Ajeng hanya tersenyum membalas perkataan Pradipta. Dengan telaten wanita itu mempersiapkan makanan untuk suaminya. Yang sudah ia beli sejak tadi.
"Oh ya, Ma. Gimana keadaan Aldo?"
"Aldo sudah di pindahkan ke ruang rawat, Pa. Berkat darah Papa. Aldo selamat."
"Alhamdulillah. Habis makan aku mau ke ruangan Aldo, Ma."
"Iya, Pa. Ini Papa makan dulu." Ajeng memberikan piring dengan menu daging rendang kepada Pradipta.
Dengan lahap, Pradipta menyendokkan makanan ke dalam mulutnya. Karena memang perutnya yang sudah keroncongan.
"Ma, apa kamu tadi pulang dulu ganti baju?"
Ajeng mengernyit. Lalu ia duduk di kursi samping ranjang.
"Ganti baju? Mama dari tadi belum pulang, Pa. Bahkan belum ganti baju. Masih pakai baju ini," jawabnya sambil tatapan mata menatap suami.
"Kamu dari tadi belum ganti baju? Enggak pakai baju kebaya?"
"Hahahaha." Ajeng tertawa menutup mulutnya. "Enggak, Pa. Ngapain aku pakai kebaya di rumah sa
"Dingin banget sih!" Sampai menggigil aku. Kenapa hawanya mendadak berubah gini? Sampai merinding!" gumam Aldo dengan terus berjalan menuju kamar mandi.Tanpa Aldo ketahui, seraut wajah pucat dan berlumuran darah menatapnya dari kaca jendela.Dalam hitungan beberapa detik, Aldo sudah kembali berada di ranjangnya.Ketika ia menarik selimut yang bergaris putih biru khas rumah sakit itu, tak sengaja mata Aldo melihat seraut wajah menyeramkan yang menempel di kaca jendela. Yang mengarah pada sebuah ruang server yang sangat jarang di datangi orang.Dengan mata melotot mengeluarkan darah dan rambut panjang yang acak-acakan membuat sosoknya sangat menyeramkan. Aldo langsung menarik selimutnya. Menutupi seluruh tubuhnya agar tak terlihat.Tubuh dan tangannya langsung gemetaran. Laki-laki itu hanya bersembunyi di dalam selimut."Si-Siapa itu? Sepertinya bukan So-so-sok sinden merah! Tapi aku seperti kenal wajahnya!
Wanita itu tampak sedang menunggu majikannya datang. Pintu rumah sengaja ia buka. Sambil ia duduk di sebuah kursi.Ketika itu hidungnya mencium aroma sesuatu yang sangat busuk. Bahkan sangat busuk dan sesekali anyir.Sontak Sri langsung berdiri dan berjalan ke teras. Pandangannya melihat ke sekitar halaman. Pot-pot bunga juga turut ia periksa."Ambu opo sih iki? Kok enggak uenak men!" seru Sri sambil menutup hidungnya yang pesek. (Bau apa sih ini? Kok enggak enak banget!)Dari pos keamanan terlihat seseorang yang mendekati Sri."Goleki opo Sri?" tanya Pak Didi."Aku nyium bau enggak enak. Kayak bangkai gitu.""Mosok bangkai tikus sih?""Yo enggak tau. Bantu cari ae wes!" (Ya enggak tau. Bantuin cari aja!)Bergegas Sri dan Didi mengitari halaman depan. lampu teras yang terang cukup mampu memberikan pencahayaan pada penglihatan mereka."Enggak onok opo-opo kok Sri. Paling hidungmu itu deket s
Sri mengambil foto dengan bingkai berwarna putih. Terlihat empat orang di dalam foto tersebut. Yang terdiri dari Bu Ajeng, Pak Aryo Pradipta, Wisnu dan Aldo."Kenopo, Sri?" tanya Didi yang sudah berada di belakangnya."Coba kamu perhatikan foto ini!" Sri menunjukkan foto itu pada Didi.Didi pun mengamatinya. Lalu ia menatap pada Sri."Foto keluarga Pak Aryo dengan istri dan dua anaknya, Sri," ujar Didi."Iiih bukan itu maksudku ... perhatikan lagi dengan benar, Pak!"Kembali tatapan mata Didi beralih pada foto yang di tunjukan Sri.Kemudian matanya sedikit menyipit. Sambil mejauh dekatkan foto tersebut."Iki ... bayangan opo yo?" tanya Didi menunjuk sebuah kabut putih yang membentuk seperti seseorang. Berada tepat di belakang Bu Ajeng."Menurut kamu, ini seperti sosok perempuan enggak?"Didi terdiam. Ia tak menjawab pertanyaan Sri. Lelaki itu masih mengamati foto yang kini berad
