Sudut pandang Arini:Aku dan Jovan terdiam, saling menatap karena terkejut. "Suara apa itu?" tanyaku dengan raut wajah ketakutan."Entahlah …," Jovan baru mau menjawab, tapi dia terdiam seolah-olah teringat akan sesuatu. Kemudian, dia berlari ke dalam rumah dan berteriak, "Safira!"Aku terkejut untuk sesaat, lalu menyusul Jovan. Kami berlari sampai ke ruang santai dan terengah-engah, lalu melihat Safira yang berbaring malas-malasan di sofa sambil menonton TV."Kamu udah gila, Safira?" Aku membentak sebelum sempat menahan diri. "Ngapain kamu teriak?" Dia nggak mengucapkan sepatah kata pun, tapi menatapku tajam untuk sesaat sebelum kembali menonton TV. Dia juga nggak menghiraukan Jovan, sepertinya dia masih marah karena penolakan Jovan tadi pagi."Safira, kamu sedang ditanya," ujar Jovan dengan nada bicara kesal. "Kamu ngapain teriak sekencang itu?" Safira akhirnya menatap Jovan dengan sinis dan berkata, "Emangnya penting buat kamu?""Kamu membuat kami, aku dan Arini, khawatir dengan kes
Sudut pandang Arini:Jovan terdiam. Selama beberapa saat kesunyian menyelimuti kami berdua."Kenapa?" tanyanya."Karena aku nggak mau pergi. Kamu pergi saja dengan Safira. Aku yakin dia pasti akan menemanimu dengan senang hati.""Tapi Safira 'kan bukan istriku, Arini," protesnya. "Istriku itu kamu.""Belakangan ini aku malah bertanya-tanya mengenai statusku di matamu. Kamu membiarkan Safira bertindak seenaknya seolah dia adalah nyonya di rumah ini."Jovan menghampiriku dan berkata, "Sayang, aku minta maaf.""Itulah masalahnya!" seruku sambil melemparkan selimutku dan duduk. "Kamu cuma bisa bilang maaf, maaf, dan maaf, tapi kamu sama sekali nggak berusaha untuk berubah. Aku sudah capek dengar permintaan maafmu karena kamu selalu mengulanginya lagi.""Arini, dia sedang hamil ….""Apakah itu berarti setiap tindakannya yang berlebihan bisa dimaafkan? Sudah ah, aku nggak mau membicarakan Safira lagi. Belakangan ini kita berdua nggak bisa bicara selayaknya suami istri tanpa berdiskusi tentan
Sudut pandang Arini:"Sial! Kita bakalan telat!" umpat Jovan sambil mengenakan kemejanya.Aku tertawa terbahak ketika melihatnya mengomel seperti anak kecil. "Yah, kalau tadi kamu nggak nakal waktu di kamar mandi, kita nggak bakalan telat," godaku. "Jangan salahin aku dong, Sayang. Kamu sih terlalu menggairahkan," bantahnya. Aku serta merta mengatupkan bibirku agar tidak tersipu malu dan mencoba untuk tidak membayangkan kembali adegan saat kami bercinta di bawah pancuran karena khawatir akan membuat pipiku semakin merah. Jovan-lah yang mengajakku untuk melakukan seks kilat sebanyak dua ronde. Aku mencegahnya saat dia hampir memulai ronde ketiga."Kamu yang harus belajar mengendalikan diri," kataku sebelum menghampirinya dan berbalik sehingga punggungku menghadap ke arahnya. "Tolong pasangkan ritsletingku.""Gaun merah ini membuatmu tampak semakin cantik," puji Jovan saat mulai menggeser ritsleting di punggungku."Terima kasih," kataku. Saat merasakan jari-jarinya menyentuh punggungku
Sudut pandang Arini:Aku merasa kecewa saat melihat Jovan dan Safira telah meninggalkanku sendiri. Aku tidak bermasalah dengan Safira, melainkan dengan Jovan.'Aku 'kan istrinya. Bukankah kami seharusnya tiba bersama-sama sebagai sepasang suami istri?' Sejenak aku merasa ragu. 'Apakah sebaiknya aku masuk sendiri atau menelepon Jovan untuk menjemputku?'Aku merasa gugup kalau masuk ke bar tanpa Jovan. Meski kami sudah menikah selama tiga tahun, aku belum pernah bertemu dengan sahabat maupun teman-teman sekelasnya. Mungkin karena aku sibuk bekerja atau aku memang tidak pernah mendapatkan kesempatan itu.Beberapa detik kemudian, aku memutuskan untuk masuk sendiri. Sebelum masuk, aku menarik napas dalam, merapikan gaunku, dan menegakkan bahuku.Begitu aku mendorong pintu, suara tawa dan obrolan menyambutku. Seketika itu aku mencium aroma parfum dan alkohol.Wow! Tampaknya ini reuni orang-orang penting. Aku melayangkan pandanganku ke sekeliling ruangan untuk membiasakan mataku. Saat itulah
