Alih-alih ingin bergaya dengan sekawanan Ibu sosialita, Dila justru dikagetkan dengan perangai mereka yang berubah drastis. Berbeda saat bertutur sapa melalui grup. Bahkan, sejak kemarin mereka heboh mengajak Bu Dila agar ikut kumpulan di minggu ini."Apa-apaan ini, Bu?" tanya Bu Dila dengan alis yang menukik tajam. Tentu merasa kaget sekaligus kecewa dengan perilaku member arisan tersebut."Sengaja kami menyuruh ibu untuk datang ke sini. Lebih tepatnya, kami mau mengeksekusi Bu Dila!" ujar ketua perkumpulan tersebut."Maksudnya apa, ya? Saya nggak ngerti." Wanita itu terkesan seperti orang bodoh di tengah keramaian yang ada."Ngaku aja, Bu! Selama ini Ibu sudah bohongi kita semua tentang kekayaan dan pekerjaan anak!" cercah wanita yang satu lagi.Sekujur tubuh Bu Dila menegang. Wajahnya menebal disertai dada yang bergemuruh dahsyat. Bagaimana pula mereka bisa tahu tentang identitas asli Bu Dila, sementara ia telah berusaha menutupinya serapat mungkin."Saya nggak ngerti apa maksudnya
"Apa lihat-lihat!" Seorang lelaki berotot lagi kekar membidik pria bertubuh jenjang dan agak tipis dengan sorot menakutkan. Netranya menyiratkan kemarahan. Tak suka ada yang menganggu ketenangannya.Sosok berwajah manis, tetapi layu itu sontak bergidik. Membayangkan tangan kokoh milik lelaki di depannya menghantam kepala. Pasti langsung jendol. Angga.Ya, dia berhasil mendekam di bui, setelah perbuatan teledornya kala itu.Sudah seminggu berada di balik jeruji besi. Ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan, apalagi dia hidup bersama rekan-rekan yang lebih dulu menginap di sana. Badan mereka besar dengan wajah yang menyeramkan. Selama ini setiap kali Angga melihat ke arah mereka, semua pada heboh. Menyangka, kalau lelaki yang badannya lumayan cungkring itu hendak mencari masalah. Angga membeku. Ia memang nakal, tetapi ternyata kenakalannya tak berarti, saat ia telah berhadapan dengan orang-orang yang jauh lebih ganas. Ia bak anak kucing yang berada di bawah ketiak singa dewasa."Sini!
Tiga hari berlalu.Angga dulu adalah seorang pemuda cerdas yang penuh potensi, bahkan ia pernah menjabat sebagai seorang guru yang diidam-idamkan banyak siswa. Namun, keadaan tak terduga mengubah hidupnya secara drastis. Setelah kehilangan pekerjaannya dan tak memiliki tempat tinggal, dia terpaksa menjalani kehidupan sebagai tukang tipu wanita. Merebut harta banyak perempuan dengan bekal wajah tampan yang ia miliki.Ide gila sahabatnya kemarin berhasil mengeluarkan Angga dari bui. Tak ada yang mengetahui, jika sosok di balik pakaian serba gelap itu adalah dirinya. Entahlah, mungkin saat ini pihak kepolisian sedang geger perkara kaburnya seorang tahanan dari penjara.Namun, Angga harus menerima kenyataan pahit tentang ibunya yang sudah meninggal dunia, sementara adiknya-Ruby hidup sebatang kara. Angga cukup ngilu mengetahui kabar buruk ini. Namun, tak bisa juga menjenguk makam ibunya sekaligus menemui Ruby sang adik. Angga tak boleh berlama-lama ada di kota itu. Doni menyarankannya aga
