Ana masih ingat saat pertama kali dia bertemu dengan Ibu Davin. Dia tahu jika pertemuan itu bukanlah pertemuan yang baik. Dia berada di posisi yang tidak menguntungkan sehingga membuat wanita itu berpikiran yang tidak-tidak. Meskipun Ibu Davin tidak berkata apa-apa setelahnya, tapi siapa yang tahu jika dia memendam amarahnya pada Ana dan mengundangnya sekarang agar bisa memojokkannya bersama dengan keluarga besar.
"Sampai kapan kayak gini?" Davin melirik Ana yang hanya memainkan jari-jarinya sejak tadi, "Sudah hampir 30 menit, Bunda udah nunggu di dalam."
"Bentar, Mas. Aku belum siap."
Davin berdecak dan mulai membuka pintu mobil, mengabaikan protes Ana yang masih belum siap. Jika Davin tidak bersikap tegas, Ana akan selalu takut dengan apa yang akan dihadapinya suatu saat nanti.
"Lima menit lagi, Mas." Ana menahan tangan Davin yang sudah menariknya untuk keluar dari mobil.
"Turun sekarang atau aku gendong?"
Ana masih diam saat tiba-tiba Davin menggendongnya seperti karung beras, "Mas, berhenti! Oke, aku jalan!" Seharusnya Ana tahu jika Davin tidak pernah main-main dengan ucapannya.
Pria itu menurunkannya dan membuka pintu mobil bagian belakang untuk mengambil kue buatan Ana. Davin sudah mengatakan jika tidak perlu membawa apapun, tapi sepertinya Ana tidak bisa jika datang dengan tangan kosong. Sebelumnya Ana tidak tahu harus memberi kado apa untuk Ibu Davin, jadi dia memutuskan untuk membuat kue dengan tulisan yang pastinya akan membuat geli bagi siapa saja yang membacanya. Ana bahkan tidak sadar saat menuliskan kalimat itu, saat akan menggantinya, tiba-tiba Davin mengirimkan pesan bahwa dia sudah berada di depan kos. Jadi Ana tidak sempat menggantinya.
Selamat ulang tahun calon mertua semoga sehat selalu dan awet muda.
Salam calon mantu :)
Menggelikan bukan? Ana yakin Ibu Davin akan semakin tidak menyukainya karena ini.
Ana menatap pintu besar di hadapannya dengan tangan yang masih memeluk erat lengan Davin. Jantungnya benar-benar tidak bisa diajak untuk bekerja sama sekarang. Ingin rasanya dia berlari pulang ke rumah dan bersembunyi. Ana merasa jika pertemuan ini terlalu cepat, bahkan dia pikir hubungannya dengan Davin tidak akan seserius ini.
"Sudah siap?"
Ana menggeleng dan menghembuskan napasnya kasar. Berusaha menolak pun percuma karena Davin tetap membuka pintu besar itu.
"Kok sepi, Mas?" tanya Ana saat mulai masuk ke dalam kediaman Rahardian.
"Semuanya ada di taman belakang."
Mata Ana membulat mendengar itu, "Semua? Siapa aja yang dateng?"
"Cuma keluarga besar dan para sahabat."
Mati aku!
Davin membawa Ana ke taman belakang. Suara musik mulai terdengar dan seketika Ana langsung lemas saat melihat banyak sekali orang yang datang malam ini. Semua orang menghentikan kegiatannya saat melihat Ana dan Davin datang. Suasana mendadak menjadi hening. Ana menahan napasnya bingung sampai akhirnya terdengar suara teriakan dan sorakan. Ana terkejut dengan situasi ini, dia yakin bahwa sorakan itu ditujukan untuk dirinya dan Davin.
"Akhirnya pangeran es membawa putrinya."
"Yes! Punya kakak ipar!"
"Aku tunggu undangan nikahmu, bro!"
Ana melirik Davin yang hanya mendengkus mendengar teriakan setan itu. Ana masih diam sampai seseorang datang menubruk tubuhnya dan memeluknya erat. Ana kembali terkejut saat melihat siapa yang memeluknya saat ini.
