Mahesa akhirnya berangkat ke Papua. Hatinya sungguh pilu, meninggalkan Lila bersama keluarga Amran. Mereka bisa dipercaya tetapi sebagai orangtua tunggal, ia sedih harus meninggalkan Lila seorang diri.Namun, sumpahnya sebagai seorang anggota yang harus mengutamakan tugas, disitulah ia harus memilih. Dan pilihan menjadi anggota sejati, membuatnya yakin jika Lila akan menjadi anak yang membanggakan saat ia dewasa.Di dalam pesawat, ia termenung. Tak sadar mata Mahesa mengalir, ia pun berusaha menyeka. Mahesa harus menguatkan hatinya, agar Lila pun kuat berpisah sementara waktu.Tanpa sadar, seorang kawan seperjuangannya melihat sang komandan menyeka air matanya."Ini pasti berat, tetapi saya yakin komandan sanggup melewati semua ini." Anak buah Mahesa itu memberinya semangat."Thanks!" ucapnya getir, berusaha tersenyum.Mahesa akhirnya menatap masa depannya berusaha tersenyum. Ia yakin, suatu saat nanti kebahagiaan itu bisa diraihnya kembali.----Akhirnya ....Mahesa dan rombongan sam
YakuhimoMahesa mulai membaik. Kondisi fisiknya perlahan sembuh. Namun, ingatannya belum juga pulih setelah beberapa bulan mengalami amnesia. Kini, ia bekerja di kebun membantu kepala suku, Pak Jo.Mahesa kini mulai beradaptasi dengan lingkungan barunya. Bersyukur, Mahesa diterima dengan sangat baik di sana. Hingga suatu malam, ia merasakan sakit kepala yang hebat. Ia mencoba mengingat sebuah bayangan yang berkecamuk."Siapa dia? Anak siapa itu?" teriak Mahesa menahan sakitnya.Pak Jo yang mendengar teriakan itu akhirnya bergegas menemui Lucky. Ia bingung, sakit apa yang tengah dirasakan anggota polri itu."Hei, kau kenapa?" tanya Pak Jo."Sak-it, Pak," teriak Mahesa.Pak Jo yang panik akhirnya membawa Mahesa ke rumah Pak Brano. Ia khawatir terjadi sesuatu pada Lucky —nama pemberian Pak Jo.Sesampainya di rumah Pak Brano, Lucky alias Mahesa segera ditangani. Sejenak ia pun beristirahat. Baru beberapa menit, ia kembali mengigau, hingga Mahesa pun dibangunkan."Nak, kenapa denganmu?" ta
Amran akhirnya memesan dua buah tiket dewasa untuk dirinya dan Mahesa. Ia juga akan membawa Lila berangkat menuju Batam. Demi memenuhi permintaan sahabatnya itu, Amran pun setuju. Ia ingin Lila mengenal sosok mama yang telah melahirkannya.Hari keberangkatanSiang ini, Mahesa dan Amran menuju bandara. Mereka akan berangkat menuju Batam. Saat pesawat datang dan para penumpang menaiki pesawat, Lila mengatakan sesuatu yang sungguh miris. Ah, seorang Amran yang keras pun terenyuh. Lelaki bertubuh tinggi besar dan perawakan tegas seperti orang Medan pada umumnya, menahan tangisnya. Ia tak ingin Lila menjadi lelaki lemah."Papi, kenapa Mama Indhira tidak mengajakku tinggal di Batam? Kenapa aku harus tinggal dengan Mami Ranti?" tanya Lila polos."Mama Indhira harus bekerja di sana." Mahesa berusaha memberikan nilai baik pada sang putri."Tapi dia sayang sama aku?" tanya Lila."Sayang banget sama Lila!""Kalau sayang, kenapa ninggalin aku sama Mami?" cecar Lila.Mahesa dan Amran terdiam, hany
Kecelakaan itu tak terelakkan. Bentuk kekecewaan seorang putri yang belum genap berusia 4 tahun membuat kedua orangtuanya mengalami dilema.Sesampainya di rumah sakit, Indhira yang menggendong Lila segera membawa ke UGD. Mahesa pun langsung ditangani dokter jaga. Ketiga orang yang sangat menyayangi Lila pun menunggu dengan cemas."Ini semua gara-gara kamu, indi! Andai kamu tidak bersikap egois dari dulu, anak itu tidak akan seperti ini." Amran memaki Indhira. Ia memang sangat menyayangi Lila layaknya anaknya sendiri."Am, sudahlah. Sekarang kita fokus ke Lila saja," ujar Mahesa membela mantan istrinya itu."Nggak, Mahesa. Memang betul kata Amran, ini semua salahku." Indhira menunduk lemah. Airmatanya pun tanpa sadar jatuh.Berjam-jam mereka menunggu, dokter belum juga keluar. Entah apa yang sedang terjadi di dalam sana. Tiba-tiba, dokter yang menangani Lila pun keluar bersama seorang perawat."Gimana, Dok?""Anak Ibu dan Bapak hanya butuh istirahat. Dia syok saja. Tadi lukanya sudah
