“Kita harus cepat Dek terus berlari, aku mendengar kabar bahwa desa-desa di sekitar gunung Anjasmara mulai dihancurkan,” teriak Raja pada Arum yang terus berlari di depan Raja sambil terus melontarkan panah api dari busur api yang Arum pegang ke arah puluhan anjing setan yang terus mengejar dan menyerang mereka.
Sedangkan Raja terus menghantam dan memukul serta menendang para anjing setan yang melompat hendak menerkam ke arahnya.
Mereka berdua menghindar jauh dan mundur terlalu jauh dari medan peperangan kota Jombang. Sebab kota itu sudah dikuasai oleh para manusia pembawa setan dengan makhluk-makhluk ganas yang disebut kodam dari jenis setan berbagai macam bentuk dan rupa.
Raja dan Arum bukan satu-satunya pasangan pejuang yang terus melawan demi merebut kembali kota mereka Jombang tercinta. Ada beberapa lagi seperti mereka yang tersebar di seluruh kota yang terus berjuang. Namun kali ini mereka harus mundur dan mau tak mau mereka melepaskan kota ke tangan para cenawan. Bukan mengaku kalah dan bukan menyerah tapi demi mengatur ulang strategi untuk kembali menyerang.
“Awas Mas belakang mu,” teriak Arum mengingatkan Raja akan serangan yang mengarah di belakangnya.
Sebuah lontaran bola api besar meluncur deras dari arah samping kanan. Melesat dari sela-sela pepohonan hutan Wonosalam daerah pegunungan Anjasmara.
Slap, duar,
Raja dengan cepat menghindar dan berpindah tempat. Sebuah lontaran bola api yang berasal dari mulut panglima setan yakni banas pati ternyata jua ikut mengejar mereka. Setan jenis ini adalah setan kodam panglima yang telah menelan banyak korban dari para pejuang teman-teman Raja.
“Allahuakbar kenapa banas pati jua mengejar kita Dek. Ayo lekas kita pergi ke desa-desa terdekat dari sini untuk berlindung sementara dari serangan para setan. Setidaknya kita bersembunyi disalah satu rumah warga,” ucap Jaka terus berlari diikuti Arum yang kini berada di belakang Raja.
Raja dan Arum adalah sepasang pendekar berstatus suami istri yang terus berjuang melawan huru-hara atau goro-goro yang diciptakan oleh para cenawan atau dukun ilmu hitam. Kala masa sudah teramat sulit jangankan untuk hidup untuk senyum saja teramat sulit.
Kota Jombang telah hancur dan hanya tersisa reruntuhan dari gedung-gedung pencakar langitnya yang sudah rata dengan tanah. Kota Jombang seakan menjadi sebuah kota mati sebab telah terbantainya seluruh penduduk yang menghuni kota. Adapun yang tersisa mereka menjadi tawanan-tawanan para dukun. Untuk menjadi santapan para setan dan budak nafsu para dukun muda bagi para kaum wanita.
Dalam keadaan yang sangat tidak mungkin untuk bertahan hidup dan berjuang untuk tetap hidup. Ada secercah harapan dari pemuda-pemudi keturunan para Kiai yang memiliki kekuatan-kekuatan gaib yang diturunkan oleh para leluhur.
Seperti pasangan pendekar Raja dan Arum yang terus melawan hingga titik darah penghabisan. Namun kali ini iya terpaksa harus mundur jauh ke dalam hutan hingga jauh ke tengah gunung demi untuk mengatur ulang siasat untuk kembali merebut kota perjuangan Jombang tercinta.
Akhirnya Raja dan Arum menginjakkan kaki di sebuah desa yang sudah luluh lantak akibat seluruh rumah terbakar habis dilalap si jago api.
“Astagfirullah Hal Adzim, Ya Allah, Ya Rahman, desa ini sungguh mengenaskan Dek. Bau busuk dan anyir darah ada dimana-mana dan mayat-mayat bergelimpangan bahkan banyak dari mereka yang sudah tak utuh lagi,” ucap Raja memandang sekitarnya.
“Bukankah ini desa Kembang Sri Mas. Desa awal masuk dari rentetan desa hingga desa paling atas yakni desa Ujung Batu yang berada di gunung Anjasmara ini. Kenapa jadi begini keadaannya sungguh kejam para cenawan itu,” ucap Arum terduduk sedih di samping Raja.