"Akhirnya kamu datang, Sayang. Bunda udah nunggu kamu dari tadi," ucap Ibu Davin.
"Maaf, Tan—"
"Bunda. Panggil Bunda aja kayak yang lain."
Ana tersenyum dan mengangguk patuh, "Maaf ya, Bun. Baru dateng."
"Nggak papa, Sayang."
“Ini ada kue buat Bunda. Belum sempet beli kado soalnya Mas Davin—" ucapan Ana terpotong saat kembali mendengar sorakan dari para tamu.
"Aduh dipanggil Mas!"
"Udah langsung nikah aja, Vin!"
"Aduh, Mas. Adek nggak kuat!"
Ibu Davin malah tertawa mendengar itu, "Nggak papa, ayo kita coba kue buatanmu."
Aduh mati! Jangan dibuka sekarang!
"Bunda itu jangan dibuka—" Terlambat, kue itu sudah dibuka dan wanita itu langsung terdiam melihat tulisan yang Ana buat.
"Manisnya calon mantuku! Papa liat deh!" teriak Ibu Davin keras.
Ana melirik Davin meminta pertolongan. Dia yakin setelah ini dirinya akan menjadi bahan ejekan semua orang. Kenapa penyesalan selalu datang terakhir? Tahu jika seperti ini, Ana tidak akan membawa kuenya tadi.
"Makasih ya. Sebenernya Bunda nggak perlu kado, cukup kamu ada di sisi Vinno aja udah buat Bunda seneng." Ana tidak tahu harus berkata apa ketika Ibu Davin mencium kepalanya lembut, "Maafin Bunda juga ya soal di kantor Vinno waktu itu. Bunda nggak tau kalau kamu itu 'Ana' yang Vinno maksud."
"Maksudnya, Bun?" Ana bertanya bingung.
"Biar Vinno aja yang jelasin. Sekarang ayo ikut! Bunda mau kenalin calon mantu ke semua orang," ucapnya sambil mengejek Ana.
"Udah dong, Bun. Aku malu." Davin hanya mendorong punggung Ana untuk mengikuti Ibunya. Dia ingin Ana akrab dengan semua anggota keluarganya.
***
Keluarga Davin sangat ramah, mereka menerima Ana dengan baik. Bahkan perbedaan kasta di antara mereka bukan menjadi penghalang. Bukan hanya keluarga, Davin juga mengenalkannya pada sahabatnya, Bram dan Kevin. Ana baru tahu jika pria seperti Davin juga bisa mempunyai sahabat. Ana juga baru tahu jika Davin adalah kakak tertua dari 3 bersaudara. Dia mempunyai adik perempuan, bernama Diva yang ternyata telah menikah dengan sahabat davin, Bram. Sedangkan adik terakhirnya laki-laki seumuran dengan Ana, dia bernama Lando.
Sifat Lando yang konyol membuat pria itu sering menggoda Ana yang bertujuan untuk membuat Davin marah. Menurut Lando wajah kakaknya terlihat lucu ketika cemburu. Ini juga kali pertamanya Davin mengenalkan gadisnya pada keluarga besar. Oleh karena itu Lando dan keluarganya terlihat sangat antusias. Ana benar-benar tersanjung kali ini.
Saat ini Ana sedang duduk dan berbincang-bincang dengan Diva. Wanita itu terlihat sangat bersemangat saat menceritakan hal-hal buruk yang ada pada diri Davin, tapi itu tidak berlangsung lama saat tiba-tiba terdengar suara melengking yang mengalihkan perhatian semua orang.
"Vinno aku dateng, kangen banget deh!" Ana melihat seorang wanita datang menghampiri Davin dan menciumi wajah pria itu gemas.
"Sialan, si medusa muncul!" Ana tersadar saat Diva sudah sampai di tempat Davin dan menjambak rambut wanita yang mencium kakaknya saat ini.
Ana masih berdiri dengan kaku. Bagaimana tidak? Dia melihat sendiri kekasihnya dicium dengan orang lain. Semua terjadi begitu cepat dan Ana tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan Davin tidak terlihat mengelak sedikitpun.
