Pramudya di antara gadis tercinta dan mantan terindah. Ketiganya berada dalam naungan atmosfere yang seketika terasa memanas. Terlebih yang dirasakan Hani. Serasa dirinya kini meleleh bagai botol plastik yang dilempar ke kobaran api ketika menyaksikan bagaimana Pram memperlakukan Cinta begitu manis dan penuh sayang. Seakan gadis itu benda berharga yang terbuat dari kristal dan rentan pecah. Sementara padanya, sangat jauh berbeda, bahkan Pram dengan tegas mengusirnya.
Sebelum Cinta menempatkan dirinya di lantai berkarpet biru itu, Pram mengalasinya dengan bantal besar terlebih dulu. Setelah memastikan Cinta duduk dengan nyaman, Pram menempatkan diri di sebelahnya dan merapatkan bahunya pada bahu Cinta, lalu merapikan rok ruffle pendek yang Cinta kenakan agar tak tersingkap.
Semua itu Pram lakukan di bawah tatapan Hani yang menyedihkan. Pasangan yang tengah dimabuk asmara itu duduk berdekatan dan saling berpandangan mesra. Sedangkan dirinya hanya berdiri di tempatnya ber
Sepeninggalan Hani, keduanya saling menatap mesra dengan hati berbunga-bunga memenuhi dada. Pram mengulum senyum menggoda Cinta yang menggigit bibir bawah karena gemas memandang wajah Pram yang dimatanya kini berkali-kali lipat lebih menawan.Ternyata cinta memang semenakjubkan itu. Walaupun ia datang dan bersemayam tanpa diduga, namun ia mampu menjungkirbalikkan dunia para insan yang memilikinya.Melihat bibir mungil itu, jantung Pram berdebar lebih cepat dari biasanya. Rasanya tulang-tulang dadanya akan rontok dan porak poranda. Dia berpikir, untuk menormalkan kerja jantungnya yang tidak wajar itu, tak ada cara lain kecuali mengecup bibir Cinta dan memeluk kekasihnya itu dengan erat.Tanpa permisi, Pram memajukan wajahnya, mengantar bibirnya ke hadapan Cinta, hingga mengecup lembut bibir gadisnya itu. Lama dan begitu dalam. Dia berharap debaran jantungnya kembali normal. Tapi ternyata tidak, justru kian kencang ketika Cinta mengulum bibirnya dan menyesapnya le
Setelah melewati sedikit perdebatan, akhirnya Cinta mengalah pada keputusan Pram yang menolak penawarannya untuk menyewa satu unit apartement untuk Pram tempati.Pram beralasan selain karena pemborosan, juga karena prinsip pribadi yang tak ingin memanfaatkan uang wanita untuk kebutuhannya. Apalagi harga sewa satu unit hunian di apartement mewah itu tidaklah murah. Pastinya Pram tak akan mau Cinta menghamburkan uang begitu saja.Sebagai gantinya, malam ini Cinta ingin menginap di rumah kontrakan Pram yang sederhana itu. Walaupun setengah mati Pram membujuknya untuk pulang ketika Cinta merajuk, akhirnya dengan berat hati Pram mengijinkan juga.Bukan karena tak suka Cinta bermalam dirumahnya, tapi melihat siapa Cinta dengan segala kemewahan yang melekat di dirinya, tentu saja Pram ragu gadis itu akan bertahan di rumah sederhananya walau hanya satu malam saja. Tanpa pendingin ruangan, tempat tidur tanpa pegas empuk, dan juga kemungkinan besar kulit mulus Cinta
Tempat tidur sudah dirapikan. Spreinya pun sudah berganti dengan yang lebih bersih. Harum parfum ruangan menyeruak di seantero kamar. Dan baju-baju yang bergelantungan di belakang pintu sudah teronggok di dalam keranjang baju kotor. Tak lupa pengusir nyamuk dan serangga pun sudah disemprotkan di berbagai sudut.Semua itu Pram lakukan ketika mereka sudah berada di rumah kontrakannya di pukul sepuluh malam, untuk memastikan Cinta-nya tidur dengan nyaman.Sambil menunggu Cinta yang tengah membersihkan diri di kamar mandi, Pram menyeduh dua cangkir kopi hitam, lalu dia letakkan di meja ruang tamu.Terdengar pintu kamar mandi terbuka, lalu suara langkah kaki Cinta menuju kamarnya.Sejurus kemudian, Cinta keluar dari kamar Pram dengan kaos putih miliknya yang kebesaran dan rambut yang basah. Wajahnya yang polos tampak segar merona merah muda. Wangi sabun dan sampo pun menyeruak dari tubuh Cinta, membuat kepala Pram berputar menoleh ke arahnya seketika itu juga.
