Setelah melewati sedikit perdebatan, akhirnya Cinta mengalah pada keputusan Pram yang menolak penawarannya untuk menyewa satu unit apartement untuk Pram tempati.
Pram beralasan selain karena pemborosan, juga karena prinsip pribadi yang tak ingin memanfaatkan uang wanita untuk kebutuhannya. Apalagi harga sewa satu unit hunian di apartement mewah itu tidaklah murah. Pastinya Pram tak akan mau Cinta menghamburkan uang begitu saja.
Sebagai gantinya, malam ini Cinta ingin menginap di rumah kontrakan Pram yang sederhana itu. Walaupun setengah mati Pram membujuknya untuk pulang ketika Cinta merajuk, akhirnya dengan berat hati Pram mengijinkan juga.
Bukan karena tak suka Cinta bermalam dirumahnya, tapi melihat siapa Cinta dengan segala kemewahan yang melekat di dirinya, tentu saja Pram ragu gadis itu akan bertahan di rumah sederhananya walau hanya satu malam saja. Tanpa pendingin ruangan, tempat tidur tanpa pegas empuk, dan juga kemungkinan besar kulit mulus Cinta
Tempat tidur sudah dirapikan. Spreinya pun sudah berganti dengan yang lebih bersih. Harum parfum ruangan menyeruak di seantero kamar. Dan baju-baju yang bergelantungan di belakang pintu sudah teronggok di dalam keranjang baju kotor. Tak lupa pengusir nyamuk dan serangga pun sudah disemprotkan di berbagai sudut.Semua itu Pram lakukan ketika mereka sudah berada di rumah kontrakannya di pukul sepuluh malam, untuk memastikan Cinta-nya tidur dengan nyaman.Sambil menunggu Cinta yang tengah membersihkan diri di kamar mandi, Pram menyeduh dua cangkir kopi hitam, lalu dia letakkan di meja ruang tamu.Terdengar pintu kamar mandi terbuka, lalu suara langkah kaki Cinta menuju kamarnya.Sejurus kemudian, Cinta keluar dari kamar Pram dengan kaos putih miliknya yang kebesaran dan rambut yang basah. Wajahnya yang polos tampak segar merona merah muda. Wangi sabun dan sampo pun menyeruak dari tubuh Cinta, membuat kepala Pram berputar menoleh ke arahnya seketika itu juga.
Dengan menyewa taksi online Pram mengantarkan Cinta pulang ke apartement setelah menghabiskan dua malam yang membahagiakan di rumah kontrakan sederhananya. Dua malam yang mereka lalui dengan penuh canda tawa, saling berbagi kemesraan dan bertukar cerita untuk mengenal pribadi masing-masing lebih dalam. Air mata Cinta sempat meleleh saat mendengar cerita masa kecil yang Pram lalui di panti asuhan di sebuah kabupaten di kota Bandung tanpa tahu siapa kedua orang tua kandungnya. Hingga dirinya harus berjuang hidup seorang sendiri di kota Jakarta sejak usia sembilan belas tahun. Dengan berbekal ijazah SMA dia melakoni beberapa profesi di berbagai tempat. Mulai dari pelayan restorant cepat saji, kurir ekspedisi dan terakhir menjadi security di hotel Swastika milik Pak Abraham, ayah Cinta. Dan keadaan ekonominya membaik sejak dirinya bekerja sebagai pengawal pribadi Cinta dengan penghasilan yang lumayan besar dari sebelum-sebelumnya. Namun keadaan yang sanga
Salut untuk para wartawan infotainment. Mereka bekerja secepat cahaya. Terlebih saat mengendus desas-desus sensasional yang melibatkan artis atau publik figur ternama. Tanpa kenal lelah dan waktu mereka menunggu hanya untuk memburu berita.Cinta melipat tangan di depan dada seraya melempar pandangan ke arah para pewarta yang bergerumun di depan pintu studio lokasi pemotretannya untuk satu brand apparel wanita siang ini.Tatapannya datar saja. Tak sedikit pun tampak kilatan emosi di sana. Bahkan sesekali dia hanya bergedik malas dan tersenyum kecil.Biasanya, saat dia diserang gosip yang selalu mengidentikkan dirinya dengan sensasi, dia selalu menunjukkan emosi, walaupun hanya berupa umpatan atau gerutuan yang ditujukan pada para penggali informasi.Tapi kali ini sikapnya jauh berbeda. Sejak mengetahui dirinya kini menjadi pusat ghibah dunia infotainment tanah air, Cinta bersikap acuh tak acuh, menganggap itu bukan sesuatu yang bisa mempengaruhi hidupnya.