Sudut pandang Arini:Pria itu membelalak kaget, mulutnya ternganga. "K-Kamu istrinya Jovan?" dia tergagap.Pria yang satunya lagi juga tampak sama terkejutnya. "Apa? Ya, ampun!"Pria pertama sudah kembali tenang. Keterkejutan di wajahnya berubah menjadi seringai licik. "Kamu pikir kamu bisa membohongi kami?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Kamu pasti cewek yang naksir Jovan dan sangat mengharapkan cintanya."Aku tertawa pendek karena menganggap ketidaktahuan pria itu sebagai hal yang konyol. "Oh, benarkah?" tanyaku sambil mengeluarkan ponselku. "Kalau begitu aku akan menunjukkan sesuatu padamu."Aku membuka kunci layarku untuk memperlihatkan foto Jovan dan aku di hari pernikahan kami. Di foto itu kami saling berpelukan dan tersenyum lebar.Keduanya tersentak dan memelotot secara bersamaan ketika melihat foto tersebut. Wajah mereka memucat. Aku mengedipkan mataku. Dalam hati aku merasa puas melihat ekspresi mereka. "Kurasa ini sudah cukup untuk dijadikan bukti," ujarku seraya memasu
Sudut pandang Arini:Suara tarikan napas orang-orang yang terkejut memenuhi seluruh ruangan saat Jovan melayangkan pukulan demi pukulan ke tubuh pria itu sampai-sampai aku takut Jovan akan membunuhnya. Aku terkejut melihat Jovan dalam posisi seperti ini. Selama tahun-tahun pernikahan kami, aku tidak pernah melihatnya adu mulut dengan seseorang, apalagi berkelahi.Aku terkejut melihat matanya yang merah, tangannya yang terkepal, dan rahangnya yang terkatup rapat. Rambutnya sekarang acak-acakan dan sebuah kancing kemejanya terlepas. Dia terlihat liar dan berbahaya."Hentikan mereka!" Setelah mendapatkan kembali ketenanganku, aku berteriak pada orang-orang yang sedang berdiri menonton di sekeliling mereka karena tidak ada seorang pun yang melerai kedua pria yang sedang berkelahi itu.Namun, tidak ada seorang pun yang bergerak. Tampaknya mereka semua takut menyinggung Jovan."Apa kalian semua tuli? Tolong hentikan mereka!" teriakku lagi. Pandangan mataku kabur saat melihat pria yang dihaja
Sudut pandang Arini:Aku bergegas keluar dan berlari melintasi trotoar untuk mengejar Safira dan Jovan. Ternyata keduanya sudah duduk di dalam mobil. Saat menyalakan mesin mobil, pandangan Jovan tertuju pada jalan di depannya. Aku membuka pintu dan duduk di kursi belakang sambil berusaha mengatur napasku.Saat Jovan keluar dari parkiran, suasana di dalam mobil sunyi dan tegang. Safira menatap ke luar jendela dengan ekspresi yang sulit ditebak.Sedangkan Jovan tampak marah. Dia mencengkeram kemudi erat-erat dan menyetir dengan kasar sehingga membuatku mengkhawatirkan keselamatan kami."Jovan, pelan-pelan dong nyetirnya! Kita semua bakal mati kalau kamu ngebut terus seperti ini!" teriakku ketika dia hampir menabrak truk."Jangan atur-atur aku," desisnya dengan rahang terkatup rapat.Aku terkejut mendengar perkataannya yang kasar, tetapi aku tidak akan menyerah. Aku ingin sampai di rumah dengan selamat."Walau kamu nggak peduli dengan nyawa kita berdua, setidaknya kamu harus peduli dengan
