“Astaga … lupa!” Mas Yusuf menepuk jidatnya sendiri. “Almira, kenapa kamu udah bangun? Katanya capek?” tanyanya kepadaku.
Mbak Diva masih tertawa sambil melihat diriku kemudian beralih menatap Mas Yusuf. “Kamu tahu? Istrimu mengira kalau ini udah siang. Dia panik, padahal ini masih jam 1 malam. Bhahahaha ….”“Aduh, maaf, Almira! Nanti aku ganti baterainya.” Enteng sekali Mas Yusuf berujar. Aku sudah kelimpungan dan panik setengah mati karena melihat jam dinding di kamarnya yang ternyata mati. “Hm.” Hanya itu sahutan kecilku. Ingin marah juga segan karena ada Mbak Diva.Mas Yusuf mengusap pundakku sebelum akhirnya kembali ke ruang tamu. Kata Mbak Diva, wajar jika sampai larut malam sanak saudara maupun teman dekat Mas Yusuf masih begadang meski acara sudah usai. Itu sudah biasa di sini. Mbak Diva mengajakku kembali ke kamar. Semua perempuan di rumah ini sudah tidur, kecuali kami berdua. Ibu mertua juga sudah terlelap karena Mbak Diva bilang jika Ibu kelelahan. “Almira, kamu gak lihat jam sebelum tidur tadi? Aku pikir kamu tahu kalau jam di kamar Yusuf itu mati.”“Aku gak sadar, Mbak. Aku lihat jam di HP dan langsung tidur.” “Hihihi …. Yaudah, kamu tidur sekarang! Gak usah buru-buru bangun! Aku tahu kamu capek. Jangan terlalu kaku dan jangan takut kalau bangun kesiangan! Pengantin baru … wajar.” Mbak Diva mengedipkan sebelah mata kepadaku. Aku hanya meringis menanggapi ucapan Mbak Diva. Saat Mbak Diva keluar kamar, aku mencari ponselku. Sedari tadi memang aku tidak mendapati ponsel milikku. Wajar saja jika aku melihat jam dinding Mas Yusuf sebagai patokan. “Di mana, ya?” Semua bantal dan guling sudah aku singkap. Namun, tak kudapati benda yang kucari itu. Dalam sekejap, aku melihat benda hitam terselubung di celah kasur dan dipan. Entah tidur dengan gaya apa sehingga ponselku bisa nyempil di sana. Sudah, prakara jam sudah selesai. Kini aku bisa kembali melanjutkan tidur karena jujur, memang masih sangat berat untuk membuka mata meski tadi sudah mandi. Mbak Diva juga tampak santai dan tidak mempermasalahkan jika aku bangun kesiangan. Ya sudah, ngebo sesekali rasanya tak masalah.**“Astaga, Mas! Ini jam tujuh, ha?” Aku terbelalak saat melihat jam di ponsel. Jam di dinding juga menunjukkan pukul tujuh. Itu artinya, jam dinding itu sudah betul. “Mas!” Aku mengguncang tubuh Mas Yusuf. Dia tetap memejamkan mata meski bibirnya mengulas senyum. “Mas! Duh, kok, kamu gak bangunin aku?” “Alarm-mu sudah bunyi, tapi aku matikan karena kamu gak dengar. Menyimpan HP di bawah bantal itu gak baik. Jangan ulangi lagi! Kamu juga udah aku bangunin, tapi kamu malah nendang.” Mas Yusuf menyahut sambil memejamkan mata. Nendang? Apa benar aku menendang suamiku? Perasaan aku anteng-anteng saja. “Em … Mas, ini hari pertamaku di rumah kamu. Kalau aku bangun siang, apa kata Ibu?” tanyaku khawatir. Mas Yusuf menarik tubuhku dalam dekapannya. Dia tersenyum dan semakin mengeratkan tangan kekarnya di tubuhku. Entah kenapa ini begitu geli kurasa. Embusan napasnya pun membuat sekujur tubuh ini merinding. “Kamu gak usah takut! Kamu gak usah panik! Ibuku itu sangat santai. Ibuku gak akan marah meski menantunya yang sangat cantik ini bangun kesiangan.”