“Bargowo setelah kota kita kuasai dan kau serta anak buahmu telah menancapkan bendera pertama dengan membuat kehancuran di desa awal pintu masuk gunung Anjasmara yakni desa Kembang Sri. Malam ini kau dan anak buahmu harus bergerak cepat hancurkan desa paling atas bernama desa Ujung Batu itu. Hal ini saya maksudkan agar seluruh penduduk di desa-desa sekitar gunung Anjasmara tahu kengerian goro-goro yang kita ciptakan. Kalau desa awal dam desa akhir kita musnahkan, tentu desa-desa yang berada di tengah-tengahnya akan gampang kita hancurkan,” kata sebuah bayangan tanpa rupa dan tak berwujud hanya sebuah bayangan bercula dua.
“Sendiko dawuh (Sendiko dawuh adalah bahasa Jawa yang dalam arti bahasa Indonesia adalah mengiyakan dengan sangat hormat dan tunduk setunduk-tunduknya) raja ku, raja para setan yang sangat sakti tiada tandingan. Saya bersama rekan-rekan malam ini akan berangkat melaksanakan perintah tuan,” ucap Ki Bargowo pimpinan para dukun dengan posisi duduk bersila di depan bayangan hitam yang menjadi pusat pimpinan para dukun pembawa setan.
Desa Ujung Batu adalah desa yang terletak paling atas di daerah pegunungan Anjasmara. Sering juga disebut desa atas bukit, sebab memang letaknya pas di atas bukit bernama bukit Pangklungan.
Desa Ujung Batu jua belum terjamah sama sekali oleh sabotase para dukun. Dimana para dukunlah atau para manusia pembawa setanlah yang tengah menciptakan huru-hara yang kerap disebut goro-goro.
Desa Ujung Batu termasuk desa dengan panorama yang indah dan alamnya yang sangat memanjakan mata, tak jarang pelancong dari kota berkunjung berbondong-bondong demi menyaksikan matahari terbit atau sekedar melepas penat dari rutinitas kerja setiap harinya dengan menyaksikan keindahan alam desa Ujung Batu.
Sudah beberapa minggu ini wahana wisata di desa Ujung Batu sepi pengunjung. Para warga termasuk Pak Lurah Ngadiono selaku pemangku adat desa Ujung Batu merasa resah.
Pagi ini mereka tengah membahas keadaan desa di sebuah saung atau rumah kecil tengah sawah sebagai tempat peristirahatan sehabis mengerjakan sawah-sawah mereka. Membahas keadaan desa yang semakin hari semakin paceklik pangan. Sebab hanya mengandalkan pertanian diera jaman sekarang mana cukup untuk memenuhi kebutuhan warga.
“Pak Lurah bagaimana ini panen kita kali ini macet Pak. Hasil panen walaupun melimpah ruah, tetapi kita tidak bisa menjualnya ke kota. Sebab jalan akses ke kota belum jua dibuka,” ucap Pak Sardun salah satu warga desa yang kali ini menggantungkan nasib keluarganya dari hasil pertanian sawahnya. Sebab wahana wisata yang biasa mereka andalkan tengah lesu pengunjung.
“Benar Pak apalagi wisata yang kita kelola akhir-akhir ini sepi pengunjung. Sebenarnya ini semua ada apa sih Pak Lurah?” tanya Pak Joni salah satu ketua rukun tetangga di desa Ujung Batu.
“Sebenarnya saya juga kurang paham dengan keadaan akhir-akhir ini yang sangat tidak jelas Pak Sardun dan Pak Joni. Saya jua belum dapat kabar dari Pak Camat mengenai hal ini. Mau dapat kabar bagaimana Pak Joni dan Pak Sardun listrik akhir-akhir ini sering mati dan sangat berpengaruh pada sinyal hanpone kita. Apa lagi letak desa kita yang berada di atas bukit tentu sangat susah sekali mendapatkan sinyal sedangkan jalan menuju kota belum di buka juga,” jawab Pak Lurah Dongkol menjelaskan keadaan tidak menyenangkan yang iya rasakan tentang kondisi desanya.
