Mendengar perkataan Nira, netra Angga yang semula kriyepan, kini mendadak terang. Menatap wajah Nira yang tampak sangat panik, begitu juga dengan Angga."Apa? Ibu hilang?" tanya Angga memastikan apa yang dia dengar itu benar atau tidak.Nira mengangguk dengan mantap. "Iya mas, Ibu hilang. Aku nggak tahu Ibu pergi ke mana," ujar Nira dengan mata yang berkaca-kaca, hampir ingin menangis.Melihat kondisi Nira, Angga pun menjadi ikut kasihan. Dia mengelus kedua pundak Nira. "Kamu tenang, kita akan mencarinya sekarang."Angga dan Nira pun akhirnya bergegas keluar dari halaman rumah mereka. Keduanya terus berkeliling untuk mencari keberadaan Ibu Nuri.Angga mengendarai mobil dengan kecepatan lamban, sesekali dia berhenti untuk bertanya kepada orang sekitar tentang Ibu dari Nira.Beberapa orang yang masih berjaga di luar, semua menggelengkan kepala. "Apa tadi ibu kamu tidak bilang jika dia mau pergi ke mana?" tanya Angga, memastikannya. Namun, Nira menggelengkan kepalanya dengan mantap."T
Angga terkesiap melihat benda itu. Baju akad siapa ini? Baju ini berada di dalam lemari Nira, tentu saja Angga terkejut dan penasaran. Mengapa bisa ada baju akad ini?"Baju akad? Perasan Nira belum pernah menikah, kecuali sama aku. Lalu, kenapa di sini sudah ada baju akad, mana ini baju khas sunda juga," gumam Angga pada dirinya sendiri, matanya menatap sangat tajam baju akad khas sunda yang ada di dalam lemari itu."Besok aku harus tanyakan ini pada Nira," gumam Angga. Mengapa seolah-olah banyak sekali rahasia yang ada dalam diri Nira. Bahkan, sampai saat ini pun Angga tidak menemukan sesuatu yang mampu membuatnya terkejut. Atau, memang hanya pikirannya saja, ya?Angga pergi untuk melihat-lihat isi lemari Nira yang lain. Ia sangat penasaran dengan kehidupan Nira yang sepertinya sangat enak. Tidak seperti dirinya yang terlampau pahit.“Aku pastikan, aku akan mendapatkan semua yang aku mau,” monolognya. Angga menatap istrinya yang masih saja tertidur lelap. Tidak tahu jika Angga menem
Melihat beberapa obat-obatan yang sama sekali Angga tidak tahu, itu obat apa dan untuk apa. Ia memandang benda itu dengan lama, tangannya bergerak mengambil obat tersebut."Ada apa sebenarnya?" gumam Angga tidak percaya. Matanya mengedar ke arah barang temuan. "Kenapa Nira menyimpan obat sebanyak ini?"Satu persatu Angga mengambil obat-obatan tersebut, namun satu pun dia tidak mengenalnya. Dia menghela nafas, lalu kembali menaruh obat-obatan itu di laci meja.Fyuh...Pikiran Angga benar-benar tidak karuan, obat-obatan yang masih bersih tentunya masih baru. Namun siapa pemilik obat tersebut?"Ini punya Nira atau Ibu Nuri? Cuma ada mereka berdua di rumah ini," ujar Angga, dia benar merasa sangat heran. Namun jika salah satu dari mereka, Angga sama sekali tidak melihat, kalau mereka sakit. Bahkan, keduanya tampak sangat sehat dan bugar seperti orang pada umumnya."Nanti akan aku tanyakan, nggak mungkin jika Nira sakit. Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang loyo," gumam Angga.Angg
