Angga tidak terpuaskan dengan Aina. Tahunya cuma kikuk dan menatapnya nanar saja. Berbicara sepatah kata pun tidak. Jelas itu membuatnya semakin marah."Aku nggak peduli dari mana kamu kenal penadah beras itu, tetapi mana uang hasil penjualannya selama ini?" Angga semakin menekan. Permukaan tubuh keduanya saling menubruk.Angga sudah malas untuk bersikap manis dengan istri yang ternyata cuma mau enaknya saja. Dia bahkan sulit sekali menggerakkan bibir untuk memanggil Aina dengan sebutan 'Sayang' lagi. Baginya, Aina cuma sosok yang sudah salah diambil untuk menjadi pasangan hidup. Mau dibuang, tak mungkin juga. Sejauh ini kesalahan Aina belumlah fatal.Aina mengangkat sepasang bola matanya takut-takut. Bibirnya bergetar. "Sudah a- ku trans-fer b- buat Ibu dan Bapak di kam- pung, Mas," balasnya."Hah?" Tak habis pikir. Aina benar-benar culas dan licik. Mementingkan kebutuhan sendiri, sementara orang yang memberi modal sudah engap. Lelaki berperasaan kalut itu menarik surai hitamnya, h
Semua orang yang berada di ruangan terkejut.Bu Dila dan Ruby tugas menarik Inara yang sudah terpelanting di belakang, sementara barang bawaannya menggelinding semua.Dada Aina naik turun. Bibirnya mengerucut disertai gigi yang merapat. "Mbak Aina apa-apaan, sih?" Inara yang berhasil dibangunkan, membuat Ruby tak perlu lagi menyentuh wanita itu. Kini, giliran saatnya menghakimi si penjahat.Aina menengok ke arah Inara yang sibuk mengusap-usap bokong serta sikunya yang barangkali terasa sakit. Kemudian, netranya menatap tajam ke arah Ruby. Angga belum sempat berbicara, tetapi istrinya itu tiba-tiba saja menjauh. Aina malah keluar ruangan dan entah mau ke mana. Angga taksir dirinya tengah menghindari masalah. Ia tentu tak mau dimarah.Mereka semua dengan ketulusan hati meminta maaf kepada Inara atas perlakuan jahat Aina, kemudian, Angga juga membuka suara tentang Aina yang ternyata jauh dari ekspektasi. Menceritakan perjalanan hidupnya pasca berpisah dengan mantan istri pertama. Seja
Degh!Angga terdiam sejenak, mengumpulkan pikirannya. Benarkah? Sampai-sampai menampar pipinya sendiri demi memastikan ini kenyataan atau rotasi alam khayal saja."Inara, kamu ajak anak Ibu rujuk?" Tiba-tiba, Bu Dila muncul di dekat mereka. Ruby, adik kandung Angga, juga hadir. Mungkin mereka memang tadinya hendak memasuki grosir atau berada di kawasan itu, sehingga dapat mendengar penawaran Inara terhadap mantan suaminya tersebut."Tetapi, kenapa, Inara?" Netra Angga membeliak kunci.Bu Dila dan Ruby serta merta saling pandang dan tersenyum. Angga sendiri senantiasa bingung dan seakan tak yakin dengan ajakan menggiurkan itu. Dirasa tak mungkin Inara yang kini telah menjadi janda kaya raya sudi memulai hidup dengan lelaki kere dan pernah menyakitinya di masa lalu."Mas, aku nggak tega melihat kamu hidup dengan perempuan jahat seperti Aina. Ya, sebenarnya sudah dari dulu. Cuma aku butuh waktu untuk menetralisir kesakitan yang pernah kau timpakan padaku. Dan, sekarang hatiku telah siap