Sudut pandang Arini:Perkataan Safira bagaikan sebilah belati tajam yang menikam hatiku. Selama beberapa saat aku tercengang dibuatnya. Aku lantas menoleh pada Jovan untuk meminta bantuannya, tetapi dia mengalihkan pandangannya. Keheningannya berbicara banyak. Aku pun gemetar."Kamu keterlaluan!" Akhirnya aku bisa berbicara meski dengan suara yang lemah dan gemetar. "Kamu nggak berhak bicara seperti itu padaku, Safira."Namun, dia tidak menyerah. "Aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya. Kamu juga sudah tahu sendiri bahwa kamu bukan wanita yang tepat untuk Jovan. Dia pantas mendapatkan seseorang yang mengenal dan memahami dirinya."Air mata mulai membasahi sudut mataku, tetapi aku menolak membiarkan air mataku mengalir keluar. Aku tidak mau Safira puas karena melihatku menangis. Pokoknya aku tidak sudi membiarkannya mengetahui seberapa besar pengaruh perkataannya terhadapku dan betapa menyakitkannya kata-katanya itu bagiku. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku berlari menaiki tangga. Hat
Sudut pandang Arini:Begitu Jovan keluar, emosiku sudah tidak terbendung lagi. Air mata mengalir deras di mataku dan seluruh tubuhku gemetar hebat. Semua itu terlalu berat untuk ditahan. Melihat Jovan rasanya seperti menabur garam di atas luka baru. Sungguh pedih dan menyakitkan."Hei, nggak apa-apa. Luapkan aja semuanya," bisik Anita sambil meremas tanganku. Dia hanya diam selama aku berbicara dengan Jovan. Sebenarnya, Anita ingin menimpali pembicaraan itu, tapi aku yang memberinya isyarat agar dia tetap diam.Begitu aku melepas pertahanan diriku, emosiku memuncak. Marah, sedih, dan penyesalan bercampur menjadi satu. Mengapa aku bertahan begitu lama di sisi Jovan? Mengapa aku mengabaikan sikapnya yang acuh tak acuh, dan menganggap itu adalah bagian dari kepribadian Jovan? Padahal, sebenarnya semua itu adalah pertanda yang begitu jelas.Tangisanku makin keras, tapi bukan karena pengkhianatan Jovan, melainkan karena menyesali kebodohanku. Namun saat aku menangis, ada sesuatu yang beruba
Sudut pandang Jovan:Semua yang aku dengar di ruangan itu terlalu berat untuk ditanggung seorang diri.Aku terhuyung-huyung melewati lorong rumah sakit. Kakiku bergerak dengan sendirinya. Entah bagaimana, aku telah berada di dalam lift dan turun ke lantai dasar. Cermin di dinding memantulkan sebuah sosok yang asing bagiku. Seorang pria pucat, patah hati, dan terguncang mentalnya.Di luar, terik matahari sore menyengat kulit dan mataku, tetapi aku tidak peduli. Aku tenggelam dalam emosiku sehingga aku tidak peduli jika kulit terbakar ataupun menghitam.Aku pun sampai ke mobilku dan meraih gagang pintunya. Logamnya terasa dingin di telapak tanganku, sangat berlawanan dengan sensasi terbakar yang terasa di hatiku.Aku masuk ke kursi pengemudi, dan mengepalkan tanganku erat-erat di roda kemudi. "Kalianlah yang membunuh anakku!" Kata-kata Arini terngiang-ngiang di kepalaku. Tuduhan itu sangat menyakitkan, karena bayi itu juga anakku.Mataku memerah karena air mata yang tertahan dan rasa sak
Sudut pandang Jovan:Setibanya di rumah sakit, aku bergegas ke ruang penerima tamu. Ada seorang wanita di balik meja resepsionis dan aku segera menyatakan tujuanku datang ke sana."Tunggu sebentar, saya periksa dulu catatannya," kata wanita itu sambil mengeluarkan sebuah buku besar dari laci.Aku mengangguk dan mengetuk-ngetukkan jari dengan tidak sabar di meja resepsionis yang dilapisi marmer sementara dia memeriksa buku itu."Ya, Arini Rahadian dibawa masuk kemarin. Kasus kecelakaan dan dia ada di kamar 95 di sayap C, lantai 2 ... "Hanya itu yang perlu aku dengar. Aku pun mengucapkan terima kasih kepada wanita itu, lalu bergegas pergi. Aku masuk ke lift dan menekan tombol ke lantai 2, lalu liftnya mulai naik. Aku keluar saat lift mencapai lantai 2 dan memberi isyarat kepada seorang perawat untuk memberi petunjuk. Perawat itu menanggapi dengan cepat. Aku pun berjalan ke kamar 95 sesuai arahannya.Tak lama kemudian, aku sampai di depan pintu bernomor 95. Aku mengatupkan kedua tangan,