Setelah perbincangan siang itu Indhira dan Sasongko bersama Lila akhirnya pergi menemui Mahesa dan Amran di hotel tempat mereka menginap.Saat di depan pintu kamar Mahesa. Indhira sempat berhenti sejenak. Ia sesungguhnya ragu mempertemukan Sasongko dengan mantan suaminya itu. Sasongko pun mempertanyakan mengapa istri yang dinikahinya secara siri itu terdiam."Indi, kamu kenapa?" tanya Sasongko."Eng-gak apa, Mas."Pintu pun diketuk IndhiraTernyata Mahesa yang membuka pintu, Lila pun memeluk ayahnya itu dengan sangat erat. Setelah beberapa hari tak bertemu, ia pun pasti merasakan rindu."Yah, papi ke mana?""Papi sedang keluar cari makan," ujar Mahesa menatap tajam ke arah lelaki yang pernah sangat dikenalnya.Sasongko dan Mahesa saling menatap, netra mereka begitu tajam. Tersirat ada dendam kebencjan di mata Mahesa pada lelaki paruh baya itu. Indhira pun heran dengan tatapan mata lelaki yang masih dicintainya itu."Mas Mahesa, boleh kami masuk?" tanya Indhira yang heran dengan sikap
Mahesa belum genap berusia 12 tahun saat tragedi itu terjadi. Ya, sebuah pengkhianatan yang meluluh lantakkan rumah tangganya. Semua bermula dari kerjasama yang dilakukan Pak Sastrawijaya -- Ayah Mahesa dengan sahabat baiknya bernama Pak Sasongko.Sebuah mega proyek bernilai lebih dari 150M sedang dirancang oleh keduanya. Akan ada banyak keuntungan diraih. Semua telah diagunkan Pak Sastrawijaya demi mega proyek ini. Ia berharap, setelah semuanya selesai, ia akan dapat membesarkan perusahaan yang telah dirintisnya sejak nol.Nasib naasPak Sasongko gelap mata. Ia melakukan kecurangan besar, hingga akhirnya perusahaan Ayah Mahesa itu bangkrut. Semua aset disita oleh bank. Rumah, mobil, termasuk perusahaan yang dirintisnya berpindah menjadi milik Sasongko, demi menutupi utang Sastrawijaya.Kegagalan mega proyek atas pengkhianatan sang sahabat membuat Pak Sastrawijya mengalami syok hebat. Ia hancur, sehancur-hancurnya. Perusahaan kebanggaannya kini raib, begitupun Ibu Andrea, istrinya yan
Mahesa akhirnya tumbuh dalam luka. Ya. luka akibat kepergian ibunya demi menikahi seorang sahabat ayahnya sendiri. Mahesa tidak dendam. Ia tidak membenci ibunya, tapi Mahesa hanya membenci takdir.Ya, Mahesa membenci takdir. Takdir yang membuatnya terpisah dari sang ibu dan ayahnya yang haru terbaring di atas tempat tidur.Setelah pertemuannya dengan ayah angkatnya -Pak Ryanto, hidup Mahesa dan ayahnya mulai berubah. Mahesa tidak perlu lagi bekerja banting tulang untuk membiayai pengobatan ayahnya dan kebutuhannya sehari-hari. Pak Ryanto telah menanggung semuanya.Waktu berjalan sangat cepat. Mahesa telah tumbuh menjadi remaja yang pintar, bukan hanya sukses meraih prestasi akademiknya, tapi juga non-akademiknya."Mahesa, apa.rencanamu selanjutnya?" tanya Pak Ryanto saat kelulusan SMA.Mahesa pun dengan lantang berucap,"Saya ingin menjadi seorang polisi, Pa!""Polisi?""Apa hebatnya Mahesa? Papa bisa sekolahkan kamu ke manapun. Kuliah bisnis, kedokteran atau apapun. Yang penting kamu
"Restu Allah, tergantung restu orangtua."Oma mendatangi kamar Amaliya yang belum juga keluar kamar dan ikut sarapan bersama, seperti kebiasaannya. Saat pintu terbuka, Oma Siska pun kaget mendapati sang cucu sudah tidak ada di kamarnya."Kok tumben, Amaliya tidak pamitan dan cium aku dulu?" gumam Oma.Oma pun mengingat perkataan sang anak semalam saat menolak lamaran Mihran. Ia takut, jika sang cucu nekat pergi bersama Mihran. Dan benar saja, saat melihat lemari Amaliya kosong tanpa satu pun pakaiannya tertinggal, membuat Ibu Siska murka.Ibu Siska pun berteriak dengan keras, memanggil nama putra tunggalnya itu agar segera menghampirinya di dalam kamar Amaliya."Ada apa sih, Bu?" ujar Taher kebingungan melihat netra Bu Siska yang sudah menangis."Ini semua gara-gara kamu! Amaliya pergi meninggalkan rumah. Dia pasti nekat kawin lari! Gara-gara kamu cucu kesayanganku pergi meninggalkanku!" hardik Bu Siska."Kawin lari?" lirih Mama Amaliya."Ini semua gara-gara Mihran. Kurang ajar! Beran