“Kita harus terus bergerak Dek ke atas gunung. Semoga masih ada desa yang belum terjamah dari acara masa goro-goro yang diciptakan para dukun keparat itu,” kata Raja meraih tangan Arum untuk segera berdiri dan kembali berlari.
Titit, titit,
Sebuah pesan singkat telah masuk di ponsel Raja yang iya taruh disaku celana bagian samping. Satu cat wa dari salah satu pejuang kelompok mereka terlihat di dalam notifikasi layar ponsel milik Jaka yang telah ia ambil dari saku celananya.
“Siapa Mas?” tanya Arum dengan mimik muka penasaran sembari ikut melihat saat Jaka membuka pesan.
“Posisi,” sebuah kata singkat dari pesan singkat cat wa dari Suhendra kawan seperjuangan dari mempertahankan kota Jombang.
Raja segera mengetik untuk membalas pesan dari Suhendra. Untuk memberitahukan posisi dimana mereka berada sekarang. Namun belum sempat Raja mengirim pesan kepada Suhendra sebuah serangan dari anjing setan kembali menyerang mereka dari belakang.
“Aduh Mas tolong!” kaki Arum tergigit oleh gigi-gigi tajam nan beracun milik salah satu anjing setan dari tanah kegelapan. Sehingga tubuh Arum terseret-seret jauh dari posisi semula di samping Raja.
Dengan cepat anjing setan lain berjumlah puluhan ekor mengejar Arum yang tengah diseret oleh salah satu anjing setan.
“Dek Arum tidak!,” teriakan Raja terdengar pilu akan rasa takut kehilangan sang istri tercinta. Sebab beberapa saat yang lalu iya telah melihat dengan mata kepalanya sendiri. Saat anggota keluarganya terbantai di depan mata. Iya tak mau kali ini kehilangan istrinya dengan membabi-buta Raja terus menghantam, memukul serta menendang para anjing siluman.
Tetapi Arum terlanjur jauh di bawa ke dalam hutan kembali. Saat Jaka telah berhasil menyusul Arum yang diseret anjing setan. Raja harus menelan pil pahit bahwa sang istri telah dipegang oleh panglima setan bernama banas pati.
Arum masih sadarkan diri iya tersenyum kepada Raja seraya berkata, “Mas pergilah Mas, lari menjauhlah. Kau harus tetap hidup dan binalah anak-anak yang lahir dimasa sulit ini, agar menjadi penerus untuk merebut kembali kota kita Jombang tercinta. Lari Mas, pergi, tetaplah hidup,” ucap Arum yang sudah muntah darah dari mulutnya mengalir darah segar akibat tak kuat menahan panasnya bara api dari tubuh setan api si banas pati.
“Tidak! Tidak Dek, jangan berkata demikian. Aku akan menyelamatkanmu tenanglah, jangan takut aku ada disini kau pasti selamat sayang,” ucap Raja terus menghantam para anjing setan yang terus berdatangan seakan tiada habisnya.
Terlihat wajah seram banas pati dengan lidah yang begitu panjang menjulur ke tanah sambil memegang rambut Arum dengan cara menjambaknya ke atas. Raja melihat sang istri sudah tak sadarkan diri di tangan banas pati. Lalu tangan banas pati dengan kukuh-kukuh yang tajam mengarah pas ke punggung Arum hendak menusuknya tapi tiba-tiba nyala api dari tubuh banas pati seketika padam.
Tubuh Arum terlempar jauh menyusur tanah. Anjing setan yang semula terus berdatangan menyerang Raja sudah tak terlihat lagi. Tahu bahwa ada kesempatan menolong sang istri Raja berlari menghampiri Arum yang tak berdaya tergolek di tanah.
“Dek, Dek Arum sadar Dek, bangun Dek,” ucap Raja meneteskan air mata melihat kondisi Arum yang sangat memprihatinkan.
Duar,
Terdengar suara ledakan yang membuat mata Raja tercengang. Ketika setan panglima banas pati hancur lebur menjadi abu. Dalam hati Raja bertanya, siapa yang melakukan hal ini?.
