Ana menatap ponsel di tangannya dengan tatapan menerawang. Ibu jarinya menekan tombol menu, kemudian kembali, lalu ke menu lagi dan begitu seterusnya. Sudah seminggu berlalu setelah peristiwa di tempat parkir dan sudah seminggu pula Ana harus bertahan dengan ponsel jadul milik Ally, ponsel keluaran lama yang hanya bisa dia gunakan untuk telepon dan mengirim pesan.
Ana tidak memberitahu orang tuanya tentang kejadian seminggu yang lalu. Lagi pula dia tidak apa-apa, tidak ada luka di tubuhnya. Hanya rasa terkejut, itu saja. Ana meletakkan ponselnya dan mengeluarkan kartu nama milik Davin dari tasnya. Dia masih bingung, apa dia harus menghubungi pria itu terlebih dahulu? Ana merebahkan tubuhnya di atas kasur saat tidak menemukan jawaban yang tepat. Ditatapnya lagi kartu nama yang bertuliskan nama lengkap bertinta emas itu. Entah kenapa Ana bergerak mencium kartu nama itu dan benar saja, harum.
Ana meringis dan membolak-balikan kartu nama itu dengan dahi yang berkerut. Kartu nama saja bisa elegan seperti ini. Ana tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan pria itu setiap harinya.
***
Entah kenapa gedung tinggi di hadapan Ana saat ini membuatnya gugup. Dia tidak tahu kenapa tiba-tiba bisa seperti ini, padahal tujuannya hanya akan meminta ponsel baru dan selesai. Ana tidak akan berhubungan lagi dengan pria itu. Setelah berdiri cukup lama, akhirnya Ana memutuskan untuk masuk.
Dilihatnya penampilan para karyawan yang berlalu lalang dengan teliti. Mereka semua tampak elegan dan mewah. Seolah berseragam, mereka kompak mengenakan pakaian berwarna hitam, abu-abu, dan putih. Sedikit kaku, tapi setelah mengingat jika pemimpinnya sendiri juga kaku maka Ana tidak akan heran. Mungkin itu sudah peraturan yang ditetapkan. Setelah puas melihat penampilan para karyawan, Ana melihat penampilannya sendiri. Dia meringis begitu menyadari kekonyolannya. Sweatshirt maroon kebesaran sebagai atasan dan celana jeans hitam sebagai bawahan, serta sepatu converse yang sudah kotor tentu tidak menunjukan kesan formal sedikitpun. Dia tampak asing di tempat ini. Tidak terlalu memikirkan penampilannya, akhirnya Ana memilih untuk langsung ke resepsionis. Dia harus kembali fokus dengan tujuan awalnya untuk menemui Davin.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis ramah.
"Bisa bertemu dengan Pak Davinno?" Seketika ekspresi ramah resepsionis itu tergantikan dengan raut wajah bingugnya.
"Apa sudah membuat janji sebelumnya?" Perubahan itu membuat Ana mengerutkan keningnya bingung. Dia sedikit kesal dengan tingkah resepsionis yang menatapnya dengan pandangan remeh seperti itu.
"Belum, Mbak."
"Kalau belum buat janji nggak bisa ketemu, Dek. Pak Vinno juga sedang sibuk, jadi harus buat janji dulu." Ana menghembuskan napasnya kasar mendengar itu. Tanpa diberi tahu dia juga tahu jika Davin adalah orang yang sibuk.
"Tapi Pak Davinno sendiri yang minta saya buat datang."
"Tetap nggak bisa, harus buat janji dulu." Wanita itu kembali bekerja dan Ana hanya bisa diam, "Kalau sudah tidak ada keperluan, saya harus kembali bekerja."
Ana terkejut mendengar itu. Wanita itu sudah jelas mengusirnya secara halus. Dengan perasaan kesal, Ana mulai berlalu pergi, "Dasar tante medusa!" rutuknya pelan.