Dengan menyewa taksi online Pram mengantarkan Cinta pulang ke apartement setelah menghabiskan dua malam yang membahagiakan di rumah kontrakan sederhananya. Dua malam yang mereka lalui dengan penuh canda tawa, saling berbagi kemesraan dan bertukar cerita untuk mengenal pribadi masing-masing lebih dalam. Air mata Cinta sempat meleleh saat mendengar cerita masa kecil yang Pram lalui di panti asuhan di sebuah kabupaten di kota Bandung tanpa tahu siapa kedua orang tua kandungnya. Hingga dirinya harus berjuang hidup seorang sendiri di kota Jakarta sejak usia sembilan belas tahun. Dengan berbekal ijazah SMA dia melakoni beberapa profesi di berbagai tempat. Mulai dari pelayan restorant cepat saji, kurir ekspedisi dan terakhir menjadi security di hotel Swastika milik Pak Abraham, ayah Cinta. Dan keadaan ekonominya membaik sejak dirinya bekerja sebagai pengawal pribadi Cinta dengan penghasilan yang lumayan besar dari sebelum-sebelumnya. Namun keadaan yang sanga
Salut untuk para wartawan infotainment. Mereka bekerja secepat cahaya. Terlebih saat mengendus desas-desus sensasional yang melibatkan artis atau publik figur ternama. Tanpa kenal lelah dan waktu mereka menunggu hanya untuk memburu berita.Cinta melipat tangan di depan dada seraya melempar pandangan ke arah para pewarta yang bergerumun di depan pintu studio lokasi pemotretannya untuk satu brand apparel wanita siang ini.Tatapannya datar saja. Tak sedikit pun tampak kilatan emosi di sana. Bahkan sesekali dia hanya bergedik malas dan tersenyum kecil.Biasanya, saat dia diserang gosip yang selalu mengidentikkan dirinya dengan sensasi, dia selalu menunjukkan emosi, walaupun hanya berupa umpatan atau gerutuan yang ditujukan pada para penggali informasi.Tapi kali ini sikapnya jauh berbeda. Sejak mengetahui dirinya kini menjadi pusat ghibah dunia infotainment tanah air, Cinta bersikap acuh tak acuh, menganggap itu bukan sesuatu yang bisa mempengaruhi hidupnya.
Cinta ... Cinta ... Cinta ...Nama itu yang kini selalu selalu menggema di dalam kepala. Wajah si jelita itu yang kini selalu terbayang di pelupuk mata. Bisa selalu bersama dalam suka dan duka mendampingi gadis itu adalah keinginan terbesarnya.Pram tak memungkiri, Cinta memang sudah membuat dunianya kini lebih berwarna dan penuh gairah. Tulusnya rasa cinta yang telah gadis itu tunjukkan membuat ketidakpercayaan diri karena keadaannya perlahan menghilang. Hingga Pram tak kuasa lagi memendam keinginan untuk segera mengikatnya dalam satu ikatan suci bernama Pernikahan.Setelah melewati satu malam yang panjang untuk merenung dan memastikan langkah selanjutnya untuk menggapai keinginannya itu, dibantu dengan diskusi menenangkan bersama Bu Ocha yang menyambut dengan antusias keinginannya itu, akhirnya Pram memutuskan untuk bicara dengan Cinta pagi ini juga.Dengan langkah mantap Pram menuju apartement Cinta. Bersama rasa rindu yang menggebu, dia lekas memasukk
“Bu Cinta, saya mau bicara sesuatu,” ijin Pram dengan raut serius setelah menyudahi sarapannya dan menyesap segelas air mineral.“Sebelum kamu bicara, aku duluan yang bicara. Diam di tempat kamu. Jangan kemana-mana.” Cinta menyelak cepat seraya beranjak dari duduknya dan bergegas meninggalkan Pram yang hanya menatap punggungnya ketika sudah melesat masuk ke dalam kamar.Cinta kembali lagi ke teras balkon, namun tidak ke kursinya. Dia berdiri tepat di hadapan Pram, dengan sebuah kotak berlapis kulit berwarna hitam di genggaman.Tanpa Pram duga, Cinta berlutut di depannya sambil menguak penutup kotak hitam itu yang dia sodorkan ke hadapan Pram.Spontan Pram beranjak dan meraih bahu Cinta, mengangkat tubuh gadisnya dari lantai untuk berdiri sejajar dengannya.“Bu Cin, apa-apaan ini?” Pram terperangah menatap lurus bola mata Cinta dengan gugup dan bingung.“Pram, kamu mau, kan ... jadi suami aku?”