Bagus! Baru aja tadi dibikin seneng sekarang udah bikin nyesek.
***
"Tante nggak nyangka kamu bisa kayak gini, Lucy!"
"Aku kan kangen Vinno, Bun—"
"Jangan panggil aku Bunda!"
Saat ini mereka semua sudah duduk di ruang keluarga. Hanya ada keluarga inti dan sahabat Davin, karena keluarga lainnya sudah pulang saat keadaan berubah menjadi tidak memungkinkan karena kehadiran wanita yang bernama Lucy.
Tidak ada keterangan lebih jelas tentang Lucy, bahkan Diva hanya diam saat Ana bertanya. Lucy masih menunduk saat Ibu Davin memarahinya. Saat dimarahi pun dia masih memilih untuk dekat dengan Davin dan memeluk lengannya erat. Seolah ada lem yang tidak akan bisa membuat pelukan itu terlepas. Lagi-lagi Davin tidak menolak sedikitpun. Hal itu membuat Ana kembali berfikir, apa Davin hanya mempermainkannya saja selama ini?
"Udah malem, kalian semua nginep di sini. Dan Lucy, Tante harap kamu jauh-jauh dari kamar Vinno," ucap Ibu Davin dan berlalu pergi bersama suaminya.
Semua orang masih duduk dengan diam. Ana tidak bisa berdiam terus seperti ini. Dia harus tahu hubungan apa yang terjalin di antara Davin dan Lucy. Namun untuk saat ini, Ana memilih untuk sendiri dulu. Kepalanya mendadak terasa pening.
"Aku mau pulang." Setelah mendengar itu, Ana menjadi pusat perhatian sekarang.
"Ana kamu denger tadi Bunda bilang apa, semua menginap. Jangan menentang perkataan Kanjeng Ratu. Kualat nanti," jawab Kevin berusaha untuk mencairkan suasana yang sepertinya sia-sia karena semua orang masih diam dengan pikiran masing-masing.
"Kamu siapa?" tanya Lucy pada Ana.
"Dia pacar Vinno," jawab Diva cepat.
"Nggak mungkin!" Lucy menatap Ana tajam dan mulai mendekat.
"Jangan ganggu Ana." Davin menarik Ana dan melindunginya dari Lucy.
"Siapa dia, Vinno?! Aku yang pacar kamu di sini!" teriak Lucy murka.
"Masuk ke kamarmu sekarang!" Lucy menggeleng cepat dan berusaha meraih Ana. "Lucy!" bentak Davin sekali lagi.
"Aku nggak mau!"
"Terserah." Davin menarik Ana dan membawanya naik ke lantai dua. Jika Lucy tidak bisa menurut, lebih baik dia yang pergi.
***
Ana terduduk di ujung kasur dengan perasaan campur aduk. Dia ingin marah dan menangis di saat yang bersamaan. Kenapa kebahagiaannya datang begitu singkat?
"Aku mau pulang."
"Ana!" Davin menggeram yang membuat Ana terdiam karena takut.
Mereka butuh ketenangan. Mereka butuh waktu untuk berpikir. Davin tidak menyangka jika di hari bahagia ini, masalah akan datang untuk menguji hubungannya bersama Ana.
Davin berjalan mendekat dan mengelus kepala Ana pelan. Mencoba memberikan ketenangan untuk gadisnya, "Tenang lah." Setelah itu Davin berlalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Ketika sudah selesai, Davin tidak mendapati Ana di kamarnya. Dia takut jika gadis itu akan pergi sebelum dia menjelaskan semuanya.
"Ana!" teriak Davin saat menuruni tangga sambil berlari, bahkan dia mengabaikan panggilan Kevin dan Bram yang masih berada di ruang tamu.
Davin berlalu menuju halaman untuk menemukan Ana. Dia meremas rambutnya kesal saat tidak mendapati gadis itu di mana pun. Davin kembali masuk dan mengambil kunci mobil. Dia harus menyusul Ana, dia tidak akan membiarkan gadisnya itu pulang sendiri.
"Kamu kenapa sih, Vin?" tanya Bram bingung melihat tingkah sahabatnya itu.