Ana berdiri di lobi dengan bingung. Sia-sia, percuma saja dia datang jika akan diusir seperti ini. Ana terdiam mencoba berpikir bagaimana caranya agar dia bisa bertemu dengan Davin.
Lima menit,
Sepuluh menit,
Masih tidak ada ide.
Akhirnya Ana memutuskan untuk berhenti berpikir dan menghentakkan kakinya kesal. Pasrah, mungkin besok dia akan datang lagi ke tempat ini. Dengan membuat janji terlebih dahulu tentunya. Dia akan langsung menghubungi Davin.
Saat berjalan ke tempat parkir, Ana menghnetikkan langkahnya saat melihat pria yang hampir menabraknya dulu. Terlihat orang itu sedikit terburu-buru untuk masuk ke dalam kantor. Ana yang tidak ingin menyia-nyiakan waktu langsung berlari mengejarnya. Sedikit lagi dan akhirnya Ana dapat menjangkau lengan itu.
"Haduh, Pak. Jalannya cepet banget." Ana berusaha mengatur napasnya.
"Loh, kenapa Adek di sini?" tanya Edo penasaran.
"Mau minta ganti rugi, Pak." Ana mengangkat ponsel Ally cepat.
"Kenapa nggak langsung masuk aja?"
"Udah, Pak. Tapi Nggak dibolehin masuk." Ana berucap kesal.
"Kok bisa? Udah saya kasih kartu namanya Pak Vinno kan?"
"Saya belum hubungi Pak Davin, Pak." Ana menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Lagian kenapa Mbak Resepsionisnya galak banget sih, Pak?"
Edo tertawa, "Kamu ini, ya udah ayo ikut saya masuk."
Saat melewati meja resepsionis, Ana menjulurkan lidahnya bermaksud untuk mengejek wanita yang mengusirnya tadi, tapi wanita itu hanya meliriknya sebentar dan bersikap tidak peduli. Menyebalkan sekali, jika Ana mempunyai perusahaan sendiri dia tidak akan memperkerjakan orang seperti itu. Percuma saja pintar tapi tidak mempunyai kepribadian yang baik.
***
Pintu lift terbuka di lantai 28 di mana ruangan Davin berada. Suasana lantai ini sama dengan yang di bawah tadi. Masih didominasi warna hitam, abu-abu, dan putih. Terlihat sepi dan hanya terdapat 5 pintu di sini. Edo membawa Ana ke arah wanita cantik yang terlihat sibuk dengan kertas-kertas di mejanya.
"Lia?"
"Iya, Pak. Ada apa?" tanya Lia sambil berdiri.
"Tolong antarkan Adek ini ke ruangan Pak Vinno ya, saya masih ada urusan sama Pak Anwar." Melihat Lia yang mengangguk, Edo beralih pada Ana, "Kamu sama Lia ya, saya masih ada urusan."
"Iya, Pak. Terima kasih sudah diantar." Edo mengangguk dan berbalik pergi.
"Ayo, Dek. Ikut saya." Ana mengangguk dan mengikuti Lia yang berjalan menuju pintu paling besar di lantai ini.
Lia mengetuk pintu itu sekali dan kemudian menunggu. Setelah terdengar sahutan dari dalam, Lia mulai masuk dan diikuti oleh Ana. Pemandangan pertama yang Ana lihat adalah punggung Davin yang berdiri membelakangi pintu, sepertinya pria itu sedang melihat pemandangan jalan raya yang hanya dibatasi oleh dinding kaca. Ana mengedarkan pandangannya ke segala arah. Lagi-lagi dia salah fokus dengan desain ruangan Davin. Ruangan ini berbanding terbalik dengan keadaan di luar. Ruangan ini didominasi warna merah maroon dan hitam. Terlihat menyeramkan tapi juga elegan di satu sisi.
"Permisi, Pak. Ada seseorang yang ingin menemui Bapak." Lia berbalik menatap Ana, "Siapa Namanya, Dek?" lanjutnya.
"Ana, Mbak."
Davin berbalik saat mendengar suara itu. Dia menatap Ana lekat dan beralih pada Lia, "Kamu boleh keluar."