Di dalam kamar, Ajeng yang sedang tertidur nyenyak merasakan semilir angin dingin menyentuh kaki hingga betisnya.Dengan mata yang mengantuk, Ajeng menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuh.Namun kali ini ia merasa seperti ada air yang menetes di betisnya itu. Seketika tangan Ajeng mengelap air yang membasahinya itu.Tetapi air itu terasa lengket di tangan Ajeng. Hingga terpaksa Ajeng membuka mata yang masih sangat berat.Matanya langsung membulat lebar saat melihat seluruh telapak tangannya berwarna merah."Da-darah?" Suaranya tertahan.Rasa kantuknya seketika hilang. Kepalanya mulai berpendar ke sekitar kamar. Kemudian ia sedikit melongok ke bawah tempat tidur.Tetapi tak ada apa pun di sana.Rasa takut mulai melanda Ajeng. Tiba-tiba hidungnya mengendus sesuatu yang sangat busuk dan amis.'Bau apa ini? Apa Papa buang angin ya?' batin Ajeng dalam hati."Pa!" panggil Ajeng.
Didi dan Sri berjalan keluar kamar. Saat Sri akan menutup pintu."Sri! Pintunya buka aja! Enggak usah di tutup.""Iya, Nyonya."Di saat itu, pandangan mata Sri tertuju pada jendela kamar. Yang tertutup tirai berwarna putih tipis.Sri tercekat, melihat sosok yang terlihat dari luar."Woi! Sri! Sini!" Suara Didi yang sudah berada di luar kamar membuat Sri terkejut. Seketika matanya berkedip dan hanya sekali kedipan mata, sosok itu sudah menghilang.Sri mendekati Didi yang menatapnya heran penuh tanya."Kamu kenapa, Sri? Kayak habis lihat setan!""Sepertinya begitu, Pak.""Hah? Yang benar kamu?" Didi terkejut.Tangan Sri langsung menyeret Didi yang masih bingung."Ayo kita ke depan saja. Biar enggak kedengeran Tuan dan Nyonya."Mereka berdua kini sudah duduk di kursi teras rumah. Angin malam bertiup sepoi-sepoi. Sementara langit semakin terlihat mendung."Apa y
Mereka berdua masuk ke dalam rumah sakit. Kini mereka sudah berada di dalam lift. Setelah pintu lift terbuka. Dengan cepat Pradipta dan Ajeng berjalan menuju ruangan Aldo.Ketika pintu ruangan terbuka. Keduanya terkejut melihat Aldo tak ada di ranjangnya."Kemana Aldo?""Mungkin di kamar mandi kali, Ma!"Ajeng berjalan ke arah kamar mandi yang tertutup. Saat di buka, tak ada Aldo di dalam. Ajeng pun menoleh pada Pradipta."Aldo enggak ada di kamar mandi, Pa."Pradipta yang akan duduk di sofa pun mengurungkan niatnya. Lelaki itu mendekati istrinya.Kepalanya melongok ke dalam kamar mandi."Apa dia jalan-jalan di sekitar sini, Ma?""Tapi dia emang sudah kuat jalan?"Ketika itu ada seorang suster yang lewat di depan ruang Aldo. Bergegas Ajeng memanggil suster tersebut. Hingga suster itu menghentikan langkah kakinya."Iya, Bu? Ada yang bisa saya bantu?""Saya mau tanya, anak saya Aldo kok eng
