Sudut pandang Jovan:"Jovan, kamu di mana? Safira baru saja meneleponku. Dia kesakitan. Dia bilang perutnya sakit ...."Aku tertegun saat mendengar perkataan ibuku. Bulu kudukku meremang. Tanpa sadar aku berseru, "Apa?""Aku nggak peduli kamu sedang berada di mana dan apa yang sedang kamu lakukan! Pokoknya kamu harus cepat pulang. Nggak ada yang boleh terjadi pada ...."Hanya itu kalimat terakhir yang kudengar saat aku menutup telepon. Aku yang panik bergegas mengumpulkan pakaianku yang berserakan di lantai."Ada apa?" Suara Arini terdengar dari belakangku. Aku sama sekali tidak tahu kalau dia sudah turun dari ranjang karena aku sibuk memikirkan berbagai kemungkinan terburuk."Kamu membuatku takut. Ada apa? Siapa yang meneleponmu?" Suara Arini membuyarkan pikiranku lagi. Kali ini dia berdiri di depanku. Wajahnya tampak khawatir.Aku tergagap. "S-Safira ... i-ibuku menelepon ... dia kesakitan. P-Perutnya sakit."Arini membelalakkan matanya karena khawatir. "Dia kenapa?"Aku menggelengka
Sudut pandang Arini:Sepeninggal Jovan, kekhawatiran melandaku. 'Gimana kalau ada apa-apa dengan Safira? Dia sakit perut? Padahal aku dan Jovan baru saja meninggalkan rumah kurang dari 24 jam.'Aku mencoba mengalihkan pikiranku dengan meyakinkan diriku bahwa Jovan mampu menangani situasi ini. Hanya saja, aku terus menerus kepikiran. Tiba-tiba aku merasa curiga. Jangan-jangan ini hanyalah taktik Safira untuk membuat Jovan pulang ke rumah. Soalnya, wanita itu memang tidak mau Jovan pergi.Namun, aku menepis pemikiran tersebut. Aku mencoba untuk tidak paranoid dan cemas. 'Kalau dia pura-pura, dia akan melibatkan ibunya Jovan, bukan?' Memikirkan hal ini membuatku semakin tidak tenang.Kemudian sebuah pemikiran melintasi benakku. 'Gimana kalau kondisinya kritis dan Jovan nggak mampu menanganinya?' Aku langsung tersentak. 'Aku harus pulang ke rumah juga. Mungkin Jovan perlu bantuanku.'Tanpa berpikir panjang, aku menyambar pakaianku dan mengenakannya. Lalu aku berlari keluar kamar sambil mem
Sudut pandang Arini:Aku terdiam, berusaha memahami ucapan Anita. Kami pun saling menatap secara perlahan. "Kamu bercanda, 'kan?" tanyaku."Menurutmu, aku bercanda?" Anita menanggapi dengan tegas dan serius. Aku pun menarik napas, berusaha untuk memahami nasihatnya. Menceraikan Jovan? Ide itu terasa tidak nyata dan asing. Pikiranku melayang dan benakku berkata, 'Untuk apa aku menceraikan Jovan? Aku sudah menghabiskan segalanya dan berjuang keras demi pernikahan ini.'Aku menggeleng, berusaha mentertawakannya. "Kamu bercanda, Anita," ucapku dengan suara yang sedikit gemetar.""Aku serius. Kamu nggak bisa terus-terusan jadi orang yang Jovan ragukan, Arini. Kamu itu istrinya! Dia udah dewasa dan harus bisa memilih. Kalau dia masih mencintai Safira, biarkan saja Jovan bersamanya. Kalau dia mencintaimu, dia harus tegas dan nunjukin itu dengan menempatkan Safira di tempat yang seharusnya. Percayalah, tempatnya Safira itu bukan di hidup kalian atau rumah tangga kalian!" tegas Anita.Kata-kata
Sudut pandang Arini:Besok adalah hari minggu dan aku bersyukur karena besok bukan hari kerja. Setelah bangun tidur, aku cuma mandi, sarapan, dan menonton TV karena Anita tidak membiarkanku bergerak sedikit pun."Hei," sapa Anita yang meremas bahuku perlahan sambil duduk di sebelahku di sofa. "Ada apa?""Hei," balasku yang menoleh sebentar, lalu kembali menonton TV. "Kamu udah beres?" Aku bertanya seperti itu karena Anita bangun dini hari untuk merapikan bunga di sisi pintu masuk rumahnya, dan aku ingin memastikan kalau dia sudah selesai."Iya. Bunganya terlihat lebih rapi sekarang," jawabnya. "Kamu harus sarapan setelah beraktivitas berjam-jam," ucapku yang masih fokus menonton TV."Kamu begitu fokus nonton TV sampai nggak sadar kalau aku sudah merapikan bunga cukup lama, mandi, berganti pakaian, bahkan sarapan. Astaga! Apakah semua wanita hamil semalas dan secuek ini?" balasnya.Aku pun terdiam. "Tunggu…, apa?" Aku bertanya sambil menoleh untuk mengamati Anita. Saat melihatnya, dia