"Baik, Pak. Permisi."
Ana masih asik memperhatikan ruangan Davin, tanpa tahu jika dia sudah menjadi pusat perhatian pria itu sekarang. Davin berjalan mendekat mencoba menyadarkan gadis yang tengah menikmati suasana ruangannya itu. Ana terkejut saat tubuh besar itu sudah berada di depannya. Mau tidak mau dia mengalihkan pandangannya dan menatap pria yang ada di depannya itu. Tinggi badan Davin membuat Ana harus mendongak.
"Ada perlu apa menemui saya?" tanya Davin.
"Itu, Pak. Saya mau— gimana ya ngomongnya. Saya mau minta HP baru," ucap Ana sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
Davin hanya mengangguk dan berjalan menuju kursinya, meninggalkan Ana yang masih berdiri di tengah-tengah ruangan seperti orang bodoh.
"Kenapa kamu minta HP sama saya?"
"Kan HP saya rusak waktu hampir ketabrak di kampus," ucap Ana berusaha untuk mengingatkan.
"Saya belum ada HP-nya. Besok aja kamu ke kantor saya lagi." Pria itu berucap santai yang membuat Ana kesal.
"Nggak bisa sekarang, Pak? Mentahan aja deh nggak papa, biar nanti saya beli HP-nya sendiri," jawab Ana spontan. Dia langsung menutup mulutnya saat sadar jika sudah bersikap tidak sopan sekarang.
"Saya nggak ada uang tunai." Davin bersandar pada kursinya dan menatap Ana dengan dagu yang terangkat.
Ana merutuk dalam hati. Alasan apa itu? Jaman secanggih ini tidak susah untuk mengirim uang. Tidak mungkin jika pria seperti Davin tidak mempunyai kartu debit.
"Saya nggak mau ke sini lagi, Pak. Pegawainya Bapak galak-galak." Akhirnya Ana menggunakan alasan lain. Alasan yang menurutnya cukup kekanakan.
"Galak?"
Ana menggeleng cepat, mencoba untuk kembali mengarahkan pembicaraan ke topik utama. "Pokoknya saya mau sekarang, Pak. Jadi saya nggak perlu ke sini lagi dan urusan kita selesai." Ana berucap dengan berani.
"Terserah kalau kamu nggak mau." Ana terdiam saat melihat ada senyum tipis yang muncul di bibir pria itu.
"Ayo lah, Pak. Saya mohon sekarang ya, kasian Ibu saya minta video call terus. Saya nggak bisa bohong lama-lama."
"Besok, kamu bisa datang lagi besok."
Ana terdiam tidak percaya melihat respon dingin yang dia dapat. Kenapa sesulit itu untuk meminta haknya? Seharusnya masalah ini dapat diselesaikan dengan mudah bukan? Bahkan tanpa harus bertatap muka. Ana menggerutu sambil meremas bajunya kesal. Ingin sekali dia menangis, tapi tidak mungkin jika dia menangis di hadapan kulkas mode-on ini.
"Ya udah, saya pulang, besok saya ke sini lagi. Bapak jangan ngilang kalau dicariin. Kata Mbak Resepsionis kan Bapak orangnya sibuk." Melihat Davin yang hanya mengangguk, Ana memutuskan untuk keluar, "Permisi, Pak." Pamitnya.
"Tunggu." Panggilan itu membuat Ana menghentikan langkahnya. "Siapa nama kamu?"
Ana terlihat berpikir sebentar sebelum menjawab, "Ana." jawabnya singkat.
Ana terpaku saat melihat sesuatu yang jarang terjadi, dia tidak salah lihat. Davin sempat tersenyum saat dia menyebutkan namanya. Meskipun senyumnya tidak sampai mata, tapi Ana yakin dia melihat senyum itu.
"Namaku Davinno." Ana mengerutkan keningnya saat tiba-tiba dia merasa seperti deja vu, dia seperti pernah mendengar kalimat itu sebelumnya.