"Masnya ini masih muda kok sudah enggak kelihatan tulisan sebesar itu, Mas!" Seru Andi sambil menunjuk sebuah papan kayu yang bertuliskan 'KAMAR MAYAT'"Tapi tadi beneran enggak ada tulisan itu di situ, Pak!" bantah Aldo."Siapa yang nyopot? Orang itu aja di paku. Lagian pas saya datang juga keadaan pintunya masih di gembok. Kok sampean bisa masuk ke dalam?" (Kamu)"Pintunya tadi enggak di kunci, Pak!"Terdengar Andi menghela napasnya panjang. Kemudian ia mengalihkan tatapannya lurus ke depan."Kamu tadi apa habis dilihatin sosok perempuan sinden?" tanya Andi tiba-tiba.Aldo pun menoleh. Kali ini pandangan matanya menatap lekat lelaki yang duduk di hadapannya itu."Ba-bagaimana Bapak bisa mengetahui itu?" tanya Aldo nampak terkejut."Kamu harus hati-hati. Sepertinya dia jahat. Auranya sangat hitam. Nyawa kamu bisa-bisa jadi taruhannya," ujar Andi."A-apa Bapak bisa melihat?""Bekerja hampir 15 tahun di kamar mayat
Jarinya menekan gambar telepon di pojok kanan atas. Terdengar suara nada sambung telepon."Halo." Suara Nayla terdengar di seberang telepon."Halo, Mbak. Tumben belum tidur," ujar Aldo dengan suara yang seperti berbisik."Suara kamu kenapa bisik-bisik, Do? Kamu baik-baik aja, 'kan?""Iya, Mbak. Tenang aja. Aku baik kok. Aku cuma enggak mau mengganggu Papa sama Mama lagi tidur."Oh ... aku kira kamu kenapa. Kamu ada apa telepon aku malam-malam?""Hmm ... aku mau cerita sama Mbak Nayla tentang ---""Tentang apa? Kok enggak kamu lanjutkan ucapanmu?""Aku ... tadi ... dihantui Kusumawardhani, Mbak!""Apaa?!" Suara Nayla meninggi karena terkejut.Tiba-tiba, Ajeng terbangun. Buru-buru Aldo mematikan teleponnya.Melihat Aldo yang masih terjaga. Ajeng pun berjalan mendekati ranjang Aldo. Wanita itu menarik sebuah kursi di samping ranjang."Kok kamu belum tidur?""Iya, Ma. Tadi habis ke kamar mandi."
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Setelah membayar taxi online, Nayla dan Rasti langsung berlari masuk ke dalam gedung yang cukup mewah di mana mereka mengikuti training. Sepatu pantofel hitam dengan heels 3 cm yang mereka pakai sangat tak nyaman digunakan berlari. Tapi karna takut terlambat, mau tak mau Nayla dan Rasti berlari walau harus pandai-pandai menjaga keseimbangan badannya. "Nay, benerin dulu rambut kamu. Berantakan tuh!""Oh ya!" Nayla langsung membenarkan helai rambut yang keluar dan menggulung rambutnya dengan rapi. Tak lupa mereka berdua saling mengingatkan dan mengamati penampilan satu sama lain. Sampai di depan resepsionis. Nayla dan Angel menunjukkan kartu anggota training. Setelah mendapatkan jadwal dan di mana ruangan mereka hari itu, dengan berjalan cepat keduanya segera menuju ruangan yang berada di lantai 5.Lift pagi itu terlihat tak terlalu banyak orang. Tanpa berpikir macam-macam keduanya langsung masuk. Apalagi saat Nayla mel
"Terimakasih, Bu. Rejeki pagi-pagi," ujar satpam budi kegirangan. "Mau di kubur di mana, Bu?""Terserah, Pak. Asal jangan di sini.""Oh baik, Bu."Setelah Tante Dewi mengunci semua pintu rumah. Satpam Budi yang masih berada di rumah itu sedang mencari sebuah kantong keresek. Dimasukkan bangkai itu ke dalam kantong. Ketika akan keluar dari rumah, Budi kembali menoleh ke belakang. "Lagi ada saudaranya ya,Bu di rumah?" tanya tiba-tiba satpam Budi. "Hah? Enggak ada saudara, Pak," jawab Tante Dewi sambil menoleh ke belakang. Tak hanya Tante Dewi. Nayla dan Rahma pun juga ikut menoleh melihat ke arah yang di lihat satpam tersebut. "Itu ada perempuan, Bu sedang melihat ke sini.""Haaah?" Tante Dewi, Rahma dan Nayla hanya bisa mengangnga kaget. Kecuali Rasti. Gadis itu seperti melihat seseorang di dalam rumah. Menyadari matahari yang semakin tinggi, Tante Dewi menyuruh anak dan keponakannya itu untuk segera berangkat agar tidak terlambat. Begitu juga si satpam yang sudah berhasil mend