"Balikan sama Inara?" Muka Aina menegang.Organ yang berukuran sekepalan tangan orang dewasa, yang berada di bawah rusuk kanan seketika memanas. Berdentam-dentum menyambut kenyataan yang adik iparnya katakan."Betul itu, Mas?" Ritme bicaranya naik.Angga menengok sekilas pada Ruby yang tampaknya tak merasa bersalah sedikitpun. Sesungguhnya, cepat maupun lambat Aina pasti akan tahu.Tak mendapat jawaban, Aina berlari dengan hati yang dipenuhi kemarahan, melintasi jalan setapak menuju rumah Inara. Wajahnya merah padam, dan dalam genggamannya enam buah cabai merah menyala yang sebelumnya diambil dari dapur. Aina tidak lagi dapat menahan diri. Perasaan marah dan frustrasi telah menumpuk selama berbulan-bulan dan saat inilah semuanya meledak. Di kala ia tahu, apa yang dulu direbutnya dari Inara, kini perlahan-lahan kembali lagi pada janda satu itu.Dalam hitungan detik, dia telah mencapai pintu depan rumah Inara. Tanpa ragu, Aina membukanya sendiri tanpa izin dan melangkah masuk dengan lan
Matahari merayapi langit sebuah desa saat Angga dan Aina berdiri di tengah ruangan yang penuh dengan baju-baju dan barang-barang mereka yang berserak. Udara terasa tegang dan hati keduanya dipenuhi oleh kebingungan dan keputusasaan. Ini adalah adegan pertengkaran mereka yang panas, seperti yang sudah-sudah.Angga rupanya benar-benar mempersiapkan surat perceraian itu. Selembar kertas telah diajukan kepada Aina dan siap untuk ditandatangani. Waktunya relatif singkat. Membuat Aina tertegun dan merasa semakin tersakiti."Mas! Tolonglah kasihani aku. Aku nggak mungkin kembali ke kampung dalam keadaan senelangsa ini" pintanya Aina dengan nada lembut, berusaha mencari jalan damai di tengah badai emosi yang sedang melanda mereka.Angga menoleh, wajahnya terlihat letih, "Aina, apa yang masih harus dipertahankan? Semuanya sudah jelas. Kamu istri nggak becus! Aku capek dituntut dan menghadapi wanita pembohong sepertimu. Inara sendiri yang mengajakku balikan, lalu dengan alasan apalagi aku harus
Lelaki berkopiah hitam telah siap dengan jas yang senada dengan warna pembungkus kepalanya tersebut. Dalaman putih, juga sepatu mengkilap ikut melekat sebagai aksesoris badan.Angga. Pagi ini akan melangsungkan pernikahannya di rumah Inara. Ruby dan Bu Dila juga telah siap dengan kebaya putih dengan payet silver mengelilingi kawasan leher. Keduanya terlihat semakin anggun saat senyum ramah menghiasi wajah.Kata Inara, pernikahan itu tak perlu dipublish. Cukup dihadiri mereka-mereka saja dan beberapa saksi, juga seorang tuan kali. Angga tak mempermasalahkannya, karena yang dia butuhkan hanyalah kata "sah" saja. Tak sabar rasanya ingin memanggil Inara dengan sebutan "Umi" lagi, kemudian bersama-sama mengikuti pengajian.Di mana Aina? Jangan khawatir! Perempuan itu tak akan bisa mengacau seperti janjinya kemarin. Dia telah diungsikan di dalam gudang rumah dengan kondisi kaki diselimuti kayu berantai. Mereka sengaja memasung Aina sejak kemarin dan membekap mulutnya.Sekarang keluarga Ang
Sambaran petir serasa mengenai tubuh Angga dan membuatnya hancur tak berbentuk, padahal terik mentari tak dapat dikalahkan oleh badai pagi itu. Seluruh bagian tubuh membeku. Lelaki bermuka tidak lebih tampan dari sosok tinggi di depannya tersebut melotot.Angga tercekat. Liurnya membeku di kerongkongan. "Su- suami baru?" Nadanya gemetar.Dan, lagi-lagi senyum Inara hadir. Lengkungan bibir yang belakangan ini berusaha menarik perhatian Angga, hingga dia terjerumus cinta."Apa aku kurang jelas?" Jemari lembut Inara terus bergandeng di antara pangkal dan siku tangan orang yang diakuinya sebagai suami tersebut. Seharusnya lengan Anggalah yang kala ini Inara raba lembut seperti itu. "Kamu jangan main-main, Ra! Kenapa ini? Kenapa kamu malah menikah dengan laki-laki lain, sementara kamu sudah berjanji kepada Angga rujuk di hari ini." Bu Dila turut membela anaknya yang telah memucat. Ia dan mantan menantunya itu saling bersitatap."Aku cuma ingin merasakan bagaimana kebahagiaan saat menika