“Healah! Jelas saja aku menantu Ibu yang paling cantik karena dua menantu lainnya laki-laki. Oiya, gimana nanti kalau Ibu marah, Mas?” Jujur, aku sangat khawatir jika ibu mertuaku marah besar gara-gara cerita Hela dan Rini. Mas Yusuf membuka mata kemudian tersenyum melihat diriku. Baru kali ini aku melihat wajah Mas Yusuf dengan jarak dekat. “Coba saja keluar sekarang! Lihat reaksi Ibu!”“Sendiri?”“Ya iyalah. Aku ngantuk, Sayang. Aku baru tidur satu jam yang lalu.”“Gak mau. Takut.” Mas Yusuf terkekeh dan kembali memejamkan mata. Terdengar suara ramai-ramai. Mungkin orang-orang sedang membongkar tenda pernikahan semalam. Terdengar pula suara panci dan peralatan dapur lainnya yang saling bersahutan. Aduh! Pasti semua lagi bersih-bersih, tapi aku enak-enakan tidur di sini. **Berjam-jam sudah aku berada di kamar sampai Mas Yusuf bangun. Pukul sepuluh kami keluar dari kamar. Kulihat semuanya sudah bersih dan rapi. Lantai rumah juga sudah dipel. Aku sangat lapar, tetapi takut untuk mengambil makanan. Untung saja Mas Yusuf peka. Dia segera mengajakku ke dapur. Sebenarnya aku ingin makan di kamar, tetapi Mas Yusuf melarang. “Eh, eh! Menantuku baru bangun.” Rasanya aku memang akan uji nyali. Keringat dingin mulai menjalar di seluruh tubuh. Ibu mertua tiba-tiba duduk di sampingku. Sama sekali aku tidak berani menatapnya. “Mir, makan yang banyak! Lagian, Yusuf itu gimana? Istrinya baru diajak keluar kamar jam segini. Pasti kelaparan, kan?” Aku masih menunduk dan tersenyum menanggapi ucapan Ibu. Hanya Mas Yusuf saja yang menimpali dengan kata maaf. “Loh? Kok, berhenti makan? Malu, ya, karena ada ibu di sini? Ya udah, lanjutkan dulu makannya! Gak usah terburu-buru. Tambah lagi lauknya!” Aku pun mengangguk. Rasanya lega saat Ibu beranjak. Saat berada di dekatku tadi, aku seperti sedang sidang skripsi meski Ibu tampak santai. Semua ini karena Hela dan Rini. Andai mereka tidak menakutiku, pasti aku tidak akan seperti ini. Usai makan, aku belajar mencuci piring. Sekedar mencuci piring, bisalah. Hanya digosok-gosok lalu dibilas. Biasanya aku tak pernah melakukan ini karena memang malas. Saat hendak ke kamar, Mas Yusuf menarik tanganku. Dia mengajakku ke ruang tamu, berkumpul bersama keluarga besarnya. Dua kakaknya bernama Mbak Diva dan Mbak Dewi ada di sana beserta suami dan anak mereka yang tengah bermain bersama Ibu. “Sini! Jangan kaku-kaku! Kita ngobrol bareng biar makin dekat!” kata Mbak Dewi seraya memberikan tempat kepadaku.Aku yang semula hendak duduk di samping Mas Yusuf pun segera mengambil posisi di dekat Mbak Dewi. Rasanya canggung sekali. Mereka semua masih membahas perihal diriku yang salah melihat jam. Semuanya tertawa, termasuk diriku yang menertawakan diri sendiri. “Mir, kamu itu gak usah takut bangun siang di sini. Ibu kasih tahu, ya! Ibu baru mulai masak itu selesai subuh. Itu kalau masak, terkadang ibu beli yang udah matang di ujung jalan sana,” ujar ibu mertua. “Kalau lagi pengin masak, ya, masak. Kalau gak pengin masak, ya, beli," timpal Mas Yusuf. Setahuku, di rumah ini memang hanya ditempati Ibu dan Mas Yusuf. Ayah Mas Yusuf sudah tiada beberapa tahun lalu. “Rumah ini sekarang rumah kamu juga. Kamu bersedia tinggal bersama ibu, itu ibu udah sangat senang. Jangan sungkan melakukan apapun! Jangan mengira kalau ibu ini akan banyak mengatur dan menuntut! Gak, ibu gak akan lakukan itu. Ibu sebagai orangtua hanya bisa menasehati saja kalau memang ada kekeliruan,” kata ibu mertua. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Semoga saja memang sesuai dengan yang Ibu ucapkan, apalagi nanti saat mengetahui diri ini tidak bisa memasak sama sekali. Semoga Ibu tidak marah.“Selamat, ya! Kamu udah mendapatkan gadis yang kamu impikan,” celetuk ibu mertua kepada Mas Yusuf. Aku? Gadis yang diimpikan? Mungkin Ibu akan meminta putranya itu untuk mencuci muka dengan kembang tujuh rupa setelah tahu betapa minus-nya diriku.Hari pertama, ke dua, dan ke tiga di rumah mertua rasanya aman-aman saja. Apa mungkin karena ada Mbak Dewi yang masih menginap di sini? Namun, di hari ke empat ini Mbak Dewi sudah kembali ke kota asal karena suaminya harus segera bekerja. Kedua kakak Mas Yusuf memiliki suami yang mapan. Hidup keduanya pun terbilang sangat cukup. Begitu pun dengan Mas Yusuf yang kurasa hidup berkecukupan. Mas Yusuf memiliki dua coffee shop dan aku adalah admin di salah satu coffee shop miliknya. Baru tiga bulan bekerja di tempatnya, Mas Yusuf sudah melamar diriku tanpa fase pacaran. Gadis mana yang akan menolak lamaran dari pria tampan sekaligus bos muda seperti Mas Yusuf? Sungguh, aku beruntung mendapatkannya. Sejujurnya, aku bekerja sebagai kasir di kedai kopinya karena dituntut mandiri oleh orangtua. Mungkin mereka lelah melihat anak gadisnya ini bermalas-malasan dan selalu menghabiskan uang. Namun, dalam tiga bulan itu aku sering melakukan kesalahan sampai membuat semua orang kesal dan mengingin
“Ibu-ibu, tolong berhenti mengatakan yang tidak-tidak tentang menantu saya. Menantu saya tidak seperti itu. Dia bisa melakukan apapun dan dia sangat rajin. Saya yang tinggal satu rumah dengannya. Jadi, saya yang lebih tahu tentangnya.” Mengharukan! Ibu mertua benar-benar membela diriku. “Baru beberapa hari tinggal serumah udah begini. Nanti kalau udah bertahun-tahun, Bu Ine akan lelah sendiri,” celetuk Bu Ajeng. “Jangankan bertahun-tahun, satu bulan kemudian mungkin Bu Ine akan tertekan.” Wanita di sebelah Bu Ajeng itu menimpali. Kalau saja tidak ada ibu mertua, sudah aku tonjok mereka berdua. Mulutnya tidak bisa di-filter. “Ibu, mereka menyebalkan,” gerutuku kesal. “Gak usah diladeni. Semakin mereka diladeni, semakin panjang obrolannya. Mereka memang doyan omong. Warga sini juga sering, kok, dikasih omongan pedas. Dua orang itu, jika ditimpali, akan semakin menjadi. Yuk, masuk aja! Yang di teras udah bersih.” Tanpa menimpali ucapan dua orang itu, aku dan Ibu memasuki rumah. Aku
“T–terima kasih, Ibu. Ma–maaf tadi aku ketiduran,” kataku yang dibalas senyuman oleh ibu mertua. “Gak masalah, Mir,” jawabnya kemudian berlalu. Aku memutar tubuh, menatap Mas Yusuf yang masih duduk di tepi kasur. Cengiran tipis pun aku tunjukkan padanya. “Maaf, aku gak tahu kalau Ibu menyetrika pakaian.”Mas Yusuf diam. Pasti dia marah karena telah membuat ibunya bekerja, apalagi sampai menyetrika pakaianku. Segera aku letakkan pakaian itu ke dalam lemari. Tiba-tiba saja sebuah tangan kekar melingkar di perutku. “Aku tahu, kamu belum terbiasa dengan keadaan ini. Pelan-pelan saja, kamu pasti bisa. Lihat apa yang Ibu lakukan dan minta Ibu untuk mengajari kamu. Bukan maksud aku untuk menuntut kamu supaya mengerjakan pekerjaan rumah, tapi aku ingin kamu bisa melakukan apa yang sebelumnya belum bisa kamu lakukan. Biasanya, jika aku gak pergi ke kedai, aku membantu Ibu apapun yang bisa kubantu. Aku harap kamu bisa mengerti itu, Sayang.”Aku tertunduk mendengar ucapan Mas Yusuf. Aku suda
