Lelaki berkopiah hitam telah siap dengan jas yang senada dengan warna pembungkus kepalanya tersebut. Dalaman putih, juga sepatu mengkilap ikut melekat sebagai aksesoris badan.Angga. Pagi ini akan melangsungkan pernikahannya di rumah Inara. Ruby dan Bu Dila juga telah siap dengan kebaya putih dengan payet silver mengelilingi kawasan leher. Keduanya terlihat semakin anggun saat senyum ramah menghiasi wajah.Kata Inara, pernikahan itu tak perlu dipublish. Cukup dihadiri mereka-mereka saja dan beberapa saksi, juga seorang tuan kali. Angga tak mempermasalahkannya, karena yang dia butuhkan hanyalah kata "sah" saja. Tak sabar rasanya ingin memanggil Inara dengan sebutan "Umi" lagi, kemudian bersama-sama mengikuti pengajian.Di mana Aina? Jangan khawatir! Perempuan itu tak akan bisa mengacau seperti janjinya kemarin. Dia telah diungsikan di dalam gudang rumah dengan kondisi kaki diselimuti kayu berantai. Mereka sengaja memasung Aina sejak kemarin dan membekap mulutnya.Sekarang keluarga Ang
Sambaran petir serasa mengenai tubuh Angga dan membuatnya hancur tak berbentuk, padahal terik mentari tak dapat dikalahkan oleh badai pagi itu. Seluruh bagian tubuh membeku. Lelaki bermuka tidak lebih tampan dari sosok tinggi di depannya tersebut melotot.Angga tercekat. Liurnya membeku di kerongkongan. "Su- suami baru?" Nadanya gemetar.Dan, lagi-lagi senyum Inara hadir. Lengkungan bibir yang belakangan ini berusaha menarik perhatian Angga, hingga dia terjerumus cinta."Apa aku kurang jelas?" Jemari lembut Inara terus bergandeng di antara pangkal dan siku tangan orang yang diakuinya sebagai suami tersebut. Seharusnya lengan Anggalah yang kala ini Inara raba lembut seperti itu. "Kamu jangan main-main, Ra! Kenapa ini? Kenapa kamu malah menikah dengan laki-laki lain, sementara kamu sudah berjanji kepada Angga rujuk di hari ini." Bu Dila turut membela anaknya yang telah memucat. Ia dan mantan menantunya itu saling bersitatap."Aku cuma ingin merasakan bagaimana kebahagiaan saat menika
"Apa maksud kamu, Inara?"Wanita itu hanya mempertontonkan senyum. Beberapa detik setelahnya, Inara menjawab, "Ikuti saja nanti!"Inara memahami bagaimana kegelisahan serta penasaran yang tak terbendung dari dua wanita di hadapannya. Namun, yang paling utama adalah mereka harus menangani Angga yang syok dan berujung pingsan tersebut.Bu Dila, Ruby, dan Inara duduk bersama di ruang tunggu rumah sakit. Mereka tak lagi membahas perihal pernikahan. Bu Dila dan Ruby sibuk membicarakan tentang Angga, sedangkan Inara memejamkan mata sambil sesekali telinganya mendengar obrolan orang di sebelah. Dokter pada akhirnya keluar. Ibu serta adik Angga sibuk bertanya bagaimana kondisi terkini dari pria tersebut. Ternyata tak ada yang perlu khawatirkan. Hanya butuh beberapa waktu lagi untuk memulihkan tenaga, lalu Angga pun terbangun.Kemudian, Inara membisikkan sesuatu kepada lelaki berkacamata tebal tersebut. Sosok itu mengangguk mafhum. Tak lama setelahnya, Angga yang masih belum sadarkan diri itu
"Makasih, Bro! Hahaha. Caiiiir!"Wanita dengan balutan tunik hitam mengernyitkan dahi, memandang sosok pria berusia 25 tahun penuh tanda tanya. Lelaki itu baru saja menerima sesuatu dari rekannya. Memuat wajahnya sumringah dan gelagat bahagia tak dapat disembunyikan. Ia melewati perempuan yang tadi menatapnya lamat tanpa peduli barang sedikit pun. Seakan tak ada orang di sana. Entah tak tahu atau memang berpura-pura tidak melihat."Mas!" sentak hawa berambut berhijab moca.Yang dipanggil tersadar dan membalikkan badan. "Apa?" tanyanya singkat.Perempuan bermata bulat itu menatap selebaran kertas merah yang teronggok di tangan lelaki di hadapan."Uang dari mana?" Tiba-tiba muka pria itu melengos. Bola matanya berputar dengan bahu yang terangkat. Ia kemudian pergi begitu saja tanpa berniat unguk menjawab pertanyaan lawan bicaranya. Ruby. Kini dia telah berusia 23 tahun dan resmi menjadi istri orang sejak tujuh hari lalu. Ia dan keluarganya berhasil keluar dari kampung terpencil set