Dengan berbekal tekad kuat dan keputusan yang sudah bulat, Pram memarkirkan motornya di halaman rumah mewah milik keluarga Pak Abraham.Sesuai janjinya, malam ini tepat di pukul tujuh Pram sudah berada di rumah itu untuk menemui Pak Abraham dan bicara sesuatu yang penting dengan pria itu.Sebelum menjajaki teras, sekilas Pram melirik mobil CRV putih yang biasa dia kendarai untuk mengantar Cinta setiap hari, terparkir rapi di depan pintu garasi. Berarti Cinta sudah tiba di rumah itu lebih dulu.Sekilas senyum kecil terbit di bibirnya, mengingat seharian tadi dia menghabiskan waktu bersama Cinta dengan berbincang-bincang mengenai banyak hal yang menyangkut rencana Pram selanjutnya. Diakhiri dengan ciuman hangat dan pelukan mesra sebelum dia pulang untuk mempersiapkan diri menemui Pak Abraham dan Ibu Viola.Tak lama pintu rumah pun terbuka ketika Pram menekan bel satu kali saja dan seorang asisten rumah tangga mempersilahkannya untuk masuk dan menunggu di ru
Pramudya.Dari tempatnya berdiri, di balkon Presidential Suit Room lantai dua puluh hotel Swastika, ia memandangi barisan gedung yang diterangi oleh lampu-lampu aneka warna. Seakan bangunan-bangunan menjulang itu tengah berlomba-lomba memamerkan keindahan di antara langit kelam.Jalan raya ibukota di bawah sana masih tampak sibuk menggeliat walau hari telah beranjak gelap.Diiringi semilir angin malam yang sejuk dan tak menusuk, ia menyandarkan pinggang di pagar balkon bersama secangkir kopi hitam di tangan. Diseruputnya beberapa teguk, lalu ia letakkan kembali ke atas meja kaca.Satu jam lalu, setelah seluruh rangkaian acara akad nikah dan resepsi digelar, sebenarnya ia ingin segera membawa Cinta pulang ke rumah. Namun, Pak Abraham, ayah mertuanya sudah mempersiapkan satu kamar termewah di hotel ini untuknya dan Cinta beristirahat beberapa hari. Tentu saja ia tak mampu menolak. Ia berpikir beginilah cara ia menghargai permintaan ayah mertua
Seseorang tidak bisa memaksakan dengan siapa ia akan jatuh cinta. Tapi hati lebih tahu siapa yang pantas untuk diperjuangkan dan siapa yang pantas didapatkan.Jadi, jangan pernah berhenti mencintai hanya karena pernah terluka. Karena tak ada pelangi tanpa hujan, tak ada cinta sejati tanpa tangisan.Pramudya dan Cinta sudah membuktikan itu semua. Setelah melewati segala rintangan, kepedihan dan kekecewaan, kini saatnya mereka berhak merayakan penyatuan cinta yang sejatinya awal melangkah menuju kehidupan baru.Cermin memang tidak pernah berdusta. Ia menampilkan apa yang ada di hadapannya. Disana terlihat seorang gadis cantik tinggi semampai dalam balutan kebaya putih berkerah rendah. Kalung rantai platina berliontin bentuk matahari melingkar di leher jenjangnya. Rambutnya disanggul dan ditaburi butiran kristal yang berkilau ketika ditimpa cahaya. Wajahnya yang sehalus porcelein dihias dengan warna-warna muda, terkesan alami namun tetap menggetarkan hati saa