"Saya pulang dulu." Ana bergegas keluar ruangan. Dia menyandarkan tubuhnya di balik pintu dan mengelus dadanya yang berdetak dengan kencang. Perasaan aneh itu kembali datang. Entah kenapa dia bertingkah seperti ini? Jantungnya juga kenapa bisa berdetak sekencang ini? Sepertinya Ana perlu dokter sekarang, dia tidak mau mempunyai penyakit jantung di usia muda.
***
Kini Ana sudah siap dengan kemeja putih, jeanshitam, dan sepatuconverseabu-abu andalannya, tapi kali ini sepatu yang dipakainya sudah dicuci dengan bersih. Di saat seperti ini Ana sedikit kecewa dengan gaya berpakaiannya yang sulit berbaur dengan suasana kantor. Baru satu langkah keluar dari kosnya, Ana mengingat sesuatu. Dia belum menghubungi Davin terlebih dahulu. Ana tidak ingin kejadian kemarin terulang kembali. Dengan cepat dia mengambil ponsel sakti milik Ally dan kartu nama Davin yang berada di tasnya. Ibu jarinya bergerak dengan lincah mengetikkan pesan untuk pria itu.
Ana menatap lekat wajah pria di hadapannya dengan bingung. Setelah adegan tarik-menarik yang mengundang banyak pasang mata untuk melirik, akhirnya Ana memilih untuk menyerah. Dia pasrah dengan apa yang dilakukan Davin. Protes pun percuma karena sepertinya pria itu terlihat tidak ingin mencabut ucapannya untuk memecat satpam kantor. Davin memilih diam dan terus menggosok rambut Ana yang basah dengan handuk. Banyak pertanyaan yang berkumpul di otak Ana saat ini. Belum selesai dengan tragedi pemecatan tadi, sekarang Davin kembali melakukan hal yang di luar dugaan. Ana bisa menggosok rambutnya sendiri. Davin tidak perlu melakukan ini untuknya. Jas milik pria itu juga masih membungkus tubuhnya dengan rapi."Ganti pakaianmu,"
Bagi Ana, pemandangan luar mobil saat ini jauh lebih menarik dari pada pria di sampingnya. Davin sendiri masih fokus pada jalanan yang cukup padat. Sesekali matanya melirik gadis di sampingnya yang memilih untuk terus diam. Davin sadar jika dia sudah keterlaluan, tapi dia tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk membuat Ana tetap berada di sisinya.Sejak menjadi pemateri seminar bisnis dulu, Davin mulai memperhatikan Ana. Melihat setiap gerak-geriknya yang tidak berubah sejak dulu. Perbedaannya, Ana sekarang tumbuh menjadi gadis yang cantik tapi tetap ceroboh. Setelah berjumpa beberapa kali, dapat Davin simpulkan jika Ana tidak mengingatnya sama sekali. Dia merasa konyol pada dirinya sendiri yang sabar mencari Ana hingga
Ana menatap keadaan sekitar dengan was-was. Dia sedang bersembunyi sekarang, menghindar dari pria yang selalu menjemputnya akhir-akhir ini. Bukannya apa, tapi Ana juga membutuhkan waktu untuk sendiri. Tak lama, sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Ana bergegas masuk ke dalam dan menatap Ally dengan tatapan penuh terima kasih. Untung saja sahabatnya datang di waktu yang tepat, jika tidak maka dapat Ana pastikan jika dia akan berakhir dengan kecanggungan di dalam mobil Davin lagi."Ayo, cepet jalan!" Ana menoleh ke belakang dan menemukan Edo yang masih berdiri di samping mobilnya.