Tidak tahu kenapa, laki-laki yang satu ini sangat sulit merubah diri. Dia terlampau enak menikmati kejahatan, sampai-sampai lupa, kalau sesungguhnya dia berasal dari keluarga baik-baik dan pernah berlaku apik pula.Sama seperti sebelumnya, Angga mustahil menolak ajakan perkenalan dari seorang wanita, terlebih sosok ini luar biasa cantiknya. Dia mempunyai kulit yang bersih dan harum. Netra bulat dengan bulu mata yang begitu lentik. Sempurna."A- aku takut ngerepotin kamu," tutur Angga berusaha malu-malu. Sebisa mungkin menyembunyikan keinginannya tersebut."Sebenarnya aku yang sudah ngerepotin kamu, Mas. Kamu capek ngejar-ngejar jambret tadi, bahkan mempertaruhkan nyawamu, karena bisa saja para pencopet itu membawa senjata tajam. Jadi, kamu terima makan siang di rumah aku, ya. Kalau kamu nolak, aku tentu sedih banget dan merasa berhutang budi sama kamu."Malu-malu tapi mau. Pada akhirnya Angga menganggukkan kepala dengan senyum nya mengembang di wajah. Dia manggut-manggu, lalu mengikut
"He, korban?" Angga membatin.Kegiatannya tidak berlanjut. Angga masih menanti obrolan selanjutnya dari dua perempuan di sana. Namun, tampaknya pembicaraan itu gagal diteruskan entah sebab apa. Rumah sederhana tersebut seketika bak kosong penghuni.Karena penasaran, Angga pun langsung keluar bilik dan ternyata Nira bersama ibunya masih duduk terpaku di ruang tengah. Angga menyorot mereka penuh tanda tanya, sementara yang ditatap turut membalas pandangannya dengan serupa."Sudah?" Nira bertanya seakan tidak terjadi apa-apa.Pria itu mengangguk ragu. Ingin sekali mempertanyakan maksud obrolan mereka tadi, tetapi Angga masih berpikir, kalau itu ditujukan untuk permasalahan lain dan tidak ada sangkut pautnya dengan diri Angga."Sudah," tutur Angga."Mas, sekiranya kamu mau makan langsung saja ke rumah depan, ya. Pokoknya kamu jangan ragu, apalagi sampai malu." Nira menyampaikan pesan kepada rekan barunya."Terima kasih banyak ya Nira dan ibu. Kalian baik banget sama aku.""Sama-sama, Mas.
Jadilah Angga pulang dalam keadaan bingung. Belum pernah dia bertemu dengan perempuan semisterius Nira, terlebih para tetangga seakan-akan tidak mau membuka kartu wanita tersebut. Entah memang karena ada yang ditutupi, atau justru Nira tidak seburuk yang Angga pikirkan.Tepat pada pukul sembilan malam, Angga kembali berjejak di bangunan luas dan megah tersebut. Keadaan benar-benar hening. Hanya ada detak jarum jam yang menembus telinga.Semula Angga bermaksud untuk menembus pintu belakang rumah guna sampai di kediaman barunya. Namun, seketika langkahnya terhenti, saat sosok gadis berambut hitam mengkilau mencegatnya."Lho, Mas, kamu dari mana? Kayaknya habis dari luar, ya?" Mimik Nira heran."Emang aku habis dari luar. Silaturahmi sama tetangga."Angga dapat melihat dengan jelas ekspresi Nira yang spontan berubah. Matanya melotot diikuti dengan bibir yang perlahan terbuka."Ngapain kamu ke tetangga? Kamu orang baru di sini lho, Mas." Nada bicara wanita itu sedikit meninggi."Ya, justr
Mendengar ucapan perempuan itu, sontak Angga terkejut. Matanya melotot, serta banyak pertanyaan yang singgah di dalam kepalanya. Ada apa dengan perempuan yang ada di depannya ini? Bahkan, Angga belum berbuat apa-apa untuk rencana yang sudah ia susun dengan apik. Rencana yang berisikan cara untuk mendapatkan perempuan tersebut.Akan tetapi, mengapa Nira lebih dulu mengajaknya menikah. Padahal mereka baru saja kenal, ia juga belum banyak menceritakan tentang dirinya kepada Nira, sehingga perempuan itu tidak mengetahui asal usulnya serta dirinya yang tidak punya apa-apa. Bahkan tinggal pun ia menumpang di rumah keluarga Nira.Dengan perasaan grogi dan hati yang menggeletar Angga membalas ucapan Nira. "Maaf, tetapi mengapa kamu mengajak aku menikah? Sedangkan aku tidak mempunyai apa-apa ataupun sesuatu dan berharga. Dan juga, kamu belum mengenal aku sepenuhnya, Nira. Kita juga baru kenal. Lagian, cewek sekaya dan secantik kamu, apa yakin mau menikah sama lelaki bulukan macam aku begini?A