“Mendung belum tentu selamanya pasti ada pelangi di akhir hujan. Hujan tak selamanya lebat pasti ada rintik lalu terang dan panas kembali datang,” sebuah kata-kata dari seorang tua bertopi caping mirip topi pak tani datang dan langsung menghancurkan banas pati disaat yang tepat. Tersenyum pada Raja dan kembali menghilang membentuk cahaya terang lalu seketika redup kembali dan hilang. Seakan cahaya tersebut menelan pak tua bertopi caping dan cahaya inilah yang rupanya membuat sekumpulan anjing setan pergi ketakutan saat pak tua baru muncul beberapa saat lalu.
“Siapa pun kau Pak Tua bertopi caping. Aku Raja berterima kasih atas pertolonganmu. Seandainya kau tidak datang tentu istriku sudah tak selamat lagi,” teriak Raja sambil mengucap syukur dalam hati.
“Raja akhirnya kau kami temukan. Ya Allah kenapa dengan Arum Raja?” ucap Suhendra dan beberapa pejuang lain yang sampai setelah melakukan perjalanan panjang atas pertempuran hidup dan mati mempertahankan kota Jombang.
“Raja kami datang,” ucap seluruh pejuang yang telah hadir berjumlah puluhan orang dari para pemuda-dan pemudi keturunan Kiai.
“Ono cerito akhire tanah Jawa. Kuto-kuto podo musnah tanpo nomo,” sebuah dendangan kembali terdengar nyaring dari sela-sela hutan belantara Wonosalam namun tiada tahu siapa yang mendendangkan dan dari arah mana jelasnya arah syair di lagukan. Sebuah syair berbahasa Jawa yang berarti, ada cerita di akhir jaman kota-kota di tanah Jawa hancur hilang namanya.
“Hai D, lama tak berjumpa,” suara berintonasi besar dan berat menggaung dari langit.Bersamaan itu mendung yang menggelayut kelam seusai badai dan masih tersisa petangnya perlahan terbelah. Ada cahaya terang menyeruak dari belahan awan, ada cahaya memancar bagai petir lurus menghunjam ke bawah jatuh di atas bukit Tunggorono.Ada sayap berbulu emas besar menyeruak dari balik awan. Dengan panjang tiada dapat di ukur dan lebar sudah tak dapat di jangkau. Sosok dari atas langit dengan kaki-kakinya yang kekar berkuku tajam turun perlahan.Lalu berdiri pas di belakang pak tua bertopi caping mirip pak tani yang sedari tadi hanya berdiri terus mengawasi kehancuran kota Jombang di bawah tebing curam bukit Tunggorono.“Kau Garuda memang benar sudah terlalu lama kita tiada berjumpa kembali,” Pak tua bertopi caping hanya mematung terus menatap lekat kotanya yang tinggal sisa puing-puing.“Apa yang kau lihat D, kotamu sudah h
Seorang tua bertopi caping mirip topi pak tani berjalan membawa tongkat dari kayu cendana. Bibir keriputnya terus bersuara berulang-ulang dengan lafaz Allahuma Shalli Ala Muhammad. Wajahnya tertunduk ke bawah tak mau menatap apa saja yang ada di depannya. Berjubah serba hitam memegang tasbih ditangan kanan yang terus diputar perbutir.“Allahuma Shalli Ala Muhammad,” terus berulang keluar dari lisan dan bibir si pak tua bertopi caping.Sedangkan hari semakin gelap saja di sekitar sungai Konto. Namun seakan tiada peduli apa saja yang mewujud dari gelapnya malam tepian sungai iya terus menyusuri sungai Konto.Sejenak langkahnya terhenti saat bayangan rembulan pas di tengah sungai pertanda petang telah sempurna di tengah-tengah malam. Ada sebuah wujud menghentikan langkahnya, menghadangnya dari depan dan tiba-tiba ada menghalangi jalan si pak tua bertopi caping mirip topi pak tani.Sebuah wujud yang lebih tua dari dirinya. Wujud