Ana berhenti berlari saat kakinya sudah tidak kuat lagi untuk memutari lapangan tenis. Dia terduduk di atas tanah dan bersandar pada jaring yang menjadi pembatas lapangan. Napasnya terdengar memburu dan reflek tangannya terangkat untuk mengusap keringat yang membasahi dahinya."Cuma 4 kali putaran?" tanya Davin dengan nada mengejek."Capek, Mas!""Ayo, satu kali dan setelah itu selesai." Davin menarik tangan Ana untuk berdiri tapi gadis itu me
Ana masih ingat saat pertama kali dia bertemu dengan Ibu Davin. Dia tahu jika pertemuan itu bukanlah pertemuan yang baik. Dia berada di posisi yang tidak menguntungkan sehingga membuat wanita itu berpikiran yang tidak-tidak. Meskipun Ibu Davin tidak berkata apa-apa setelahnya, tapi siapa yang tahu jika dia memendam amarahnya pada Ana dan mengundangnya sekarang agar bisa memojokkannya bersama dengan keluarga besar."Sampai kapan kayak gini?" Davin melirik Ana yang hanya memainkan jari-jarinya sejak tadi, "Sudah hampir 30 menit, Bunda udah nunggu di dalam.""Bentar, Mas. Aku belum si
Hari sudah mulai berganti tapi tidak dengan suasana di rumah Davin. Pagi hari yang seharusnya bisa menjadi awal yang indah untuk semua orang tidak akan terjadi kali ini. Sejak semalam, suasana kelam itu masih terasa hingga saat ini. Itu semua karena Lucy yang memilih untuk tinggal."Vin, aku sama Laila pulang dulu ya," ucap Kevin setelah selesai sarapan.Ana tiba-tiba berdiri dan menatap Kevin penuh harap, "Aku ikut ya? Kalian bisa anter aku pulang?"
Entah apa yang merasuki Ana hingga membuat keputusan untuk bekerja paruh waktu. Bahkan orang tuanya pun tidak tahu akan apa yang dia lakukan saat ini. Ally yang jengah dengan kemurungannya akhirnya menawarkan pekerjaan yang langsung ia setujui. Sebenarnya Ana menganggap jika ini hanya pengalihan saja, agar otaknya tidak terus tertuju pada Davin, pria yang tega membuatnya sakit hati untuk yang pertama kali karena cinta. Selain karena Davin, Ana juga ingin memanfaatkan waktu luangnya untuk menambah pengalaman, dan uang tentu saja."Ana, tolong ambilkan piring kotor di meja 10!" Ana mengangguk dan memasukkan kain lap ke dalam kantong yang terikat di pinggangnya. Dengan
Suasana ramai di dalam sebuah gedung membuat Davin mengeratkan pelukannya pada pinggang Ana. Dengan warna pakaian yang senada, Ana dan Davin mulai masuk lebih dalam ke gedung pernikahan Alex.Ya, setelah bertahun-tahun bertarung dan berjuang dengan penyakitnya, akhirnya pria itu bisa hidup normal. Terima kasih pada Ana yang ikut memberikan semangat pada Alex selama ini.Sudah tiga tahun Alex dinyatakan sembuh dan selama itu pula dia mulai menata kembali hidupnya yang sempat berantakan karena masa lalu yang kelam. Namun semuanya berubah sekarang, keadaannya sudah kembali normal. Alex tidak terlalu memikirkan kondisi kakaknya di penjara, toh kesalahan Allen memang sudah sangat keterlaluan."Mas, jangan gini, ah. Susah gerak tau." Ana berucap kesal sambil berusaha menahan tubuh Daniel di
Ana menghela nafas lega begitu telah menyelesaikan naskah FTV untuk salah satu stasiun televisi. Matanya melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi suami dan anaknya belum juga kembali ke rumah."Ke mana mereka?" Ana meraih ponselnya untuk menghubungi Davin. Namun belum sempat melakukannya, pintu kamar terbuka dan muncul Davin dengan kantung plastik di tangannya."Kok baru pulang?""Urusan pria," jawab Davin santai dan meletakkan bingkisan makanan di meja Ana.Mata Ana menyipit melihat itu, "Apa ini?""Kata David itu sogokan buat kamu, biar nggak marah lagi."Ana berdecak, tapi tak urung juga membuka makanan itu
Suara dering alarm yang berbunyi membuat pria yang tengah tertidur itu perlahan membuka matanya kesal. Dengan mata yang memerah karena kurang tidur, Davin melihat ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul lima pagi. Dia menggerang pelan sebelum berbalik untuk melihat istrinya yang masih tertidur pulas.Perlahan raut wajah kesal itu berubah ketika melihat wajah polos Ana yang tertidur. Seketika rasa lelah di tubuhnya yang hanya tidur tiga jam langsung sirna. Tangan Davin terangkat dan menekan pipi Ana dengan jari telunjuknya. Wanita itu mengerang dan berbalik membelakangi Davin. Melihat itu, Davin segera mendekatkan tubuhnya dan memeluk istrinya dari belakang. Tangannya terulur mengelus perut Ana yang terlihat membuncit."Bangun, Sayang. Udah pagi," bisik Davin mengelus perut Ana."Ngantuk, Mas!" Ana mendorong tangan Davin yang berada di perutnya."Aku bangunin anak aku, bukan kamu."Ana menatap Davin sengit, "Sama aja, anakmu masih di dalem perutku.
