Jadilah Angga pulang dalam keadaan bingung. Belum pernah dia bertemu dengan perempuan semisterius Nira, terlebih para tetangga seakan-akan tidak mau membuka kartu wanita tersebut. Entah memang karena ada yang ditutupi, atau justru Nira tidak seburuk yang Angga pikirkan.Tepat pada pukul sembilan malam, Angga kembali berjejak di bangunan luas dan megah tersebut. Keadaan benar-benar hening. Hanya ada detak jarum jam yang menembus telinga.Semula Angga bermaksud untuk menembus pintu belakang rumah guna sampai di kediaman barunya. Namun, seketika langkahnya terhenti, saat sosok gadis berambut hitam mengkilau mencegatnya."Lho, Mas, kamu dari mana? Kayaknya habis dari luar, ya?" Mimik Nira heran."Emang aku habis dari luar. Silaturahmi sama tetangga."Angga dapat melihat dengan jelas ekspresi Nira yang spontan berubah. Matanya melotot diikuti dengan bibir yang perlahan terbuka."Ngapain kamu ke tetangga? Kamu orang baru di sini lho, Mas." Nada bicara wanita itu sedikit meninggi."Ya, justr
Mendengar ucapan perempuan itu, sontak Angga terkejut. Matanya melotot, serta banyak pertanyaan yang singgah di dalam kepalanya. Ada apa dengan perempuan yang ada di depannya ini? Bahkan, Angga belum berbuat apa-apa untuk rencana yang sudah ia susun dengan apik. Rencana yang berisikan cara untuk mendapatkan perempuan tersebut.Akan tetapi, mengapa Nira lebih dulu mengajaknya menikah. Padahal mereka baru saja kenal, ia juga belum banyak menceritakan tentang dirinya kepada Nira, sehingga perempuan itu tidak mengetahui asal usulnya serta dirinya yang tidak punya apa-apa. Bahkan tinggal pun ia menumpang di rumah keluarga Nira.Dengan perasaan grogi dan hati yang menggeletar Angga membalas ucapan Nira. "Maaf, tetapi mengapa kamu mengajak aku menikah? Sedangkan aku tidak mempunyai apa-apa ataupun sesuatu dan berharga. Dan juga, kamu belum mengenal aku sepenuhnya, Nira. Kita juga baru kenal. Lagian, cewek sekaya dan secantik kamu, apa yakin mau menikah sama lelaki bulukan macam aku begini?A
Mendengar jeritan Bu Nuri, Angga menjadi sedikit heran. Namun dia hanya bisa terdiam, sambil sedikit menyengir. Ia sama sekali tidak mengerti dari ucapan spontan wanita paruh baya tersebut."Duh, lagi ngobrolin apa nih, para wanita?”Bu Nuri membalikkan tubuh, tampak senyum-senyum malu, tetapi Angga bisa melihat ekspresi Nira. Ekspresi Nira terlihat sangat panik, berbeda jauh dari Bu Nuri. Bahkan terlihat tangan Nira terkepal dengan kuat, ketika mendengar pertanyaan Angga. "Serius banget nih ngobrolnya," tutur Angga kembali. Ya, Sebenarnya dia memang bermaksud untuk mengulik informasi tentang kata 'korban' tadi."Ah sudahlah, jangan dipikirkan. Ayo kita makan malam. Ibu sudah siapkan semuanya," ujar Bu Nuri, membuat Angga dan Nira mengangguk. "Iya, kita makan malam sekarang. Kamu pasti sudah lapar kan, Mas?" imbuh Nira. Angga kembali menjadi heran, seolah mereka mengalihkan pembicaraan agar Angga tidak bertanya tentang pembicaraan mereka tadi. Mereka pun berjalan bersama menuju me
Mendengar perkataan Nira, netra Angga yang semula kriyepan, kini mendadak terang. Menatap wajah Nira yang tampak sangat panik, begitu juga dengan Angga."Apa? Ibu hilang?" tanya Angga memastikan apa yang dia dengar itu benar atau tidak.Nira mengangguk dengan mantap. "Iya mas, Ibu hilang. Aku nggak tahu Ibu pergi ke mana," ujar Nira dengan mata yang berkaca-kaca, hampir ingin menangis.Melihat kondisi Nira, Angga pun menjadi ikut kasihan. Dia mengelus kedua pundak Nira. "Kamu tenang, kita akan mencarinya sekarang."Angga dan Nira pun akhirnya bergegas keluar dari halaman rumah mereka. Keduanya terus berkeliling untuk mencari keberadaan Ibu Nuri.Angga mengendarai mobil dengan kecepatan lamban, sesekali dia berhenti untuk bertanya kepada orang sekitar tentang Ibu dari Nira.Beberapa orang yang masih berjaga di luar, semua menggelengkan kepala. "Apa tadi ibu kamu tidak bilang jika dia mau pergi ke mana?" tanya Angga, memastikannya. Namun, Nira menggelengkan kepalanya dengan mantap."T