“Dengar-dengar nih Pak ya, kota Jombang sudah hancur rata dengan tanah dan porak-poranda oleh ulah para pemuja setan yang sesat. Sebagaimana berita yang kita dengar selama ini Pak,” tutur Pak Joni memaparkan sebuah anggapan tanpa sumber yang jelas.
“Saya juga telah mendengarkan berita tersebut Pak Joni. Bahkan saya mendapatkan kabar terbaru bahwa desa Kembang Sri desa pertama sebagai awal masuk ke gunung Anjasmara telah hancur. Kabar burungnya desa tersebut semalam telah dibakar habis oleh oknum-oknum para dukun pembawa setan dan siluman yang memang sengaja diperintahkan entah siapa untuk menghancurkan kota-kota di seluruh dunia termasuk negara kita ini. Dan mulai malam kemarin mereka telah sampai di perbatasan utama gunung Anjasmara menghancurkan desa Kembang Sri. Bahkan kabar yang saya terima dari sumber yang dapat dipercaya, seluruh penduduk warga desa Kembang Sri tak ada yang selamat,” ucap Pak Lurah Dongkol memberi tahu kabar yang iya terima.
“Berarti malam ini kita harus berjaga Pak Lurah. Kita adakan lagi ronda keliling kampung setiap malam seperti dulu lagi demi amannya desa kita. Tapi kalaupun seluruh desa di gunung Anjasmara di hancurkan, mungkin desa kita desa yang terakhir didatangi. Sebab desa Ujung Batu terletak di atas bukit dan sebagai desa paling terakhir di pegunungan Anjasmara,” kata Pak Sardun kemukakan pendapatnya.
“Walau memang benar adanya demikian Pak Joni. Kita harus tetap waspada dan harus tetap mengadakan ronda kembali seperti saran Pak Joni tadi. Kita tidak tahu desa mana dahulu yang di datangi para dukun tersebut,” jawab Pak Lurah Dongkol sambil menyeruput kopi satu bungkus plastik kecil yang dibawakan oleh Pak Sardun.
Sementara itu detik berganti menit dan menit berganti jam serta waktu jua terus bergulir meninggalkan Pak Lurah Dongkol, Pak Joni dan Pak Sardun dengan pembahasan tentang keadaan desa mereka.
Pada akhirnya malam kembali datang menggantikan terang menjadi gelap. Menggantikan sang raja siang yakni matahari di ganti oleh rembulan yang tengah mengawal kegelapan yang menyelimuti desa Ujung Batu.
Dikala semua mata telah terpejam dan semua tubuh telah lelap merebah di atas kasur dan ranjang-ranjang mereka. Seperti biasa kejadian masa goro-goro selalu ditandai dengan kabut gelap putih nan pekat merambat-rambat diantara bangunan-bangunan rumah warga. Kali ini kabut datang menyelimuti desa Ujung Batu.
Diatas bukit paling atas desa Ujung Batu Ki Bargowo tengah berdiri dengan mata tajam memandang ke bawah. Seakan iya ingin meluluh lantakkan seluruh bangunan desa beserta seluruh penduduknya.
Sesaat iya membuat sebuah segel tangan berpola teratur dengan jari-jemari membentuk sebuah kode akan pemanggilan sebuah makhluk peliharaan dari wujud siluman.
“Musnahkan desa ini sampai tiada tersisa, timbun rumah-rumah warganya dengan tanah. Buat longsoran yang begitu besar dengan gerak tanah yang begitu cepat sehingga para warga tak akan sempat untuk menghindar,” ucap Ki Bargowo memerintahkan sesosok siluman ular yang begitu besar yang datang setelah ia panggil. Sosok setan atau siluman separuh berbadan ular separuh lagi serupa manusia.
“Baik Bargowo sesuai perintahmu,” ucap si siluman dengan cepat iya masuk ke dalam tanah membuat rekahan besar dan perlahan pecah.
Keadaan di dalam desa Ujung Batu dimana seluruh warga tengah menikmati istirahat mereka. Begitu pulas di atas kasur-kasur empuk dengan alam mimpi tentang semua cita dan cinta mereka. Mereka tiada menyadari ada sebuah ledakan besar yang membuat tanah di atas bukit yang pas berada di atas desa Ujung Batu terbelah lalu meluncur deras begitu cepat.