Mendengar jeritan Bu Nuri, Angga menjadi sedikit heran. Namun dia hanya bisa terdiam, sambil sedikit menyengir. Ia sama sekali tidak mengerti dari ucapan spontan wanita paruh baya tersebut."Duh, lagi ngobrolin apa nih, para wanita?”Bu Nuri membalikkan tubuh, tampak senyum-senyum malu, tetapi Angga bisa melihat ekspresi Nira. Ekspresi Nira terlihat sangat panik, berbeda jauh dari Bu Nuri. Bahkan terlihat tangan Nira terkepal dengan kuat, ketika mendengar pertanyaan Angga. "Serius banget nih ngobrolnya," tutur Angga kembali. Ya, Sebenarnya dia memang bermaksud untuk mengulik informasi tentang kata 'korban' tadi."Ah sudahlah, jangan dipikirkan. Ayo kita makan malam. Ibu sudah siapkan semuanya," ujar Bu Nuri, membuat Angga dan Nira mengangguk. "Iya, kita makan malam sekarang. Kamu pasti sudah lapar kan, Mas?" imbuh Nira. Angga kembali menjadi heran, seolah mereka mengalihkan pembicaraan agar Angga tidak bertanya tentang pembicaraan mereka tadi. Mereka pun berjalan bersama menuju me
Pagi ini Angga tidak jadi membuat bakso kuah terbaru karena buku resepnya hilang. Namun, dia masih terus berusaha mencari, kali saja dia salah letak atau entah bagaimana, yang jelas dia masih berharap supaya buku itu lekas ketemu.Berbeda dari kemarin, hari ini bahkan sampai Angga sudah duduk stay di warung depan rumahnya, Ayu tak kunjung datang. Sayangnya Angga tidak mempunyai kontak wanita tersebut. Jadi, dia tak bisa menghubungi."Ke mana Ayu? Tumben lama nggak seperti kemarin," batinnya.Dia pun membereskan warung seorang diri. Mulai dari menata bahan-bahan yang akan dipakai untuk membuat bakso serta mengilap mangkuk-mangkuk supaya lebih kinclong.Anehnya, hingga siang menjelang, Ayu tak kunjung menampakkan batang hidung. Angga sampai berpikir kalau perempuan itu sedang sakit sehingga dia tidak bisa untuk bekerja di hari itu. Angga memaklumi. Dia berjanji akan meminta kontak Ayu setelah perempuan itu masuk nantinya. ***Sayangnya, Apa yang Anda pikirkan tidak sejalan dengan kenya
"Tahu apa, Rin?" Angga membidik wajah lawan bicaranya yang tampak serius.Rina mendekatkan tubuhnya sampai memangkas jarak antar mereka. Angga yang risih sedikit mundur, tetapi Rina malah menariknya. Telinga Angga didekatkan pada bibir Rina."Ternyata orang tuanya Ayu juga sama-sama pedagang bakso kayak kamu, Mas," bisiknya perlahan-lahan.Leher Angga sampai memendek, karena kepalanya tersentak. Dia menjauhi Rina dengan mata yang terbelah lebar."Ah, yang bener kamu? Tadi aja dia bilang, kalau ibu bapaknya seorang petani dan memiliki kebun di desa.""Beneran Mas, aku nggak bohong. Makanya dari awal aku udah curiga sama si Ayu. Kayaknya dia menginginkan sesuatu dari kamu, deh."Saat obrolan mereka belum selesai dan Rina belum menjelaskan lebih lanjut, tiba-tiba saja orang yang diceritakan datang dan langsung mendorong Rina, hingga dia mundur agak jauhan.BRUGH!"Apa maksud kamu, Rin? Kenapa kamu malah ngomong kayak begitu sama Mas Angga? Tahu apa kamu tentang orang tuaku? Orang tuaku u