Sudut pandang Arini:Begitu mendengar suara Jovan, Safira segera melepaskan cengkeramannya dan berbalik untuk melihat Jovan. Tatapannya yang dingin berubah jadi hangat, membuatku heran bagaimana dia bisa mengubah kepribadian dengan mudah."Nggak ada apa-apa. Arini baru saja datang dan aku memberitahunya kalau kita khawatir," jawab Safira sambil tersenyum."Arini?" ujar Jovan yang melangkah dengan cepat, lalu sampai di depanku dalam sekejap. "Kamu membuatku khawatir. Kamu dari mana saja?""Suatu tempat yang aman," gumamku yang menghindari kontak mata dengannya."Aku sangat khawatir sampai menelepon Anita. Dia bilang kamu nggak sama dia. Aku tadinya mau menelepon polisi, tapi Safira menyarankanku untuk menunggumu. Dia sangat yakin kamu baik-baik saja dan akan pulang, ternyata dia benar," ujar Jovan.Safira pun menyunggingkan senyum penuh kemenangan ke arahku dan aku mendengus kesal. Seberapa buta Jovan? Saran dari Safira itu bukan karena simpati, tapi dia tidak mau mencariku. Namun, sepe
Sudut pandang Arini:Ini dia, bertingkah lagi sebagai suami idaman. Aku terdiam di tempat, memikirkan apa yang harus aku lakukan. Kenyataannya, aku tidak berencana untuk pulang hari ini. Meskipun aku tahu kalau aku akhirnya akan pulang, tetap saja itu bukan hari ini."Jovan, sepertinya aku belum mau pulang hari ini," kataku dengan gamblang.Jovan pun membalas dengan alis berkerut, "Kenapa? Kamu masih marah sama aku? Ayolah, Arini. Aku berjanji akan menjelaskan segalanya kepadamu kalau kamu pulang bersamaku."Aku menjawab dengan ragu, "Tapi ….""Nggak ada tapi, Arini. Kumohon, pulanglah. Kamu nggak bisa lari dari rumah tanggamu," ujarnya yang memotong perkataanku.Aku pun memutar mata dan bergumam, "Ya, rumah tangga yang dimasuki orang asing.""Apa katamu?" tanya Jovan."Aku nggak ngomong apa-apa," jawabku.tidak lama setelah itu, Riska berjalan melewati kami dan melambaikan tangan dengan girang. Aku menggerutu dalam hati, lalu melewati Jovan dan berjalan ke pintu mobil tanpa sepatah ka
Sudut pandang Arini:Aku melihat Jovan terdiam dengan mata terbelalak seolah-olah hampir copot dari kelopaknya. Namun, aku tidak terganggu dengan itu dan masih mau mendengar jawabannya. Suasana pun hening untuk beberapa saat."Apa katamu?" tanya Jovan dengan suara yang terdengar kaget dan raut wajah tercengang.Aku lanjut bertanya, "Apakah kamu masih mau bersama dia?" Saat aku mengatakan "dia," Jovan tahu siapa orang yang aku maksud."Maafkan aku, tapi pertanyaanmu itu kurang jelas," balas Jovan."Baiklah, biar aku katakan dengan gamblang!" tegasku. Aku tiba-tiba merasa bosan dan ingin langsung bicara ke intinya."Beberapa hari ini, aku merenung dan mulai memahami beberapa hal. Kalau kamu nggak bisa membiarkan Safira pergi, aku akan biarkan kamu bersamanya. Aku nggak bakal menghalangimu untuk bersama kekasih lamamu. Kita akan berpisah secara baik-baik, dan aku akan mendoakan yang terbaik untuk kalian kalau kalian mau," tegasku."Apa yang kamu bicarakan?" Jovan emosi dan langsung berdi
