"Balikan sama Inara?" Muka Aina menegang.Organ yang berukuran sekepalan tangan orang dewasa, yang berada di bawah rusuk kanan seketika memanas. Berdentam-dentum menyambut kenyataan yang adik iparnya katakan."Betul itu, Mas?" Ritme bicaranya naik.Angga menengok sekilas pada Ruby yang tampaknya tak merasa bersalah sedikitpun. Sesungguhnya, cepat maupun lambat Aina pasti akan tahu.Tak mendapat jawaban, Aina berlari dengan hati yang dipenuhi kemarahan, melintasi jalan setapak menuju rumah Inara. Wajahnya merah padam, dan dalam genggamannya enam buah cabai merah menyala yang sebelumnya diambil dari dapur. Aina tidak lagi dapat menahan diri. Perasaan marah dan frustrasi telah menumpuk selama berbulan-bulan dan saat inilah semuanya meledak. Di kala ia tahu, apa yang dulu direbutnya dari Inara, kini perlahan-lahan kembali lagi pada janda satu itu.Dalam hitungan detik, dia telah mencapai pintu depan rumah Inara. Tanpa ragu, Aina membukanya sendiri tanpa izin dan melangkah masuk dengan lan
Matahari merayapi langit sebuah desa saat Angga dan Aina berdiri di tengah ruangan yang penuh dengan baju-baju dan barang-barang mereka yang berserak. Udara terasa tegang dan hati keduanya dipenuhi oleh kebingungan dan keputusasaan. Ini adalah adegan pertengkaran mereka yang panas, seperti yang sudah-sudah.Angga rupanya benar-benar mempersiapkan surat perceraian itu. Selembar kertas telah diajukan kepada Aina dan siap untuk ditandatangani. Waktunya relatif singkat. Membuat Aina tertegun dan merasa semakin tersakiti."Mas! Tolonglah kasihani aku. Aku nggak mungkin kembali ke kampung dalam keadaan senelangsa ini" pintanya Aina dengan nada lembut, berusaha mencari jalan damai di tengah badai emosi yang sedang melanda mereka.Angga menoleh, wajahnya terlihat letih, "Aina, apa yang masih harus dipertahankan? Semuanya sudah jelas. Kamu istri nggak becus! Aku capek dituntut dan menghadapi wanita pembohong sepertimu. Inara sendiri yang mengajakku balikan, lalu dengan alasan apalagi aku harus
Lelaki berkopiah hitam telah siap dengan jas yang senada dengan warna pembungkus kepalanya tersebut. Dalaman putih, juga sepatu mengkilap ikut melekat sebagai aksesoris badan.Angga. Pagi ini akan melangsungkan pernikahannya di rumah Inara. Ruby dan Bu Dila juga telah siap dengan kebaya putih dengan payet silver mengelilingi kawasan leher. Keduanya terlihat semakin anggun saat senyum ramah menghiasi wajah.Kata Inara, pernikahan itu tak perlu dipublish. Cukup dihadiri mereka-mereka saja dan beberapa saksi, juga seorang tuan kali. Angga tak mempermasalahkannya, karena yang dia butuhkan hanyalah kata "sah" saja. Tak sabar rasanya ingin memanggil Inara dengan sebutan "Umi" lagi, kemudian bersama-sama mengikuti pengajian.Di mana Aina? Jangan khawatir! Perempuan itu tak akan bisa mengacau seperti janjinya kemarin. Dia telah diungsikan di dalam gudang rumah dengan kondisi kaki diselimuti kayu berantai. Mereka sengaja memasung Aina sejak kemarin dan membekap mulutnya.Sekarang keluarga Ang
Sambaran petir serasa mengenai tubuh Angga dan membuatnya hancur tak berbentuk, padahal terik mentari tak dapat dikalahkan oleh badai pagi itu. Seluruh bagian tubuh membeku. Lelaki bermuka tidak lebih tampan dari sosok tinggi di depannya tersebut melotot.Angga tercekat. Liurnya membeku di kerongkongan. "Su- suami baru?" Nadanya gemetar.Dan, lagi-lagi senyum Inara hadir. Lengkungan bibir yang belakangan ini berusaha menarik perhatian Angga, hingga dia terjerumus cinta."Apa aku kurang jelas?" Jemari lembut Inara terus bergandeng di antara pangkal dan siku tangan orang yang diakuinya sebagai suami tersebut. Seharusnya lengan Anggalah yang kala ini Inara raba lembut seperti itu. "Kamu jangan main-main, Ra! Kenapa ini? Kenapa kamu malah menikah dengan laki-laki lain, sementara kamu sudah berjanji kepada Angga rujuk di hari ini." Bu Dila turut membela anaknya yang telah memucat. Ia dan mantan menantunya itu saling bersitatap."Aku cuma ingin merasakan bagaimana kebahagiaan saat menika