Nira menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Angga. Bahkan bibir Angga terasa sangat kaku untuk mengeluarkan suara, dia hanya bisa diam beberapa saat, sebelum akhirnya dia memberanikan diri untuk bertanya kepada Nira."Kenapa bisa ibu kamu itemukan di sungai, Nira? Bukannya jarak sungai di temlat ini cukup jauh?" tanya Angga dengan tangan terus mengelus kepala Nira, berusaha untuk menenangkan diri."Saat polisi sedang melakukan penyelidikan terakhir, polisi mendapatkan informasi dari beberapa warga daerah sebelah, jika ada mayat warga yang mengapung di sana." Nira menjeda ucapannya, dia lalu mengatur nafasnya agar bisa lebih leluasa bercerita kepada Angga.Angga sesekali mengusap air mata Nira, yang berjatuhan membasahi wajahnya."Lalu bagaimana?""Polisi pun melakukan penyelidikan, hasil dari informasi jika itu memang ibuku yang meninggal dan mengapung di sungai. Warga mengira itu adalah orang gila, karena tidak ada yang tahu identitas Ibu, Mas," sambung Nira.Angga menjadi sangat k
Mendengar pertanyaan dari Angga, Nira dengan cepat merubah ekspresi kagetnya. Dia menggelengkan kepalanya, menatap Angga dengan sorot heran."Aku sama sekali tidak sakit, Mas. Cuma aku sesekali aku merasa pusing," ujar Nira, sembari merebahkan tubuhnya di atas kasur bersiap diri untuk tidur.Angga terdiam sejenak, mendengar jawaban dari Nira. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas?" tanya Nira.Angga dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku takut saja jika nanti kamu sakit tapi tidak memberitahuku," elak Angga.Angga tidak mungkin memberitahu tentang ucapannya bersama dengan tetangga lain, walau Angga tidak percaya dengan jawaban dari Nira.Nira menghela nafasnya dengan pasrah, membelakangi Angga untuk segera tidur. "Tidurlah, Mas. Sudah malam, jangan membahas yang tidak mungkin terjadi," ujar Nira."Aku juga sudah lelah, aku tidak mau lagi membahas apa pun. Tidur Mas, besok aku harus ke kebun lagi," ujar Nira.Angga pun hanya bisa terdiam, Nira sengaja mengalihkan pembicaraa
Melihat itu semua, membuat Angga menjadi semakin curiga, kalau istrinya mempunyai penyakit yang memang sengaja disembunyikan dari dirinya. Sejujurnya, Angga terkejut. Ia tidak menyangka kala ucapan tetangganya itu benar. Ia mengira tetangganya hanya tidak suka pada Nira, sehingga berbicara buruk tentang perempuan itu.Sudah beberapa kali Angga juga menciduk hal yang tidak baik, namun kini akhirnya ini adalah hal yang paling tepat untuk dia lakukan.Angga harus memastikan sendiri penyakit apa yang diderita oleh Nira. Setelah Nira menjauh, Angga langsung masuk ke ruangan dokter tanpa menghiraukan banyak orang yang sedang mengantre, membuat mereka mencibir dirinya."Hei, mengantrelah dahulu, jangan seperti itu!" ucap salah satu dari mereka yang sedang mengantre ketika melihat Angga dengan seenaknya masuk."Kamu tahu kata mengantre bukan? Ini bukan rumah milikmu." ujar yang lain pula.Namun Angga tidak mendengarkan apa yang mereka bicarakan, ia tetap masuk dan langsung berhadapan dengan s
Angga...Maafkan Ibu ya, Nak.Ibu nggak bisa menghalau Nira untuk menikahi kamu.Ibu sampai bertengkar dengan dia dan pergi dari rumah ini.Sebenarnya, Nira itu punya penyakit Klamidia. Dia juga sudah menikah sebanyak 5 kali. Dan, setiap lelaki yang menikah dengannya pasti berujung mati, karena tertular penyakitnya itu.Ibu minta maaf, karena nggak bisa jujur sama kamu sejak awal, karena pergerakan ibu selalu dipantau oleh Nira.Ibu harap kamu bisa segera pergi dan menjauh dari anak ibu, sebelum kamu bernasib sama dengan mantan suami Nira yang lainnya.Degh!Tubuh Angga membeku seketika, membaca surat yang diberikan oleh Almarhum Ibu Nuri melalui pria tadi. Tangannya bergetar hebat, seketika surat tersebut jatuh ke lantai."Berarti pakaian akad yang di lemari itu milik Nira dengan mantan suaminya?" Angga menggelengkan kepalanya tidak percaya, dia mengusap wajahnya dengan kasar. Dia benar-benar bodoh tidak paham dengan situasi yang ada.Angga terlalu cepat percaya kepada Nira, dan Angg