Sudut pandang Arini:"Sungguh?" teriak Anita di telepon. "Aku bisa membayangkan raut terkejut di wajahnya. Begitu aku sampai di kantor dan bersiap-siap, aku menelepon Anita untuk cerita soal kejadian pagi ini. Dia terkejut dan senang, aku bisa tahu dari tawanya yang lepas."Untuk sesaat, aku takut dia akan menyerangku karena marah. Dia begitu terkejut. Kurasa, dia terbiasa mendapatkan apa yang dia mau dan penolakan bukan pengalaman yang menyenangkan baginya.""Iya, 'kan? Jovan pantas mendapatkan tepukan di punggung. Dia harus sering melakukannya. Safira harus paham kalau dia nggak bisa selalu mendapatkan apa yang dia inginkan," ujar Anita dengan antusias."Semoga dia akan terus bersikap seperti itu," kataku dengan nada yang terdengar kehilangan sedikit semangat. "Aku sedih melihat sikapnya yang nggak konsisten. Dia membelaku kali ini, tapi di lain waktu, dia menuruti semua keinginan Safira.""Ayolah, jangan kayak gitu. Bukankah kamu bilang kalau semalam dia menyesal dan meminta maaf?"
Sudut pandang Arini:Begitu Jovan keluar, emosiku sudah tidak terbendung lagi. Air mata mengalir deras di mataku dan seluruh tubuhku gemetar hebat. Semua itu terlalu berat untuk ditahan. Melihat Jovan rasanya seperti menabur garam di atas luka baru. Sungguh pedih dan menyakitkan."Hei, nggak apa-apa. Luapkan aja semuanya," bisik Anita sambil meremas tanganku. Dia hanya diam selama aku berbicara dengan Jovan. Sebenarnya, Anita ingin menimpali pembicaraan itu, tapi aku yang memberinya isyarat agar dia tetap diam.Begitu aku melepas pertahanan diriku, emosiku memuncak. Marah, sedih, dan penyesalan bercampur menjadi satu. Mengapa aku bertahan begitu lama di sisi Jovan? Mengapa aku mengabaikan sikapnya yang acuh tak acuh, dan menganggap itu adalah bagian dari kepribadian Jovan? Padahal, sebenarnya semua itu adalah pertanda yang begitu jelas.Tangisanku makin keras, tapi bukan karena pengkhianatan Jovan, melainkan karena menyesali kebodohanku. Namun saat aku menangis, ada sesuatu yang beruba
Sudut pandang Jovan:Semua yang aku dengar di ruangan itu terlalu berat untuk ditanggung seorang diri.Aku terhuyung-huyung melewati lorong rumah sakit. Kakiku bergerak dengan sendirinya. Entah bagaimana, aku telah berada di dalam lift dan turun ke lantai dasar. Cermin di dinding memantulkan sebuah sosok yang asing bagiku. Seorang pria pucat, patah hati, dan terguncang mentalnya.Di luar, terik matahari sore menyengat kulit dan mataku, tetapi aku tidak peduli. Aku tenggelam dalam emosiku sehingga aku tidak peduli jika kulit terbakar ataupun menghitam.Aku pun sampai ke mobilku dan meraih gagang pintunya. Logamnya terasa dingin di telapak tanganku, sangat berlawanan dengan sensasi terbakar yang terasa di hatiku.Aku masuk ke kursi pengemudi, dan mengepalkan tanganku erat-erat di roda kemudi. "Kalianlah yang membunuh anakku!" Kata-kata Arini terngiang-ngiang di kepalaku. Tuduhan itu sangat menyakitkan, karena bayi itu juga anakku.Mataku memerah karena air mata yang tertahan dan rasa sak
Sudut pandang Jovan:Setibanya di rumah sakit, aku bergegas ke ruang penerima tamu. Ada seorang wanita di balik meja resepsionis dan aku segera menyatakan tujuanku datang ke sana."Tunggu sebentar, saya periksa dulu catatannya," kata wanita itu sambil mengeluarkan sebuah buku besar dari laci.Aku mengangguk dan mengetuk-ngetukkan jari dengan tidak sabar di meja resepsionis yang dilapisi marmer sementara dia memeriksa buku itu."Ya, Arini Rahadian dibawa masuk kemarin. Kasus kecelakaan dan dia ada di kamar 95 di sayap C, lantai 2 ... "Hanya itu yang perlu aku dengar. Aku pun mengucapkan terima kasih kepada wanita itu, lalu bergegas pergi. Aku masuk ke lift dan menekan tombol ke lantai 2, lalu liftnya mulai naik. Aku keluar saat lift mencapai lantai 2 dan memberi isyarat kepada seorang perawat untuk memberi petunjuk. Perawat itu menanggapi dengan cepat. Aku pun berjalan ke kamar 95 sesuai arahannya.Tak lama kemudian, aku sampai di depan pintu bernomor 95. Aku mengatupkan kedua tangan,