Panas siang hari ini sepertinya berhasil turun dan mendekam di hati Rina. Perkataan Ayu bagai petir di siang bolong yang menyambar sekujur raganya tanpa ampun.Ayu berucap sedemikian rupa dengan entengnya sambil tersenyum lebar. Sementara Angga di sebelahnya hanya terdiam."A- apa? K- kerja d- di sini?" Rina mengulang ucapan wanita di depannya tersebut."Apa kurang jelas lagi? Mulai besok aku bakal kerja di warung ini. Mas Angga juga udah izinin, kok."Tidak tahu kenapa Rina seakan terganggu oleh Ayu sejak pertemuan mereka kemarin. Dan, saat mengetahui kebenaran ini, perasaannya semakin tak menentu. Ekspresi Rina langsung berubah kecut. Dia memandang Angga dengan penuh beban."Sini, Mas!"Rina cepat-cepat menarik tangan Angga ke sudut warung, agak jauh dari keramaian dan Ayu. Dia akan membuat perhitungan kepada pria tersebut."Kamu kenapa, sih? Kenapa kamu mengizinkan Ayu bekerja di sini, Mas?" tanyanya, suara penuh kekhawatiran.Sementara itu Rina sempat melirik Ayu yang melipat kedu
Hujan mengguyur kota dengan lebatnya pada malam itu. Lampu-lampu padam satu per satu, menyisakan gelap yang pekat menutupi sudut-sudut kota. Di rumah Angga, seorang pedagang bakso, situasi tidak berbeda. Hanya suara gemericik hujan dan sesekali kilat yang menyinari jendela yang menjadi sumber cahaya.Ketukan di pintu depan membuat ia semakin was-was saja. Angga, yang sudah bersiap tidur, terkejut dan bingung. Siapa yang mungkin datang di tengah malam dan dalam cuaca buruk seperti ini?Dengan hati-hati, ia mendekati pintu, membuka kuncinya pelan-pelan. Angga sudah bersiap, jika yang ada di depan pintunya tersebut adalah orang jahat, maupun makhluk tak kasat mata.Pintu pun akhirnya terbuka dan cahaya senter menyilaukan matanya sejenak.Tring!"Mas Angga, maaf mengganggu!"Degh!Suara lembut itu terdengar. Ketika mata Angga menyesuaikan dengan cahaya."Aman," pikirnya lega. Ia membuka matanya selebar mungkin.Terlihatlah Rina, guru SD yang dikenalnya, berdiri basah kuyup sambil membawa
Angga selaku pemilik warung bakso yang ramah dan populer di kalangan penduduk setempat saat ini benar-benar bingung harus memilih makanan yang mana Di samping dia tidak bisa menerima semuanya karena tidak akan muat di perutnya.Sayangnya, Angga juga tidak tega menolak salah satu diantara mereka. Angga menghargai pemberian Ayu dan Rina terhadapnya. "Biar aku bukain langsung, Mas!" tutur Rina Yang Tak sabar menanti keputusan Angga. Dia langsung meletakkan rantang di atas meja dan membongkar wadah tersebut satu persatu."Ah, aku juga!" ujar Ayu yang ternyata masih tidak mau kalah.Kedua perempuan itu berlomba-lomba membuka rantang mereka masing-masing di hadapan Angga. Membuat pria satu itu semakin kewalahan. Dia sedang diperebutkan atau bagaimana?Rina, guru SD yang bertanggung jawab dan penyayang itu ternyata membawa nasi goreng homemade, sementara Ayu yang kabarnya hanya mengikut orang tua dan tidak mempunyai pekerjaan membawa salad buah segar dan tomyam. Semua makanan yang disuguhk
Dalam cuaca yang diselimuti oleh kegelapan, warung bakso Angga masih ramai dengan suara para pembeli yang datang dan pergi. Lampu yang tergantung rendah di warung itu menambah kehangatan suasana di malam yang sejuk ini. Angga, seorang penjual bakso yang dikenal dengan keramahan dan kejujurannya, sibuk melayani setiap pembeli dengan senyuman lebar."Mas, aku tiga bungkus, ya!""Aku satu mangkuk aja makan di sini, Mas!""Mas, saya dulu, dong! Kasihan anak di rumah sudah kelaparan."Cicitan cicitan para pembeli semakin menguar. Angga merasa senang, meski satu sisi dia kelimpungan."Iya, sabar ya semuanya."Saat sedang mengaduk bakso di dalam panci besar, tiba-tiba seorang anak kecil berlari mendekat ke warungnya. Anak itu, dengan napas yang tersengal, mengulurkan sebuah kotak kecil kepada Angga. Terkejut, Angga menurunkan sendok besar dan menerima kotak tersebut."Untuk om," kata si anak kecil dengan senyum yang manis. Jemari mungilnya terulur memanjang."Eh?"Angga menghentikan aktivita