Duar,
Gratak, gratak,
Suara ledakan yang diakibatkan dari rekahan tanah bukit paling atas membangunkan satu keluarga yang tengah beristirahat dengan tenang di dalam rumahnya.
“Allahuakbar Bu bangun Bu, ledakan seperti ini biasanya akan terjadi longsor,” ucap Pak Lurah Dongkol membangunkan istrinya Bu Siti Maimunah. Seraya bergegas turun dari atas kasur diikuti oleh sang istri Bu Siti Maimunah.
“Pak Putri kita Pak Khusnul aku ambil dulu. Bapak tolong ambil surat-surat penting milik kita ya Pak dan lekas kita mengungsi ke tempat yang paling aman,” teriak Bu Siti Maimunah pergi menuju kamar bayi perempuan mereka yang bernama Khusnul Khotimah.
Sementara di luar rumah Pak Lurah warga desa sudah berlarian turun menghindari reruntuhan dari tanah longsor atas bukit yang terus melahap serta menghancurkan rumah-rumah penduduk yang iya lewati. Begitu cepat pergerakan longsoran sehingga sudah ada puluhan warga desa yang telah terkubur bersama rumah mereka sebab belum sempat terbangun dari tidurnya.
Tolong, tolong, tolong,
Teriakan meminta pertolongan menggema dari setiap sudut desa. Serta jeritan-jeritan ketakutan terkubur tanah longsoran melengking bagaikan suara-suara sakaratul maut yang di terima oleh manusia menjelang ajalnya.
“Pak Lurah-Pak Lurah ayo kita pergi desa kita sudah habis terkubur longsor Pak. Kita selamatkan diri kita sendiri-sendiri Pak. Longsor begitu cepat bergerak Pak, tidak...!” teriakan Pak Joni yang berlari bersama keluarganya namun tiada sempat lagi berlari sebab longsor telah menimbunnya bersama puluhan warga yang lain.
“Bu cepat lari Bu, bawa anak kita Khusnul ke tempat yang aman hanya dia satu-satunya harapan kita. Agar kelak ada yang bercerita bahwa pernah ada suatu desa paling atas di pegunungan Anjasmara bernama desa Ujung Batu. Sebuah Desa paling indah diantara desa lainnya. Ini Bu selamatkan putri kita dia berhak untuk hidup,” ucap Pak Lurah Dongkol memberikan Khusnul yang masih bayi kepada istrinya Bu Siti Maimunah.
“Pak Jangan kembali mari pergi bersama Ibu. Kita bersama-sama mencari tempat yang paling aman, Pak jangan pergi,” teriak Bu Siti Amanah terlihat meneteskan air mata di pipi indahnya. Iya masih menatap punggung suaminya yang berlari kembali ke desa dengan rasa tanggung jawab akan warganya sebab ia adalah Pak Lurah.
“Nak ini sudah pas di atas tebing putriku sayang, kalau Ibu di suruh pergi lebih jauh lagi dari sini dan meninggalkan Bapakmu sungguh Ibu tidak sanggup lagi sayang. Kau baik-baik ya Khusnul tetap selamat, tetap hidup ya sayang,” ucap Bu Siti Maimunah tengah memanjat pohon besar yang menjorok ke jurang. Menaruh sang Putri di atas batang pohon yang besar.
Pikirnya pohon ini berukuran besar dan berusia ratusan tahun dan hanya satu-satunya yang tumbuh di ujung desa Ujung Batu. Pohon seperti demikian tentu tak akan goyah walau di terpa longsor yang amat dahsyat begitulah dalam benak pemikiran Bu Siti.
Setelah meletakkan si buah hati diatas batang pohon besar, di atas tebing yang menjorok ke arah jurang. Bu Siti Maimunah kembali berlari masuk ke arah desa. Namun naas baginya longsoran tanah telah menyapanya lalu menimbun Bu Siti tiada ampun.