Nira menatap suaminya yang membawa tas, membuat ia heran. Apalagi tas itu seperti berisi banyak barang, untuk apa Angga membawa tas malam-malam begini? Bahkan, ekspresi Angga terlihat kaget, ketika ada Nira yang tiba-tiba di belakangnya."Mas, kenapa kamu bawa tas begini? Dan, kamu mau pergi ke mana?" tanya Nira bertubi-tubi. Menatap suaminya-Angga yang sudah bersiap-siap entah hendak berlayar ke mana.Angga tidak menjawab, ia masih membatu kala aksinya ketahuan oleh Nira. Tetapi, untungnya perempuan itu tidak tahu tujuannya. Yang harus ia lakukan adalah untuk bereaksi dan berekspresi seperti biasa saja agar perempuan itu tidak curiga. "Aish! Aku harus mencari cara agar Nira bisa percaya, kenapa bisa malah tertangkap basah seperti ini, sih!" batin Angga terus berteriak. Dia harus mencari alasan yang pasti sebelum Nira mengetahui tujuan sebenarnya dari Angga.Akan tetapi, rasa gugup menyerang dirinya. Angga hampir saja tidak bisa menyembunyikan rasa itu. Ia berusaha tersenyum seperti
Pagi ini Angga tidak jadi membuat bakso kuah terbaru karena buku resepnya hilang. Namun, dia masih terus berusaha mencari, kali saja dia salah letak atau entah bagaimana, yang jelas dia masih berharap supaya buku itu lekas ketemu.Berbeda dari kemarin, hari ini bahkan sampai Angga sudah duduk stay di warung depan rumahnya, Ayu tak kunjung datang. Sayangnya Angga tidak mempunyai kontak wanita tersebut. Jadi, dia tak bisa menghubungi."Ke mana Ayu? Tumben lama nggak seperti kemarin," batinnya.Dia pun membereskan warung seorang diri. Mulai dari menata bahan-bahan yang akan dipakai untuk membuat bakso serta mengilap mangkuk-mangkuk supaya lebih kinclong.Anehnya, hingga siang menjelang, Ayu tak kunjung menampakkan batang hidung. Angga sampai berpikir kalau perempuan itu sedang sakit sehingga dia tidak bisa untuk bekerja di hari itu. Angga memaklumi. Dia berjanji akan meminta kontak Ayu setelah perempuan itu masuk nantinya. ***Sayangnya, Apa yang Anda pikirkan tidak sejalan dengan kenya
"Tahu apa, Rin?" Angga membidik wajah lawan bicaranya yang tampak serius.Rina mendekatkan tubuhnya sampai memangkas jarak antar mereka. Angga yang risih sedikit mundur, tetapi Rina malah menariknya. Telinga Angga didekatkan pada bibir Rina."Ternyata orang tuanya Ayu juga sama-sama pedagang bakso kayak kamu, Mas," bisiknya perlahan-lahan.Leher Angga sampai memendek, karena kepalanya tersentak. Dia menjauhi Rina dengan mata yang terbelah lebar."Ah, yang bener kamu? Tadi aja dia bilang, kalau ibu bapaknya seorang petani dan memiliki kebun di desa.""Beneran Mas, aku nggak bohong. Makanya dari awal aku udah curiga sama si Ayu. Kayaknya dia menginginkan sesuatu dari kamu, deh."Saat obrolan mereka belum selesai dan Rina belum menjelaskan lebih lanjut, tiba-tiba saja orang yang diceritakan datang dan langsung mendorong Rina, hingga dia mundur agak jauhan.BRUGH!"Apa maksud kamu, Rin? Kenapa kamu malah ngomong kayak begitu sama Mas Angga? Tahu apa kamu tentang orang tuaku? Orang tuaku u