Kedua tangan Mas Yusuf menangkup kedua pipiku. Dia semakin tersenyum lebar bahkan tertawa. “Gak bisa masak, kok, nangis?”“Kalau aku dimarahi gimana? Dianggap menantu yang gak berguna gimana?”Mas Yusuf menyeka air mataku dengan jempolnya kemudian mempertemukan dua jempolnya tepat di hidungku. Dia mencapit hidungku hingga ada sedikit cairan yang keluar. “Idiiiih, udah besar masih ingusan.” Mas Yusuf terkekeh. Cepat-cepat aku mengusap cairan itu dengan lengan pakaian. “Mira! Pakai tissue!”“Kelamaan,” kataku kesal. Mas Yusuf mengambil tissue kemudian mengusap bagian bawah hidungku. Memang, jika aku menangis, selalu ada cairan yang keluar dari hidung. Baru menangis sedikit, hidungku bahkan sudah terlihat sangat merah. Dia telaten membersihkan wajahku. “Mulai sekarang, biasakan kalau ngelap apa-apa pakai tissue. Jangan pakaian yang digunakan! Lihat, lengan bajumu kotor!” Mas Yusuf membuang tissue itu ke tempat sampah. “Jijik, ya?” tanyaku. “Sayang, aku nggak jijik. Kamu itu lucu.
Aku meringis menatap Ibu seraya menggaruk kepala yang tak gatal. “Almira, kalau bubuk kopi yang ini harus dikasih gula. Kopi ini berbeda dengan kopi instan yang langsung ada campuran gulanya.” “Berarti yang aku buat untuk Mas Yusuf tadi ….” “Pahit, Nak. Coba kamu hampiri suamimu!”Aku menghampiri Mas Yusuf yang ternyata berada di ruang laundry. Mas Yusuf tengah berkutat dengan pakaian-pakaian yang baru saja dicuci itu. “Biar aku yang jemur.” Aku mengambil alih pakaian yang ada di tangan Mas Yusuf, tanpa membicarakan soal kopi. Nanti saja jika pekerjaan ini sudah selesai, aku akan bertanya soal kopi yang tadi kubuat. Aku mengernyit menatap jemuran baju itu. “Mas, tinggi amat. Aku gak nyampe.” Nasib bertubuh mungil sepertiku, menjemur baju saja susah. Lagian, Mas Yusuf membuat tali jemuran baju setinggi gedung pencakar langit. “Ini tali jemurannya gak bisa dipendekin apa, Mas? Istrimu pendek begini,” gerutuku yang ke
Walau sudah tiga kali ibu mertua memanggilku, tetapi aku tak berani melihat ke arahnya. Tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu di pundak. Aku menoleh dan ternyata ibu mertua yang menepuk pundakku. Ibu mengusap air mataku dengan tangan kosong. “Jadi begini gadis yang Yusuf nikahi? Selucu ini? Sepolos ini, hm?” Sebuah senyum terukir di wajah Ibu. Kupikir beliau akan memarahiku. Nyatanya, Ibu justru menghapus air mataku. Ini bukan seperti ibu mertua, melainkan seperti ibu kandung.Ibu memegang kedua lenganku. “Almira, gak semua wanita itu pandai memasak. Dulu, ibu juga seperti kamu yang gak bisa memasak. Apa neneknya Yusuf marah? Gak. Neneknya Yusuf sama sekali gak marah. Neneknya Yusuf mengajari ibu bagaimana cara memasak dengan benar. Apa yang sudah neneknya Yusuf lakukan kepada ibu dulu, akan ibu terapkan ke kamu. Kamu bilang mau belajar, kan?”Aku mengangguk. Benar-benar lembut ibu mertua berbicara. “Ibu akan mengajari kamu bagaimana me