Pada akhirnya longsoran tanah berhenti tepat di batang pohon besar di tepi jurang. Dimana Khusnul yang masih bayi diletakkan di salah satu batang besar pohon tersebut. Akibat tergoyah oleh longsoran tanah dari arah desa Ujung Batu. Pohon besar berusia ratusan tahun tumbang jua jatuh ke bawah jurang.
Oek, oek,
Suara tangisan Khusnul yang ikut terlempar kearah jurang terdengar begitu melengking. Tapi tiba-tiba tubuh Khusnul yang masih bayi disahut sebuah bayangan milik lelaki tua bertopi caping mirip topi pak tani.
“Hop, Ah, aku tangkap kamu Ndok cah ayu (Panggilan untuk anak wanita dalam bahasa Jawa). Sudah-sudah jangan menangis ada Kakek disini,” dengan tangan kuatnya Si Kakek tua meraih Khusnul lalu membawanya pergi dengan cara berjalan di atas udara atas jurang.
“Lir ilir, lir ilir, tandure wus sumilir, tak ijo royo-royo,” begitulah sepenggal syair yang di dendangkan oleh Pak Tua bertopi caping berjubah hitam-hitam membawa pergi Khusnul berjalan di udara atas jurang meninggalkan desa Ujung Batu yang sudah tertimbun longsoran.
“Kita harus cepat Dek terus berlari, aku mendengar kabar bahwa desa-desa di sekitar gunung Anjasmara mulai dihancurkan,” teriak Raja pada Arum yang terus berlari di depan Raja sambil terus melontarkan panah api dari busur api yang Arum pegang ke arah puluhan anjing setan yang terus mengejar dan menyerang mereka.Sedangkan Raja terus menghantam dan memukul serta menendang para anjing setan yang melompat hendak menerkam ke arahnya.Mereka berdua menghindar jauh dan mundur terlalu jauh dari medan peperangan kota Jombang. Sebab kota itu sudah dikuasai oleh para manusia pembawa setan dengan makhluk-makhluk ganas yang disebut kodam dari jenis setan berbagai macam bentuk dan rupa.Raja dan Arum bukan satu-satunya pasangan pejuang yang terus melawan demi merebut kembali kota mereka Jombang tercinta. Ada beberapa lagi seperti mereka yang tersebar di seluruh kota yang terus berjuang. Namun kali ini mereka harus mundur dan mau tak mau mereka melepas
“Hai D, lama tak berjumpa,” suara berintonasi besar dan berat menggaung dari langit.Bersamaan itu mendung yang menggelayut kelam seusai badai dan masih tersisa petangnya perlahan terbelah. Ada cahaya terang menyeruak dari belahan awan, ada cahaya memancar bagai petir lurus menghunjam ke bawah jatuh di atas bukit Tunggorono.Ada sayap berbulu emas besar menyeruak dari balik awan. Dengan panjang tiada dapat di ukur dan lebar sudah tak dapat di jangkau. Sosok dari atas langit dengan kaki-kakinya yang kekar berkuku tajam turun perlahan.Lalu berdiri pas di belakang pak tua bertopi caping mirip pak tani yang sedari tadi hanya berdiri terus mengawasi kehancuran kota Jombang di bawah tebing curam bukit Tunggorono.“Kau Garuda memang benar sudah terlalu lama kita tiada berjumpa kembali,” Pak tua bertopi caping hanya mematung terus menatap lekat kotanya yang tinggal sisa puing-puing.“Apa yang kau lihat D, kotamu sudah h
Seorang tua bertopi caping mirip topi pak tani berjalan membawa tongkat dari kayu cendana. Bibir keriputnya terus bersuara berulang-ulang dengan lafaz Allahuma Shalli Ala Muhammad. Wajahnya tertunduk ke bawah tak mau menatap apa saja yang ada di depannya. Berjubah serba hitam memegang tasbih ditangan kanan yang terus diputar perbutir.“Allahuma Shalli Ala Muhammad,” terus berulang keluar dari lisan dan bibir si pak tua bertopi caping.Sedangkan hari semakin gelap saja di sekitar sungai Konto. Namun seakan tiada peduli apa saja yang mewujud dari gelapnya malam tepian sungai iya terus menyusuri sungai Konto.Sejenak langkahnya terhenti saat bayangan rembulan pas di tengah sungai pertanda petang telah sempurna di tengah-tengah malam. Ada sebuah wujud menghentikan langkahnya, menghadangnya dari depan dan tiba-tiba ada menghalangi jalan si pak tua bertopi caping mirip topi pak tani.Sebuah wujud yang lebih tua dari dirinya. Wujud
