Keadaan rumah sakit pagi itu sangat ramai. Banyak perawat dan pasien yang keluar masuk UGD. Setiap kali pintu UGD terbuka, Tante Ajeng langsung menengok. Mengira jika itu anaknya.
Sesekali wanita itu melihat HP nya jika ada kabar dari sang suami.
Rasa cemas dan khawatir juga meliputi raut wajah lelaki yang duduk di kursi belakang mobil. Kesan berwibawa masih terlihat di wajahnya walaupun lelaki itu sedang memikirkan kondisi anak laki-lakinya.
"Pak, tolong lebih cepat ya," pintanya pada sang sopit taksi.
"Baik, Pak."
Sekitar tiga puluh menit perjalanan, sebuah mobil taksi sudah memasuki pelataran rumah sakit.
Setelah memberikan beberapa lembar uang pada sang sopir, lelaki yang berkisaran umur lima puluh tahunan itu langsung berlari masuk ke dalam rumah sakit.
Pandangannya mengedar mencari meja resepsionis. Langkahnya cepat menuju meja yang ada seorang suster itu.
"Sus! Saya mau tanya. Di mana ruangan atas nama Aldo P
Ajeng hanya tersenyum membalas perkataan Pradipta. Dengan telaten wanita itu mempersiapkan makanan untuk suaminya. Yang sudah ia beli sejak tadi."Oh ya, Ma. Gimana keadaan Aldo?""Aldo sudah di pindahkan ke ruang rawat, Pa. Berkat darah Papa. Aldo selamat.""Alhamdulillah. Habis makan aku mau ke ruangan Aldo, Ma.""Iya, Pa. Ini Papa makan dulu." Ajeng memberikan piring dengan menu daging rendang kepada Pradipta.Dengan lahap, Pradipta menyendokkan makanan ke dalam mulutnya. Karena memang perutnya yang sudah keroncongan."Ma, apa kamu tadi pulang dulu ganti baju?"Ajeng mengernyit. Lalu ia duduk di kursi samping ranjang."Ganti baju? Mama dari tadi belum pulang, Pa. Bahkan belum ganti baju. Masih pakai baju ini," jawabnya sambil tatapan mata menatap suami."Kamu dari tadi belum ganti baju? Enggak pakai baju kebaya?""Hahahaha." Ajeng tertawa menutup mulutnya. "Enggak, Pa. Ngapain aku pakai kebaya di rumah sa
"Dingin banget sih!" Sampai menggigil aku. Kenapa hawanya mendadak berubah gini? Sampai merinding!" gumam Aldo dengan terus berjalan menuju kamar mandi.Tanpa Aldo ketahui, seraut wajah pucat dan berlumuran darah menatapnya dari kaca jendela.Dalam hitungan beberapa detik, Aldo sudah kembali berada di ranjangnya.Ketika ia menarik selimut yang bergaris putih biru khas rumah sakit itu, tak sengaja mata Aldo melihat seraut wajah menyeramkan yang menempel di kaca jendela. Yang mengarah pada sebuah ruang server yang sangat jarang di datangi orang.Dengan mata melotot mengeluarkan darah dan rambut panjang yang acak-acakan membuat sosoknya sangat menyeramkan. Aldo langsung menarik selimutnya. Menutupi seluruh tubuhnya agar tak terlihat.Tubuh dan tangannya langsung gemetaran. Laki-laki itu hanya bersembunyi di dalam selimut."Si-Siapa itu? Sepertinya bukan So-so-sok sinden merah! Tapi aku seperti kenal wajahnya!
Wanita itu tampak sedang menunggu majikannya datang. Pintu rumah sengaja ia buka. Sambil ia duduk di sebuah kursi.Ketika itu hidungnya mencium aroma sesuatu yang sangat busuk. Bahkan sangat busuk dan sesekali anyir.Sontak Sri langsung berdiri dan berjalan ke teras. Pandangannya melihat ke sekitar halaman. Pot-pot bunga juga turut ia periksa."Ambu opo sih iki? Kok enggak uenak men!" seru Sri sambil menutup hidungnya yang pesek. (Bau apa sih ini? Kok enggak enak banget!)Dari pos keamanan terlihat seseorang yang mendekati Sri."Goleki opo Sri?" tanya Pak Didi."Aku nyium bau enggak enak. Kayak bangkai gitu.""Mosok bangkai tikus sih?""Yo enggak tau. Bantu cari ae wes!" (Ya enggak tau. Bantuin cari aja!)Bergegas Sri dan Didi mengitari halaman depan. lampu teras yang terang cukup mampu memberikan pencahayaan pada penglihatan mereka."Enggak onok opo-opo kok Sri. Paling hidungmu itu deket s