“Assalamualaikum Nyi Sekar Arum,” MR. D berjalan perlahan menuju sebuah rumah berdinding papan di atas bukit Tunggorono Sebuah rumah sederhana yang iya buat ala kadarnya bersama sang istri tercinta Nyi Sekar. Sebuah gubuk tua berdinding dari papan separuh anyaman bambu. Beratap dari dedaunan rumbia dan beberapa daun lain yang diambil dari hutan sekitar bukit Tunggorono. Sebuah gubuk tanpa listrik dan hanya lampu templek mirip jaman dahulu kala menempel di ruang tamu. Bahkan lampu tersebut dibuat sendiri oleh Nyi Sekar.MR. D dahulu pernah tinggal di sebuah desa pinggiran kota Jombang. Sebuah desa bernama Mojokembang, desa besar sebagai pusat peradaban para pejuang atau pendekar kebatinan dari organisasi lama dan anak keturunan.Namun sebab peristiwa besar memilukan dua puluh sampai tiga puluh tahun yang lalu membuat iya dan sang istri harus terusir dari tempat asal desa mereka. Mereka memilih tinggal jauh dari kota yang kali ini tengah m
“Assalamualaikum, halo disini Gilang ketua divisi dua kelompok anak keturunan. Kita sudah habis, tetapi bukannya tanpa harapan. Sekali lagi disini Gilang putra Elang ketua divisi dua kelompok anak keturunan. Terus berjuang kawan sambil terus bergerak mundur ke pinggiran kota. Bukan untuk menyerah dan membiarkan mereka para setan terus membabi buta memusnahkan kita. Tetapi untuk mengatur ulang strategi sesuai yang diperintahkan Raja sang panglima seluruh divisi. Sekali lagi disini Gilang putra Elang ketua divisi dua wakil dari Raja ketua divisi pertama. Bagi semua divisi yang mendengarkanku terus melawan namun perlahan kita mundur kita berkumpul di titik koordinat yang telah di tentukan,” ucap Gilang pada sebuah alat komunikasi yang para kelompok anak keturunan rancang sendiri. Serupa HT namun agak lebih canggih di lengkapi sensor pelacak keberadaan setan. Aaa...! Sebuah teriakan terdengar dari sisi utara dari kelompok gilang yang tengah berjuang melawan t
“Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh,Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh,” ucap lirih MR. D dari dua kalimat salam setelah menunaikan fardu subuh. Kali ini tiada MR. D tiada memakai jas kebesaran atau baju yang biasa iya kenakan saat berkelana menyusuri sudut-sudut kota Jombang hingga ke pelosok pinggiran.MR. D tengah khusyuk di atas sajadah lusuh warna merah bata pemberian sang ayah dahulu kala. Memakai sarung hitam kotak-kotak dipadu-padankan dengan baju kokoh warna putih serta peci hitam tersemat di atas kepala menutupi rambutnya. MR. D terus memutar tasbih butir demi butir dalam genggaman jemari tangan kanan.“Allahuma Shalli Ala Muhammad,” lafaz Shalawat Rasullah terus bergetar lirih walau perlahan tapi pasti mengudara dari bibirnya.Matanya memang terpejam, tetapi hati dab batin bersahutan menghimpun udara-udara murni dari alam. Sesekali nafas iya hirup perlahan di sela-sela zikir lalu meng
“Ah kurang ajar, kenapa setan tengkorak ini tidak bisa dihancurkan? Seakan mereka bisa hidup kembali walau tulang belulang mereka berserakan di tanah,” teriak Michael Ucup begitu marah tak terkendali.Wajahnya teramat kalut memerah seakan tenggelam dalam api amarah kelam. Semua ini sebenarnya luapan emosi Ucup akan kepedihan sebuah perpisahan dari sang kekasih yang mati di tangan setan api.Tangan Ucup terus mengeluarkan api dari dalam tubuhnya. Sebuah api kemarahan yang terbentuk dari gesekan partikel magnetik dalam tubuh yang melampaui batas. Bergesekan dengan aura negatif yang di sebar oleh otak kala manusia tengah marah secara lampaui batas kemarahan.Tetapi sejatinya tenaga dalam bola api yang dilontarkan dari efek jurus kemarahan seperti demikian tiada begitu kuat. Karena terlampau banyak muatan aura negatif yang disalurkan oleh otak. Sehingga api cenderung tak berbentuk dan hanya sedapatnya menyambar lawan.“Ucup