"Ana pergi," jawab Davin cepat.
"Vinno!" teriak Kevin yang membuat langkah Davin kembali terhenti.
"Apa?!" bentak Davin kesal. Sekarang bukan waktunya untuk berbincang.
"Ana lagi di dapur, emang kamu mau jemput Ana ke dapur pakai mobil?"
"Dapur?" gumam Davin pelan. Sedetik kemudian dia berjalan cepat ke dapur dan menghela nafas lega saat mendapati Ana sedang duduk santai bersama Diva dan Laila sambil menikmati jus jeruk.
"Kenapa nggak bilang?" tanya Davin setelah perasaan kalutnya sudah hilang.
"Emosi bikin haus ternyata," jawab Ana acuh.
Dengan sabar, Davin meraih lengan Ana pelan. Gadis itu berusaha menghindar untuk menenangkan hatinya. Jangan salahkan dia yang bertingkah seperti anak kecil. Salahkan saja Davin yang tak kunjung memberitahunya tentang Lucy. Ana sempat berpikir, sebenarnya dia ini siapa? Tiba-tiba dia merasa asing di rumah ini.
"Aku ngantuk. Kamarnya ada di atas pintu ke-2 kan?" tanya Ana pada Laila.
Laila hanya mengangguk dan ikut berdiri," Aku juga mau tidur, udah malem." Ana dan Laila berlalu meninggalkan Davin bersama dengan Diva.
Davin melirik adiknya yang memilih untuk diam. Diva mengedikkan bahunya acuh, "Nggak tau, selesain sendiri."
Davin menatap adiknya tidak percaya. Bahkan sepertinya tidak ada yang membelanya saat ini. Davin akui dia salah karena tidak menghindar sama sekali dari Lucy. Dia hanya terlalu terkejut. Davin tidak bisa melakukan apapun saat tubuh Lucy sudah menempel erat pada tubuhnya.
Apa yang harus dia lakukan sekarang?
***
Hari sudah mulai berganti tapi tidak dengan suasana di rumah Davin. Pagi hari yang seharusnya bisa menjadi awal yang indah untuk semua orang tidak akan terjadi kali ini. Sejak semalam, suasana kelam itu masih terasa hingga saat ini. Itu semua karena Lucy yang memilih untuk tinggal."Vin, aku sama Laila pulang dulu ya," ucap Kevin setelah selesai sarapan.Ana tiba-tiba berdiri dan menatap Kevin penuh harap, "Aku ikut ya? Kalian bisa anter aku pulang?"
Entah apa yang merasuki Ana hingga membuat keputusan untuk bekerja paruh waktu. Bahkan orang tuanya pun tidak tahu akan apa yang dia lakukan saat ini. Ally yang jengah dengan kemurungannya akhirnya menawarkan pekerjaan yang langsung ia setujui. Sebenarnya Ana menganggap jika ini hanya pengalihan saja, agar otaknya tidak terus tertuju pada Davin, pria yang tega membuatnya sakit hati untuk yang pertama kali karena cinta. Selain karena Davin, Ana juga ingin memanfaatkan waktu luangnya untuk menambah pengalaman, dan uang tentu saja."Ana, tolong ambilkan piring kotor di meja 10!" Ana mengangguk dan memasukkan kain lap ke dalam kantong yang terikat di pinggangnya. Dengan
"Sebelum mengakhiri kelas hari ini, saya akan memberi tugas untuk kalian." Suara lenguhan dari mahasiswa langsung terdengar begitu dosen tidak langsung mengakhiri kelas."Sebentar lagi kan ujian, Bu? Kenapa masih dikasih tugas?" celetuk Andre, salah satu mahasiswa kupu-kupu yang berarti'kuliah-pulang kuliah-pulang'dengan berani."Kalau tidak mau dikasih tugas ya nggak usah kuliah!" ucap Bu Linda yang langsung membuat Andre terdiam. Diam bukan berarti takut, tapi dia malas untuk menanggapi.
