, Tante aku kangen!” teriak Wahyu di depan pintu kamar Vivi.“Pakai apa ya biar bunyinya jadi kayak ada ritmenya gitu pas mukul-mukul ini pintu, hem, ahay ini ada palu ini di atas meja kok pas ya ada palu namanya juga novel campur komedi ia kan haha, eh jangan deh nanti
“Brem, brem, tengteng teng, sit hop stop,” celetuk Wahyu langsung lompat dari atas motor bergegas lari menuju dalam rumah Pak Bupati Bagus yang memang sudah terbuka pintu depannya.“Hey, Wahyu hati-hati Nak jangan lari nanti jatuh,” teriak Jaka namun Wahyu tak menggubris dan terus berlari dengan kaki-kaki kecilnya yang menggemaskan.“Assalamualaikum tante, oh tante,” teriak Wahyu sambil terus berlari melewati Omnya yakni Pak Bupati Bagus beserta petinggi T O H yang lain yang tengah asyik mengobrol di ruang tamu.“Eh Wahyu jangan lari-lari Nak nanti jatuh,” teriak Bagus mengingatkan Wahyu namun Wahyu melewatinya begitu saja karena saking rindunya pada tantenya Vivi.Sebentar kemudian Wahyu kembali ke tempat para peringgi T O H yang sedang duduk-duduk seraya menyalami satu persatu dari mereka. Sampai pada tempat bagus duduk Wahyu menyalami Bagus sambil mencium punggung tangannya seraya bertanya, “Om tant
Kelompok Hendrik Wijaya dari golongan hitam telah pergi beberapa menit yang lalu. Tapi masyarakat kota Jombang yang sudah kadung melihat tontonan yang begitu mengerikan menjadi trauma tik sangat ketakutan akan adanya perang kembali.Sejenak Wahyu mengamati ada yang aneh dari kejauhan tempatnya berdiri. Setelah mengalahkan Hendra Wijaya dengan hanya sekali sentuh. Wahyu tampak gelisah, karena sekejap ia seperti melihat sepasang mata menyeramkan yang tengah mengintainya.Wahyu terus memandang ke arah timur jauh tempatnya berdiri agak bingung mematung. Melihat apa sebenarnya yang ia rasakan benar adanya. Si kecil Wahyu yang masih begitu polos tak mengerti bentuk makhluk apa yang membuat desir dalam dadanya sampai bergetar kencang. Seperti ada sesuatu benturan hawa atau aura antara dia dengan makhluk tak kasat mata lain.Sedangkan para petinggi T O H yang sangat senang dapat membatalkan perang setidaknya damai akan tercipta sampai sepuluh tahun ke depan. Masih teram
“He, apa itu?” kata ibu-ibu yang berkerumun di pinggir trotoar.“He, iya kenapa itu ada orang berhadapan di tengah jalan?” sahut ibu satunya.“Eh, itu bukannya Bupati kita ya Pak Bagus?” timpal bapak-bapak yang ikut nimbrung bersama ibu-ibu.“Loh itu di sampingnya bukannya Mas Haji Lurah Dava dari desa Mbanjar Kerep ya?" teriak ibu-ibu yang lain.“Eh ada apa ini Ya Allah, bahaya apa lagi yang akan terjadi di kota kita ini, kenapa para petinggi T O H berkumpul. Lalu siapa mereka yang berpakaian seperti dukun itu. Jangan-jangan mau hendak perang lagi, haduh mbok yo jangan lagi,” ucap beberapa ibu-ibu saling menyahut pertanyaan dengan kekhawatiran akan adanya perang lagi seperti sepuluh tahun yang lalu.“Hei, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sudah-sudah agak menjauh ya ini sangat berbahaya lebih baik pulang deh,” celetuk Gus Pendik yang tiba-tiba ada duduk santai di trotoar di antara kerumunan w
Sumilir Angin wengi kang tumetesAnnambaih kangen ku sangsoyo gediTitipan Rindu Iki sangsoyo akehAmung biso dedungo angenku nggo koweSlirahmu siji Tresnoku Yo mung sijiTak simpen lan tak jogo tekaning patiPanyuwunku kanggo Riko njogo tresno nisunSayang... Aku tulus Tresno slirahmu... HuuuTresno Ra bakal ilyangKangen sangsoyo mbekasTembang rindu kanggo rikoJanji suci tekaning patiSalam Tresno di jogoSnadyan adoh panggonanmuSumpah tulus kanggo rikoSalam rindu neng slirahmu***Petikan dawai gitar dari jemari Halilintar mengalun menyeberangi pintu ke pintu dan mengetuk kaca pintunya. Merayu-rayu penuh ritme agar beberapa orang yang tengah membuka kaca selaras dengan harapan Halilintar mengulurkan sedikit rezeki untuknya makan hari ini.Gitar klasik warna hitam tua terus setia menemani perjuangan sang musisi jalanan. Setia menemani kala hujan tiba atau panas
Sore ini bunga anggrek di halaman rumah Bagus masih saja segar dari air yang disiramkan oleh bik Amanah sejam yang lalu. Mekarnya sangat sempurna dan harumnya semakin semerbak menempel anggun pada inang induknya batang pohon mangga.Tertata rapi bak kebun bunga istana raja dibalut bekas kupasan kulit kelapa yang sering disebut orang sepet di tali rapi dengan tali sejenis kawat kecil. Bunga anggrek lurus tertanam di depan rumah seindah sang pemilik yang selalu memperhatikannya setiap sore sebelum magrib menjelang ayu sama cantiknya.Namun kali ini sang pemilik tampak bermuka murung, gundah gulana dan terpaut seribu pikiran dengan pengembaraan lamunan di atas awang langit senja yang sudah mulai tampak memerahkan langit.Di atas kursi roda Vivi merenung memandang sang bunga lekat menatapnya berlama-lama. Andai saja aku seperti bunga anggrek itu begitu terlihat sempurna di mata siapa saja yang memandangnya menarik hati, ujar dalam hati Vivi yang semakin hari semakin
Pagi gelisah tergambar pada raut wajah Halilintar. Iya masih terpikir seraut wajah dengan senyum anggun. Seorang ibu muda di dalam sebuah mobil warna merah maru, dimanah sang ibu muda tengah di sopiri seorang yang gagah rupawan. Entah itu sopirnya atau sang suami Halilintar tak mau berpikir jauh ke arah sana.Wajah Si Ibu muda membuatnya semakin gelisah. Otaknya semakin pening terpikir siapakah Si Ibu muda tersebut kenapa iya begitu baik dan yang paling membuatnya bingung seorang bapak-bapak yang juga masih muda yang menyopiri Si Ibu muda tersebut sempat memanggil namanya. Padahal iya sangat yakin tak pernah bertemu walau sekejap.Pagi ini Halilintar semakin resah duduk di atas trotoar lampu merah pas perempatan sebelah utara kebun raja. Matanya memang menatap beberapa kendaraan yang berhenti saat lampu tengah menyala merah namun seluruh badan serasa kaku tak ingin beranjak dari lamunan.Ada apa denganku ujarnya dalam benak, seharusnya aku berdiri memainkan gita