"Apa maksud kamu, Inara?"Wanita itu hanya mempertontonkan senyum. Beberapa detik setelahnya, Inara menjawab, "Ikuti saja nanti!"Inara memahami bagaimana kegelisahan serta penasaran yang tak terbendung dari dua wanita di hadapannya. Namun, yang paling utama adalah mereka harus menangani Angga yang syok dan berujung pingsan tersebut.Bu Dila, Ruby, dan Inara duduk bersama di ruang tunggu rumah sakit. Mereka tak lagi membahas perihal pernikahan. Bu Dila dan Ruby sibuk membicarakan tentang Angga, sedangkan Inara memejamkan mata sambil sesekali telinganya mendengar obrolan orang di sebelah. Dokter pada akhirnya keluar. Ibu serta adik Angga sibuk bertanya bagaimana kondisi terkini dari pria tersebut. Ternyata tak ada yang perlu khawatirkan. Hanya butuh beberapa waktu lagi untuk memulihkan tenaga, lalu Angga pun terbangun.Kemudian, Inara membisikkan sesuatu kepada lelaki berkacamata tebal tersebut. Sosok itu mengangguk mafhum. Tak lama setelahnya, Angga yang masih belum sadarkan diri itu
Pagi ini Angga tidak jadi membuat bakso kuah terbaru karena buku resepnya hilang. Namun, dia masih terus berusaha mencari, kali saja dia salah letak atau entah bagaimana, yang jelas dia masih berharap supaya buku itu lekas ketemu.Berbeda dari kemarin, hari ini bahkan sampai Angga sudah duduk stay di warung depan rumahnya, Ayu tak kunjung datang. Sayangnya Angga tidak mempunyai kontak wanita tersebut. Jadi, dia tak bisa menghubungi."Ke mana Ayu? Tumben lama nggak seperti kemarin," batinnya.Dia pun membereskan warung seorang diri. Mulai dari menata bahan-bahan yang akan dipakai untuk membuat bakso serta mengilap mangkuk-mangkuk supaya lebih kinclong.Anehnya, hingga siang menjelang, Ayu tak kunjung menampakkan batang hidung. Angga sampai berpikir kalau perempuan itu sedang sakit sehingga dia tidak bisa untuk bekerja di hari itu. Angga memaklumi. Dia berjanji akan meminta kontak Ayu setelah perempuan itu masuk nantinya. ***Sayangnya, Apa yang Anda pikirkan tidak sejalan dengan kenya
"Tahu apa, Rin?" Angga membidik wajah lawan bicaranya yang tampak serius.Rina mendekatkan tubuhnya sampai memangkas jarak antar mereka. Angga yang risih sedikit mundur, tetapi Rina malah menariknya. Telinga Angga didekatkan pada bibir Rina."Ternyata orang tuanya Ayu juga sama-sama pedagang bakso kayak kamu, Mas," bisiknya perlahan-lahan.Leher Angga sampai memendek, karena kepalanya tersentak. Dia menjauhi Rina dengan mata yang terbelah lebar."Ah, yang bener kamu? Tadi aja dia bilang, kalau ibu bapaknya seorang petani dan memiliki kebun di desa.""Beneran Mas, aku nggak bohong. Makanya dari awal aku udah curiga sama si Ayu. Kayaknya dia menginginkan sesuatu dari kamu, deh."Saat obrolan mereka belum selesai dan Rina belum menjelaskan lebih lanjut, tiba-tiba saja orang yang diceritakan datang dan langsung mendorong Rina, hingga dia mundur agak jauhan.BRUGH!"Apa maksud kamu, Rin? Kenapa kamu malah ngomong kayak begitu sama Mas Angga? Tahu apa kamu tentang orang tuaku? Orang tuaku u