Sayangnya, aku tak mendengar sahutan ibu mertua. Suara Ibu terdengar sangat pelan seperti orang sedang bisik-bisik. Mungkin Ibu takut aku mendengar perbincangan mereka. Entah apa jawaban Ibu, yang jelas pikiran buruk mulai menghantui saat ini. Ibu pernah mendambakan gadis lain untuk dijadikan menantu? Jujur saja, aku sangat cemburu mendengar ucapan itu, apalagi saat mendengar gadis itu pernah jadi incaran Mas Yusuf. Aku ingin tahu, sesempurna apa gadis yang sedang dibicarakan itu. Sebelum keluar kamar, aku bercermin terlebih dahulu, memastikan bahwa tidak ada air mata yang keluar akibat perkataan wanita itu. “Ibu.”“Nah, ini Almira, istrinya Yusuf.” Ibu menarik diriku supaya mendekat dan menyalami wanita itu. “Mir, ini namanya Atika, adik kandung ibu. Kamu panggil saja Bibi Tika.”Oh, ternyata wanita itu adalah adik kandung ibu. Pantas saja wajahnya sama persis dengan ibu mertuaku. “Kemarin, waktu pernikahan kalian,
“Gimana kabarnya?” Wanita bernama Syafira itu mengulurkan tangan kepada Mas Yusuf. Namun, sebelum Mas Yusuf menerima uluran tangannya, aku sudah terlebih dahulu menjabatnya. Kini, aku dan Syafira saling berjabat tangan.“Baik,” jawabku.“Ini … siapa? Keponakan apa sepupu?”“Saya Almira, istrinya Mas Yusuf.” Aku melepaskan tangan wanita tersebut. Enak saja aku dibilang keponakan atau sepupu. “Oh, jadi Mas Yusuf udah nikah?”“Udah. Kan, udah jelas tadi saya bilang kalau saya ini istrinya,” kataku sewot.Aku pun menoleh ke arah Mas Yusuf. “Mas, katanya mau ke rumah Bunda?” “Fir, kami pergi dulu. Permisi!” ujar Mas Yusuf.Jangan ditanya lagi sekesal apa diriku di dalam mobil. Pantas saja jika Mas Yusuf mengincar Syafira. Wajahnya sangat cantik, seperti orang Arab. Tubuhnya tinggi, langsing, dan rambutnya tergerai panjang. Dia begitu wangi.“Mira … Sayang?”“Ternyata dia sangat cantik dan tinggi.
“Oh, ya?” Aku merasa ada sesuatu yang terlepas di bagian belakang bajuku. Tangan jahil Mas Yusuf ternyata sudah melepas tali punggung gaunku. Aku merasa gaunku sudah longgar sekarang.“Mas!” “Sst!”Saat aku berbalik badan, aku sudah disambut dengan sentuhan dari bibir hangatnya. Tidak, tidak. Ini terlalu mendebarkan. Mas Yusuf kian lincah melanjutkan aksinya saat aku mencoba menghindar.**“Zen!” Aku mendadak terbangun kemudian menatap setiap sudut ruangan. Yang pertama teringat dalam pikiranku adalah Zen. Kuperhatikan lagi isi ruangan ini. Ah, iya. Aku sedang berada di hotel bersama suamiku. Pria yang semalam telah membuat diriku remuk dan tak berdaya masih tertidur pulas di sampingku tanpa balutan baju. Aku tersenyum kala mengingat perlakuannya semalam. Dia cukup leluasa dan agresif daripada saat di rumah. Bahkan hasil permainannya semalam terasa lebih melelahkan daripada malam pertama. Aku membelai wajah
Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan kemudian kembali menatap Ibu. “Gimana dengan Zen, Bu?” tanyaku.“Ada saatnya kalian pergi bersama Zen, ada saatnya juga kalian hanya pergi berdua. Kalau kalian pergi berdua, Zen akan bersama ibu. Lagi pula, Bu Marissa juga sering kemari. Kakek dan dua neneknya Zen siap menemani kalau kalian pergi kencan.”“Jadi ….” Mas Yusuf melirikku. “Jadi, tunggu apa lagi? Zen sudah makan. Stok susu juga masih banyak. Bu Marissa juga mengabari akan ke sini malam ini. Jadi, gak perlu ditunda lagi! Kalian pergilah berdua! Habiskan malam ini bersama!” “Ibu, tapi gak apa-apa kalau aku meninggalkan Zen bersama Ibu dan Bunda?” tanyaku karena khawatir Zen rewel.“Gak apa-apa, Mira. Kamu butuh kesegaran. Kamu butuh suasana baru di luar sana. Siapa tahu, dengan kencan ini, pikiranmu berasa plong.” Kembali aku dan Mas Yusuf berpandangan. Namun, kami saling diam. “Kok, malah lihat-lihatan? Ayo! Almira, Y