Sudut pandang Jovan:Aku sampai di rumah dan bergegas masuk. Saat memasuki ruang tamu, aku melihat Safira berbaring di sofa sambil mengunyah camilan dengan suara TV yang terdengar keras. Pemandangan ini membuatku sangat kecewa."Safira, kamu ngapain di sini?" tanyaku seraya mengambil remote dan mematikan TV.Dia mengerutkan kening padaku. "Ada masalah apa, sih? Kenapa TV-nya kamu matikan?""Kita harus bicara," kataku tegas.Safira mendengus kesal dan duduk di sofa, lalu menyilangkan lengannya dengan defensif. "Mau bicara apa? Kamu meninggalkan rumah tanpa bilang ke mana kamu pergi, lalu sekarang kamu ingin bicara?"Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang dan tidak marah. "Safira, jangan mengamuk, kumohon. Aku harus tanya sesuatu padamu."Safira memelototiku, lalu mencibir. "Ya udah, tanya aja.""Kemarin, kamu lihat Arini waktu dia pulang, 'kan?""Kenapa kamu tanyakan hal ini lagi padaku? Sudah kubilang, dia memergoki kita berdua," jawab Safira, lagi-lagi dengan nada defens
Sudut pandang Jovan:Aku menekan tombol bel pintu dan menunggu jawaban, tetapi setelah beberapa menit berlalu, tidak ada siapa pun yang menjawab. Aku membunyikan bel lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban. Untuk memastikan, aku memegang gagang pintunya, dan benar saja, pintunya terkunci rapat.Diam-diam, aku menepuk dahiku sendiri. "Ya, jelas aja," gerutuku. Apa yang aku harapkan pada pukul 10 pagi di hari kerja? Anita, seperti kebanyakan pekerja profesional lainnya, pasti sedang bekerja.Tiba-tiba aku tersadar. Jika Anita sedang bekerja, dan Arini datang untuk berlindung di rumah Anita kemarin, mungkin saat ini Arini juga sedang berada di tempat kerjanya.Aku pun memutuskan untuk segera kembali ke mobil. Aku akan mencari Arini di restoran. Saat mengemudi, pikiranku melayang. Aku berharap Arini mau mendengarkan penjelasanku, karena aku tahu dia sangat keras kepala saat marah.Omong-omong soal permintaan maaf, seharusnya aku tidak datang untuk meminta maaf dengan tangan kosong. Aku pun me
Sudut pandang Safira:Aku melihat Jovan menghubungi nomor telepon Arini, membuatku merasa frustrasi. Aku benar-benar ingin merebut ponselnya. Mengapa Jovan masih saja memikirkan Arini? Apa Jovan tidak menyadari kalau aku telah membantunya menyingkirkan wanita itu? Bukankah seharusnya dia berterima kasih padaku?Aku mengingat kembali segala hal sebelum momen ini terjadi. Ketika Jovan berkata bahwa dia tidak punya alasan untuk menceraikan Arini, aku tahu aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mencari sebuah alasan. Aku tahu betul kalau Arini sangat mencurigai ikatan persahabatan antara aku dan Jovan. Jadi, aku membuat rencana untuk meyakinkan Arini bahwa Jovan bukanlah sekadar sahabat bagiku.Jadi, pada hari sebelumnya, aku mengeluarkan berkas yang kelihatannya cukup penting bagi Jovan dari tas kerjanya. Sesuai prediksiku, dia pulang ke rumah pada siang hari untuk mencari berkas itu. Kemudian, aku memasuki kamarnya dengan minuman yang sudah dicampuri obat dan menawarkannya kepada Jovan.