Panas siang hari ini sepertinya berhasil turun dan mendekam di hati Rina. Perkataan Ayu bagai petir di siang bolong yang menyambar sekujur raganya tanpa ampun.Ayu berucap sedemikian rupa dengan entengnya sambil tersenyum lebar. Sementara Angga di sebelahnya hanya terdiam."A- apa? K- kerja d- di sini?" Rina mengulang ucapan wanita di depannya tersebut."Apa kurang jelas lagi? Mulai besok aku bakal kerja di warung ini. Mas Angga juga udah izinin, kok."Tidak tahu kenapa Rina seakan terganggu oleh Ayu sejak pertemuan mereka kemarin. Dan, saat mengetahui kebenaran ini, perasaannya semakin tak menentu. Ekspresi Rina langsung berubah kecut. Dia memandang Angga dengan penuh beban."Sini, Mas!"Rina cepat-cepat menarik tangan Angga ke sudut warung, agak jauh dari keramaian dan Ayu. Dia akan membuat perhitungan kepada pria tersebut."Kamu kenapa, sih? Kenapa kamu mengizinkan Ayu bekerja di sini, Mas?" tanyanya, suara penuh kekhawatiran.Sementara itu Rina sempat melirik Ayu yang melipat kedu
Hujan mengguyur kota dengan lebatnya pada malam itu. Lampu-lampu padam satu per satu, menyisakan gelap yang pekat menutupi sudut-sudut kota. Di rumah Angga, seorang pedagang bakso, situasi tidak berbeda. Hanya suara gemericik hujan dan sesekali kilat yang menyinari jendela yang menjadi sumber cahaya.Ketukan di pintu depan membuat ia semakin was-was saja. Angga, yang sudah bersiap tidur, terkejut dan bingung. Siapa yang mungkin datang di tengah malam dan dalam cuaca buruk seperti ini?Dengan hati-hati, ia mendekati pintu, membuka kuncinya pelan-pelan. Angga sudah bersiap, jika yang ada di depan pintunya tersebut adalah orang jahat, maupun makhluk tak kasat mata.Pintu pun akhirnya terbuka dan cahaya senter menyilaukan matanya sejenak.Tring!"Mas Angga, maaf mengganggu!"Degh!Suara lembut itu terdengar. Ketika mata Angga menyesuaikan dengan cahaya."Aman," pikirnya lega. Ia membuka matanya selebar mungkin.Terlihatlah Rina, guru SD yang dikenalnya, berdiri basah kuyup sambil membawa
Angga selaku pemilik warung bakso yang ramah dan populer di kalangan penduduk setempat saat ini benar-benar bingung harus memilih makanan yang mana Di samping dia tidak bisa menerima semuanya karena tidak akan muat di perutnya.Sayangnya, Angga juga tidak tega menolak salah satu diantara mereka. Angga menghargai pemberian Ayu dan Rina terhadapnya. "Biar aku bukain langsung, Mas!" tutur Rina Yang Tak sabar menanti keputusan Angga. Dia langsung meletakkan rantang di atas meja dan membongkar wadah tersebut satu persatu."Ah, aku juga!" ujar Ayu yang ternyata masih tidak mau kalah.Kedua perempuan itu berlomba-lomba membuka rantang mereka masing-masing di hadapan Angga. Membuat pria satu itu semakin kewalahan. Dia sedang diperebutkan atau bagaimana?Rina, guru SD yang bertanggung jawab dan penyayang itu ternyata membawa nasi goreng homemade, sementara Ayu yang kabarnya hanya mengikut orang tua dan tidak mempunyai pekerjaan membawa salad buah segar dan tomyam. Semua makanan yang disuguhk
Dalam cuaca yang diselimuti oleh kegelapan, warung bakso Angga masih ramai dengan suara para pembeli yang datang dan pergi. Lampu yang tergantung rendah di warung itu menambah kehangatan suasana di malam yang sejuk ini. Angga, seorang penjual bakso yang dikenal dengan keramahan dan kejujurannya, sibuk melayani setiap pembeli dengan senyuman lebar."Mas, aku tiga bungkus, ya!""Aku satu mangkuk aja makan di sini, Mas!""Mas, saya dulu, dong! Kasihan anak di rumah sudah kelaparan."Cicitan cicitan para pembeli semakin menguar. Angga merasa senang, meski satu sisi dia kelimpungan."Iya, sabar ya semuanya."Saat sedang mengaduk bakso di dalam panci besar, tiba-tiba seorang anak kecil berlari mendekat ke warungnya. Anak itu, dengan napas yang tersengal, mengulurkan sebuah kotak kecil kepada Angga. Terkejut, Angga menurunkan sendok besar dan menerima kotak tersebut."Untuk om," kata si anak kecil dengan senyum yang manis. Jemari mungilnya terulur memanjang."Eh?"Angga menghentikan aktivita