“Assalamualaikum Nyi Sekar Arum,” MR. D berjalan perlahan menuju sebuah rumah berdinding papan di atas bukit Tunggorono Sebuah rumah sederhana yang iya buat ala kadarnya bersama sang istri tercinta Nyi Sekar. Sebuah gubuk tua berdinding dari papan separuh anyaman bambu. Beratap dari dedaunan rumbia dan beberapa daun lain yang diambil dari hutan sekitar bukit Tunggorono. Sebuah gubuk tanpa listrik dan hanya lampu templek mirip jaman dahulu kala menempel di ruang tamu. Bahkan lampu tersebut dibuat sendiri oleh Nyi Sekar.MR. D dahulu pernah tinggal di sebuah desa pinggiran kota Jombang. Sebuah desa bernama Mojokembang, desa besar sebagai pusat peradaban para pejuang atau pendekar kebatinan dari organisasi lama dan anak keturunan.Namun sebab peristiwa besar memilukan dua puluh sampai tiga puluh tahun yang lalu membuat iya dan sang istri harus terusir dari tempat asal desa mereka. Mereka memilih tinggal jauh dari kota yang kali ini tengah m
“Assalamualaikum, halo disini Gilang ketua divisi dua kelompok anak keturunan. Kita sudah habis, tetapi bukannya tanpa harapan. Sekali lagi disini Gilang putra Elang ketua divisi dua kelompok anak keturunan. Terus berjuang kawan sambil terus bergerak mundur ke pinggiran kota. Bukan untuk menyerah dan membiarkan mereka para setan terus membabi buta memusnahkan kita. Tetapi untuk mengatur ulang strategi sesuai yang diperintahkan Raja sang panglima seluruh divisi. Sekali lagi disini Gilang putra Elang ketua divisi dua wakil dari Raja ketua divisi pertama. Bagi semua divisi yang mendengarkanku terus melawan namun perlahan kita mundur kita berkumpul di titik koordinat yang telah di tentukan,” ucap Gilang pada sebuah alat komunikasi yang para kelompok anak keturunan rancang sendiri. Serupa HT namun agak lebih canggih di lengkapi sensor pelacak keberadaan setan. Aaa...! Sebuah teriakan terdengar dari sisi utara dari kelompok gilang yang tengah berjuang melawan t
“Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh,Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh,” ucap lirih MR. D dari dua kalimat salam setelah menunaikan fardu subuh. Kali ini tiada MR. D tiada memakai jas kebesaran atau baju yang biasa iya kenakan saat berkelana menyusuri sudut-sudut kota Jombang hingga ke pelosok pinggiran.MR. D tengah khusyuk di atas sajadah lusuh warna merah bata pemberian sang ayah dahulu kala. Memakai sarung hitam kotak-kotak dipadu-padankan dengan baju kokoh warna putih serta peci hitam tersemat di atas kepala menutupi rambutnya. MR. D terus memutar tasbih butir demi butir dalam genggaman jemari tangan kanan.“Allahuma Shalli Ala Muhammad,” lafaz Shalawat Rasullah terus bergetar lirih walau perlahan tapi pasti mengudara dari bibirnya.Matanya memang terpejam, tetapi hati dab batin bersahutan menghimpun udara-udara murni dari alam. Sesekali nafas iya hirup perlahan di sela-sela zikir lalu meng