Degh!Angga yang sedang sibuk melayani pembeli di warung baksonya lantas tunggang langgang menghampiri Rina yang telah dihakimi oleh sosok tak dikenal. Nyaris saja Angga terpelanting ke tanah, karena tersandung oleh kakinya sendiri. Dia ingin cepat-cepat sampai di depan sana demi mempertanyakan Apa yang terjadi.Ia melihat seorang ibu-ibu berkaos ungu yang baru saja turun dari motornya dan tampak sangat marah entah sebab apa sambil menuding-nuding Rina. Angga belum bisa mendengar percakapan mereka sepenuhnya. Dia harus lebih cepat sampai ke sana.Tanpa berpikir panjang, Angga bergegas menyelamatkan situasi. Ia meninggalkan warung baksonya dan berlari menghampiri mereka. "Maaf Bu, kenapa ibu malah marah-marahi teman saya? Ada apa ini? Mungkin kita bisa bicarain dengan tenang," titah Angga mencoba meredakan suasana.Namun, ibu itu tak kunjung reda dan terus memarahi Rina, "Kamu ini guru atau apa, tega sekali memarahi anak saya!"Rina dengan nada cemas menjawab, "Maaf Bu, saya enggak pe
Matahari sudah lama terbenam ketika Angga perlahan membuka matanya, kebingungan menyelimutinya saat dia mencoba memahami di mana dia berada. Kepalanya berdenyut dan sinar lampu yang temaram di ruangan itu tidak membantu. Sambil mencoba mengumpulkan kekuatannya, dia menoleh dan terkejut melihat sosok yang duduk dengan tenang di sisi tempat tidurnya."Mas Angga, kamu sudah sadar?" Rina bertanya dengan suara yang penuh kelegaan. Wajah cantiknya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam."Rina?" Angga berkata dengan suara serak, masih mencoba memproses apa yang terjadi. "Ada di mana kita?""Kita di rumah sakit, Mas. Tadi aku mau beli bakso, tapi pas aku mengetuk pintu rumahmu, tidak ada yang menjawab. Aku minta maaf karena sudah lancang masuk rumah kamu tanpa izin, tapi , aku melihat Mas pingsan," jelas Rina dengan detail, matanya tidak lepas dari wajah Angga.Angga berusaha mengingat kejadian sebelumnya, "Aduh, iya. Aku memang merasa pusing banget. Tapi aku nggak menyangka bakalan pingsan.
Beberapa bulan berlalu, lelaki bernama Angga itu kini telah memiliki rumah sendiri dan warung bakso yang berdiri di depan kediamannya. Dia berhasil mengatur hidupnya menjadi insan yang jauh lebih baik. Angga juga masih berusaha untuk menghindari perempuan. Dia masih trauma kejadian bersama Lala dulu terulang kembali. Lagi pula, Angga juga sudah bolak-balik menikah. Angga takut pernikahannya akan gagal lagi dan gagal lagi.Dia tinggal sendiri. Memasak dagangannya seorang diri pula. Sesekali Angga sakit, tetapi dia masih bisa menahan semuanya. Angga lebih bahagia sekarang, meski tak siapapun yang dapat diajak bicara. Terkadang Angga sampai mengobrol dengan tembok mati di kamarnya. Warung bakso Angga selalu dipenuhi pembeli, dari pagi hingga malam, tak pernah sepi. Dia selalu menjaga kualitas dan keramahan dirinya sendiri selaku sang empunya dagang.Suasana hari itu pun tidak berbeda, warungnya penuh sesak dengan pembeli yang antri untuk menikmati bakso buatannya.Di tengah kesibukan it