Cinta ... Cinta ... Cinta ...Nama itu yang kini selalu selalu menggema di dalam kepala. Wajah si jelita itu yang kini selalu terbayang di pelupuk mata. Bisa selalu bersama dalam suka dan duka mendampingi gadis itu adalah keinginan terbesarnya.Pram tak memungkiri, Cinta memang sudah membuat dunianya kini lebih berwarna dan penuh gairah. Tulusnya rasa cinta yang telah gadis itu tunjukkan membuat ketidakpercayaan diri karena keadaannya perlahan menghilang. Hingga Pram tak kuasa lagi memendam keinginan untuk segera mengikatnya dalam satu ikatan suci bernama Pernikahan.Setelah melewati satu malam yang panjang untuk merenung dan memastikan langkah selanjutnya untuk menggapai keinginannya itu, dibantu dengan diskusi menenangkan bersama Bu Ocha yang menyambut dengan antusias keinginannya itu, akhirnya Pram memutuskan untuk bicara dengan Cinta pagi ini juga.Dengan langkah mantap Pram menuju apartement Cinta. Bersama rasa rindu yang menggebu, dia lekas memasukk
“Bu Cinta, saya mau bicara sesuatu,” ijin Pram dengan raut serius setelah menyudahi sarapannya dan menyesap segelas air mineral.“Sebelum kamu bicara, aku duluan yang bicara. Diam di tempat kamu. Jangan kemana-mana.” Cinta menyelak cepat seraya beranjak dari duduknya dan bergegas meninggalkan Pram yang hanya menatap punggungnya ketika sudah melesat masuk ke dalam kamar.Cinta kembali lagi ke teras balkon, namun tidak ke kursinya. Dia berdiri tepat di hadapan Pram, dengan sebuah kotak berlapis kulit berwarna hitam di genggaman.Tanpa Pram duga, Cinta berlutut di depannya sambil menguak penutup kotak hitam itu yang dia sodorkan ke hadapan Pram.Spontan Pram beranjak dan meraih bahu Cinta, mengangkat tubuh gadisnya dari lantai untuk berdiri sejajar dengannya.“Bu Cin, apa-apaan ini?” Pram terperangah menatap lurus bola mata Cinta dengan gugup dan bingung.“Pram, kamu mau, kan ... jadi suami aku?”
Dengan berbekal tekad kuat dan keputusan yang sudah bulat, Pram memarkirkan motornya di halaman rumah mewah milik keluarga Pak Abraham.Sesuai janjinya, malam ini tepat di pukul tujuh Pram sudah berada di rumah itu untuk menemui Pak Abraham dan bicara sesuatu yang penting dengan pria itu.Sebelum menjajaki teras, sekilas Pram melirik mobil CRV putih yang biasa dia kendarai untuk mengantar Cinta setiap hari, terparkir rapi di depan pintu garasi. Berarti Cinta sudah tiba di rumah itu lebih dulu.Sekilas senyum kecil terbit di bibirnya, mengingat seharian tadi dia menghabiskan waktu bersama Cinta dengan berbincang-bincang mengenai banyak hal yang menyangkut rencana Pram selanjutnya. Diakhiri dengan ciuman hangat dan pelukan mesra sebelum dia pulang untuk mempersiapkan diri menemui Pak Abraham dan Ibu Viola.Tak lama pintu rumah pun terbuka ketika Pram menekan bel satu kali saja dan seorang asisten rumah tangga mempersilahkannya untuk masuk dan menunggu di ru
Oksigen. Pram membutuhkan oksigen lebih banyak untuk asupan darah yang mengalir ke setiap sel otaknya. Dia menarik napas dalam-dalam seraya menenangkan organ jantungnya yang sedari tadi tak mau berhenti berguncang kencang di dalam dada.Sekali lagi dia menarik napas panjang dan perlahan mengembuskannya sambil menegakkan badan. Lalu, setelah merasa tenang dan mengamati Pak Abraham dan Bu Viola menatapnya dalam, tampak sedang menunggunya membuka suara, Pram merasa inilah kesempatannya untuk bicara.“Sekali lagi saya mohon maaf. Pengunduran diri saya ini bukan karena masalah video atau pun gosip yang beredar sekarang. Juga bukan karena Bu Cinta bikin masalah dengan saya. Tapi ini karena alasan pribadi saya. Saya.... “ Pram menjeda, jantungnya mulai berulah, dia memejamkan mata, lalu mengembuskan kembali napasnya dengan panjang.“Saya suka sama putri Bapak dan Ibu. Saya jatuh cinta sama Bu Cinta.” Dengan susah payah Pram menuntaskan kalimatny
MR CINDERELLA PART 62Pramudya.Sepulang pertemuannya dengan kedua orang tua Cinta, Pram tak langsung kembali ke rumah. Dia berkendara tak tentu arah, untuk menenangkan pikiran dan hati yang berkecamuk tak karuan.Ketika melewati daerah Menteng, dia melajukan motornya perlahan, lantaran ingatannya tiba-tiba saja kembali pada saat bersama Cinta makan sate di pinggir jalan itu sewaktu pulang dari resepsi pernikahan Hani beberapa bulan lalu.Kemudian dia putuskan memarkir motornya di tepi trotoar pinggir pintu taman Suropati, lalu menempatkan dirinya di salah satu bangku taman kota itu.Kepulan asap putih dan halus menari-nari di atas kepala setelah dia hembuskan panjang dan perlahan ke arah atas. Tak dia pedulikan pandangannya pada bulan purnama yang tengah menyaksikan kegalauannya terhalang oleh kabut halus itu.Bersama asap putih ampas nikotin itu dia berharap kegundahannya akan mereda. Tapi ternyata tidak juga. G