“Ah kurang ajar, kenapa setan tengkorak ini tidak bisa dihancurkan? Seakan mereka bisa hidup kembali walau tulang belulang mereka berserakan di tanah,” teriak Michael Ucup begitu marah tak terkendali.Wajahnya teramat kalut memerah seakan tenggelam dalam api amarah kelam. Semua ini sebenarnya luapan emosi Ucup akan kepedihan sebuah perpisahan dari sang kekasih yang mati di tangan setan api.Tangan Ucup terus mengeluarkan api dari dalam tubuhnya. Sebuah api kemarahan yang terbentuk dari gesekan partikel magnetik dalam tubuh yang melampaui batas. Bergesekan dengan aura negatif yang di sebar oleh otak kala manusia tengah marah secara lampaui batas kemarahan.Tetapi sejatinya tenaga dalam bola api yang dilontarkan dari efek jurus kemarahan seperti demikian tiada begitu kuat. Karena terlampau banyak muatan aura negatif yang disalurkan oleh otak. Sehingga api cenderung tak berbentuk dan hanya sedapatnya menyambar lawan.“Ucup
Ada satu divisi dari keempat divisi kelompok anak keturunan yakni divisi keempat yang masih bertahan di tengah kota. Divisi ini hanya memiliki lima orang anggota, tetapi kelima orang anggota tiada pernah berkumpul di satu tempat secara bersamaan. Mereka selalu terpisah di lima tempat terpisah dengan pusat tengah kota dimana satu orang dari divisi ini terus berjuang dengan taktik gerilya. Dia adalah Si Petir Putra Halilintar yang menjabat sebagai ketua utama divisi keempat kelompok anak keturunan. Divisi berpanji hitam berlambang singa yang menggigit pedang di mulutnya ini adalah divisi terkuat walau bukan sebagai divisi utama. Mereka adalah kartu As dari kelompok anak keturunan. Tanpa mereka mungkin seluruh kelompok anak keturunan sudah habis berguguran. Divisi keempat yang beranggotakan dari Si Petir sebagai ketua divisi. Rohanah istri dari Si Petir yang pagi ini terkonfirmasi berada di daerah barat, tepatnya di daerah Megaluh dan sekitarnya. Sebab set
Tengah malam lewat 15 menit sudah Jaka baru pulang dan baru sampai di teras rumahnya pas berdiri di depan pintu depan rumah berbentuk kupu-kupu atau orang Jawa menyebutnya pintu berbentuk kupu tarung. Entah apa maksudnya kupu tarung yang kalau di buat menjadi arti bahasa Indonesia artinya kupu berkelahi mungkin bentuknya yang seperti kupu-kupu saling berhadapan.“Eh ketok enggak ya, ah terobos sajalah,” gerutu Jaka melewati Pintu dengan gampangnya seakan Jaka selalu dengan mudah menembus pintu tebal yang terbuat dari pohon jati hasil karya Mbah Raji tersebut.“Hehe, sudah masuk dong ke dalam rumah, eh percuma dong istriku mengunci pintu kalau aku gampang masuk. Dan oh tidak orang yang bisa kayak aku juga gampang masuk dong. Haduh Putri jadi ngeri meninggalkan kamu lama-lama sayang, ah kok jadi parno begini ya cus ke kamar,” gerutu Jaka melangkah ke kamar dengan langkah di percepat.Sampai pintu kamar ternyata keadaan pintu tak tertutup se
Krek..., blek...,Suara pintu kamar Vivi terbuka perlahan dari luar oleh Jaka dan Bagus yang hendak mengecek keadaan Vivi dan Wahyu.“Rupanya mereka sudah pulas Mas,” ucap Jaka tersenyum kecil melihat tingkah lucu anaknya yang tengah memeluk erat Vivi sambil terus mengusap perut Vivi sambil terus mengigau Mas Dewa.“Eh sebentar deh Dek Jaka coba dengar igauan anakmu itu,” kata Bagus masih berdiri di depan pintu bersama Jaka.“Sebentar Mas, diam lah dulu aku tidak begitu jelas coba aku dengar sekali lagi,” ujar Jaka mendekatkan daun telinganya agak menjorok ke dalam pintu sambil melonggokkan kepala ke dalam kamar.“Mas Dewa cepat lahir ya,” kembali igauan Wahyu terdengar kali ini agak jelas.“Eh benar kan firasatku Mas,” celetuk Jaka menatap Bagus dan Bagus yang tak tahu menahu akan maksud dari Jaka hanya bengong tak mengerti.“Maksudnya bagaimana ini Dek aku jadi penasa