Dan karena rasa ngantuk, tak terasa mereka semua tertidur dengan berdempetan di kasur. Tetapi Nayla dan Rasti tertidur di karpet lantai. Sinar matahari pagi menembus sela-sela jendela. Tante Dewi terbangun sambil mengucek kedua matanya. Ia terkejut saat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Buru-buru wanita itu membangunkan Nayla, Rasti dan Rahma. "Ayo bangun! Bangun Rahma, Nayla, Rasti. Sudah pagi. Kalian terlambat nanti!"Tampak Nayla yang terlebih dahulu mulai menggerakkan badannya."Jam berapa ini, Te?" tanya Nayla sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Hah? Kesiangan ini, Te!""Makanya! Cepet kamu bantu Tante bangunin mereka!"Tiga puluh menit kemudian. Di ruang tamu, semuanya sudah tampak rapi dengan pakaian yang mereka kenakan. Karena mereka semua bangun kesiangan pagi itu semuanya berangkat tanpa sarapan."Kalian udah siap semua? Rahma kamu nanti pulang jam berapa?" tanya Tante Dewi."Jam lima Ma, bisa juga lebih. Soalnya ada kerja kelompok nanti d
"Tumbal para laki-laki, Mbak?" celetuk Rahma. "Iya benar." Wajah Nayla tertunduk dan berubah sedih. Dia teringat akan Wisnu sang pujaan hati yang sudah meninggal. Nayla masih sangat menyesal dan masih belum bisa maafkan dirinya sendiri atas kematian sang kekasih. Seandainya Nayla tak menemukan dan mengambil tusuk konde itu, mungkin saat ini dia masih bisa bersama Wisnu dan tak dihantui seperti ini. "Ras, kayaknya aku tau siapa pocong itu." Tiba-tiba Nayla mengangkat kepalanya dan menatap Rasti di samping. Kedua bola mata mereka saling beradu pandang."Siapa?"Semua yang ada di ruangan saat itu menatap ke arah Nayla dengan tajam. "Dano!""Siapa Dano itu, Mbak?"Rasti memicingkan mata kanannya. Mencoba mengingat-ingat siapa nama yang disebut Nayla."Oh! Dia korban yang belum lama ini?" cetus Rasti. Dengan cepat kepala Nayla mengangguk beberapa kali."Maksudnya gimana, Nay?" tanya Tante Dewi yang tak mengerti apa yang dibicarakan keponakannya itu. "Jadi saat Nayla dan Angel akan k
"Oh ya kamu kok belum tidur?" tanya Dion. "Iya Rasti tadi lihat penampakan pocong.""Pocong! Kok bisa?""Gak tau. Tapi sepertinya pocong itu adalah tumbal dari tusuk konde ini, Yon.""Gila! Tusuk konde itu harus benar-benar di musnahkan. Sebelum makin banyak korban.""Iya. Eh, lanjut besok ya, Yon. Kasihan Rasti, aku harus temenin dia dulu.""Oke."Telepon pun terputus. Dion kembali berbaring di kasur, sampai akhirnya kedua matanya pun dapat terpejam dan Dion terlelap dalam tidurnya. Sementari itu di rumah Tante Dewi.Semuanya jadi terbangun karena teriakan Rasti. Mereka duduk di ruang tamu. Selesai telepon, Nayla kembali ke ruang tamu sambil membawa segelas air untuk temannya itu. "Minum dulu, Ras." "Makasih, Nay.""Memangnya tadi apa yang membuat kamu teriak, Nduk?" tanya Tante Dewi lembut. Rasti terdiam beberapa saat, sampai Nayla menyenggol lengannya. Membuat Rasti gelagapan. "Kok diam? ditanya Tante, Ras!""Oh maaf, Tante." Rasti memalingkan pandangannya pada kamar Nayla.