"Apa maksud kamu, Inara?"Wanita itu hanya mempertontonkan senyum. Beberapa detik setelahnya, Inara menjawab, "Ikuti saja nanti!"Inara memahami bagaimana kegelisahan serta penasaran yang tak terbendung dari dua wanita di hadapannya. Namun, yang paling utama adalah mereka harus menangani Angga yang syok dan berujung pingsan tersebut.Bu Dila, Ruby, dan Inara duduk bersama di ruang tunggu rumah sakit. Mereka tak lagi membahas perihal pernikahan. Bu Dila dan Ruby sibuk membicarakan tentang Angga, sedangkan Inara memejamkan mata sambil sesekali telinganya mendengar obrolan orang di sebelah. Dokter pada akhirnya keluar. Ibu serta adik Angga sibuk bertanya bagaimana kondisi terkini dari pria tersebut. Ternyata tak ada yang perlu khawatirkan. Hanya butuh beberapa waktu lagi untuk memulihkan tenaga, lalu Angga pun terbangun.Kemudian, Inara membisikkan sesuatu kepada lelaki berkacamata tebal tersebut. Sosok itu mengangguk mafhum. Tak lama setelahnya, Angga yang masih belum sadarkan diri itu
"Makasih, Bro! Hahaha. Caiiiir!"Wanita dengan balutan tunik hitam mengernyitkan dahi, memandang sosok pria berusia 25 tahun penuh tanda tanya. Lelaki itu baru saja menerima sesuatu dari rekannya. Memuat wajahnya sumringah dan gelagat bahagia tak dapat disembunyikan. Ia melewati perempuan yang tadi menatapnya lamat tanpa peduli barang sedikit pun. Seakan tak ada orang di sana. Entah tak tahu atau memang berpura-pura tidak melihat."Mas!" sentak hawa berambut berhijab moca.Yang dipanggil tersadar dan membalikkan badan. "Apa?" tanyanya singkat.Perempuan bermata bulat itu menatap selebaran kertas merah yang teronggok di tangan lelaki di hadapan."Uang dari mana?" Tiba-tiba muka pria itu melengos. Bola matanya berputar dengan bahu yang terangkat. Ia kemudian pergi begitu saja tanpa berniat unguk menjawab pertanyaan lawan bicaranya. Ruby. Kini dia telah berusia 23 tahun dan resmi menjadi istri orang sejak tujuh hari lalu. Ia dan keluarganya berhasil keluar dari kampung terpencil set
Angga saling menggosok kedua tangannya dan bergegas pergi dari lokasi cafe. Rencananya dia akan menemui ibunya terlebih dahulu. Angga menaiki motor matic yang ia beli secara second sewaktu di kampung terpencil lalu. Kendaraan yang kadang ngadat itu menjadi temannya melakukan aktivitas sehari-hari. "Bu!" pekiknya.Sosok yang dua tahun lebih menua dari sebelumnya tergopoh-gopoh memenuhi panggilan sang putra. Ia berdiri persis di sebelah Angga."Ada apa sih kamu jerit-jerit begitu? Nggak sakit apa tembolokmu?" ujarnya yang tak suka mendengarkan kebisingan.Angga cengengesan. Tangannya sibuk menarik benda dari saku, lalu memamerkan apa yang baru dia dapat. "Lihat nih, Bu! Hahaha." Tawanya banter.Mata Bu Dila turut membesar seiring uang sebesar satu juta itu diagung-agungkan Angga. Tangannya bersiap-siap meraih."Eits!" Angga membelokkan barang berharga tersebut ke lain arah, membuat bibir ibunya manyun."Buat ibu 400 ribu saja, ya!" "Kenapa begitu?" Alisnya saling bersenggolan."Aku
Serasa disambar geledek, padahal hari terang benderang. Kaki-kaki Ruby bak dicekal siluman ular, sampai membuatnya kesulitan bergerak. Ruby spontan tercampak ke dinding sebelah jendela. Menggigit tangan dan menekan dadanya, hingga napas tersengal-sengal.Pengedar sa*u? Astagfirullah.Pantaslah kerjaan Roy selama ini cuma seliweran dan kerap berada di rumah. Rupanya dia mendapatkan uang melalui jalan pintas. Sekarang Ruby paham, bahwa ia telah dibodohi. Kerja sebagai buruh pabrik tas adalah bohong. Cairan asin meleleh dari pupuk mata. Jadi, selama ini pulalah ia diberi makan haram. Menelan hasil dari penjualan barang terlarang tersebut. Ruby menyesal kenapa ia tak curiga sedari pindah ke kontrakan tersebut. Namun yang lebih anehnya lagi, rata-rata pengedar sa*u itu kaya, tetapi kenapa suaminya tidak. Ke mana uang yang selama ini ia punya.?Wanita itu membiarkan suaminya menyelesaikan urusan dengan temannya di depan. Begitu Roy kembali ke dalam, Ruby dengan tiba-tiba menampakkan wujud