Panas siang hari ini sepertinya berhasil turun dan mendekam di hati Rina. Perkataan Ayu bagai petir di siang bolong yang menyambar sekujur raganya tanpa ampun.Ayu berucap sedemikian rupa dengan entengnya sambil tersenyum lebar. Sementara Angga di sebelahnya hanya terdiam."A- apa? K- kerja d- di sini?" Rina mengulang ucapan wanita di depannya tersebut."Apa kurang jelas lagi? Mulai besok aku bakal kerja di warung ini. Mas Angga juga udah izinin, kok."Tidak tahu kenapa Rina seakan terganggu oleh Ayu sejak pertemuan mereka kemarin. Dan, saat mengetahui kebenaran ini, perasaannya semakin tak menentu. Ekspresi Rina langsung berubah kecut. Dia memandang Angga dengan penuh beban."Sini, Mas!"Rina cepat-cepat menarik tangan Angga ke sudut warung, agak jauh dari keramaian dan Ayu. Dia akan membuat perhitungan kepada pria tersebut."Kamu kenapa, sih? Kenapa kamu mengizinkan Ayu bekerja di sini, Mas?" tanyanya, suara penuh kekhawatiran.Sementara itu Rina sempat melirik Ayu yang melipat kedu
Hujan mengguyur kota dengan lebatnya pada malam itu. Lampu-lampu padam satu per satu, menyisakan gelap yang pekat menutupi sudut-sudut kota. Di rumah Angga, seorang pedagang bakso, situasi tidak berbeda. Hanya suara gemericik hujan dan sesekali kilat yang menyinari jendela yang menjadi sumber cahaya.Ketukan di pintu depan membuat ia semakin was-was saja. Angga, yang sudah bersiap tidur, terkejut dan bingung. Siapa yang mungkin datang di tengah malam dan dalam cuaca buruk seperti ini?Dengan hati-hati, ia mendekati pintu, membuka kuncinya pelan-pelan. Angga sudah bersiap, jika yang ada di depan pintunya tersebut adalah orang jahat, maupun makhluk tak kasat mata.Pintu pun akhirnya terbuka dan cahaya senter menyilaukan matanya sejenak.Tring!"Mas Angga, maaf mengganggu!"Degh!Suara lembut itu terdengar. Ketika mata Angga menyesuaikan dengan cahaya."Aman," pikirnya lega. Ia membuka matanya selebar mungkin.Terlihatlah Rina, guru SD yang dikenalnya, berdiri basah kuyup sambil membawa
Angga selaku pemilik warung bakso yang ramah dan populer di kalangan penduduk setempat saat ini benar-benar bingung harus memilih makanan yang mana Di samping dia tidak bisa menerima semuanya karena tidak akan muat di perutnya.Sayangnya, Angga juga tidak tega menolak salah satu diantara mereka. Angga menghargai pemberian Ayu dan Rina terhadapnya. "Biar aku bukain langsung, Mas!" tutur Rina Yang Tak sabar menanti keputusan Angga. Dia langsung meletakkan rantang di atas meja dan membongkar wadah tersebut satu persatu."Ah, aku juga!" ujar Ayu yang ternyata masih tidak mau kalah.Kedua perempuan itu berlomba-lomba membuka rantang mereka masing-masing di hadapan Angga. Membuat pria satu itu semakin kewalahan. Dia sedang diperebutkan atau bagaimana?Rina, guru SD yang bertanggung jawab dan penyayang itu ternyata membawa nasi goreng homemade, sementara Ayu yang kabarnya hanya mengikut orang tua dan tidak mempunyai pekerjaan membawa salad buah segar dan tomyam. Semua makanan yang disuguhk
Dalam cuaca yang diselimuti oleh kegelapan, warung bakso Angga masih ramai dengan suara para pembeli yang datang dan pergi. Lampu yang tergantung rendah di warung itu menambah kehangatan suasana di malam yang sejuk ini. Angga, seorang penjual bakso yang dikenal dengan keramahan dan kejujurannya, sibuk melayani setiap pembeli dengan senyuman lebar."Mas, aku tiga bungkus, ya!""Aku satu mangkuk aja makan di sini, Mas!""Mas, saya dulu, dong! Kasihan anak di rumah sudah kelaparan."Cicitan cicitan para pembeli semakin menguar. Angga merasa senang, meski satu sisi dia kelimpungan."Iya, sabar ya semuanya."Saat sedang mengaduk bakso di dalam panci besar, tiba-tiba seorang anak kecil berlari mendekat ke warungnya. Anak itu, dengan napas yang tersengal, mengulurkan sebuah kotak kecil kepada Angga. Terkejut, Angga menurunkan sendok besar dan menerima kotak tersebut."Untuk om," kata si anak kecil dengan senyum yang manis. Jemari mungilnya terulur memanjang."Eh?"Angga menghentikan aktivita