Ada satu divisi dari keempat divisi kelompok anak keturunan yakni divisi keempat yang masih bertahan di tengah kota. Divisi ini hanya memiliki lima orang anggota, tetapi kelima orang anggota tiada pernah berkumpul di satu tempat secara bersamaan. Mereka selalu terpisah di lima tempat terpisah dengan pusat tengah kota dimana satu orang dari divisi ini terus berjuang dengan taktik gerilya. Dia adalah Si Petir Putra Halilintar yang menjabat sebagai ketua utama divisi keempat kelompok anak keturunan. Divisi berpanji hitam berlambang singa yang menggigit pedang di mulutnya ini adalah divisi terkuat walau bukan sebagai divisi utama. Mereka adalah kartu As dari kelompok anak keturunan. Tanpa mereka mungkin seluruh kelompok anak keturunan sudah habis berguguran. Divisi keempat yang beranggotakan dari Si Petir sebagai ketua divisi. Rohanah istri dari Si Petir yang pagi ini terkonfirmasi berada di daerah barat, tepatnya di daerah Megaluh dan sekitarnya. Sebab set
Tap, tap, tap, Kletek, Suara langkah sepatu hitam dari celana jin hitam dan kemeja serta jas hitam. Berpadu padan dengan kolaborasi apik pada tubuh D. Langkah kaki bersepatu berpaut dengan bebatuan kerikil atas bukit Tunggorono. Matanya tajam memandang luas ke arah bawah. Sebuah kota mati penuh kehancuran terpampang jelas menyedihkan. Ada jeritan pilu menekik leher dan menjerat lidah seorang ibu akan kematian anaknya. Ada suara tangis istri memukul-mukul tanah dengan bekas genangan darah kematian suaminya. Ada tangis anak kecil merangkak tak tentu arah sambil terus memanggil ibunya. Keadaan kengerian yang terus bercampur baur dengan harum bau busuk darah. Aroma anyir dan sengau sudah jadi pemandangan lumrah pada kota ini. Ada suara rintihan gadis tengah terenggut mahkota kegadisannya. Lalu kepala sang gadis menggelinding begitu saja dengan mata mendelik dan lidah menjulur. Bahwa setiap sudut kota Jom
Tengah malam lewat 15 menit sudah Jaka baru pulang dan baru sampai di teras rumahnya pas berdiri di depan pintu depan rumah berbentuk kupu-kupu atau orang Jawa menyebutnya pintu berbentuk kupu tarung. Entah apa maksudnya kupu tarung yang kalau di buat menjadi arti bahasa Indonesia artinya kupu berkelahi mungkin bentuknya yang seperti kupu-kupu saling berhadapan.“Eh ketok enggak ya, ah terobos sajalah,” gerutu Jaka melewati Pintu dengan gampangnya seakan Jaka selalu dengan mudah menembus pintu tebal yang terbuat dari pohon jati hasil karya Mbah Raji tersebut.“Hehe, sudah masuk dong ke dalam rumah, eh percuma dong istriku mengunci pintu kalau aku gampang masuk. Dan oh tidak orang yang bisa kayak aku juga gampang masuk dong. Haduh Putri jadi ngeri meninggalkan kamu lama-lama sayang, ah kok jadi parno begini ya cus ke kamar,” gerutu Jaka melangkah ke kamar dengan langkah di percepat.Sampai pintu kamar ternyata keadaan pintu tak tertutup se
Krek..., blek...,Suara pintu kamar Vivi terbuka perlahan dari luar oleh Jaka dan Bagus yang hendak mengecek keadaan Vivi dan Wahyu.“Rupanya mereka sudah pulas Mas,” ucap Jaka tersenyum kecil melihat tingkah lucu anaknya yang tengah memeluk erat Vivi sambil terus mengusap perut Vivi sambil terus mengigau Mas Dewa.“Eh sebentar deh Dek Jaka coba dengar igauan anakmu itu,” kata Bagus masih berdiri di depan pintu bersama Jaka.“Sebentar Mas, diam lah dulu aku tidak begitu jelas coba aku dengar sekali lagi,” ujar Jaka mendekatkan daun telinganya agak menjorok ke dalam pintu sambil melonggokkan kepala ke dalam kamar.“Mas Dewa cepat lahir ya,” kembali igauan Wahyu terdengar kali ini agak jelas.“Eh benar kan firasatku Mas,” celetuk Jaka menatap Bagus dan Bagus yang tak tahu menahu akan maksud dari Jaka hanya bengong tak mengerti.“Maksudnya bagaimana ini Dek aku jadi penasa