Ana mengerang saat tubuhnya terguncang dengan keras. Matanya yang masih mengantuk terasa berat untuk dibuka. Dia baru saja tidur siang tadi dan siapa yang berani membangunkannya, mengingat jika hanya dirinya sendiri di rumah ini. Mengingat itu, Ana membuka matanya cepat. Dia berdiri dan menghela nafas lega saat menemukan Davin yang menatapnya aneh."Mas!" Ana berdecak kesal dan kembali menghempaskan tubuhnya di kasur."Kamu kenapa?" tanya Davin sambil melepaskan kemejanya."Aku pikir tadi ada maling." Ana kembali bangkit dan duduk di kasur. Rasa kantuknya sudah hilang sekarang. Dia menatap Davin yang tengah berdiri di depan cermin sambal mengelus dagunya yang mulai lebat akan rambut."Kok Mas Davin udah pulang?" Ana bertanya masih memperhatikan Davin yang mulai melepaskan celananya. Pemandangan yang cukup membuatnya panas dingin."Males di kantor."Mata Ana membulat. Dia bertepuk tangan heboh karena rasa tidak percayanya. Dia tidak salah den
Ana terkejut saat melihat begitu banyak notifikasi yang masuk. Bahkan semua sosial media-nya banjir akan ucapan selamat atas pernikahannya. Tak jarang Ana juga tidak mengenal siapa yang memberikan selamat, mungkin itu teman Davin.Ana terkikik melihat teman-temannya yang ramai di grup sejak semalam karena membicarakannya. Dia yang menikah saja tidak seheboh ini kenapa teman-temannya menjadi gila? Bahkan Ally secara terang-terangan menunjukkan otak mesumnya.Ana menghentikan tawanya saat merasakan tangan hangat bergerak melingkar di pinggangnya. Dia menoleh dan menemukan Davin dengan mata yang setengah terbuka. Ana meletakkan ponselnya dan berbalik menatap pria yang sudah sah menjadi suaminya sejak kemarin itu."Pagi," sapa Ana tersenyum lebar.Davin menarik tubuh Ana semakin mendekat. Setelah itu matanya kembali terpejam saat berhasil menenggelamkan wajahnya di leher Ana."Mas bangun." Ana berdecak."Masih pagi, Ana.""Udah jam delapa
Tepat hari ini, Ana dan Davin telah resmi menikah dan menjadi pasangan suami istri. Pernikahan terjadi begitu cepat tanpa mereka sadari. Davin yang awalnya ingin menunggu Ana lulus kuliah terlebih dahulu tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak memiliki gadis itu seutuhnya. Kehilangan Ana berkali-kali cukup membuat hati Davin terketuk untuk segera memiliki gadis itu. Ia juga berterima kasih pada kehidupannya yang seolah memang menginginkan seorang wanita dalam hidupnya."Kenapa senyum-senyum?"Ana tersenyum tipis, "Udah nikah loh kita," goda Ana pada Davin.Pria itu menggeleng pelan dan kembali tersenyum menyapa para undangan yang telah datang hari ini. Untuk pertama kalinya hati Davin terasa damai dan sejuk. Mulai detik ini, Ana adalah miliknya. Gadis yang dia cari sejak dulu sudah berada di sisinya sekarang. Tidak ada kebahagiaan lain yang Davin inginkan selain ini."Cantik.""Iya, ini kebaya pilihan mama," ucap Ana melihat pakaian yang dia kenak