Angga terkesiap melihat benda itu. Baju akad siapa ini? Baju ini berada di dalam lemari Nira, tentu saja Angga terkejut dan penasaran. Mengapa bisa ada baju akad ini?"Baju akad? Perasan Nira belum pernah menikah, kecuali sama aku. Lalu, kenapa di sini sudah ada baju akad, mana ini baju khas sunda juga," gumam Angga pada dirinya sendiri, matanya menatap sangat tajam baju akad khas sunda yang ada di dalam lemari itu."Besok aku harus tanyakan ini pada Nira," gumam Angga. Mengapa seolah-olah banyak sekali rahasia yang ada dalam diri Nira. Bahkan, sampai saat ini pun Angga tidak menemukan sesuatu yang mampu membuatnya terkejut. Atau, memang hanya pikirannya saja, ya?Angga pergi untuk melihat-lihat isi lemari Nira yang lain. Ia sangat penasaran dengan kehidupan Nira yang sepertinya sangat enak. Tidak seperti dirinya yang terlampau pahit.“Aku pastikan, aku akan mendapatkan semua yang aku mau,” monolognya. Angga menatap istrinya yang masih saja tertidur lelap. Tidak tahu jika Angga menem
Melihat beberapa obat-obatan yang sama sekali Angga tidak tahu, itu obat apa dan untuk apa. Ia memandang benda itu dengan lama, tangannya bergerak mengambil obat tersebut."Ada apa sebenarnya?" gumam Angga tidak percaya. Matanya mengedar ke arah barang temuan. "Kenapa Nira menyimpan obat sebanyak ini?"Satu persatu Angga mengambil obat-obatan tersebut, namun satu pun dia tidak mengenalnya. Dia menghela nafas, lalu kembali menaruh obat-obatan itu di laci meja.Fyuh...Pikiran Angga benar-benar tidak karuan, obat-obatan yang masih bersih tentunya masih baru. Namun siapa pemilik obat tersebut?"Ini punya Nira atau Ibu Nuri? Cuma ada mereka berdua di rumah ini," ujar Angga, dia benar merasa sangat heran. Namun jika salah satu dari mereka, Angga sama sekali tidak melihat, kalau mereka sakit. Bahkan, keduanya tampak sangat sehat dan bugar seperti orang pada umumnya."Nanti akan aku tanyakan, nggak mungkin jika Nira sakit. Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang loyo," gumam Angga.Angg
Nira menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Angga. Bahkan bibir Angga terasa sangat kaku untuk mengeluarkan suara, dia hanya bisa diam beberapa saat, sebelum akhirnya dia memberanikan diri untuk bertanya kepada Nira."Kenapa bisa ibu kamu itemukan di sungai, Nira? Bukannya jarak sungai di temlat ini cukup jauh?" tanya Angga dengan tangan terus mengelus kepala Nira, berusaha untuk menenangkan diri."Saat polisi sedang melakukan penyelidikan terakhir, polisi mendapatkan informasi dari beberapa warga daerah sebelah, jika ada mayat warga yang mengapung di sana." Nira menjeda ucapannya, dia lalu mengatur nafasnya agar bisa lebih leluasa bercerita kepada Angga.Angga sesekali mengusap air mata Nira, yang berjatuhan membasahi wajahnya."Lalu bagaimana?""Polisi pun melakukan penyelidikan, hasil dari informasi jika itu memang ibuku yang meninggal dan mengapung di sungai. Warga mengira itu adalah orang gila, karena tidak ada yang tahu identitas Ibu, Mas," sambung Nira.Angga menjadi sangat k
Mendengar pertanyaan dari Angga, Nira dengan cepat merubah ekspresi kagetnya. Dia menggelengkan kepalanya, menatap Angga dengan sorot heran."Aku sama sekali tidak sakit, Mas. Cuma aku sesekali aku merasa pusing," ujar Nira, sembari merebahkan tubuhnya di atas kasur bersiap diri untuk tidur.Angga terdiam sejenak, mendengar jawaban dari Nira. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas?" tanya Nira.Angga dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku takut saja jika nanti kamu sakit tapi tidak memberitahuku," elak Angga.Angga tidak mungkin memberitahu tentang ucapannya bersama dengan tetangga lain, walau Angga tidak percaya dengan jawaban dari Nira.Nira menghela nafasnya dengan pasrah, membelakangi Angga untuk segera tidur. "Tidurlah, Mas. Sudah malam, jangan membahas yang tidak mungkin terjadi," ujar Nira."Aku juga sudah lelah, aku tidak mau lagi membahas apa pun. Tidur Mas, besok aku harus ke kebun lagi," ujar Nira.Angga pun hanya bisa terdiam, Nira sengaja mengalihkan pembicaraa