Ana mengusap kedua tangannya senang saat makanan yang dia pesan telah datang. Andre hanya pasrah begitu melihat banyaknya makanan yang dipesan oleh temannya itu. Jika bukan karena kalah taruhan, dia tidak akan mau melakukan ini. Untung saja ayahnya memberi uang saku yang cukup seolah paham jika dia akan bertemu manusia dengan spesies aneh seperti Ally dan Ana."Habis ini nambah ya?" ucap Ally membuat wajah Andre berubah kusut."Udah dong, kalian makan udah habis 300 ribu ini."
Langkah Ana terhenti saat melihat sebuah mobil yang berhenti tepat di depannya. Dia mengenali mobil itu. Perlahan Ana masuk dan terkejut saat mendapati Edo yang ada di sana dan bukan Davin seperti perkiraannya."Loh, Pak. Saya kira tadi Mas Davin.""Pak Vinno minta saya buat jemput, Dek. Makanya saya di sini. Pak Vinno lagimeetingsoalnya."Mobil berhe
Davin mematikan rokoknya dan menatap Bram yang sedang berbicara. Dia sengaja mengundang kedua sahabatnya untuk datang guna membicarakan masalah teror yang dialami Ana. Davin sadar jika diasedang berurusan dengan orang yang berbahaya sekarang."Aku udah bilang. Lucy pelakunya," ucap Kevin sambil menuangkan anggurnya ke dalam gelas.
Lucy menangis ketika semua keluarga Rahardianmenghakiminya sekarang. Dia tidak menyangka jika perbuatannya akan menyakiti banyak orang. Entah apa yang di pikirannya dulu ketika merencanakan hal keji ini. Ketika melihat Ayah Davin yang menangis karena dirinya, Lucy merasa ada batu besar yang menghantam kepalanya. Dia seolah tersadar dengan kesalahannya. Ini semua karena perasaan cinta butanya pada Davin. Bahkan pria itu tidak ingin bertemu dengannya saat ini. "Tante nggak nyangka kamu
Mobil Davin berhenti tepat di depan kafesunrise,di mana Ana bekerja paruh waktu. Setelah masalah teror yang dilakukan Lucy selesai, Ana memutuskan untuk pindah ke kos barunya dan kembali bekerja. Davin sempat melarang, tapi bukan Ana jika tidak bisa meluluhkan hati Davin. Ana meraih tasnya dan mengecek apa ada barang yang tertinggal. Setelah selesai dia menatap Davin yang masih saja diam. Ana mengerutkan hidungnya dan mencebikkan bibirnya kesal."Jangan marah dong, Mas.""Kamu berhenti kerja bisa nggak?"Ana mendengus saa
Suasana ramai di dalam sebuah gedung membuat Davin mengeratkan pelukannya pada pinggang Ana. Dengan warna pakaian yang senada, Ana dan Davin mulai masuk lebih dalam ke gedung pernikahan Alex.Ya, setelah bertahun-tahun bertarung dan berjuang dengan penyakitnya, akhirnya pria itu bisa hidup normal. Terima kasih pada Ana yang ikut memberikan semangat pada Alex selama ini.Sudah tiga tahun Alex dinyatakan sembuh dan selama itu pula dia mulai menata kembali hidupnya yang sempat berantakan karena masa lalu yang kelam. Namun semuanya berubah sekarang, keadaannya sudah kembali normal. Alex tidak terlalu memikirkan kondisi kakaknya di penjara, toh kesalahan Allen memang sudah sangat keterlaluan."Mas, jangan gini, ah. Susah gerak tau." Ana berucap kesal sambil berusaha menahan tubuh Daniel di
Ana menghela nafas lega begitu telah menyelesaikan naskah FTV untuk salah satu stasiun televisi. Matanya melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi suami dan anaknya belum juga kembali ke rumah."Ke mana mereka?" Ana meraih ponselnya untuk menghubungi Davin. Namun belum sempat melakukannya, pintu kamar terbuka dan muncul Davin dengan kantung plastik di tangannya."Kok baru pulang?""Urusan pria," jawab Davin santai dan meletakkan bingkisan makanan di meja Ana.Mata Ana menyipit melihat itu, "Apa ini?""Kata David itu sogokan buat kamu, biar nggak marah lagi."Ana berdecak, tapi tak urung juga membuka makanan itu