Sri mengambil foto dengan bingkai berwarna putih. Terlihat empat orang di dalam foto tersebut. Yang terdiri dari Bu Ajeng, Pak Aryo Pradipta, Wisnu dan Aldo."Kenopo, Sri?" tanya Didi yang sudah berada di belakangnya."Coba kamu perhatikan foto ini!" Sri menunjukkan foto itu pada Didi.Didi pun mengamatinya. Lalu ia menatap pada Sri."Foto keluarga Pak Aryo dengan istri dan dua anaknya, Sri," ujar Didi."Iiih bukan itu maksudku ... perhatikan lagi dengan benar, Pak!"Kembali tatapan mata Didi beralih pada foto yang di tunjukan Sri.Kemudian matanya sedikit menyipit. Sambil mejauh dekatkan foto tersebut."Iki ... bayangan opo yo?" tanya Didi menunjuk sebuah kabut putih yang membentuk seperti seseorang. Berada tepat di belakang Bu Ajeng."Menurut kamu, ini seperti sosok perempuan enggak?"Didi terdiam. Ia tak menjawab pertanyaan Sri. Lelaki itu masih mengamati foto yang kini berad
Di dalam kamar, Ajeng yang sedang tertidur nyenyak merasakan semilir angin dingin menyentuh kaki hingga betisnya.Dengan mata yang mengantuk, Ajeng menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuh.Namun kali ini ia merasa seperti ada air yang menetes di betisnya itu. Seketika tangan Ajeng mengelap air yang membasahinya itu.Tetapi air itu terasa lengket di tangan Ajeng. Hingga terpaksa Ajeng membuka mata yang masih sangat berat.Matanya langsung membulat lebar saat melihat seluruh telapak tangannya berwarna merah."Da-darah?" Suaranya tertahan.Rasa kantuknya seketika hilang. Kepalanya mulai berpendar ke sekitar kamar. Kemudian ia sedikit melongok ke bawah tempat tidur.Tetapi tak ada apa pun di sana.Rasa takut mulai melanda Ajeng. Tiba-tiba hidungnya mengendus sesuatu yang sangat busuk dan amis.'Bau apa ini? Apa Papa buang angin ya?' batin Ajeng dalam hati."Pa!" panggil Ajeng.
Didi dan Sri berjalan keluar kamar. Saat Sri akan menutup pintu."Sri! Pintunya buka aja! Enggak usah di tutup.""Iya, Nyonya."Di saat itu, pandangan mata Sri tertuju pada jendela kamar. Yang tertutup tirai berwarna putih tipis.Sri tercekat, melihat sosok yang terlihat dari luar."Woi! Sri! Sini!" Suara Didi yang sudah berada di luar kamar membuat Sri terkejut. Seketika matanya berkedip dan hanya sekali kedipan mata, sosok itu sudah menghilang.Sri mendekati Didi yang menatapnya heran penuh tanya."Kamu kenapa, Sri? Kayak habis lihat setan!""Sepertinya begitu, Pak.""Hah? Yang benar kamu?" Didi terkejut.Tangan Sri langsung menyeret Didi yang masih bingung."Ayo kita ke depan saja. Biar enggak kedengeran Tuan dan Nyonya."Mereka berdua kini sudah duduk di kursi teras rumah. Angin malam bertiup sepoi-sepoi. Sementara langit semakin terlihat mendung."Apa y
Mereka berdua masuk ke dalam rumah sakit. Kini mereka sudah berada di dalam lift. Setelah pintu lift terbuka. Dengan cepat Pradipta dan Ajeng berjalan menuju ruangan Aldo.Ketika pintu ruangan terbuka. Keduanya terkejut melihat Aldo tak ada di ranjangnya."Kemana Aldo?""Mungkin di kamar mandi kali, Ma!"Ajeng berjalan ke arah kamar mandi yang tertutup. Saat di buka, tak ada Aldo di dalam. Ajeng pun menoleh pada Pradipta."Aldo enggak ada di kamar mandi, Pa."Pradipta yang akan duduk di sofa pun mengurungkan niatnya. Lelaki itu mendekati istrinya.Kepalanya melongok ke dalam kamar mandi."Apa dia jalan-jalan di sekitar sini, Ma?""Tapi dia emang sudah kuat jalan?"Ketika itu ada seorang suster yang lewat di depan ruang Aldo. Bergegas Ajeng memanggil suster tersebut. Hingga suster itu menghentikan langkah kakinya."Iya, Bu? Ada yang bisa saya bantu?""Saya mau tanya, anak saya Aldo kok eng
"Masnya ini masih muda kok sudah enggak kelihatan tulisan sebesar itu, Mas!" Seru Andi sambil menunjuk sebuah papan kayu yang bertuliskan 'KAMAR MAYAT'"Tapi tadi beneran enggak ada tulisan itu di situ, Pak!" bantah Aldo."Siapa yang nyopot? Orang itu aja di paku. Lagian pas saya datang juga keadaan pintunya masih di gembok. Kok sampean bisa masuk ke dalam?" (Kamu)"Pintunya tadi enggak di kunci, Pak!"Terdengar Andi menghela napasnya panjang. Kemudian ia mengalihkan tatapannya lurus ke depan."Kamu tadi apa habis dilihatin sosok perempuan sinden?" tanya Andi tiba-tiba.Aldo pun menoleh. Kali ini pandangan matanya menatap lekat lelaki yang duduk di hadapannya itu."Ba-bagaimana Bapak bisa mengetahui itu?" tanya Aldo nampak terkejut."Kamu harus hati-hati. Sepertinya dia jahat. Auranya sangat hitam. Nyawa kamu bisa-bisa jadi taruhannya," ujar Andi."A-apa Bapak bisa melihat?""Bekerja hampir 15 tahun di kamar mayat