“Tante, tante Vivi, halo dimanakah dirimu Tanteku yang cantik dan perutnya gendut, hehe. Namanya hamil ya memang gendut ya ah aku ini bagaimana,” teriak Wahyu sambil menggerutu menertawakan diri sendiri terus berlari ke arah kamar Vivi.“Nah ini kamar Tante sama Om ini, gedor ah kerjai Tante biar langsung bangun tidur melulu Si Tante ah aku kan kangen,” gerutu Wahyu mulai usil dengan rencana-rencana nakalnya.“Duor,” sekali tendang pas di tengah dengan kakinya membuat suara sangat kencang namun tetap tak terbuka pintu tetap tertutup rapat terkunci dari dalam.“Loh kok enggak bangun juga ini Tante wah tidur apa pingsan sih ini orang, Tante aku kangen!” teriak Wahyu di depan pintu kamar Vivi.“Pakai apa ya biar bunyinya jadi kayak ada ritmenya gitu pas mukul-mukul ini pintu, hem, ahay ini ada palu ini di atas meja kok pas ya ada palu namanya juga novel campur komedi ia kan haha, eh jangan deh nanti
“Brem, brem, tengteng teng, sit hop stop,” celetuk Wahyu langsung lompat dari atas motor bergegas lari menuju dalam rumah Pak Bupati Bagus yang memang sudah terbuka pintu depannya.“Hey, Wahyu hati-hati Nak jangan lari nanti jatuh,” teriak Jaka namun Wahyu tak menggubris dan terus berlari dengan kaki-kaki kecilnya yang menggemaskan.“Assalamualaikum tante, oh tante,” teriak Wahyu sambil terus berlari melewati Omnya yakni Pak Bupati Bagus beserta petinggi T O H yang lain yang tengah asyik mengobrol di ruang tamu.“Eh Wahyu jangan lari-lari Nak nanti jatuh,” teriak Bagus mengingatkan Wahyu namun Wahyu melewatinya begitu saja karena saking rindunya pada tantenya Vivi.Sebentar kemudian Wahyu kembali ke tempat para peringgi T O H yang sedang duduk-duduk seraya menyalami satu persatu dari mereka. Sampai pada tempat bagus duduk Wahyu menyalami Bagus sambil mencium punggung tangannya seraya bertanya, “Om tant
Kelompok Hendrik Wijaya dari golongan hitam telah pergi beberapa menit yang lalu. Tapi masyarakat kota Jombang yang sudah kadung melihat tontonan yang begitu mengerikan menjadi trauma tik sangat ketakutan akan adanya perang kembali.Sejenak Wahyu mengamati ada yang aneh dari kejauhan tempatnya berdiri. Setelah mengalahkan Hendra Wijaya dengan hanya sekali sentuh. Wahyu tampak gelisah, karena sekejap ia seperti melihat sepasang mata menyeramkan yang tengah mengintainya.Wahyu terus memandang ke arah timur jauh tempatnya berdiri agak bingung mematung. Melihat apa sebenarnya yang ia rasakan benar adanya. Si kecil Wahyu yang masih begitu polos tak mengerti bentuk makhluk apa yang membuat desir dalam dadanya sampai bergetar kencang. Seperti ada sesuatu benturan hawa atau aura antara dia dengan makhluk tak kasat mata lain.Sedangkan para petinggi T O H yang sangat senang dapat membatalkan perang setidaknya damai akan tercipta sampai sepuluh tahun ke depan. Masih teram