Suara dering alarm yang berbunyi membuat pria yang tengah tertidur itu perlahan membuka matanya kesal. Dengan mata yang memerah karena kurang tidur, Davin melihat ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul lima pagi. Dia menggerang pelan sebelum berbalik untuk melihat istrinya yang masih tertidur pulas.Perlahan raut wajah kesal itu berubah ketika melihat wajah polos Ana yang tertidur. Seketika rasa lelah di tubuhnya yang hanya tidur tiga jam langsung sirna. Tangan Davin terangkat dan menekan pipi Ana dengan jari telunjuknya. Wanita itu mengerang dan berbalik membelakangi Davin. Melihat itu, Davin segera mendekatkan tubuhnya dan memeluk istrinya dari belakang. Tangannya terulur mengelus perut Ana yang terlihat membuncit."Bangun, Sayang. Udah pagi," bisik Davin mengelus perut Ana."Ngantuk, Mas!" Ana mendorong tangan Davin yang berada di perutnya."Aku bangunin anak aku, bukan kamu."Ana menatap Davin sengit, "Sama aja, anakmu masih di dalem perutku.
Ana mengerang saat tubuhnya terguncang dengan keras. Matanya yang masih mengantuk terasa berat untuk dibuka. Dia baru saja tidur siang tadi dan siapa yang berani membangunkannya, mengingat jika hanya dirinya sendiri di rumah ini. Mengingat itu, Ana membuka matanya cepat. Dia berdiri dan menghela nafas lega saat menemukan Davin yang menatapnya aneh."Mas!" Ana berdecak kesal dan kembali menghempaskan tubuhnya di kasur."Kamu kenapa?" tanya Davin sambil melepaskan kemejanya."Aku pikir tadi ada maling." Ana kembali bangkit dan duduk di kasur. Rasa kantuknya sudah hilang sekarang. Dia menatap Davin yang tengah berdiri di depan cermin sambal mengelus dagunya yang mulai lebat akan rambut."Kok Mas Davin udah pulang?" Ana bertanya masih memperhatikan Davin yang mulai melepaskan celananya. Pemandangan yang cukup membuatnya panas dingin."Males di kantor."Mata Ana membulat. Dia bertepuk tangan heboh karena rasa tidak percayanya. Dia tidak salah den
Ana terkejut saat melihat begitu banyak notifikasi yang masuk. Bahkan semua sosial media-nya banjir akan ucapan selamat atas pernikahannya. Tak jarang Ana juga tidak mengenal siapa yang memberikan selamat, mungkin itu teman Davin.Ana terkikik melihat teman-temannya yang ramai di grup sejak semalam karena membicarakannya. Dia yang menikah saja tidak seheboh ini kenapa teman-temannya menjadi gila? Bahkan Ally secara terang-terangan menunjukkan otak mesumnya.Ana menghentikan tawanya saat merasakan tangan hangat bergerak melingkar di pinggangnya. Dia menoleh dan menemukan Davin dengan mata yang setengah terbuka. Ana meletakkan ponselnya dan berbalik menatap pria yang sudah sah menjadi suaminya sejak kemarin itu."Pagi," sapa Ana tersenyum lebar.Davin menarik tubuh Ana semakin mendekat. Setelah itu matanya kembali terpejam saat berhasil menenggelamkan wajahnya di leher Ana."Mas bangun." Ana berdecak."Masih pagi, Ana.""Udah jam delapa