“Tante, tante Vivi, halo dimanakah dirimu Tanteku yang cantik dan perutnya gendut, hehe. Namanya hamil ya memang gendut ya ah aku ini bagaimana,” teriak Wahyu sambil menggerutu menertawakan diri sendiri terus berlari ke arah kamar Vivi.“Nah ini kamar Tante sama Om ini, gedor ah kerjai Tante biar langsung bangun tidur melulu Si Tante ah aku kan kangen,” gerutu Wahyu mulai usil dengan rencana-rencana nakalnya.“Duor,” sekali tendang pas di tengah dengan kakinya membuat suara sangat kencang namun tetap tak terbuka pintu tetap tertutup rapat terkunci dari dalam.“Loh kok enggak bangun juga ini Tante wah tidur apa pingsan sih ini orang, Tante aku kangen!” teriak Wahyu di depan pintu kamar Vivi.“Pakai apa ya biar bunyinya jadi kayak ada ritmenya gitu pas mukul-mukul ini pintu, hem, ahay ini ada palu ini di atas meja kok pas ya ada palu namanya juga novel campur komedi ia kan haha, eh jangan deh nanti
“Brem, brem, tengteng teng, sit hop stop,” celetuk Wahyu langsung lompat dari atas motor bergegas lari menuju dalam rumah Pak Bupati Bagus yang memang sudah terbuka pintu depannya.“Hey, Wahyu hati-hati Nak jangan lari nanti jatuh,” teriak Jaka namun Wahyu tak menggubris dan terus berlari dengan kaki-kaki kecilnya yang menggemaskan.“Assalamualaikum tante, oh tante,” teriak Wahyu sambil terus berlari melewati Omnya yakni Pak Bupati Bagus beserta petinggi T O H yang lain yang tengah asyik mengobrol di ruang tamu.“Eh Wahyu jangan lari-lari Nak nanti jatuh,” teriak Bagus mengingatkan Wahyu namun Wahyu melewatinya begitu saja karena saking rindunya pada tantenya Vivi.Sebentar kemudian Wahyu kembali ke tempat para peringgi T O H yang sedang duduk-duduk seraya menyalami satu persatu dari mereka. Sampai pada tempat bagus duduk Wahyu menyalami Bagus sambil mencium punggung tangannya seraya bertanya, “Om tant
Kelompok Hendrik Wijaya dari golongan hitam telah pergi beberapa menit yang lalu. Tapi masyarakat kota Jombang yang sudah kadung melihat tontonan yang begitu mengerikan menjadi trauma tik sangat ketakutan akan adanya perang kembali.Sejenak Wahyu mengamati ada yang aneh dari kejauhan tempatnya berdiri. Setelah mengalahkan Hendra Wijaya dengan hanya sekali sentuh. Wahyu tampak gelisah, karena sekejap ia seperti melihat sepasang mata menyeramkan yang tengah mengintainya.Wahyu terus memandang ke arah timur jauh tempatnya berdiri agak bingung mematung. Melihat apa sebenarnya yang ia rasakan benar adanya. Si kecil Wahyu yang masih begitu polos tak mengerti bentuk makhluk apa yang membuat desir dalam dadanya sampai bergetar kencang. Seperti ada sesuatu benturan hawa atau aura antara dia dengan makhluk tak kasat mata lain.Sedangkan para petinggi T O H yang sangat senang dapat membatalkan perang setidaknya damai akan tercipta sampai sepuluh tahun ke depan. Masih teram