Degh!Angga yang sedang sibuk melayani pembeli di warung baksonya lantas tunggang langgang menghampiri Rina yang telah dihakimi oleh sosok tak dikenal. Nyaris saja Angga terpelanting ke tanah, karena tersandung oleh kakinya sendiri. Dia ingin cepat-cepat sampai di depan sana demi mempertanyakan Apa yang terjadi.Ia melihat seorang ibu-ibu berkaos ungu yang baru saja turun dari motornya dan tampak sangat marah entah sebab apa sambil menuding-nuding Rina. Angga belum bisa mendengar percakapan mereka sepenuhnya. Dia harus lebih cepat sampai ke sana.Tanpa berpikir panjang, Angga bergegas menyelamatkan situasi. Ia meninggalkan warung baksonya dan berlari menghampiri mereka. "Maaf Bu, kenapa ibu malah marah-marahi teman saya? Ada apa ini? Mungkin kita bisa bicarain dengan tenang," titah Angga mencoba meredakan suasana.Namun, ibu itu tak kunjung reda dan terus memarahi Rina, "Kamu ini guru atau apa, tega sekali memarahi anak saya!"Rina dengan nada cemas menjawab, "Maaf Bu, saya enggak pe
Matahari sudah lama terbenam ketika Angga perlahan membuka matanya, kebingungan menyelimutinya saat dia mencoba memahami di mana dia berada. Kepalanya berdenyut dan sinar lampu yang temaram di ruangan itu tidak membantu. Sambil mencoba mengumpulkan kekuatannya, dia menoleh dan terkejut melihat sosok yang duduk dengan tenang di sisi tempat tidurnya."Mas Angga, kamu sudah sadar?" Rina bertanya dengan suara yang penuh kelegaan. Wajah cantiknya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam."Rina?" Angga berkata dengan suara serak, masih mencoba memproses apa yang terjadi. "Ada di mana kita?""Kita di rumah sakit, Mas. Tadi aku mau beli bakso, tapi pas aku mengetuk pintu rumahmu, tidak ada yang menjawab. Aku minta maaf karena sudah lancang masuk rumah kamu tanpa izin, tapi , aku melihat Mas pingsan," jelas Rina dengan detail, matanya tidak lepas dari wajah Angga.Angga berusaha mengingat kejadian sebelumnya, "Aduh, iya. Aku memang merasa pusing banget. Tapi aku nggak menyangka bakalan pingsan.
Beberapa bulan berlalu, lelaki bernama Angga itu kini telah memiliki rumah sendiri dan warung bakso yang berdiri di depan kediamannya. Dia berhasil mengatur hidupnya menjadi insan yang jauh lebih baik. Angga juga masih berusaha untuk menghindari perempuan. Dia masih trauma kejadian bersama Lala dulu terulang kembali. Lagi pula, Angga juga sudah bolak-balik menikah. Angga takut pernikahannya akan gagal lagi dan gagal lagi.Dia tinggal sendiri. Memasak dagangannya seorang diri pula. Sesekali Angga sakit, tetapi dia masih bisa menahan semuanya. Angga lebih bahagia sekarang, meski tak siapapun yang dapat diajak bicara. Terkadang Angga sampai mengobrol dengan tembok mati di kamarnya. Warung bakso Angga selalu dipenuhi pembeli, dari pagi hingga malam, tak pernah sepi. Dia selalu menjaga kualitas dan keramahan dirinya sendiri selaku sang empunya dagang.Suasana hari itu pun tidak berbeda, warungnya penuh sesak dengan pembeli yang antri untuk menikmati bakso buatannya.Di tengah kesibukan it