“Gimana gak tampan? Dua pabriknya saja unggul.” Tawa kami pecah saat Manda menyahut demikian. Manda berdiri kemudian beralih duduk di samping Om Arga. Mereka tampak sangat serasi, terlihat sama-sama dewasa. Wajah kebapak-bapakan Om Arga sangat cocok dengan wajah keibuan Manda. Aku dan Mas Yusuf sama-sama tersenyum. Di balik kejadian yang menimpa, ternyata ada banyak kisah menarik setelahnya. Cara Tuhan memang tak terduga. Dari yang awalnya diselimuti ego dan benci hingga berujung saling bersaing, kini sudah berubah menjadi saling merangkul dan mendukung. Om Arga menepati janjinya. Dia mempromosikan kedai kopi Mas Yusuf kepada banyak rekannya. Bahkan selalu mampir ke sana hampir setiap hari. Begitu pun dengan Ayah dan para rekannya. Sekarang aku bersyukur, perolehan pendapat coffee shop memang sudah meningkat drastis. Mas Yusuf sudah berencana mengadakan kembali bonus untuk para karyawan apabila pendapatan selama lima bulan ke depan tetap stabi
Rencananya, kami akan begadang sampai Zen tertidur pulas. Nyatanya, setelah Zen pulas, kami justru terjaga. Aku dan Mas Yusuf malah asyik berbagi rasa dan cerita. Entah sepanjang apa obrolan kami malam ini, tahu-tahu sudah pukul 02.35. “Mas, bentar lagi Ibu bikin kue. Aku gak ngantuk. Bol—”“Gak boleh.” Belum juga aku menyelesaikan ucapanku, Mas Yusuf memangkas seenak jidat. “Cuma bantuin doang. Bisa sambil duduk.”“Nanti aku yang bantuin Ibu. Kamu tidur sekarang! Kamu dari tadi ngomong mulu, loh, Sayang. Jadi gak tidur-tidur, kan?”“Lah?” Aku mengernyit. Bisa-bisanya aku yang disalahkan. “Yang ngajak bercerita siapa? Mas Yusuf duluan.”“Aku bercerita supaya kamu tidur. Eh, malah kamu makin bersemangat.”“Loh, kan, ta—”“Udah, diam! Merem, Mira!”**Satu bulan sudah aku menjalani hari sebagai seorang ibu. Bahagia, kuakui sangat bahagia. Cara ibu mertua memperlakukanku, akan aku contoh kelak k
“Stop, Bibi!” Mas Yusuf dan Mbak Diva datang. Mas Yusuf dan Mbak Diva memegang tubuh Bibi Tika. Ibu mertua cepat-cepat mengambil Zen dan menyerahkannya Zen padaku. “Bawa ke kamar, Mir!” Aku ke kamar untuk menyusui Zen. Wajahnya sampai memerah gara-gara menangis. Aku mendengar Mas Yusuf memberi teguran kepada Bibi Tika. Begitu pun dengan Mbak Diva dan Ibu. “Aku hanya mau beri makan.”“Anakku belum waktunya makan, Bi. Dia anakku. Bibi gak usah ikut campur!”“Berani sama bibi sekarang kamu, Suf.”“Maaf, Bibi. Urusan anak itu nomor satu. Apapun yang menyangkut anak, aku tidak bisa abai begitu saja. Dia anakku. Kalau Bibi memaksa lalu terjadi sesuatu dengan anakku, apa Bibi mau bertanggung jawab?”Mbak Diva memasuki kamar. Dia mengunci kamar dari dalam sambil meletakkan jari telunjuk di bibir. Mbak Diva mendekat dan melihat Zen yang menyusu dengan begitu kuat. “Tenang, ya! Dulu aku juga sepert