Tepat hari ini, Ana dan Davin telah resmi menikah dan menjadi pasangan suami istri. Pernikahan terjadi begitu cepat tanpa mereka sadari. Davin yang awalnya ingin menunggu Ana lulus kuliah terlebih dahulu tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak memiliki gadis itu seutuhnya. Kehilangan Ana berkali-kali cukup membuat hati Davin terketuk untuk segera memiliki gadis itu. Ia juga berterima kasih pada kehidupannya yang seolah memang menginginkan seorang wanita dalam hidupnya."Kenapa senyum-senyum?"Ana tersenyum tipis, "Udah nikah loh kita," goda Ana pada Davin.Pria itu menggeleng pelan dan kembali tersenyum menyapa para undangan yang telah datang hari ini. Untuk pertama kalinya hati Davin terasa damai dan sejuk. Mulai detik ini, Ana adalah miliknya. Gadis yang dia cari sejak dulu sudah berada di sisinya sekarang. Tidak ada kebahagiaan lain yang Davin inginkan selain ini."Cantik.""Iya, ini kebaya pilihan mama," ucap Ana melihat pakaian yang dia kenak
Davin menatap lekat gadis yang menuruni tangga dengan wajah bantalnya. Rambut yang masih acak-acakkan dengan kaos yang kebesaran itu membuat Davin menggelengkan kepalanya pelan. Ini sudah pukul sembilan pagi dan gadis itu baru saja bangun tidur. Benar-benar pemalas. Davin saja rela bangun pagi buta demi mengejar penerbangan pagi ke Surabaya. Di sini lah dia sekarang, duduk di meja makan bersama Ayah Ana sejak satu jam kedatangannya tadi."Lihat anak Bapak, Vin. Jam segini baru bangun, kamu yakin mau nikahin dia?"Davin menatap Ayah Ana dan tersenyum tipis. Melihat tingkah Ana yang seperti anak kecil tentu membuatnya sedikit terganggu. Namun untuk menyesal? Tidak, Davin tidak menyesal sama sekali. Malah dia semakin berambisi untuk memiliki Ana seutuhnya sehingga bisa mendisiplinkan gaya hidup aneh gadis itu."Itu yang jadi beda, Pak."Ayah Ana menghela nafas kasar, "Aneh kamu, Vin. Pantes cocok sama anak Bapak." Lagi-lagi Davin tersenyum mendengar itu. Mat
Ana menghentikan kegiatannya bermain ponsel saat sebuah panggilan muncul di layar ponselnya. Dengan cepat dia bangkit dari tidurnya dan tersenyum senang."Halo calon suami," sapa Ana dengan cengiran khasnya."Di mana?" tanya Davin mengacuhkan sapaan Ana."Di rumah dong, kenapa?"“Udah dikirim belum katalog-nya sama Bunda?" tanya Davin kembali mengingatkan Ana tentang model kebaya yang akan dia kenalan nanti saat menikah."Udah, lagi diseleksi sama Mama.""Jangan pilih yang terbuka."Bibir Ana berkedut mendengar itu, "Tapi kayanya Mama tadi pilih yang keliatan punggungnya deh.""Jangan aneh-aneh, pakai jas hujan aja kalau macem-macem." Ana tertawa mendengar itu. Davin tidak pernah berubah. Selalu harus sesuai dengan apa yang diinginkannya. Lagipula orang tua Ana juga tidak akan membiarkannya memakai pakaian terbuka. Jangan lupakan prinsip kuno yang dipegang teguh oleh keluarganya.
Cahaya matahari yang memasuki jendela tidak membuat semua penghuni apartemen Davin beranjak untuk memulai aktivitasnya. Kejadian semalam seolah memberikan kesempatan pada mereka untuk berleha-leha sejenak. Tidak terkecuali Diva dan Laila yang tengah berbaring santai di sofa ruang tengah dengan televisi yang masih menyala.Kevin dan Bram yang tidur di karpet sejak semalam juga tidak berniat untuk bangkit, meskipun mereka sadar jika harus kembali bekerja hari ini. Mata Bram terlihat sayu dan begitu juga Kevin. Mereka berdua melihat tayangan gosip di televisi dengan tatapan jenuh."Kok mereka belum bangun ya?" gumam Laila memakan keripik kentangnya."Habis begadang semalam," jawab Kevin merebut bungkus makanan dari tangan kekasihnya."Mereka nggak aneh-aneh kan semalam?"Bram melirik Diva geli, "Maksudmu apa?""Kamu tau maksudku apa." Diva menatap suaminya kesal."Gimana mau macam-macam kalau Ana tidur di kamar tamu," sahut Kevin yang mu