Sudut pandang Jovan:Aku sampai di rumah dan bergegas masuk. Saat memasuki ruang tamu, aku melihat Safira berbaring di sofa sambil mengunyah camilan dengan suara TV yang terdengar keras. Pemandangan ini membuatku sangat kecewa."Safira, kamu ngapain di sini?" tanyaku seraya mengambil remote dan mematikan TV.Dia mengerutkan kening padaku. "Ada masalah apa, sih? Kenapa TV-nya kamu matikan?""Kita harus bicara," kataku tegas.Safira mendengus kesal dan duduk di sofa, lalu menyilangkan lengannya dengan defensif. "Mau bicara apa? Kamu meninggalkan rumah tanpa bilang ke mana kamu pergi, lalu sekarang kamu ingin bicara?"Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang dan tidak marah. "Safira, jangan mengamuk, kumohon. Aku harus tanya sesuatu padamu."Safira memelototiku, lalu mencibir. "Ya udah, tanya aja.""Kemarin, kamu lihat Arini waktu dia pulang, 'kan?""Kenapa kamu tanyakan hal ini lagi padaku? Sudah kubilang, dia memergoki kita berdua," jawab Safira, lagi-lagi dengan nada defens
Sudut pandang Jovan:Aku menekan tombol bel pintu dan menunggu jawaban, tetapi setelah beberapa menit berlalu, tidak ada siapa pun yang menjawab. Aku membunyikan bel lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban. Untuk memastikan, aku memegang gagang pintunya, dan benar saja, pintunya terkunci rapat.Diam-diam, aku menepuk dahiku sendiri. "Ya, jelas aja," gerutuku. Apa yang aku harapkan pada pukul 10 pagi di hari kerja? Anita, seperti kebanyakan pekerja profesional lainnya, pasti sedang bekerja.Tiba-tiba aku tersadar. Jika Anita sedang bekerja, dan Arini datang untuk berlindung di rumah Anita kemarin, mungkin saat ini Arini juga sedang berada di tempat kerjanya.Aku pun memutuskan untuk segera kembali ke mobil. Aku akan mencari Arini di restoran. Saat mengemudi, pikiranku melayang. Aku berharap Arini mau mendengarkan penjelasanku, karena aku tahu dia sangat keras kepala saat marah.Omong-omong soal permintaan maaf, seharusnya aku tidak datang untuk meminta maaf dengan tangan kosong. Aku pun me
Sudut pandang Safira:Aku melihat Jovan menghubungi nomor telepon Arini, membuatku merasa frustrasi. Aku benar-benar ingin merebut ponselnya. Mengapa Jovan masih saja memikirkan Arini? Apa Jovan tidak menyadari kalau aku telah membantunya menyingkirkan wanita itu? Bukankah seharusnya dia berterima kasih padaku?Aku mengingat kembali segala hal sebelum momen ini terjadi. Ketika Jovan berkata bahwa dia tidak punya alasan untuk menceraikan Arini, aku tahu aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mencari sebuah alasan. Aku tahu betul kalau Arini sangat mencurigai ikatan persahabatan antara aku dan Jovan. Jadi, aku membuat rencana untuk meyakinkan Arini bahwa Jovan bukanlah sekadar sahabat bagiku.Jadi, pada hari sebelumnya, aku mengeluarkan berkas yang kelihatannya cukup penting bagi Jovan dari tas kerjanya. Sesuai prediksiku, dia pulang ke rumah pada siang hari untuk mencari berkas itu. Kemudian, aku memasuki kamarnya dengan minuman yang sudah dicampuri obat dan menawarkannya kepada Jovan.