“He, apa itu?” kata ibu-ibu yang berkerumun di pinggir trotoar.“He, iya kenapa itu ada orang berhadapan di tengah jalan?” sahut ibu satunya.“Eh, itu bukannya Bupati kita ya Pak Bagus?” timpal bapak-bapak yang ikut nimbrung bersama ibu-ibu.“Loh itu di sampingnya bukannya Mas Haji Lurah Dava dari desa Mbanjar Kerep ya?" teriak ibu-ibu yang lain.“Eh ada apa ini Ya Allah, bahaya apa lagi yang akan terjadi di kota kita ini, kenapa para petinggi T O H berkumpul. Lalu siapa mereka yang berpakaian seperti dukun itu. Jangan-jangan mau hendak perang lagi, haduh mbok yo jangan lagi,” ucap beberapa ibu-ibu saling menyahut pertanyaan dengan kekhawatiran akan adanya perang lagi seperti sepuluh tahun yang lalu.“Hei, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sudah-sudah agak menjauh ya ini sangat berbahaya lebih baik pulang deh,” celetuk Gus Pendik yang tiba-tiba ada duduk santai di trotoar di antara kerumunan w
Sumilir Angin wengi kang tumetesAnnambaih kangen ku sangsoyo gediTitipan Rindu Iki sangsoyo akehAmung biso dedungo angenku nggo koweSlirahmu siji Tresnoku Yo mung sijiTak simpen lan tak jogo tekaning patiPanyuwunku kanggo Riko njogo tresno nisunSayang... Aku tulus Tresno slirahmu... HuuuTresno Ra bakal ilyangKangen sangsoyo mbekasTembang rindu kanggo rikoJanji suci tekaning patiSalam Tresno di jogoSnadyan adoh panggonanmuSumpah tulus kanggo rikoSalam rindu neng slirahmu***Petikan dawai gitar dari jemari Halilintar mengalun menyeberangi pintu ke pintu dan mengetuk kaca pintunya. Merayu-rayu penuh ritme agar beberapa orang yang tengah membuka kaca selaras dengan harapan Halilintar mengulurkan sedikit rezeki untuknya makan hari ini.Gitar klasik warna hitam tua terus setia menemani perjuangan sang musisi jalanan. Setia menemani kala hujan tiba atau panas
Sore ini bunga anggrek di halaman rumah Bagus masih saja segar dari air yang disiramkan oleh bik Amanah sejam yang lalu. Mekarnya sangat sempurna dan harumnya semakin semerbak menempel anggun pada inang induknya batang pohon mangga.Tertata rapi bak kebun bunga istana raja dibalut bekas kupasan kulit kelapa yang sering disebut orang sepet di tali rapi dengan tali sejenis kawat kecil. Bunga anggrek lurus tertanam di depan rumah seindah sang pemilik yang selalu memperhatikannya setiap sore sebelum magrib menjelang ayu sama cantiknya.Namun kali ini sang pemilik tampak bermuka murung, gundah gulana dan terpaut seribu pikiran dengan pengembaraan lamunan di atas awang langit senja yang sudah mulai tampak memerahkan langit.Di atas kursi roda Vivi merenung memandang sang bunga lekat menatapnya berlama-lama. Andai saja aku seperti bunga anggrek itu begitu terlihat sempurna di mata siapa saja yang memandangnya menarik hati, ujar dalam hati Vivi yang semakin hari semakin
Pagi gelisah tergambar pada raut wajah Halilintar. Iya masih terpikir seraut wajah dengan senyum anggun. Seorang ibu muda di dalam sebuah mobil warna merah maru, dimanah sang ibu muda tengah di sopiri seorang yang gagah rupawan. Entah itu sopirnya atau sang suami Halilintar tak mau berpikir jauh ke arah sana.Wajah Si Ibu muda membuatnya semakin gelisah. Otaknya semakin pening terpikir siapakah Si Ibu muda tersebut kenapa iya begitu baik dan yang paling membuatnya bingung seorang bapak-bapak yang juga masih muda yang menyopiri Si Ibu muda tersebut sempat memanggil namanya. Padahal iya sangat yakin tak pernah bertemu walau sekejap.Pagi ini Halilintar semakin resah duduk di atas trotoar lampu merah pas perempatan sebelah utara kebun raja. Matanya memang menatap beberapa kendaraan yang berhenti saat lampu tengah menyala merah namun seluruh badan serasa kaku tak ingin beranjak dari lamunan.Ada apa denganku ujarnya dalam benak, seharusnya aku berdiri memainkan gita