Satu minggu kemudian, kesepakatan kerjasama antar dua perusahaan itu akhirnya terlaksana. Dikukuhkan dengan penandatanganan sejumlah dokumen perjanjian oleh Aura Cinta Anastasia sebagai Direktur Utama PT Swasti Karya Utama dan Rosalinda Cattleya Aji Pratama sebagai Direktur Pelaksana PT Andromeda Persada Land.Disaksikan sejumlah jajaran manager dari kedua perusahaan, pengacara masing-masing pihak dan notaris independen.Cinta seakan enggan berkedip ketika menatap sosok Pram yang tampak begitu mempesona di hari istimewa ini. Pria dengan keelokan fisiknya itu semakin menawan dengan setelan jas hitam yang begitu pas membalut tubuh tegapnya. Rambut klimisnya tertata rapi membingkai wajahnya yang segar dengan rahang licin kebiruan. Senyuman tipisnya yang selalu mengembang sepanjang acara tak ayal lagi membuat para kaum hawa melelehkan air liur kala memandangnya.Benar-benar seorang pria dengan pesona yang tak terbantahkan!Demikian juga Pram yang begitu menik
Untung saja Pram sigap menangkap tubuh Cinta yang tiba-tiba lunglai seperti daun kering yang lepas dari tangkai. Sehingga tubuh gadisnya itu tak sampai jatuh menghantam lantai.Lima menit tadi, ruangan lantai tiga mendadak gempar bagai diguncang gempa bumi. Lantaran pekikan panik Juwita saat melihat ibu direktrisnya yang cantik itu tiba-tiba tak sadarkan diri.Para karyawan langsung berhamburan keluar dari kubikel mereka menuju ruang kerja Direktur Utama untuk mengetahui apa yang terjadi.Tapi ketika melihat Pram membopong tubuh Cinta ke atas sofa dan mendekap begitu posesifnya, para karyawati yang melongo ke dalam ruangan justru berharap diri mereka yang pingsan saat itu, demi bisa bertukar tempat dengan Cinta, berada dalam dekapan hangat pria menawan itu.Burhan dan Baldi, serta Juwita akhirnya berhasil menggiring mereka kembali ke kubikel masing-masing, dan menghempaskan harapan semu mereka.Cinta mengerjap-ngerjapkan kelopak mata lemah, menyesu
Pramudya.“Apa kabar?” Terdengar begitu lugu, berbulan-bulan tak jumpa tapi hanya pertanyaan itu yang mampu terucap dari bibirnya.Perlahan Cinta mengurai dekapan dari tubuh tegapnya, kemudian mendongak untuk menjangkau pandangan tepat ke bola matanya yang juga menghangat. Lalu seulas senyum menghiasi wajah gadisnya yang basah.“Kangen.” Singkat, namun menggambarkan sejuta rasa indah.“Sama.” Begitu juga Pram yang seketika kehilangan kata-kata mesra yang sudah ia persiapkan sejak dari rumah. Karena ia terlalu sibuk menjinakkan hati yang kini melonjak-lonjak hendak melambung tinggi.Tanpa ia duga, Cinta menangkup wajahnya, menariknya untuk mendekat, lalu mengecup bibirnya begitu dalam dan lama. Walau terperanjat, ia berharap mampu membekukan waktu untuk menikmati kecupan hangat itu.Belum juga harapannya terkabul, Cinta melerai kecupan panjang di bibirnya. Lalu begitu tergesa-gesa gadis
Cinta.Ia mematut diri sejenak di depan cermin meja rias setelah tubuh semampainya terbalut blazer magenta dan celana panjang dengan warna sama, rambut coklatnya ia biarkan terurai bergelombang, serta riasan wajahnya natural, namun terkesan elegant.Lalu menyungging senyum puas ketika dirasa penampilannya saat ini sudah cukup paripurna. Pasalnya ia menganggap hari ini adalah hari penentuan bagi hidup mati perusahaan. Karena siang nanti ia akan bertemu dengan calon investor yang tertarik menanamkan dana besar pada proyek yang sedang ia perjuangkan. Setidaknya ia ingin memberikan kesan pertama yang positif lewat penampilan.“I’m gonna get dressed for success,” gumamnya sambil tersenyum dan mengerlingkan mata pada pantulan dirinya di cermin.Bergegas ia raih tas tangannya dengan brand terkenal dunia, lalu lekas melangkah keluar kamarnya.“Morning, Pa, Ma.” Ia menyapa setelah berada di kamar kedua orangtuanya.Pak A