Angga saling menggosok kedua tangannya dan bergegas pergi dari lokasi cafe. Rencananya dia akan menemui ibunya terlebih dahulu. Angga menaiki motor matic yang ia beli secara second sewaktu di kampung terpencil lalu. Kendaraan yang kadang ngadat itu menjadi temannya melakukan aktivitas sehari-hari. "Bu!" pekiknya.Sosok yang dua tahun lebih menua dari sebelumnya tergopoh-gopoh memenuhi panggilan sang putra. Ia berdiri persis di sebelah Angga."Ada apa sih kamu jerit-jerit begitu? Nggak sakit apa tembolokmu?" ujarnya yang tak suka mendengarkan kebisingan.Angga cengengesan. Tangannya sibuk menarik benda dari saku, lalu memamerkan apa yang baru dia dapat. "Lihat nih, Bu! Hahaha." Tawanya banter.Mata Bu Dila turut membesar seiring uang sebesar satu juta itu diagung-agungkan Angga. Tangannya bersiap-siap meraih."Eits!" Angga membelokkan barang berharga tersebut ke lain arah, membuat bibir ibunya manyun."Buat ibu 400 ribu saja, ya!" "Kenapa begitu?" Alisnya saling bersenggolan."Aku
Serasa disambar geledek, padahal hari terang benderang. Kaki-kaki Ruby bak dicekal siluman ular, sampai membuatnya kesulitan bergerak. Ruby spontan tercampak ke dinding sebelah jendela. Menggigit tangan dan menekan dadanya, hingga napas tersengal-sengal.Pengedar sa*u? Astagfirullah.Pantaslah kerjaan Roy selama ini cuma seliweran dan kerap berada di rumah. Rupanya dia mendapatkan uang melalui jalan pintas. Sekarang Ruby paham, bahwa ia telah dibodohi. Kerja sebagai buruh pabrik tas adalah bohong. Cairan asin meleleh dari pupuk mata. Jadi, selama ini pulalah ia diberi makan haram. Menelan hasil dari penjualan barang terlarang tersebut. Ruby menyesal kenapa ia tak curiga sedari pindah ke kontrakan tersebut. Namun yang lebih anehnya lagi, rata-rata pengedar sa*u itu kaya, tetapi kenapa suaminya tidak. Ke mana uang yang selama ini ia punya.?Wanita itu membiarkan suaminya menyelesaikan urusan dengan temannya di depan. Begitu Roy kembali ke dalam, Ruby dengan tiba-tiba menampakkan wujud
"Kalian ngomongin aku, ya?" Entah sebab angin apa, tiba-tiba saja Roy kembali dalam waktu singkat. Menurut Ruby, sepertinya ada yang ketinggalan di rumah ini, dia lupa membawanya. Ruby semakin ketakutan. Tangannya dicekal oleh ibu-ibu di depan."Jadi istri kok tukang gosipin suami sendiri!" sambungnya belum berkesudahan."Siapa yang gosipin kamu sih, Roy? Pede banget! Wong, istrimu ini cuma nanya cara masak sate padang. Suuzon terus!" cercah wanita yang Ruby anggap cukup berani dengan Roy si lelaki temperamen tersebut.Roy memandang istri dan tetangganya secara bergantian dan penuh selidik. Tampak-tampaknya dia mulai percaya dengan ungkapan sosok tersebut. Tak lagi dia hiraukan Ruby. Roy menuju kamar dan selang beberapa menit kemudian dia kembali menyalakan motor."Lihatlah, Bu! Dia kasar banget sama aku. Aku nggak nyangka sama sikapnya," keluh Ruby."Roy memang begitu, makanya satu gang ini nggak ada yang peduli sama dia, termasuk ketika dia sakit. Ngomong-ngomong siapa namamu, Neng
"Apa? Ibu TBC?" Ruby terbelalak kaget. Seingatnya sebelum meninggalkan ibunya untuk menikah, perempuan itu baik-baik saja. Ternyata hidup di kota tak seindah yang dipikirkan. Di mana saban waktu kita menghirup polusi kotor. Berbeda tatkala mereka masih mendekam di desa dulu.Ruby kaget sekali sekaligus prihatin mendengar kabar yang Bu Dila sampaikan. Dia mengunjungi ibunya memang niat awal untuk bertukar kabar. Namun, siapa sangka kalau berita yang Bu Dila sampaikan begitu menusuk hati. Ruby spontan iba terhadap sosok yang telah melahirkannya tersebut.Bu Dila melempar angan. Beberapa hari lalu saat dirinya terbatuk-batuk di hadapan para pembeli sayur pasca pamer, dia langsung menyembunyikan darah yang berada di telapak tangan dan mengusapnya pada ujung baju. Dia bahkan sempat mengarang cerita, kalau saat malamnya Angga membelikan bakso jumbo super pedas yang membuat lehernya sakit hingga pagi. Jelas dia tidak mau, jika penyakitnya diketahui oleh orang-orang, sebab TBC merupakan viru