Sudut pandang Jovan:Aku perlahan membuka mataku, dan mendapati diriku berbaring telentang. Saat melihat sekeliling, aku menyadari bahwa aku sedang berbaring di ranjang kamarku sendiri. Namun, ada sesuatu yang aneh. Aku mencoba untuk duduk, tetapi kepalaku terasa nyeri hingga membuatku meringis kesakitan. Namun, aku berusaha menahan rasa sakit itu, lalu duduk sambil mengusap pelipisku.Di mana Arini? Sudah pukul berapa sekarang? Aku melirik jam dinding dan terkesiap. Ini sudah pukul 9 pagi. Mengapa aku masih di rumah dan tidak berangkat kerja? Mengapa Arini tidak membangunkanku untuk bekerja?Selain itu, aku merasa aneh. Mulutku terasa pahit, dan aku merasa lelah meskipun baru saja bangun. Aku mencoba untuk berpikir, tetapi itu malah membuat kepalaku makin terasa sakit.Apa yang terjadi?Saat itu juga, pintu kamarku terbuka. Safira masuk sambil membawa nampan. Dia tersenyum lebar padaku. "Pagi, tukang tidur."Aku memaksakan senyum karena kebingungan. "Pagi. Ada apa ini?" tanyaku. "Kena
Sudut pandang Arini:Anita tampak ragu. Dia menunduk sejenak sebelum menatapku lagi."Aku belum bertemu dengan Jovan," jawabku lembut. "Aku terus berusaha untuk menghubunginya, tetapi ponselnya tidak aktif. Tadinya aku ingin mencarinya, tapi …," Dia diam sejenak dan meremas tanganku sebelum melanjutkan, "Kamu belum sadar, jadi aku nggak mau meninggalkanmu terlalu lama."Aku mengangguk. Hatiku terasa sakit. Aku sudah menduganya. 'Mana mungkin Jovan sudi meninggalkan kekasihnya untuk menemuiku. Padahal, gara-gara mereka aku kehilangan anakku dan terluka sampai seperti ini.'Aku hendak tertawa, tetapi tidak dapat melakukannya.Anita memecahkan lamunanku. "Aku akan coba meneleponnya lagi," katanya sambil meraih ponselnya. "Kalau dia tetap nggak bisa dikontak, aku akan mencarinya. Aneh. Dia kok belum mencarimu, ya?""Jangan," bisikku.Anita diam dan menatapku dengan bingung. Namun, aku menggelengkan kepalaku lagi."Sudahlah, Anita. Mungkin dia sibuk." Perkataanku ini memang menyakitkan, tet
Sudut pandang Arini:Aku mengerang dan mencoba untuk duduk. Kemudian aku melihat ke sekelilingku. Aku sedang berada di ruang perawatan rumah sakit, tetapi aku tidak ingat kenapa aku bisa berada di sini. Aku mencoba untuk mengingatnya tetapi tidak berhasil.Saat itulah aku melihat Anita. Dia sedang duduk di samping ranjangku dengan kepalanya bersandar di atas ranjang."Anita?" panggilku dengan suara serak.Dia mengangkat kepalanya dan langsung menggenggam tanganku. Matanya berkaca-kaca. "Ya ampun, kamu sudah sadar. Bagaimana keadaanmu?"Aku mengangguk. "Apa yang terjadi? Aku di mana?""Kamu di rumah sakit. Aku panggilkan dokternya dulu," jawab Anita yang langsung berdiri."Rumah sakit?" Aku mencoba mengingat-ingat, tetapi ingatanku begitu kabur. Tiba-tiba aku tersentak. ‘Bayiku!’ Aku ingat kecelakaan itu. Saat itu, aku mengalami perdarahan. Tanganku serta-merta memegang perutku."Bayiku," bisikku dengan panik.Anita mengalihkan pandangannya, sedangkan aku yang kebingungan menatapnya. "A