Aura Cinta AnastasiaAtmosfere Meeting Room Hotel Swastika saat ini membeku. Dingin, kaku, dan membuat semua peserta internal meeting perusahaan itu mendadak diam membisu. Terlebih saat dua orang anggota tim konsultan bisnis memaparkan sejumlah temuan dan analisa di hadapan mereka.Yang intinya bahwa pembangunan proyek apartement yang akan dibangun oleh Pak Abraham dan rekannya Pak Derry Nugraha terpaksa dihentikan untuk sementara waktu. Dan perusahaan harus mengembalikan keseluruhan dana konsumen yang sudah masuk, juga semua kewajiban perbankan yang sudah jatuh tempo. Sementara sumber keuangan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut berada di titik rawan.Untuk mengatasi kendala tersebut, tak ada cara lain yaitu mencari investor atau menjual semua aset perusahaan bahkan aset pribadi pemilik untuk mendapatkan sumber pendanaan. Sedangkan para calon investor yang dianggap berpotensi saat ini sepertinya mundur teratur setelah berita mengenai masalah pr
“Selamat pagi, Sayang ... “Pram terlihat memutar bola matanya, sedikit jengah mendengar sapaan ibunya itu saat ia melangkah masuk ke ruang kerja dimana sang ibu sedang berkutat dengan beberapa dokumen di belakang meja kaca.“Jangan panggil ‘sayang’, Bu. Nggak suka!”Dari balik kacamatanya, Bu Ocha melirik Pram yang langsung menempatkan diri di kursi seberangnya. Lalu ia mengulum senyum.“Kan emang sayang,” godanya, karena suka melihat wajah puteranya yang tertekuk sebal itu.“Ibu ... please. Udah setua ini dipanggil ‘sayang’ sama Ibu, bikin malu aja,” gerutu Pram sambil memainkan pena di atas meja.Bu Ocha terkekeh ringan sambil melirik Mak Ayu yang duduk di sofa di tengah ruang kerja itu. Demikian juga Mak Ayu yang ikut tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu, lalu menyeruput secangkir teh hangat di tangannya.“Kalo nggak mau dipanggil ‘sayang&r
Pramudya.Ia tertegun menatap sesosok wajah yang tergambar di dalam bingkai foto berukuran besar di salah satu dinding kamar. Kelopaknya sedikit memicing mengamati wajah teduh namun terkesan bijaksana itu. Ia tak menampik bahwa tampilan sosok itu memiliki banyak persamaan dengan dirinya. Sepasang mata yang dalam di kawal dengan kedua alis yang legam. Bibir yang tipis dengan sudut tajam saat tersenyum. Dan garis rahang yang sangat menawan menggambarkan ketegasan. Ia memandangi foto itu seperti sedang bercermin.“Itu Pratama, cinta pertama Ibu, ayah kamu.” Dibelakangnya, Bu Ocha melingkarkan tangan di bahunya, kemudian meletakkan kepala di sana sambil ikut memandangi wajah di dalam bingkai foto warna kuning keemasan di hadapannya.“Ganteng,” Ia memuji tanpa mengalihkan tatapan pada foto itu.“Iya, persis kayak kamu. Wajah kamu seperti copy paste ayah kamu, Pram. Ibu cuma kebagian mewarisi bentuk hidung ke kamu,&rd