“He, apa itu?” kata ibu-ibu yang berkerumun di pinggir trotoar.“He, iya kenapa itu ada orang berhadapan di tengah jalan?” sahut ibu satunya.“Eh, itu bukannya Bupati kita ya Pak Bagus?” timpal bapak-bapak yang ikut nimbrung bersama ibu-ibu.“Loh itu di sampingnya bukannya Mas Haji Lurah Dava dari desa Mbanjar Kerep ya?" teriak ibu-ibu yang lain.“Eh ada apa ini Ya Allah, bahaya apa lagi yang akan terjadi di kota kita ini, kenapa para petinggi T O H berkumpul. Lalu siapa mereka yang berpakaian seperti dukun itu. Jangan-jangan mau hendak perang lagi, haduh mbok yo jangan lagi,” ucap beberapa ibu-ibu saling menyahut pertanyaan dengan kekhawatiran akan adanya perang lagi seperti sepuluh tahun yang lalu.“Hei, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sudah-sudah agak menjauh ya ini sangat berbahaya lebih baik pulang deh,” celetuk Gus Pendik yang tiba-tiba ada duduk santai di trotoar di antara kerumunan w
Sumilir Angin wengi kang tumetesAnnambaih kangen ku sangsoyo gediTitipan Rindu Iki sangsoyo akehAmung biso dedungo angenku nggo koweSlirahmu siji Tresnoku Yo mung sijiTak simpen lan tak jogo tekaning patiPanyuwunku kanggo Riko njogo tresno nisunSayang... Aku tulus Tresno slirahmu... HuuuTresno Ra bakal ilyangKangen sangsoyo mbekasTembang rindu kanggo rikoJanji suci tekaning patiSalam Tresno di jogoSnadyan adoh panggonanmuSumpah tulus kanggo rikoSalam rindu neng slirahmu***Petikan dawai gitar dari jemari Halilintar mengalun menyeberangi pintu ke pintu dan mengetuk kaca pintunya. Merayu-rayu penuh ritme agar beberapa orang yang tengah membuka kaca selaras dengan harapan Halilintar mengulurkan sedikit rezeki untuknya makan hari ini.Gitar klasik warna hitam tua terus setia menemani perjuangan sang musisi jalanan. Setia menemani kala hujan tiba atau panas
Sore ini bunga anggrek di halaman rumah Bagus masih saja segar dari air yang disiramkan oleh bik Amanah sejam yang lalu. Mekarnya sangat sempurna dan harumnya semakin semerbak menempel anggun pada inang induknya batang pohon mangga.Tertata rapi bak kebun bunga istana raja dibalut bekas kupasan kulit kelapa yang sering disebut orang sepet di tali rapi dengan tali sejenis kawat kecil. Bunga anggrek lurus tertanam di depan rumah seindah sang pemilik yang selalu memperhatikannya setiap sore sebelum magrib menjelang ayu sama cantiknya.Namun kali ini sang pemilik tampak bermuka murung, gundah gulana dan terpaut seribu pikiran dengan pengembaraan lamunan di atas awang langit senja yang sudah mulai tampak memerahkan langit.Di atas kursi roda Vivi merenung memandang sang bunga lekat menatapnya berlama-lama. Andai saja aku seperti bunga anggrek itu begitu terlihat sempurna di mata siapa saja yang memandangnya menarik hati, ujar dalam hati Vivi yang semakin hari semakin
Pagi gelisah tergambar pada raut wajah Halilintar. Iya masih terpikir seraut wajah dengan senyum anggun. Seorang ibu muda di dalam sebuah mobil warna merah maru, dimanah sang ibu muda tengah di sopiri seorang yang gagah rupawan. Entah itu sopirnya atau sang suami Halilintar tak mau berpikir jauh ke arah sana.Wajah Si Ibu muda membuatnya semakin gelisah. Otaknya semakin pening terpikir siapakah Si Ibu muda tersebut kenapa iya begitu baik dan yang paling membuatnya bingung seorang bapak-bapak yang juga masih muda yang menyopiri Si Ibu muda tersebut sempat memanggil namanya. Padahal iya sangat yakin tak pernah bertemu walau sekejap.Pagi ini Halilintar semakin resah duduk di atas trotoar lampu merah pas perempatan sebelah utara kebun raja. Matanya memang menatap beberapa kendaraan yang berhenti saat lampu tengah menyala merah namun seluruh badan serasa kaku tak ingin beranjak dari lamunan.Ada apa denganku ujarnya dalam benak, seharusnya aku berdiri memainkan gita