Tangannya sibuk mengeluarkan satu per satu barang yang ada di dalam laci tersebut. Sampai raut wajah Dion berubah melihat sebuah foto usang yang masih hitam putih. "Ini yang aku cari. Ini foto aku saat aku umur 5 tahun. Dan ini Mas Agung, lalu perempuan ini." Kalimatnya terhenti. Dion duduk di pinggir ranjang. Foto usang itu masih di lihatnya dengan serius. Dahinya mengerut mencoba mengingat-ingat kejadian yang telah lama terjadi. "Perempuan ini yang namanya Mawar, gadis yang dicintai Mas Agung, tapi enggak mendapat restu Mama Papa."Lalu Dion membalik foto usang itu. Tepat di pojok kanan bawah terdapat sebuah tulisan yang tintanya hampir pudar. Dion pun mencoba mengeja tulisan yang samar tersebut."Wo ... no ... giri?""Apa desa Nayla di Wonogiri ya? Kalau bener, bisa jadi sinden merah yang mengikuti Nayla adalah Mawar yang dulu pernah dicintai Mas Agung."Dengan cepat Dion langsung membereskan semua pakaian dan barang-barang miliknya. Semuanya dia kembalikan ke dalam lemari. Men
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Rahma, Rasti, Nayla dan Tante Dewi masih berkumpul di ruang tv. Terdengar suara tawa mereka yang memecah keheningan malam. Acara komedi tersebut membuat Nayla dan Rasti merasa terhibur. Setelah acara pun selesai. Tante Dewi menyuruh mereka bertiga untuk langsung masuk ke dalam kamar dan tidur. Agar besok kembali segar saat beraktivitas. Rasti mengikuti langkah Nayla menuju kamar. Saat itu pandangan mata Rasti tak sengaja melihat ke arah jendela yang tirainya belum tertutup. "Nay, itu tirainya belum di tutup!""Oh ya, lupa kali Tante Dewi. Aku tutup dulu deh!" Nayla berjalan ke arah jendela sambil menyisir rambutnya dengan jari tangan. Sementara itu Rasti masih berdiri di depan pintu kamar Nayla. Matanya masih menatap ke arah Nayla yang kini sudah berada di depan jendela. Nayla menarik pengait tirai. Tiba-tiba Rasti terkejut bahkan hampir teriak. Namun buru-buru Rasti menutup mulutnya dan menyembunyikan rasa kagetnya. Rasti tak mau kalau jeri
Perempuan itu pun terjatuh ke tanah. Kedua kakinya seperti tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Tatapan matanya masih melihat punggung laki-laki yang baru saja meninggalkan dirinya. "Kenapa kamu tega, Mas." Dion hanya terdiam. Ia merasa kasihan pada perempuan yang tak dikenalnya itu. Walaupun ia tak tahu persis apa yang terjadi, namun ia juga membenarkan apa yang dikatakan perempuan itu pada Kakaknya. Hingga Dion mendengar suara yang tak asing baginya. Ia merasa tubuhnya seperti sedang digoyang-goyang. Sampai dirinya mulai terbangun. "Nak, kamu kenapa? Kenapa bisa di sini?" Dion tersentak kaget. Hingga membuat wanita setengah baya yang memakai baju tidur itu juga ikut kaget."Mama!""Kamu kenapa, hah?""Ehh ... "Dion menoleh ke kanan dan ke kiri. Membuat Mamanya makin keheranan dengan kelakuan anak laki-lakiny itu."Cari siapa?""Anuu ... Ini di rumah, Ma?""Loh iya! Ini di rumah. Emang kamu kira di mana? Di hutan?!"Dion hanya terdiam sambil celingukan. "Dion! Kamu kenapa sih?
Melihat gelagat Dion yang aneh, Mas Agung kembali bertanya. Hingga membuat Mama Dion juga ikut penasaran."Kenapa? Ada apa di depan?""Enggak, Mas.""Tapi wajah kamu kok kayak habis lihat setan?" Dion terhenyak dengan kalimat kakaknya itu. 'Iya, dia sinden tusuk konde itu. Sinden yang mengikuti Nayla. Tapi kenapa dia sekarang juga mengikuti aku? Padahal aku belum berbuat apa-apa,' batin Dion sendiri. "Dion!" panggil sang Mama yang sedang berjalan mendekati putra bungsunya. Wanita itu sedikit melongok keluar. Pintu yang mau ditutup Dion dibuka oleh Mamanya. "Enggak ada orang Dion. Siapa yang kamu lihat?""Memang gak ada, Ma. Ya sudah ayo masuk, Ma, udah malem." Dion langsung memeluk Mamanya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.Setelah mengantar sang Mama ke dalam kamar. Dion berniat untuk ke kamarnya yang berada di lantai dua.Baru menaiki beberapa anak tangga, Dion melihat sekelebat bayangan dari arah dapur yang lampunya sudah dimatikan. Sejenak Dion menghentikan langkahnya. Di