Sudut pandang Jovan:Aku perlahan membuka mataku, dan mendapati diriku berbaring telentang. Saat melihat sekeliling, aku menyadari bahwa aku sedang berbaring di ranjang kamarku sendiri. Namun, ada sesuatu yang aneh. Aku mencoba untuk duduk, tetapi kepalaku terasa nyeri hingga membuatku meringis kesakitan. Namun, aku berusaha menahan rasa sakit itu, lalu duduk sambil mengusap pelipisku.Di mana Arini? Sudah pukul berapa sekarang? Aku melirik jam dinding dan terkesiap. Ini sudah pukul 9 pagi. Mengapa aku masih di rumah dan tidak berangkat kerja? Mengapa Arini tidak membangunkanku untuk bekerja?Selain itu, aku merasa aneh. Mulutku terasa pahit, dan aku merasa lelah meskipun baru saja bangun. Aku mencoba untuk berpikir, tetapi itu malah membuat kepalaku makin terasa sakit.Apa yang terjadi?Saat itu juga, pintu kamarku terbuka. Safira masuk sambil membawa nampan. Dia tersenyum lebar padaku. "Pagi, tukang tidur."Aku memaksakan senyum karena kebingungan. "Pagi. Ada apa ini?" tanyaku. "Kena
Sudut pandang Arini:Anita tampak ragu. Dia menunduk sejenak sebelum menatapku lagi."Aku belum bertemu dengan Jovan," jawabku lembut. "Aku terus berusaha untuk menghubunginya, tetapi ponselnya tidak aktif. Tadinya aku ingin mencarinya, tapi …," Dia diam sejenak dan meremas tanganku sebelum melanjutkan, "Kamu belum sadar, jadi aku nggak mau meninggalkanmu terlalu lama."Aku mengangguk. Hatiku terasa sakit. Aku sudah menduganya. 'Mana mungkin Jovan sudi meninggalkan kekasihnya untuk menemuiku. Padahal, gara-gara mereka aku kehilangan anakku dan terluka sampai seperti ini.'Aku hendak tertawa, tetapi tidak dapat melakukannya.Anita memecahkan lamunanku. "Aku akan coba meneleponnya lagi," katanya sambil meraih ponselnya. "Kalau dia tetap nggak bisa dikontak, aku akan mencarinya. Aneh. Dia kok belum mencarimu, ya?""Jangan," bisikku.Anita diam dan menatapku dengan bingung. Namun, aku menggelengkan kepalaku lagi."Sudahlah, Anita. Mungkin dia sibuk." Perkataanku ini memang menyakitkan, tet
Sudut pandang Arini:Aku mengerang dan mencoba untuk duduk. Kemudian aku melihat ke sekelilingku. Aku sedang berada di ruang perawatan rumah sakit, tetapi aku tidak ingat kenapa aku bisa berada di sini. Aku mencoba untuk mengingatnya tetapi tidak berhasil.Saat itulah aku melihat Anita. Dia sedang duduk di samping ranjangku dengan kepalanya bersandar di atas ranjang."Anita?" panggilku dengan suara serak.Dia mengangkat kepalanya dan langsung menggenggam tanganku. Matanya berkaca-kaca. "Ya ampun, kamu sudah sadar. Bagaimana keadaanmu?"Aku mengangguk. "Apa yang terjadi? Aku di mana?""Kamu di rumah sakit. Aku panggilkan dokternya dulu," jawab Anita yang langsung berdiri."Rumah sakit?" Aku mencoba mengingat-ingat, tetapi ingatanku begitu kabur. Tiba-tiba aku tersentak. ‘Bayiku!’ Aku ingat kecelakaan itu. Saat itu, aku mengalami perdarahan. Tanganku serta-merta memegang perutku."Bayiku," bisikku dengan panik.Anita mengalihkan pandangannya, sedangkan aku yang kebingungan menatapnya. "A