“Pak Yusuf, saya minta maaf.”“Saya sudah menduga, tapi saya tidak mau salah sangka. Ya sudahlah. Itu sudah berlalu,” kata Mas Yusuf dengan santainya. Aku pun pernah menduga jika Citra dan lainnya adalah antek-antek Om Arga. “Maafkan saya yang sengaja meniru usaha Pak Yusuf. Sekarang saya tahu, meski saya berusaha meniru dan menyaingi usaha Pak Yusuf, tetapi yang namanya rezeki itu sudah ada takarannya. Usaha saya tidak sesukses usaha Pak Yusuf. Bahkan saya pusing karena karyawan banyak yang semena-mena sehingga membuat pelanggan tidak betah. Kemungkinan saya akan menutupnya dan menggantinya dengan usaha yang lain.”Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan mendengar ucapan Om Arga. “Apapun usaha Pak Arga nantinya, semoga sukses,” timpal Mas Yusuf kemudian. “Aamiin. Terima kasih. Saya akan mengganti rugi apa yang sudah saya perbuat terhadap coffee shop Pak Yusuf.”“Tidak perlu. Biarlah, Pak Arga! Itu sudah berlalu. Yang
“Jika Bu Tami memperhatikan wajahnya betul-betul, Bu Tami akan mengetahui siapa ayahnya,” kataku yang memang sudah tahu masa lalu Manda. Manda menatap ke arahku sambil menggeleng pelan. Kurasa, sudah cukup Manda menyembunyikan semua ini. Ini saat yang tepat untuk mengatakan karena semua orang sedang berkumpul. Om Arga mendekati Cindy kemudian berlutut dan meraba wajah cantiknya. Om Arga berkaca-kaca lalu mendongak beralih menatap Manda yang masih berdiri.“Manda, dia … anakku?” Manda terdiam dan kembali menunduk. “Manda, jawab! Kenapa aku tidak pernah tahu hal ini?”Kudengar Manda sedikit terisak. Kasihan, pasti dia sedang teringat dengan masa lalunya. “Karena kamu pergi di saat aku mengandung dua bulan. Kamu menceraikan aku melalui telepon. Aku mau beritahu kehamilan ini, tapi kamu buru-buru menutup telepon. Kamu juga langsung menutup semua akses untuk kuhubungi, Mas. Aku menunggu berminggu-minggu, ternyata hanya s
(POV ALMIRA)“Atur napas, Bu! Ikuti saya! Tarik napas pelan-pelan lalu keluarkan!”Aku mencoba mengatur napas. Namun, karena saking sakitnya yang kurasa, aku kesulitan untuk mengambil napas dengan baik. Aku bahkan masih terengah-engah. Seorang bidan berlanjut mengajariku bagaimana cara mengejan. Aku pun mengikuti arahannya. “Ah, iya, benar.”“Semangat, Ibu!!! Sudah nampak. Rileks, ya, rileks! Ikuti lagi arahan saya!”“Ayo, Sayang! Kamu bisa.” Mas Yusuf berbisik di telinga. Aku kembali melakukan apa yang sudah dicontohkan oleh bidan tadi. Berusaha mengatur napas dan mengejan. “Alhamdulillah.” Serentak mereka mengucap hamdalah diiringi suara tangis bayi yang sangat kencang. “Hah? Sudah keluar?” Rasanya aku masih tidak percaya. Aku tak merasakan apapun di bawah sana saat bayiku keluar. Sakit yang kurasa hanya di perut dan pinggang saja. Kulihat Mas Yusuf menangis kemudian menciumi wajahku. E
(POV ARGA)“Apa ini? Gadis yang kucintai mengeluarkan darah?” Aku hanya bisa diam saat melihat Almira kesakitan. Ya, dia kesakitan. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana kemari. Pria bernama Yusuf itu datang menghampiri Almira dan melepaskan ikatannya. Entah bagaimana bisa dia kemari, aku tak tahu. Tangan Almira meremas kerah kemeja suaminya. Wajahnya meringis kesakitan. Sesekali dia menjambak rambut suaminya sambil merintih dan berteriak. Kubiarkan pria yang telah menikahinya itu membawanya pergi. Namun, telingaku masih terasa sangat sakit mendengar jeritan Almira yang menggema di ruangan.“Apa aku setega ini?”Kutatap darah yang menetes di lantai. Itu darah Almira. Tenggorokanku seakan tercekat saat hendak menelan ludah. “Arga ….”Suara itu begitu lirih ketika memanggil. Aku berbalik badan. Seorang wanita tua yang berjalan tertatih dengan bantuan tongkat karena postur tubuhnya sudah membungkuk. “Tega seka