Degh!Angga yang sedang sibuk melayani pembeli di warung baksonya lantas tunggang langgang menghampiri Rina yang telah dihakimi oleh sosok tak dikenal. Nyaris saja Angga terpelanting ke tanah, karena tersandung oleh kakinya sendiri. Dia ingin cepat-cepat sampai di depan sana demi mempertanyakan Apa yang terjadi.Ia melihat seorang ibu-ibu berkaos ungu yang baru saja turun dari motornya dan tampak sangat marah entah sebab apa sambil menuding-nuding Rina. Angga belum bisa mendengar percakapan mereka sepenuhnya. Dia harus lebih cepat sampai ke sana.Tanpa berpikir panjang, Angga bergegas menyelamatkan situasi. Ia meninggalkan warung baksonya dan berlari menghampiri mereka. "Maaf Bu, kenapa ibu malah marah-marahi teman saya? Ada apa ini? Mungkin kita bisa bicarain dengan tenang," titah Angga mencoba meredakan suasana.Namun, ibu itu tak kunjung reda dan terus memarahi Rina, "Kamu ini guru atau apa, tega sekali memarahi anak saya!"Rina dengan nada cemas menjawab, "Maaf Bu, saya enggak pe
Matahari sudah lama terbenam ketika Angga perlahan membuka matanya, kebingungan menyelimutinya saat dia mencoba memahami di mana dia berada. Kepalanya berdenyut dan sinar lampu yang temaram di ruangan itu tidak membantu. Sambil mencoba mengumpulkan kekuatannya, dia menoleh dan terkejut melihat sosok yang duduk dengan tenang di sisi tempat tidurnya."Mas Angga, kamu sudah sadar?" Rina bertanya dengan suara yang penuh kelegaan. Wajah cantiknya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam."Rina?" Angga berkata dengan suara serak, masih mencoba memproses apa yang terjadi. "Ada di mana kita?""Kita di rumah sakit, Mas. Tadi aku mau beli bakso, tapi pas aku mengetuk pintu rumahmu, tidak ada yang menjawab. Aku minta maaf karena sudah lancang masuk rumah kamu tanpa izin, tapi , aku melihat Mas pingsan," jelas Rina dengan detail, matanya tidak lepas dari wajah Angga.Angga berusaha mengingat kejadian sebelumnya, "Aduh, iya. Aku memang merasa pusing banget. Tapi aku nggak menyangka bakalan pingsan.
Beberapa bulan berlalu, lelaki bernama Angga itu kini telah memiliki rumah sendiri dan warung bakso yang berdiri di depan kediamannya. Dia berhasil mengatur hidupnya menjadi insan yang jauh lebih baik. Angga juga masih berusaha untuk menghindari perempuan. Dia masih trauma kejadian bersama Lala dulu terulang kembali. Lagi pula, Angga juga sudah bolak-balik menikah. Angga takut pernikahannya akan gagal lagi dan gagal lagi.Dia tinggal sendiri. Memasak dagangannya seorang diri pula. Sesekali Angga sakit, tetapi dia masih bisa menahan semuanya. Angga lebih bahagia sekarang, meski tak siapapun yang dapat diajak bicara. Terkadang Angga sampai mengobrol dengan tembok mati di kamarnya. Warung bakso Angga selalu dipenuhi pembeli, dari pagi hingga malam, tak pernah sepi. Dia selalu menjaga kualitas dan keramahan dirinya sendiri selaku sang empunya dagang.Suasana hari itu pun tidak berbeda, warungnya penuh sesak dengan pembeli yang antri untuk menikmati bakso buatannya.Di tengah kesibukan it