Davin menatap lekat gadis yang menuruni tangga dengan wajah bantalnya. Rambut yang masih acak-acakkan dengan kaos yang kebesaran itu membuat Davin menggelengkan kepalanya pelan. Ini sudah pukul sembilan pagi dan gadis itu baru saja bangun tidur. Benar-benar pemalas. Davin saja rela bangun pagi buta demi mengejar penerbangan pagi ke Surabaya. Di sini lah dia sekarang, duduk di meja makan bersama Ayah Ana sejak satu jam kedatangannya tadi."Lihat anak Bapak, Vin. Jam segini baru bangun, kamu yakin mau nikahin dia?"Davin menatap Ayah Ana dan tersenyum tipis. Melihat tingkah Ana yang seperti anak kecil tentu membuatnya sedikit terganggu. Namun untuk menyesal? Tidak, Davin tidak menyesal sama sekali. Malah dia semakin berambisi untuk memiliki Ana seutuhnya sehingga bisa mendisiplinkan gaya hidup aneh gadis itu."Itu yang jadi beda, Pak."Ayah Ana menghela nafas kasar, "Aneh kamu, Vin. Pantes cocok sama anak Bapak." Lagi-lagi Davin tersenyum mendengar itu. Mat
Ana menghentikan kegiatannya bermain ponsel saat sebuah panggilan muncul di layar ponselnya. Dengan cepat dia bangkit dari tidurnya dan tersenyum senang."Halo calon suami," sapa Ana dengan cengiran khasnya."Di mana?" tanya Davin mengacuhkan sapaan Ana."Di rumah dong, kenapa?"“Udah dikirim belum katalog-nya sama Bunda?" tanya Davin kembali mengingatkan Ana tentang model kebaya yang akan dia kenalan nanti saat menikah."Udah, lagi diseleksi sama Mama.""Jangan pilih yang terbuka."Bibir Ana berkedut mendengar itu, "Tapi kayanya Mama tadi pilih yang keliatan punggungnya deh.""Jangan aneh-aneh, pakai jas hujan aja kalau macem-macem." Ana tertawa mendengar itu. Davin tidak pernah berubah. Selalu harus sesuai dengan apa yang diinginkannya. Lagipula orang tua Ana juga tidak akan membiarkannya memakai pakaian terbuka. Jangan lupakan prinsip kuno yang dipegang teguh oleh keluarganya.
Cahaya matahari yang memasuki jendela tidak membuat semua penghuni apartemen Davin beranjak untuk memulai aktivitasnya. Kejadian semalam seolah memberikan kesempatan pada mereka untuk berleha-leha sejenak. Tidak terkecuali Diva dan Laila yang tengah berbaring santai di sofa ruang tengah dengan televisi yang masih menyala.Kevin dan Bram yang tidur di karpet sejak semalam juga tidak berniat untuk bangkit, meskipun mereka sadar jika harus kembali bekerja hari ini. Mata Bram terlihat sayu dan begitu juga Kevin. Mereka berdua melihat tayangan gosip di televisi dengan tatapan jenuh."Kok mereka belum bangun ya?" gumam Laila memakan keripik kentangnya."Habis begadang semalam," jawab Kevin merebut bungkus makanan dari tangan kekasihnya."Mereka nggak aneh-aneh kan semalam?"Bram melirik Diva geli, "Maksudmu apa?""Kamu tau maksudku apa." Diva menatap suaminya kesal."Gimana mau macam-macam kalau Ana tidur di kamar tamu," sahut Kevin yang mu